• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 METODE PENELITIAN

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Persiapan penelitian

a. Aklimatisasi lobster air tawar (Koesoemadinata 2003)

Proses aklimatisasi bertujuan untuk mengadaptasikan lobster air tawar dengan kondisi baru lingkungan laboratorium. Akuarium yang digunakan untuk aklimatisasi berukuran 100x50x40 cm3. Air yang digunakan adalah air PAM yang telah diendapkan dan diaerasi selama dua hari untuk menghilangkan klorin dan senyawa-senyawa beracun lainnya. Tahap aerasi juga berfungsi untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut dalam media uji. Kesehatan dan kelayakan kondisi ikan ditentukan berdasarkan persyaratan yang terdapat dalam pengujian toksisitas. Kriteria yang harus dipenuhi oleh populasi uji toksisitas adalah:

1)Stok populasi ikan tidak layak digunakan untuk percobaan bila selama 7 hari masa adaptasi mortalitas ikan ≥ 10% dari populasi;

2)Bila angka mortalitas ikan tercatat antara 5% dan 10%, maka masa adaptasi dilanjutkan selama 7 hari, dan bila setelah masa pengamatan tambahan tersebut angka mortalitas ≤ 5% stok populasi ikan layak digunakan untuk percobaan; 3)Stok populasi ikan tidak layak digunakan untuk suatu percobaan bila pada

masa adaptasi ada wabah penyakit, atau bila jumlah ikan yang cacat atau abnormal ≥ 1% dari jumlah ikan dalam stok populasi tersebut.

b. Ektraksi akar tuba dan perhitungan rendemen

Proses ekstraksi diawali dengan pembersihan akar tuba dari sisa-sisa tanah yang masih tersisa. Pembersihan dilakukan segera setelah akar tuba dipanen, dan dilakukan dengan hati-hati untuk mengurangi terjadinya proses lisis kandungan akar tuba. Akar yang telah bersih kemudian dihaluskan dengan menggunakan parutan. Akar yang telah halus atau terpotong lebih kecil ditimbang dengan menggunakan neraca analitik.

Sebanyak 50 mg akar tuba halus ditimbang dan direndam dalam 150 ml larutan etanol 95% selama 48 jam. Proses ini dilakukan secara berulang hingga bahan pelarut (etanol) tidak mengalami perubahan warna saat ditambah dengan potongan akar tuba. Pada penelitian ini, proses perendaman dihentikan hingga pelarut yang digunakan mencapai 450 ml. Hasil ekstraksi etanol selanjutnya dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator. Proses pemekatan dilaksanakan di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Sejumlah akar tuba halus lainnya ditimbang untuk analisis kadar air. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan metode pengeringan. Tahapan ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Hasil pemekatan ekstraksi etanol dan hasil analisis kadar air digunakan untuk perhitungan rendemen akar tuba. Perhitungan rendemen dilakukan dengan menggunakan rumus:

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi ekstrak akar tuba yang terbaik untuk memingsankan lobster air tawar. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui waktu pendedahan (onset), waktu pulih sadar dan tingkat kelulusan hidup dari masing-masing konsentrasi uji.

a. Penentuan konsentrasi ekstrak akar tuba sebagai bahan anestesi

Konsentrasi uji ekstrak akar tuba ditentukan berdasarkan konsentrasi yang umum digunakan oleh masyarakat di daerah Tapanuli Selatan Sumatera Utara dalam proses penangkapan ikan dengan menggunakan ekstrak kasar akar tuba. Data empiris yang diperoleh penulis setelah pengamatan di lapangan adalah sebanyak 1 kg akar tuba (sebelum dihaluskan) dapat memingsankan ikan dalam kolam berukuran ± 10 x 5 x 1 m3 (p x l x t). Dengan demikian, konsentrasi ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut:

Volume kolam = p x l x t = 10 x 5 x 1 m3

= 500 m3 = 50.000 dm3

= 50.000 L air (1 dm3 = 1 L) Konsentrasi yang digunakan oleh masyarakat di lapangan (K):

