• Tidak ada hasil yang ditemukan

(The Examine Utilization of Glomus etunicatum and Gigaspora margarita on Acacia decurrens Wendl. Seedling at Field With Hight Aluminum Content)

ABSTRAK

Fungi Mikoriza Arbuscula (FMA) diketahui dapat ditemukan hampir disemua tipe ekosistem, bahkan pada lahan kritis dengan kandungan logam berat yang tinggi. G. etunicatum, G. margarita dan A. decurrens dapat dikembangkan untuk mendukung program rehabilitasi lahan kritis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh aplikasi G. etunicatum (M1) dan G. margarita (M2) terhadap pertumbuhan tanaman A. decurrens pada lahan tercekam aluminium. Rancangan penelitian berbentuk RAK dengan 3 perlakuan. Tanaman pada blok I memiliki persen tumbuh sebesar 23.33% sedangkan tanaman pada blok II memiliki persen tumbuh 10%. Pengamatan kemampuan survival tanaman dan pertumbuhan tanaman menunjukkan bahwa tanaman dengan perlakuan FMA lebih baik dibandingkan kontrol. Rata-rata laju fotosintesis M1 sebesar 30.3334 µm m-² s-¹ dan M2 sebesar 30.1658 µm m-² s-¹, sedangkan tanaman kontrol rata-rata sebesar 19.4114 µm m-² s-¹. Nilai P daun tanaman yang diberi perlakuan FMA dan tanaman kontrol tidak berbeda nyata. Nilai K daun M1= 0.94% dan M2= 0.95%, sedangkan tanaman kontrol= 0.68%. Total glomalin rata-rata M1= 2 ml dan M2= 2.25 ml, sedangkan tanaman kontrol rata-rata sebesar 0.4 ml. Aplikasi G. etunicatum dan G. margarita pada tanaman A. decurrens secara efektif berperan meningkatkan pertumbuhan pada lahan tercekam Al 5.71-12.46.

Kata kunci: Aluminium, Gigaspora margarita, Glomus etunicatum. ABSTRACT

Arbuscular Mycorrhizae Fungi (AMF) are easily found in most terrestrial ecosystems. G. etunicatum, G. margarita and A. decurrens can be used to support bare land rehabilitation. The aim of this study was to describe Glomus etunicatum (M1) and Gigaspora margarita (M2) effect for the growth of Acacia decurrens seedlings on Aluminum intoxicated field. This research was conducted using randomized block design with 3 intervention types. As many as 23.33% of plants survived at blok number I, and 10% plants survived at blok number II. Plants with AMF application survived better than those of control. The photosynthetic rate of plants with M1 intervention was 30.3334 µm m-² s-¹ and those with M2 intervention was 30.1658 µm m-² s-¹, whereas the control plants photosynthetic rate was 19.4114 µm m-² s-¹. P leaf-content of plants with AMF intervention was not different with that of control. The K leaf-content of M1intervention= 0.94%, M2= 0.95% and control= 0.68%. Total glomalin average was M1= 2 ml, M2= 2.25 ml and control= 0.4 ml. G. etunicatum and G. margarita application on A. decurrens was effective for increasing plant growth in the field which was intoxicated with aluminum.

19

PENDAHULUAN

Simbiosis antara tanaman dengan fungi mikoriza dapat meningkatkan luas area serapan hara, serta meningkatkan toleransi tanaman terhadap kontaminasi logam, kekeringan dan pathogen akar (Gentili & Jumpponen 2006). Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) yang berasosiasi dengan tanaman akan membantu penyerapan unsur hara dari dalam tanah khususnya unsur P sehingga pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih baik (Kartika 2006). FMA diketahui tersebar sangat luas, sehingga dapat ditemukan hampir disemua tipe ekosistem (Read 1991), bahkan pada lingkungan dengan kondisi kandungan logam berat yang tinggi karena limbah industri dan pada kondisi dengan ketersediaan air tanah yang rendah (Ryszka & Turnau 2007).

