• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Kandungan Aktif Akar Tuba (Derris elliptica Roxb Benth)

Bagian akar Derris elliptica memiliki kandungan aktif rotenon sebesar 5,0% (w/w) hingga 13,0% (w/w) dengan total eter yang digunakan sebesar 31,0% (w/w) dari total volume akar yang diekstrak. Selain itu, akar tuba juga mengandung deguelin, elipton, toksikarol, sumatrol, teprosin, malakol, dan lain- lain. Setiap kandungan tersebut bersifat toksik atau berpengaruh terhadap lingkungan dan memiliki efek psikologi terhadap ikan dan serangga, namun tidak terlalu berpengaruh terhadap mamalia termasuk manusia (Dev dan Koul 1997 dalam Irwan 2006).

2.3.1 Rotenon

Rotenon merupakan isoflavonoid dengan isoprene yang terikat pada C-8. Rotenoid yang diekstrak dari akar tuba (Derris elliptica) memiliki nama kimia 1,2; 12a-tetrahydro-8,9-dimethoxy-2 (1-methylethenyl-(1) benzopyrano (2,4b) furo (2,3-h) (1) benzophyran-6 (6H)-one) dengan titik leleh pada 163 oC (Kidd dan James dalam Irwan 2006). Bentuk molekul rotenoid dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur kimia rotenon (Kidd dan James 1991; Kole et al. 1992 dalam Irwan 2006)

Rotenon memiliki rumus kimia C23H22O6 dengan berat molekul sebesar 394,41 g/mol (Schnick 1974 dalam Hien et al. 2003). Rotenon merupakan senyawa yang mudah larut dalam sejumlah larutan organik misal alkohol dan aseton, akan tetapi tidak larut dalam air (John 1944 dalam Irwan 2006). Berdasarkan penelitian Kidd dan James (1991) dalam Irwan (2006), rotenon sedikit larut dalam air, yaitu sekitar 16 mg/L air pada suhu 100 oC. Cahaya dan udara dapat menyebabkan rotenon mengalami dekomposisi, ditandai dengan perubahan warna dari kuning menjadi merah pekat.

Rotenon merupakan racun kontak atau racun perut terhadap serangga, namun memiliki toksisitas rendah terhadap mamalia (termasuk manusia). Isoplavonoid golonganini memiliki toksisitas tinggi terhadap hewan berdarah dingin terutama terhadap ikan (Matsumura 1985 dalam Irwan 2006). Senyawa golongan ini membunuh serangga dengan menginaktifkan enzim respirasi dan menghasilkan asam glutamik oksidase dalam kondisi oksigen rendah (John 1944 dalam Irwan 2006).

2.3.2 Deguelin

Deguelin merupakan salah satu rotenoid bahan aktif utama dalam akar tuba. Deguelin dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan koloni sel kanker dengan menginduksi apoptosis dan menghentikan siklus sel kanker. Bahan aktif ini juga dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan sel kanker kulit. Beberapa data penelitian menunjukkan bahwa deguelin secara efektif mampu menghambat perkembangbiakan sel kanker paru-paru tanpa menunjukkan efek samping yang menonjol pada sel normal. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa deguelin mampu memicu apoptosis secara selektif kanker jantung dengan menurunkan pengaruh inhibitor, yaitu protein apoptosis (Wenjie et al. 2009).

Ekstrak cair deguelin pada umumnya dapat diproduksi dengan beberapa metode yang menggunakan pelarut organik, yaitu ekstraksi pada suhu ruang, ekstraksi dengan bantuan getaran, dan ekstraksi dengan metode Soxchlet. Selain beberapa metode tersebut, beberapa penelitian menggunakan metode ekstraksi dengan bantuan ultrasonik. Selain itu, berdasarkan beberapa literatur yang ada tentang teknologi pemisahan dan purifikasi deguelin dari rotenoid, beberapa penelitian menghubungkan dengan pemisahan metode kromatografi menggunakan

silica gel dan kristalisasi deguelin dengan metode kromatografi (high performance liquid chromatography – HPLC), metode yang sering dianggap banyak memberikan kerugian (Wenjie et al. 2009)

Struktur kimia deguelin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Struktur kimia deguelin (Wenjie et al. 2009) 2.4 Toksisitas

Toksisitas merupakan kemampuan atau daya racun suatu bahan yang dapat menyebabkan keracunan. Sedangkan toksikan adalah materi atau agen yang mampu menghasilkan efek merugikan pada sistem biologi yang akan menyebabkan kematian. Beberapa jenis toksikan yang umum ditemui adalah pestisida, klorin, limbah industri yang umumnya bersifat racun dan karsinogenik (Koeman 1983).