= 20 ppm

Konsentrasi 20 ppm dipilih sebagai konsentrasi maksimum, konsentrasi yang dianggap mampu membunuh ikan. Konsentrasi pengujian selanjutnya ditentukan lebih kecil dari konsentrasi tersebut dengan selang sebesar 2,5 ppm; sehingga diperoleh konsentrasi uji sebagai berikut: 5 ppm; 7,5 ppm; 10 ppm; 12,5 ppm; 15 ppm; 17,5 ppm; dan 20 ppm.

b. Pengujian ekstrak akar tuba sebagai bahan anestesi

Prosedur kerja pengujian ini dimulai dengan mempersiapkan tujuh buah ember plastik masing-masing diisi dengan tiga liter air dan lima ekor lobster air

tawar. Ekstrak air tawar dengan konsentrasi yang telah ditentukan kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik tersebut. Kegiatan selanjutnya adalah pengamatan terhadap masing-masing paramater uji pada setiap konsentrasi. Prosedur ini dilaksanakan sebanyak tiga kali ulangan.

Pengamatan kualitas air dilakukan pada setiap konsentrasi perlakuan sebelum dan setelah pemberian ekstrak akar tuba. Parameter kualitas air yang diukur adalah DO, pH, dan amonia. Cara pengukuran parameter kualitas air disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Parameter kualitas air beserta peralatan Parameter Peralatan utama Cara peneraan

DO Peralatan titrasi Metode titrimetri

pH pH-meter Pembacaan skala

Amoniak Spektrofotometer Metode indofenol

Pengukuran karakteristik DO media air dilakukan dengan menggunakan alat ukur elektronik DO-meter. Prosedur diawali dengan kalibrasi alat dengan membandingkan hasil pengukuran dengan cara titrasi standar Enkler terhadap air contoh yang sama. Setelah proses kalibrasi selesai, air sampel dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer sebanyak 25 ml. Proses selanjutnya adalah magnetic stirrer dimasukkan ke dalam sampel untuk menghomogenkan kandungan oksigen dalam air, kemudian dilakukan pengukuran dengan DO-meter (Rand et al. 1975).

Nilai pH diukur dengan menggunakan alat pH-meter. Sebelum digunakan, pH-meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan aquades yang memiliki nilai derajat keasaman 6 dan 8. Sebanyak 25 ml air sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam erlenmeyer untuk diukur derajat keasamannya dengan alat pH-meter yang telah dikalibrasi terlebih dahulu (Rand et al. 1975).

Parameter total amoniak-nitrogen (TAN) ditentukan dengan menggunakan prosedur berikut (Metode Fenat) (Rand et al. 1975):

a. Sebanyak 50 ml sampel air didestilasi. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya galat yang terlalu tinggi, karena sampel air yang digunakan setelah proses pemingsanan mengalami perubahan warna menjadi warna putih (susu).

b. Sebanyak 25 ml sampel air yang telah didestilasi dimasukkan ke dalam gelas Erlenmeyer.

c. Pada sampel tersebut ditambahkan 1 tetes MnSO4, 0,5 ml kloroks, dan 0,6 ml fenat. Larutan tersebut didiamkan selama ± 15 menit hingga terjadi perubahan warna dari bening menjadi kebiruan. Jika setelah 15 menit berlalu, dan belum terjadi perubahan warna, prosedur penambahan MnSO4, kloroks dan fenal kembali diulangi hingga sampel tersebut mengalami perubahan warna.

d. Larutan blanko aquades sebanyak ± 10,00 ml disiapkan pada gelas erlenmeyer. e. Larutan blanko standar amoniak (0,30 ppm) sebanyak ± 10,00 ml disiapkan

pada gelas erlenmeyer.