Kondisi lingkungan yang kering, selalu tergenang air, salinitas tinggi, pH rendah dan sifat tanah yang teracuni bahan kimia serta logam berat merupakan tantangan dalam kegiatan penanaman di lapangan (Sopandie 2013). Logam berat seperti aluminium sangat umum dijumpai pada areal yang ditambang dengan teknologi open pit, sehingga sangat sedikit tanaman dapat bertahan hidup diatasnya (Sinukaban 2007). Tanaman yang diberi perlakuan FMA diketahui dapat tumbuh pada tanah yang memiliki kandungan aluminium yang tinggi (Pamuna et al. 2013). Efektivitas fungsi dan perkembangan FMA didalam tanaman inang sangat beragam, selain faktor eksternal, umumnya hal ini di pengaruhi karakteristik FMA itu sendiri (Safir 1987).

FMA dari genus Glomus dan Gigaspora termasuk genus yang memiliki sifat adaptif terhadap berbagai tanaman inang (Brundrett et al. 1996), sedangkan Acacia decurrens diketahui dapat tumbuh pada ketinggian 0 hingga 2 500 mdpl (Lemmens et al. 1995). Karakteristik khas yang dimiliki oleh G. etunicatum, G. margarita dan A. decurrens dapat dikembangkan untuk mendukung program rehabilitasi lahan kritis. Aplikasi mikoriza diketahui dapat membantu rehabilitasi lahan kritis dan meningkatkan produktivitas tanaman (Syah et al. 2007).

Uji lapang pemanfaatan species tertentu dalam keluarga FMA dengan suatu jenis tanaman kehutanan masih sangat jarang dilakukan, oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh aplikasi G. etunicatum dan G. margarita terhadap pertumbuhan bibit tanaman A. decurrens pada lahan dengan kondisi tercekam Aluminium. Penelitian ini diharapkan memperoleh data dan informasi yang dapat menjawab bagaimana stabilitas fungsi FMA jenis G. etunicatum dan G. margarita dalam mendukung pertumbuhan tanaman pada lahan tercekam logam berat.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Holcim Education Forest (HEF) Sukabumi pada koordinat S.06˚55’07.0” E.106˚47’00.3” diketinggian 451 mdpl dan pada koordinat S.06˚55’18.2” E.106˚47’11.2” diketinggian 542 mdpl. Waktu pelaksanaan mulai bulan November 2014 - April 2015. Kegiatan pengamatan spora dan kolonisasi akar dilaksanakan di Laboratorium Mikoriza dan Mutu Bibit Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB.

20

Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan antara lain fungi G. etunicatum (M1) dan G. margarita (M2), aquades, KOH 200 gram, HCL 0.1 M, lactid acid, trypan blue, gliserin, sodium sitrat 20 mM, tanah sampel blok tanam, benih A. decurrens, media tanah, kertas merang, hematoxilin dan glukosa.

Alat yang digunakan antara lain licor 6400Xt, autoclave, oven, mikroskop compound dan dissecting, centrifuge, centrifuge tube 15 ml, micro pipet, perparat glass set, scapel set, saringan (500 µ, 125 µ, 63 µ), labu erlenmayer, gelas takar, timbangan analitik, bor tanah, gunting, plastik crap, kertas label, GPS, kamera optilab, tally sheet, cawan petri diameter 9 cm, pengaduk, sprayer, kompor gas, kertas lakmus 4 warna, kamera digital dan alat tulis.

Pelaksanaan di Lapangan

Informasi pendahuluan mengenai kimia tanah diperoleh dari hasil pengujian kimia tanah di laboratorium tanah Seameo Biotrop Bogor. Permeabilitas, porositas dan bulk density tanah diuji di Laboratorium Pengaruh Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dengan metode De Boodt et al. (1967) dan tekstur tanah diamati dengan finger assesment metode S. Nortcliff (Lal 2006) pada sampel tanah sebelum penanaman di lapangan. Sampel tanah diambil dari 3 titik pengambilan sampel sepanjang blok tanam pada kedalaman 0-20 cm.

. Informasi mikoriza indigenouse diperoleh dengan mengamati spora dalam sampel tanah calon lokasi tanam, sampel tanah untuk mikoriza indigenouse diambil secara non proposional. Nusantara et al. (2012) menerangkan bahwa, pengambilan sampel dapat dilakukan dengan cara tidak proposional apabila kondisi lapangan tidak memungkinkan dilakukankan secara proposional, misalnya kondisi sebaran vegetasi yang tidak seragam.