Parameter kualitas air diantaranya temperatur, kesadahan air, dan oksigen terlarut umumnya digunakan untuk mengetahui pengaruh dari bahan tercemar yang ada di dalam perairan (Abel 1989). Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi pengukuran toksisitas adalah waktu dedah (exposure time) atau waktu onset, cara pendedahan, dan sifat fisika kimia bahan tersebut. Jenis dan stadia organisme juga berpengaruh pada pengukuran tingkatan toksisitas suatu bahan (Cassaret dan Donev 1975).

Toksisitas suatu bahan dapat ditentukan dengan mengkaji besarnya (dalam persen) kematian populasi organisme uji. Salah satunya adalah dengan menggunakan uji toksisitas bahan uji terhadap hewan uji yaitu konsentrasi terkecil pada saat kematian 100% organisme uji. Namun, tingkat toksisitas suatu bahan

sering digunakan pada tingkat kematian 50% organisme uji pada berbagai waktu dedah (LC50) (Cassaret dan Donev 1975).

Kinerja toksik dalam mempengaruhi suatu organisme pada umumnya melalui tiga fase (Koeman 1983):

a. Fase eksposisi

Penyerapan suatu zat oleh suatu objek biologi yang akan memberikan pengaruh berupa efek biologi atau toksik setelah absorbsi zat tersebut.

b. Fase farmakokinetik (toksokinetik)

Penyerapan suatu zat dalam bentuk aktif di dalam peredaran darah atau yang mencapai tempat bekerjanya syaraf.

c. Fase farmakodinamik (toksodinamik)

Fase farmakodinamik atau toksodinamik meliputi interaksi antara molekul zat obat atau zat racun dan tempat kerja spesifik yaitu reseptor.

2.5 Pembiusan (Imotilisasi)

Transportasi lobster merupakan suatu usaha memindahkan lobster hidup dengan diberi tindakan untuk menjaga agar derajat kelulusan hidup tetap tinggi setelah sampai di tempat tujuan. Salah satu tindakan yang digunakan dalam menjaga kelulusan hidup lobster adalah dengan cara menekan metabolisme lobster selama transportasi dengan metode pembiusan (Suryaningrum et al. 1993).

Proses pembiusan adalah suatu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi aktivitas ikan selama transportasi yang berprinsip menekan metabolisme ikan sehingga mampu mempertahankan hidup lebih lama dalam kondisi yang tidak normal. Metode pembiusan merupakan metode yang digunakan dalam transportasi lobster dengan media tanpa air. Metode ini menggunakan prinsip hibernasi, yaitu usaha untuk menekan metabolisme lobster sehingga masuk ke dalam metabolisme basal atau dapat bertahan dalam kondisi minimum (Junianto 2003). Fase ini merupakan fase ketika ikan masih dapat bertahan hidup hanya dengan kebutuhan yang minimal dan menghasilkan metabolisme yang minimal pula (Tseng 1987). Proses hibernasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya penurunan suhu, pembiusan dengan CO2 yang digelembungkan dalam air atau dengan menggunakan bahan anestesi (Nitibaskara et al. 2006).

Anestesi merupakan suatu kondisi ketika sebagian atau seluruh tubuh kehilangan kemampuan kesadaran. Pada bagian tubuh yang diberikan suatu zat atau obat maka bagian tubuh tersebut akan kehilangan kemampuan untuk merespon rangsangan dari luar. Selain kehilangan respon, anestesi dapat pula menyebabkan kehilangan kesadaran. Hal ini disebabkan oleh pengaruh zat atau obat yang dimasukkan ke dalam tubuh tersebut mempengaruhi sistem syaraf. Zat atau obat anestesi dapat dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara disuntik, dihisap, maupun bersinggungan secara langsung dengan anggota tubuh (Furlong 2004). Anestesi dapat disebabkan adanya pengaruh dari senyawa- senyawa kimia, suhu yang dingin, arus listrik, dan penyakit. Anestesi yang terjadi pada sistem syaraf pusat menyebabkan organisme tidak sadar atau pingsan (Achmadi 2005).