f. Pengukuran larutan blanko dengan menggunakan perangkat spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm dan absorbance 0,0000 (transmiter 100%), kemudian dilakukan pengukuran sampel dan larutan standar.

g. Konsentrasi amoniak-N total (TAN) dihitung dengan persamaan: Mg NH3/L

Keterangan:

C : konsentrasi larutan standar (0,30 mg/L) Abs sampel : nilai absorbance larutan sampel

Abs standar : nilai absorbance larutan standar 3.3.2 Penelitian utama

Penelitian utama pada percobaan ini merupakan pengujian kelulusan hidup lobster air tawar yang telah dipingsankan dengan berbagai konsentrasi selama proses penyimpanan. Konsentrasi yang digunakan merupakan konsentrasi terbaik yang diperoleh dari hasil pengujian pada penelitian pendahuluan, yang dalam hal ini dipilih menjadi tiga konsentrasi yaitu 10; 12,5; dan 15ppm.

Lobster uji yang telah disiapkan dipingsankan dengan ketiga konsentrasi tersebut. Selanjutnya dimasukkan ke dalam kemasan transportasi yang telah disiapkan sebelumnya. Kemasan terdiri atas kotak styrofoam, es batu dalam kantong plastik, dan serbuk gergaji.

Kotak styrofoam kosong terlebih dahulu diisi dengan es batu dalam kantong plastik. Media serbuk gergaji yang didinginkan hingga mencapai suhu pembiusan

lobster air tawar (15 oC) ditaburkan di atas es batu tersebut. Selanjutnya, sebanyak 15 ekor lobster air tawar yang telah pingsan disusun di atas serbuk gergaji tersebut dan dilapisi kembali dengan serbuk gergaji dingin. Skema penyusunan lobster sampel saat penyimpanan dalam kotak styrofoam disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5 Penyusunan lobster dalam kotak styrofoam

Lobster yang telah dipingsankan dengan ekstrak akar tuba selanjutnya disimpan dalam kotak styrofoam selama interval waktu 12, 24, 36, dan 48 jam. Pada setiap interval waktu tersebut, kemasan dibongkar dan lobster dibugarkan kembali dengan memasukkannya ke dalam akuarium dengan aerasi kuat. Tingkat kelulusan udang selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus:

3.3.3 Rancangan percobaan

Hasil dari penelitian percobaan transportasi udang hidup ini diuji dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama terdiri atas tujuh tingkat pemberian dosis ekstrak akar tuba. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali dengan setiap unit percobaan terdiri atas lima ekor lobster air tawar.

Model rancangan percobaan yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Yij = µ + Xij + ∑ij Keterangan:

Yijk : Hasil pengamatan dari pengaruh konsentrasi ekstrak akar tuba taraf ke-i dengan ulangan ke-j

µ : Pengaruh nilai rata-rata umum

Penutup styrofoam Styrofoam Serbuk gergaji Lobster 15 ekor Serbuk gergaji Es dalam plastik

Xij : Pengaruh perlakuan konsentrasi ekstrak akar tuba taraf ke-i dan ulangan ke-j

∑ij : Pengaruh galat percobaan karena perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i : 1,2,3,4,5 adalah konsentrasi ekstrak akar tuba

j : 1,2,3,4 adalah ulangan

Bila hasil percobaan yang digunakan memberikan pengaruh nyata, uji diteruskan dengan uji lanjut Tukey. Pengolahan data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 13 for Windows.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Persiapan Hewan Uji dan Bahan Pemingsan

Lobster air tawar yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakteristik yang sesuai dengan SNI 01-4488-1998, persyaratan lobster air tawar sebagai bahan uji transportasi (BSN 2007a). Lobster yang digunakan sebagai bahan uji dalam keadaan sehat, tidak cacat fisik dan tidak mengalami pergantian kulit (moulting), serta tidak dalam keadaan bertelur.