Spora diperoleh dengan teknik tuang saring dan dilanjutkan dengan sentrifugasi dari Brundrett et al(1996). Pada teknik tuang saring, contoh tanah sebanyak 50 g dicampur dengan 200-300 ml air, lalu diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur. Selanjutnya disaring dalam 3 tingkat penyaring micron. Saringan bagian atas dialiri dengan air untuk memudahkan spora lolos. Selanjutnya saringan paling atas dilepas, dan sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse yang berisi sukrosa 60% dan disentrifuse selama 3 menit. Larutan supernatant dihisap dengan pipet hisap dan ditaruh dalam cawan petri, kemudian dilihat dibawah mikroskop.

Bibit hasil penelitian di rumah kaca yang berumur 4 bulan, disiapkan untuk ditanam di lapangan. Satu minggu sebelum penanaman, dilakukan pembersihan dan pembuatan lubang tanam dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm dengan jarak 3 m x 3 m. Bibit diangkut ke lapangan menggunakan pick up disusun tidak bertumpuk dan diangkut pada pagi hari, hal ini dilakukan untuk menjaga kesegaran bibit serta menghindari bibit dari stress yang berakibat pada rendahnya keberhasilan penanaman akibat menurunnya kesehatan bibit akibat pengangkutan (DNR.Pub. 2006). Rancangan penelitian yang digunakan berbentuk RAK dengan 3 perlakuan. Pengamatan pertumbuhan pada penelitian ini dilakukan setiap 2 (dua) minggu sekali hingga usia tanam di lapangan 16 (enam belas) minggu. Pengamatan fotosintesis, CO2 internal, transpirasi dan konduktansi stomata dilakukan pada minggu ke 18, sedangkan kemampuan survival tanaman diamati

21 hingga minggu ke 20. Variabel yang diamati dari pertumbuhan tanaman adalah persen hidup, tinggi, diameter dan jumlah daun. Untuk kemampuan survival variable yang diamati adalah jumlah tanaman hidup. Pengamatan intensitas kolonisasi akar dilakukan pada akhir penelitian. Intensitas kolonisasi FMA dilakukan dengan pewarnaan pada sampel akar menggunakan metode Clapp et al. (1996). Kemampuan fotosintesis, laju transpirasi, konduktansi stomata dan CO2 internal daun diukur dengan menggunakan alat Licor 6400Xt.

Kandungan P, K dan Al tanaman diujikan di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian IPB. Uji kandungan glomalin tanah dilakukan di laboratorium mikoriza dan kualitas bibit Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, dengan metode Total Glomalin (TG) Extraction (Wright & Jawson 2001), yang merupakan suatu metode analisa kandungan glomalin tanah per satuan gram sampel tanah. Pewarnaan hematoxilin pada akar tanaman dilakukan dengan merujuk pada Wahyuningsih (2009).

Analisis Data

Analisis sidik ragam (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% sesuai dengan model rancangan percobaan pada Mattjik dan Sumertajaya (2002). Jika perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey. Pengolahan data statistik menggunakan bantuan software MiniTab 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisa sifat kimia tanah menunjukkan bahwa kandungan aluminium pada blok I adalah sebesar 12.46 me 100 gr-1 dan pada blok II sebesar 5.71 me 100 gr-1. Nilai pH pada kedua blok tanam mengarah pada asam (Tabel 2.1). Tanah masam dengan pH <4, umumnya memiliki mengandung Ion Al3+dalam jumlah yang banyak (Marschner 1995). Kandungan Al3+ yang berlebih dalam tanah dapat bersifat racun bagi tanaman, sehingga umumnya pada tanah yang memiliki kandungan Al3+ akan sulit ditemukan tanaman yang dapat tumbuh dengan baik (Kochian et al. 2004).

Tabel 2.1 Hasil uji kimia tanah

Blok pH Al (me/100gr) Fe (%) P Tersedia

(ppm)

P Total (mg/100g)

I 2.8 12.46 3.56 3.0 34

II 4.0 5.71 3.31 6.6 24

Blok K Tersedia (ppm) K Total (mg/100g)

KTK

(cmol/Kg) Ca Total (%) Mg Total (%)

I 2680 1351 13.20 1.53 0.15

II 302 500 7.33 1163 598.1

Hasil uji sifat fisik tanah menunjukkan bahwa tekstur tanah yang ada pada blok I dan II bertekstur silty clay. Kadar air, porositas tanah, bulk density dan permeabilitas tanah (Gambar 2.1) pada kedalam 10-20 cm menunjukkan hasil