Bahan anestesi mengganggu secara langung maupun tidak langsung terhadap keseimbangan kationik tertentu dalam otak selama masa anestesi (Willford 1970). Gangguan keseimbangan ionik yang disebabkan adanya sianida yang akan menginaktivasi enzim sitokrom dalam sel mitokondria dengan mengikat ion Fe3+/Fe2+ yang terkandung dalam enzim. Adanya pengikatan ion Fe3+/Fe2+

akan menyebabkan biota mati rasa (pingsan) akibat kinerja syaraf kurang berfungsi. Pembiusan (anestesi) akan menyebabkan penurunan laju respirasi pada ikan, hal ini sangat menguntungkan dalam praktek transportasi (FRANZ 2004).

Kecepatan distribusi dan penyerapan oleh sel ini sangat beragam, tergantung pada persediaan darah dan kandungan lemak pada setiap jaringan. Proses terjadinya pemingsanan meliputi tiga tahap (Wright dan Hall 1961):

a) Berpindahnya bahan pembius dari lingkungan ke dalam alat pernafasan suatu organisme;

b) Difusi membran dalam organisme tubuh yang menyebabkan terjadinya penyerapan bahan pembius ke dalam darah;

c) Sirkulasi darah dan difusi jaringan menyebarkan substansi tersebut ke seluruh tubuh.

Lobster yang telah terbius ditandai dengan kondisi lobster yang diam, tidak bergerak tetapi masih dapat memberikan respon terhadap rangsangan fisik dari luar meskipun lemah. Kondisi ini disebut dengan kondisi terbius dan perlakuan

yang menyebabkan lobster menjadi dalam keadaan tersebut disebut dengan pembiusan (Wibowo et al. 1994). Kriteria aktivitas lobster pada suhu rendah disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Kriteria aktivitas lobster pada suhu rendah Kondisi

Lobster

Kriteria Lobster

normal

Lobster normal, aktif, reaktif, agresif, responsif, keseimbangan bagus, atau aktivitas dan respon lobster mulai berkurang. Antena sangat reaktif dan responsif atau sedikit berkurang terhadap rangsangan fisik dari luar.

Lobster tenang

Lobster tidak menunjukkan gerakan-gerakan reaktif berlebihan atau gerakan yang tidak terkendali. Lobster cenderung tidak banyak bergerak tetapi respon dan keseimbangan masih bagus. Repon antena terhadap gangguan dari luar masih jelas dan kuat.

Lobster lamban

Lobster tidak banyak bergerak, reaksi dan aktivitas makin berkurang, respon terhadap rangsangan fisik dari luar lamban, tetapi keseimbangan masih bagus.

Lobster lemah

Lobster tidak banyak bergerak, reaksi dan aktivitas makin berkurang dan respon lemah.

Lobster diam

Lobster tidak banyak bergerak, reaksi dan aktivitas makin berkurang, respon terhadap gangguan fisik dari luar rendah, jika diganggu tidak memberikan respon tetapi tubuh masih tegak dengan kaki jalan merapat ke cepalootoraks atau keseimbangan mulai terganggu.

Lobster limbung

Lobster diam, respon terhadap rangsangan dari luar mulai lemah atau tidak ada, tubuh menempel pada dasar akuarium. Kaki jalan merapat pada cepalotoraks, keseimbangan terganggu dan posisi tubuh miring. Jika dibalik sulit untuk tegak kembali.

Lobster roboh

Lobster diam, hanya ada sedikit gerakan lemah pada beberapa anggota badannya, tidak ada keseimbangan dengan tubuh roboh. Ketika dibalik tidak tegak kembali, dan ketika diangkat tidak bergerak.

Lobster pingsan

Lobster diam tidak bergerak sama sekali baik di dalam air maupun di udara terbuka. Tetapi jika dibiarkan di udara beberapa saat, 5-10 menit, mulai tampak bergerak-gerak lemah pada kaki jalan dan organ di sekitar mulut.

Lobster mati

Lobster tidak bergerak meskipun sudah ditempatkan di dalam air yang bersuhu normal 24-27 oC.

Sumber: Wibowo et al. (1994)

Dokumen terkait