Kondisi awal lobster air tawar yang digunakan dalam penelitian ini memiliki keseimbangan yang baik di dalam air. Hal ini ditandai dengan posisi lobster yang tegak dan kokoh, aktif, agresif dan responsif di dalam air. Lobster akan memberikan reaksi kejutan yang sangat tinggi saat suatu benda atau tangan didekatkan kepada lobster. Lobster menunjukkan pertahanan yang kuat saat diangkat dari air, ditandai dengan mengepaknya bagian ekor, meronta dan kedua capit sangat responsif.

Penanganan lobster untuk transportasi disesuaikan dengan metode yang diatur dalam SNI 01-4490-1998. Tahapan tersebut terdiri atas penanganan awal, pengangkutan, sortasi, penampungan dan pengkondisian, penenangan, serta pengemasan (BSN 2007b). Sortasi lobster dilakukan untuk memperoleh ukuran dan bobot hewan uji yang setara. Lobster uji yang digunakan memiliki panjang pada kisaran 7,0 ± 0,297 cm dan bobot tubuh 18,98 ± 1,835 gram (Lampiran 1).

Penampungan dan pengkondisian diawali dengan proses pengendapan air keran yang akan digunakan sebagai media penampung lobster air tawar di laboratorium. Air keran yang digunakan didiamkan selama 3 hari, bertujuan untuk mengendapkan bahan-bahan terlarut yang dapat mempengaruhi derajat keasaman air. Proses adaptasi (aklimatisasi) lobster sebelum proses pemingsanan dilakukan selama satu minggu. Selama dua hari terakhir sebelum proses pemingsanan, lobster dipuasakan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi sebanyak mungkin kotoran yang ada dalam perut, serta mengurangi aktivitas metabolisme lobster selama transportasi (Suryaningrum et al. 1993).

Akar tuba sebagai bahan pemingsan, memiliki kandungan aktif rotenon sebesar 5,0% (w/w) hingga 13,0% (w/w). Selain itu, akar tuba juga memiliki

rotenoid lain, yaitu deguelin, elipton, toksikarol, sumatrol, teprosin, dan malakol (Dev dan Koul 1997 dalam Irwan 2006). Sedangkan menurut penelitian Kidd dan James (1991) dalam Irwan (2006), rotenon sedikit larut dalam air, yaitu sekitar 16 mg/L air pada suhu 100 oC.

Berdasarkan hasil perhitungan rendemen, akar tuba yang digunakan dalam penelitian ini mengandung 13,184 % kadar ekstrak kental akar tuba (Lampiran 2). Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan 500 ml larutan etanol 95%. Hasil tersebut merupakan ekstrak yang di dalamnya mengandung keseluruhan rotenoid kandungan akar tuba (belum dimurnikan). Pengentalan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan alat rotary vacuum epavorator sebagaimana tampak pada Gambar 6.

Gambar 6 Proses pengentalan ekstrak akar tuba dengan alat rotary vacuum epavorator

4.2 Pengaruh Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica Roxb. Benth) Terhadap Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Konsentrasi ekstrak akar tuba yang digunakan dalam pemingsanan terdiri atas tujuh konsentrasi, yaitu 5 ppm; 7,5 ppm; 10 ppm; 12,5 ppm; 15 ppm; 17,5 ppm; dan 20 ppm. Perubahan tingkah laku lobster air tawar yang diberi masing-masing konsentrasi tersebut diamati setiap 15 menit. Perobaan ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi akar tuba yang optimal untuk pemingsanan lobster air tawar. Hasil pengamatan disajikan pada Lampiran 3.