22

yang tidak berbeda nyata (Tabel 2.2). Sifat fisik tanah penting untuk diamati, karena cenderung ada korelasi yang kuat antara sifat fisik tanah dengan komposisi serta tampilan fisik tumbuhan di hutan tropis (Wibowo 2006)

Gambar 2.1 Pengukuran kadar air, bulk density, porositas dan permeabilitas tanah

Tabel 2.2 Hasil uji kadar air, bulk density, porositas dan permeabilitas tanah

Blok KA % Bulk Density

gr/cm3 Porositas %

Permeabilitas cm/jam

I 26.389a 1.435a 45.870a 1.362a

II 28.178a 1.382a 47.859a 0.676a

Ket. Jumlah N=3. Huruf disamping angka menunjukkan perbandingan nilai tengah berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata <0.05

Kondisi biologi tanah sangat buruk bila ditinjau dari hasil pengamatan mikoriza indigenous. Rata-rata jumlah spora yang ditemukan dikedua blok tanam hanya sebanyak 4 spora per 50 gram sampel tanah dan semuanya termasuk dalam genus Acaulospora (Gambar 2.2). Sedikitnya variasi dan jumlah spora yang ditemukan pada lokasi ini menunjukkan bahwa hanya jenis FMA tertentu saja yang dapat berkembang dan bertahan di kondisi tanah yang ada di kedua blok tanam. Hal ini sejalan dengan pendapat Moore et al. (1985) yang menjelaskan bahwa setiap jenis FMA memiliki persyaratan tumbuh khusus agar dapat berkembang dengan baik, kondisi lingkungan yang optimum merupakan salah satu syarat umum dalam perkembangan FMA.

Gambar 2.2 Spora indigenouse, gambar a dan b dari blok I, c dan blok II

Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman menunjukkan bahwa perlakuan FMA memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman (Tabel 2.3),

d c

b a

23 meskipun kondisi fisik tanah pada penelitian ini kurang baik untuk pertumbuhan tanaman (Tabel II.2). Sys et al. (1991) menjelaskan bahwa umumnya pertumbuhan tanaman akan terganggu pada tanah dengan bulk density lebih dari 1.18 gr cm-3. Datukramat et al. (2013) menjelaskan bahwa pada tanah dengan permeabilitas kurang dari 1.7 cm jam-1, air akan mengalir sangat lambat kedalam tanah sehingga pertumbuhan tanaman akan jelek karena akar tanaman sulit memperoleh air.

Hasil uji lanjut terhadap tinggi tanaman menunjukkan bukti bahwa tanaman dengan perlakuan M1 (blok I= 36.53 cm, blok II= 35.71 cm) dan tanaman dengan perlakuan M2 (blok I= 36.59 cm, blok II= 35.94 cm) memiliki tinggi rata-rata yang lebih baik dibandingkan tanaman kontrol yang memiliki tinggi rata-rata sebesar 34.53 cm di blok I dan 32.22 cm di blok II (Gambar 2.3). Kehadiran FMA pada akar tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif (Aquilera et al. 1999), serta membantu tanaman memperoleh hara dan air dalam jumlah yang cukup sekaligus membantu memperbaiki kondisi fisik tanah disekitar akar tanaman (Rillig et al. 2002).

Tabel 2.3 Hasil anova pertumbuhan tanaman

Parameter Pengaruh

Perlakuan Kelompok

Diameter tn *

Tinggi * tn

Jumlah Daun tn tn

Ket. Jumlah N=5. *= berpengaruh nyata, tn= tidak berpengaruh nyata. Perbandingan nilai tengah berdasarkan uji pada taraf nyata <0.05 . Bartlett's Test (Normal Distribution) p-value = 0.000

Hasil pengukuran diameter menunjukkan bahwa blok tanam memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata diameter tanaman (Tabel 2.3). Umumnya logam berat yang tertinggal di tanah pasca penambangan menyebabkan rusaknya daya dukung tanah bagi makhluk hidup diatasnya termasuk tumbuhan (Martin & Coughtrey 1982). Tanaman yang tumbuh pada tanah dengan pH rendah dan kandungan Al yang tinggi akan tumbuh kurang baik sebagai akibat terhambatnya perkembangan akar (Taylor 1988).