Lampiran 3 menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi uji 5 ppm; 7,5 ppm; 10 ppm; dan 12,5 ppm memberikan pengaruh yang lambat terhadap perubahan aktivitas lobster uji. Perubahan aktivitas lobster mulai terlihat pada kisaran menit ke-40 hingga 60. Pada kisaran ini lobster mulai terlihat gelisah, kembali normal, dan responsif terhadap rangsangan dari luar. Pada kisaran menit ke-60 hingga 105 untuk konsentrasi uji 5 ppm dan 7,5 ppm; lobster menunjukkan perubahan aktivitas berupa gerakan-gerakan panik, kembali tenang, dan responsif terhadap rangsangan luar. Sebagian lobster pada konsentrasi uji 5 ppm dan 7,5 ppm mulai terlihat lamban masing-masing pada menit ke-135 dan 123. Lobster uji dengan konsentrasi 5 ppm terlihat diam pada menit ke-175 dan 166 untuk pengujian dengan konsentrasi 7,5 ppm. Keseimbangan lobster mulai rapuh pada menit ke- 193 (5 ppm) dan 180 (7,5 ppm), serta roboh pada menit ke-210 (5 ppm) dan 195 (7,5 ppm). Pada selang menit 210-225, lobster uji pada kedua konsentrasi mengalami pingsan. Walaupun demikian, sebagian kecil lobster pada kedua pengujian tersebut masih terlihat normal hingga akhir proses pemingsanan (tidak bisa dipingsankan dengan kedua konsentrasi uji tersebut).

Gerakan lobster yang mulai panik terlihat pada menit ke-85 dan 70 masing- masing untuk pengujian 10 ppm dan 12,5 ppm. Gerakan tersebut ditandai dengan lobster berenang mundur tanpa arah yang terkendali. Pada menit ke-100 (10 ppm) dan 87 (12,5 ppm), sebagian lobster terlihat mulai kembali tenang dengan pergerakan kaki yang masih aktif. Lobster uji mulai terlihat lamban masing- masing pada menit ke-115 dan 105 pengujian. Pada menit berikutnya lobster terlihat lemah, selanjutnya diam, dan keseimbangan tubuh mulai terganggu. Sebagian lobster terlihat roboh masing-masing pada menit ke-186 dan 175 pengujian.

Pengujian dengan konsentrasi 15 ppm mulai memberikan pengaruh gelisah terhadap lobster uji pada menit ke-45 pengujian. Kegelisahan lobster semakin jelas terlihat pada selang waktu 45-60 menit, ditandai dengan gerakan yang tidak konsisten, kadang-kadang normal namun sesekali berenang mundur tanpa arah terkendali. Gerakan-gerakan mundur semakin sering terjadi pada selang menit 60-75, menunjukkan bahwa lobster mengalami kepanikan, namun lobster masih responsif terhadap rangsangan dari luar. Sebagian lobster terlihat mulai tenang

pada menit ke-80, panik dan gerakan kaki mulai melemah. Selang menit 90-105 lobster terlihat lamban, ditandai dengan respon terhadap rangsangan dari luar mulai berkurang. Lobster selanjutnya terlihat lemah dan lebih banyak diam, serta keseimbangan tubuh mulai menurun (limbung). Pada akhirnya, lobster mulai roboh pada menit ke-155 dan pingsan pada selang menit 165-180 dan 180-195 masa pemingsanan.

Berdasarkan Lampiran 3, masing-masing konsentrasi uji memberikan pengaruh panik pada lobster pada waktu yang berbeda-beda. Lobster dengan konsentrasi uji 17,5 ppm dan 20 ppm menunjukkan kepanikan yang lebih awal dibanding konsentrasi uji lainnya, yaitu mulai panik masing-masing pada menit ke-43 dan 32. Gerakan panik ini mulai berakhir pada menit ke-48 untuk konsentrasi 20 ppm dan menit ke-62 untuk konsentrasi 17,5 ppm. Pada menit berikutnya lobster terlihat mulai lamban namun masih ada gerakan-gerakan kecil pada organ tubuh lobster. Keseimbangan lobster mulai roboh terlihat pada menit ke-130 (20 ppm) dan menit ke-145 untuk konsentrasi 17,5 ppm ekstrak akar tuba.