Hasil uji lanjut pada diameter tanaman menunjukkan hasil yang berbeda dengan hasil penelitian Taylor (1988), yaitu tanaman pada blok I memiliki rata-rata diameter lebih besar (0.967 cm) dibandingkan rata-rata-rata-rata diameter tanaman pada blok II yang sebesar 0.546 cm (Gambar 2.4), meskipun tanah pada blok I memiliki nilai pH lebih rendah dan kandungan Al yang lebih tinggi dibandingkan blok II (Tabel 2.1). Hal ini diduga karena tanaman A. decurrens memiliki toleransi terhadap tanah masam dan tercekam Al tinggi. Toleransi tanaman terhadap tanah mineral masam dan Al tinggi disebabkan akumulasi Al didalam tanaman tidak bersifat racun bagi tanaman tersebut, sehingga tanaman tetap dapat tumbuh dan berkembang dengan baik (Kochian et al. 2004).

Pertumbuhan diameter tanaman pada blok I yang lebih baik dibandingkan tanaman pada blok II karena FMA dapat berperan lebih efektif di blok I dibandingkan di blok II, dimana P total pada blok I lebih banyak dibandingkan P total pada blok II namun P tersedia pada blok I lebih sedikit dibandingkan P yang tersedia di blok II (Tabel 2.1). Penelitian yang dilakukan Mieke et al. (2003) menjelaskan bahwa semakin sedikitnya unsur P tersedia dalam tanah, maka semakin efektif pula fungsi FMA pada tanaman. Kajian yang dilakukan oleh Swift

24 30 31 32 33 34 35 36 37 CT M1 M2 R ata -r ata tingg i (c m ) Perlakuan Blok I Blok II

(2004) menunjukkan bahwa simbiosis fungi mikoriza dengan tanaman akan bernilai positif jika P tersedia dalam tanah sedikit, sedangkan pada tanah yang ketersediaan P–nya banyak, simbiosis tersebut tidak menguntungkan.

Pertumbuhan vegetatif merupakan proyeksi dari optimalisasi proses metabolime dalam tubuh tanaman. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada pengaruh perlakuan dan kelompok terhadap laju fotosintesis tanaman. Laju transpirasi, CO2 internal dan konduktansi stomata dipengaruhi secara nyata oleh pembagian kolompok dalam penelitian ini (Tabel 2.4).

Tabel 2.4 Hasil anova fotosintesis, transpirasi, CO2 internal dan konduktansi stomata

Parameter Pengaruh Perlakuan Kelompok Fotosintesis * * Transpirasi tn * CO2 internal tn * Konduktansi Stomata tn *

Ket. Jumlah N=3. *= berpengaruh nyata, tn= tidak berpengaruh nyata. Perbandingan nilai tengah berdasarkan uji pada taraf nyata <0.05 . Bartlett's Test (Normal Distribution) p-value = 0.000

FMA diketahui dapat meningkatkan laju fotosintesis dan mempercepat transportasi fotosintat menuju akar serta meningkatkan produksi hormon seperti IAA (Indole Acetic Acid), sitokinin, auksin dan giberelin dan eksudasi asam-asam organik dari akar (Abbott & Robson 1984). Rata-rata laju fotosintesis tanaman pada blok I (31.2953 µm m-² s-¹) lebih baik dibandingkan tanaman pada blok II yang sebesar 21.9785 µm m-² s-¹ (Gambar 2.5). Rata-rata laju fotosintesis terbaik ditunjukkan oleh tanaman yang diberi perlakuan FMA, yaitu M1 (blok I= 36.63 µm m-² s-¹, blok II= 24.042 µm m-² s-¹) dan M2 (blok I= 35.8 µm m-² s-¹, blok II= 24.53 µm m-² s-¹), sedangkan tanaman kontrol menunjukkan laju fotosintesis paling rendah, yaitu sebesar 21.46 µm m-² s-¹ di blok I dan 17.37 µm m-² s-¹ di blok II (Gambar 2.6).

Gambar 2.3 Rata-rata tinggi tanaman berdasarkan perlakuan.

Gambar 2.4 Rata-rata diameter tanaman berdasarkan blok tanam.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 I II R ata -r ata d iam e te r (c m ) Blok Tanam a a a b b b a a

25

Gambar 2.5 Laju fotosintesis berdasarkan blok tanam

Gambar 2.6 Laju fotosintesis berdasarkan perlakuan yang diberikan.