Perbedaan selang waktu lobster mengalami fase panik disebabkan oleh pengaruh perbedaan konsentrasi pengujian yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak akar tuba yang digunakan, semakin lama fase panik yang ditimbulkan. Lobster yang mengalami fase panik lebih lama akan lebih lemah kondisinya, sehingga diharapkan tingkat kelulusan hidup lobster akan lebih lama.

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, konsentrasi uji 5 ppm dan 7,5 ppm tidak akan digunakan untuk pengujian transportasi kering lobster dengan bahan pemingsan ekstrak akar tuba. Hal ini dikarenakan kedua konsentrasi tersebut tidak dapat memingsankan seluruh lobster uji.

Hasil pengamatan pengaruh ekstrak akar tuba terhadap perubahan aktivitas lobster secara keseluruhan jika dibandingkan dengan hasil pengujian yang

dilakukan oleh Wijaya (2008). Pembiusan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) dengan metode penurunan suhu bertahap yang

dilakukan oleh Wijaya (2008), memberikan pengaruh perubahan aktivitas lobster yang lebih cepat dibandingkan dengan penelitian ini. Hal ini ditunjukkan oleh fase panik lobster yang terjadi pada penelitian tersebut jauh lebih cepat daripada fase panik pada penelitian ini.

4.3 Waktu Onset Pemingsanan

Penentuan kondisi pingsan lobster air tawar pada penelitian ini berdasarkan kriteria lobster pingsan oleh Wibowo et al. (1994), yaitu lobster diam tidak bergerak sama sekali baik di dalam air maupun di udara terbuka, namun jika dibiarkan di udara beberapa saat (5-10 menit), lobster mulai bergerak-gerak lemah pada kaki jalan dan disekitar mulut. Pencatatan waktu onset pemingsanan dilakukan mulai dari kondisi lobster normal sampai kondisi pingsan. Pencatatan ini bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan ekstrak akar tuba terhadap waktu yang dibutuhkan lobster hingga pingsan.

Hipotesis awal pada parameter ini adalah bahwa pemberian berbedaan konsentrasi ekstrak akar tuba tidak berpengaruh terhadap waktu onset yang dibutuhkan oleh lobster hingga pingsan. Sebaliknya, hipotesis pembandingnya adalah perbedaan konsentrasi ekstrak akar tuba memberikan pengaruh terhadap waktu onset pemingsanan. Hasil pencatatan waktu onset disajikan dalam grafik pada Gambar 7.

Gambar 7 Grafik pengaruh pemberian ekstrak akar tuba dengan berbagai konsentrasi berbeda terhadap waktu onset

Gambar 7 menunjukkan bahwa adanya penambahan berbagai konsentrasi ekstrak akar tuba menyebabkan waktu onset yang dibutuhkan hingga pingsan berbeda-beda. Waktu terkecil yang dibutuhkan lobster hingga pingsan ditunjukkan oleh pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 20 ppm, yaitu selama 150,67 menit. Sebaliknya, waktu yang paling lama dibutuhkan hingga lobster pingsan ditunjukkan oleh pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 5 ppm,

yaitu selama 226,69 menit. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak akar tuba yang diberikan, menyebabkan waktu onset yang dibutuhkan lobster hingga pingsan semakin kecil (cepat).

Pencatatan waktu onset selanjutnya diuji dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL). Berdasarkan pengujian dengan menggunakan metode RAL (Lampiran 4a), pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi ekstrak akar tuba memberikan pengaruh nyata terhadap waktu onset pemingsanan lobster air tawar. Hasil uji ini selanjutnya diuji lanjut dengan menggunakan metode Tukey, yang hasilnya disajikan dalam Lampiran 4b.

Hasil pengujian lanjut Tukey (α=0,05) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh berbeda nyata pada masing-masing konsentrasi ekstrak akar tuba yang diberikan terhadap lobster air tawar. Pengaruh berbeda nyata ditunjukkan oleh setiap konsentrasi dengan setiap konsentrasi uji lainnya. Sebagai contoh, konsentrasi uji 5 ppm dengan konsentrasi lain (7,5 ppm; 10 ppm; 12,5 ppm; 15 ppm; 17,5 ppm; dan 20 ppm) memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap waktu onset yang dibutuhkan lobster hingga pingsan.