Laju transpirasi tanaman pada blok I (0.0183569 mol m-² s-¹) lebih baik dibandingan laju transpirasi tanaman pada blok II yang sebesar 0.0074019 mol m-² s-¹ (Gambar 2.7). Jumlah CO2 internal daun pada blok II (712.9 µm mol-1) lebih banyak dibandingkan jumlah CO2 internal daun tanaman pada blok I yang sebesar 546.4 µm mol-1 (Gambar 2.8). Konduktansi stomata terbaik dari hasil uji dilapangan menunjukkan bahwa, tanaman di blok I rata-rata memiliki nilai konduktansi stomata terbaik (546.448 mol H2O m-2 s-1) dibandingkan tanaman di blok II yang sebesar 7.615 mol H2O m-2 s-1 (Gambar 2.9).

Gambar 2.7 Laju transpirasi Gambar 2.8 CO2 internal daun

0 5 10 15 20 25 30 35 II I Ra ta -ra ta f o to sin tes a m m ¯ ² ¹) Blok a b 0 0.002 0.004 0.006 0.008 0.01 0.012 0.014 0.016 0.018 0.02 II I R ata -r ata tr an spi rasi ( mo l m -2 s -1 ) Blok a b 0 100 200 300 400 500 600 700 800 II I CO 2 i n tern al (µm mol -1) Blok a b 0 5 10 15 20 25 30 35 40 CT M1 M2 Ra ta -ra ta f o to sin tes a m m ¯ ² ¹) Perlakuan Blok I Blok II b b a a a a

26

Gambar 2.9 Konduktansi stomata

Peran CO2 sangat penting dalam proses fotosintesis, semakin laju proses fotosintesis maka semakin banyak CO2 yang diperlukan. Jumlah CO2 yang berlebih dalam daun akan berakibat tertutupnya stomata sehingga dapat mengganggu laju transpirasi, oleh karena itu konduktansi stomata yang baik membuat stomata tertutup dengan cepat saat terjadi kelebihan CO2 didalam daun dan terbuka dengan cepat saat jumlah CO2 dalam daun sedikit (Salisbury & Ross 1992). Sebagian ahli berpendapat bahwa lepasnya H2O dalam bentuk uap dari daun tanaman selama proses transpirasi berakibat terdifusinya sejumlah CO2 di atmosfir kedalam daun sehingga meningkatkan jumlah CO2 didalam daun (Von Caemmerere et al. 1981)

Laju fotosintesis tanaman yang tinggi didukung FMA dengan menyediakan hara dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhan tanaman. Daya jelajah hifa FMA yang luas, memungkinkan tanaman memperoleh hara lebih baik disbanding yang tanpa bantuan FMA. Sieverding (1991) menerangkan bahwa luas tanah yang dapat dijelajah oleh 1 cm akar tanaman umumnya hanya sebesar 1-2 cm3, sedangkan tanaman yang bersimbiosis dengan FMA dapat menjelajah 6-15 kali lebih luas. Aguilera et al. (1999) menjelaskan bahwa pemberian inokulan FMA pada tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman hingga 450%.

Peran FMA untuk membantu tanaman memperoleh unsur hara dalam jumlah yang cukup dapat dilihat dari hasil pengukuran P dan K daun. Jenis perlakuan yang diberikan serta pembagian blok tanam, tidak berpengaruh nyata terhadap nilai P pada daun. Sedangkan nilai K daun, berat kering tanaman dan nisbah pucuk akar secara statistik sangat dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan kepada tanaman (Tabel 2.5).

Tabel 2.5 Hasil anova P daun, K daun, berat kering tanaman dan nisbah pucuk akar

Ket. Jumlah N=3. *= berpengaruh nyata, **= tidak berpengaruh nyata. Perbandingan nilai tengah berdasarkan uji pada taraf nyata <0.05 . Bartlett's Test (Normal Distribution) p-value = 0.000

Parameter Pengaruh

Perlakuan Kelompok

P Daun tn tn

K Daun * tn

Berat Kering * tn

Nisbah Pucuk Akar * tn

0 100 200 300 400 500 600 II I Rata -rata ks t (m ol H 2 O m -2 s -1) Blok a b

27 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 CT M1 M2 N il ai K d au n (% ) Perlakuan Blok I Blok II 0 5 10 15 20 25 30 35 CT M1 M2 B e rat ke ri n g t an am an (gr ) Perlakuan Blok I Blok II