Berdasarkan hasil pengujian lanjut Tukey, pemberian ekstrak akar tuba dengan berbagai konsentrasi memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap waktu onset yang dibutuhkan oleh lobster hingga pingsan. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya rotenoid yang terkandung dalam akar tuba yang dapat menyebabkan perubahan aktivitas fisiologis di dalam tubuh hewan berdarah dingin, seperti lobster. Bahan aktif akar tuba (rotenoid) akan menginaktifkan enzim respirasi dan menyebabkan ikan memproduksi asam glutamik, sehingga laju respirasi ikan (lobster) akan terhambat (Matsumura 1985 dalam Irwan 2006). Hal inilah yang diduga bisa menyebabkan terjadinya lobster pingsan pada percobaan ini.

Pengujian waktu onset akibat pemberian ekstrak akar tuba pada penelitian ini menujukkan rendahnya daya anestesi ekstrak akar tuba. Rendahnya daya anestesi ekstrak akar tuba penelitian ini dikarenakan oleh rendahnya konsentrasi ekstrak akar tuba yang digunakan. Selain itu, ekstrak akar tuba yang digunakan juga merupakan ekstrak kasar yang didalamnya masih ada kemungkinan terjadinya proses dekomposisi bahan aktif. Daya anestesi yang rendah ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, seperti faktor hewan uji, bahan baku, dan teknis

ekstraksi. Lukito dan Prayugo (2007) menyatakan bahwa lobster air tawar memiliki kisaran toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan kualitas air, yakni suhu, pH, salinitas, dan kandungan O2 maupun CO2, sehingga diduga lobster air tawar mampu mentolerir bahan anestesi ekstrak akar tuba sampai tingkat konsentrasi yang cukup tinggi.

4.4 Waktu Pulih Sadar Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Pencatatan waktu pulih sadar lobster air ditentukan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan oleh lobster untuk pulih kembali normal setelah proses pemingsanan. Waktu pulih sadar ditentukan sejak lobster pingsan dimasukkan ke dalam air mengalir (DO tinggi) hingga lobster pulih kembali ke kondisi normal. Parameter ini diharapkan akan menunjukkan adanya pengaruh bahan aktif akar tuba yang terserap oleh lobster terhadap proses pingsan.

Pemberian ekstrak akar tuba dengan berbagai konsentrasi berbeda tidak memberikan pengaruh nyata terhadap waktu pulih yang dibutuhkan oleh lobster untuk normal kembali, diasumsikan sebagai hipotesis awal. Pengaruh nyata yang ditunjukkan oleh pemberian ekstrak akar tuba dengan berbagai konsentrasi terhadap waktu pulih sadar lobster diasumsikan sebagai hipotesis pembanding. Pencacatan waktu pulih sadar lobster air tawar disajikan dalam Gambar 8.

Gambar 8 Grafik pengaruh pemberian ekstrak akar tuba dengan berbagai konsentrasi berbeda terhadap waktu pulih sadar

Grafik pada Gambar 8 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu pulih sadar yang dihasilkan akibat pemberian ekstrak akar tuba yang berbeda. Waktu

pulih sadar terkecil (tercepat) ditunjukkan oleh pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 5 ppm, yaitu 14,42 menit. Sebaliknya, pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 20 ppm menyebabkan waktu pulih sadar yang paling lama dibutuhkan oleh lobster air tawar, yaitu 41,50 menit. Pengaruh pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi berbeda terhadap waktu pulih sadar, dibuktikan dengan pengujian metode Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Berdasarkan pengujian dengan metode RAL (α=0,05), perbedaan konsentrasi ektrak akar tuba memberikan pengaruh nyata terhadap waktu pulih sadar yang

Dokumen terkait