Nilai P daun yang tidak berbeda nyata antara tanaman kontrol maupun tanaman yang diberikan perlakuan FMA merupakan bukti bahwa tanaman kontrol yang terkolonisasi oleh FMA indigenous (Gambar 2.15) memperoleh cukup unsur P dari simbiosisnya dengan FMA. Hal ini sejalan dengan pendapat Cruz et al. (2004) yang menjelaskan bahwa FMA secara fungsional dapat membantu penyerapan hara terutama P dengan cepat karena fungsi hifa yang menyerap P dari larutan tanah, mentranslokasi P melalui hifa dan mentransfer P melewati interface ruang fungi.

Nilai K daun pada tanaman dengan perlakuan FMA (M1 blok I= 0.98%, M1 blok II= 0.90%, M2 blok I= 0.97% dan M2 blok II= 0.93%) lebih besar dibandingkan tanaman kontol yang memiliki nilai K daun sebesar 0.76% di blok I dan 0.60% di blok II (Gambar 2.10). Unsur hara yang cukup menyebabkan berat kering tanaman yang diberi perlakuan FMA khususnya M2 menunjukkan nilai yang paling besar dibandingkan tanaman dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 30.08 gr di blok I dan 32.67 gr di blok II. Nilai ini dua kali lebih baik dibandingkan berat kering tanaman kontrol yang memiliki berat 18.26 gr di blok I dan 12.12 gr di blok II (Gambar 2.11).

Nisbah pucuk akar tanaman yang paling tinggi ada pada tanaman dengan perlakuan M2 (Gambar 2.12). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata tanaman dengan perlakuan M2 memiliki ukuran pucuk yang lebih besar di bandingkan akarnya (Gambar 2.13). Semakin tinggi nisbah pucuk akar (NPA) berarti tanaman semakin peka terhadap cekaman lengas. Namun demikian, NPA yang terlalu kecil menunjukkan bibit peka terhadap persaingan untuk mendapatkan cahaya matahari (Fujimori 2001). Efisiennya pertumbuhan pada akar tanaman M2 diduga

Gambar 2.10 Nilai K daun berdasarkan perlakuan yang diberikan.

Gambar 2.11 Berat kering tanaman berdasarkan perlakuan yang diberikan. b b a a a a c c b b a a

28 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 CT M1 M2 Ni sbah P u cu k A kar Perlakuan Blok I Blok II

merupakan respon tanaman atas kehadiran FMA pada akar yang dapat berfungsi dengan efektif untuk mengambil hara dari dalam tanah.

Gambar 2.12 Nisbah pucuk akar tanaman berdasarkan perlakuan yang diberikan

Gambar 2.13 Perbandingan pucuk dan akar tanaman. Gambar a dan b= tanaman dari blok I, gambar c dan d= tanaman dari blok II

Tanaman A. decurrens diduga memiliki toleransi terhadap kandungan Al tanah yang tinggi. Hal ini terbukti dari laju fotosintesis dan laju transpirasi tanaman pada blok I yang lebih baik dibandingkan tanaman pada blok II (Gambar 2.5 dan Gambar 2.7), meskipun tanah di blok I memiliki nilai kandungan Al hingga 12.46 dan pH tanah 2.8 (Tabel 2.1). Toleransi yang dimiliki oleh A. decurrens ini dapat dimaklumi karena menurut Sopandie (2013), pengaruh cekaman Al3+ akan berbeda pada setiap spesies tanaman tergantung seberapa besar spesies tersebut dapat mengatasi cekaman yang ada.

Hasil pewarnaan hematoxilin pada akar tanaman menunjukkan bahwa akumulasi Al lebih banyak terdapat pada bagian korteks akar dibandingkan bagian luar akar (Gambar 2.14). Umumnya keracunan Al terdapat pada bagian luar hingga ujung akar sehingga absopsi hara dan fungsi membran plasma menjadi terganggu (Ishikawa & Wagatsuma 1998). Lebih jauh diketahui bahwa kandungan Al pada bagian tanaman A. decurrens dipengaruhi secara nyata oleh jenis

Dokumen terkait