• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. KARAKTERISTIK KIMIA BUAH DUWET

2. Kandungan Antosianin Buah Duwet

Pengukuran konsentrasi antosianin digunakan untuk mengetahui kandungan total antosianin. Konsentrasi antosianin ini diukur dengan menggunakan metode pH differential. Total antosianin ini dihitung dari selisih pengukuran absorbansi sampel pada panjang gelombang maksimum yang dilarutkan masing-masing dalam dua macam larutan

buffer yang memiliki nilai pH yang berbeda. Pada pH 1, antosianin berada dalam bentuk kation flavilium yang menunjukkan jumlah antosianin dan senyawa-senyawa pengganggu. Sedangkan pada pH 4.5, antosianin berada dalam bentuk karbinol yang menunjukkan jumlah senyawa pengganggu. Selisih dari kedua pengukuran akan menunjukkan jumlah antosianin (Francis, 1982).

Analisis ini dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV- Vis pada dua panjang gelombang yaitu 516 dan 700 nm. Panjang gelombang 516 nm merupakan panjang gelombang maksimum dari antosianin buah duwet. Hasil ini diperoleh dengan melarutkan ekstrak buah duwet pada buffer pH 1 yang kemudian diukur panjang gelombang maksimumnya. Pada pH ini, antosianin berada dalam bentuk kation

25 pada pH antara 4 – 5, antosianin kehilangan proton sehingga menghasilkan struktur karbinol pseudobase.

Pengukuran konsentrasi antosianin dilakukan pada bagian kulit buah duwet dengan berbagai tingkat kematangan karena pada umumnya antosianin terdapat pada permukaan buah. Tingkat kematangan ini dapat dilihat dari warna kulit buah duwet yang berubah dari hijau menjadi ungu. Kulit buah berwarna hijau menunjukkan buah masih muda sedangkan kulit buah berwarna ungu menunjukkan buah telah matang. Dalam penelitian ini digunakan lima tingkat kematangan dari buah duwet, yaitu buah duwet dengan kulit yang masih hijau penuh, buah duwet dengan kulit merah, buah duwet dengan kulit merah agak ungu, buah duwet dengan kulit ungu sedikit merah, dan buah duwet dengan kulit ungu kehitaman. Kandungan antosianin kulit buah duwet pada berbagai tingkat kematangan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan antosianin kulit buah duwet pada berbagai tingkat kematangan.

Kulit Buah* Kandungan Antosianin (mg CyE/g)

Rendemen Antosianin (%)

Berwarna hijau 0 ± 0.000 0 ± 0.0000

Berwarna merah 0.19 ± 0.006 0.02 ± 0.0006

Berwarna merah agak

ungu 1.03 ± 0.023 0.10 ± 0.0023

Berwarna ungu sedikit

merah 2.67 ± 0.084 0.27 ± 0.0084

Berwarna ungu

kehitaman 3.79 ± 0.061 0.38 ± 0.0061

* Sampel dari atas kebawah menunjukkan perubahan tingkat kematangan dari muda ke matang.

Buah duwet dengan kulit hijau penuh tidak memiliki kandungan pigmen antosianin. Menurut MacDougall (2002), karakteristik warna hijau pada buah yang belum matang disebabkan oleh adanya pigmen klorofil dan karotenoid. Kulit yang masih berwarna hijau ini tidak memiliki

antosianin sehingga nilai konsentrasi antosianinnya 0. Ekstrak yang didapat berwarna hijau, hal ini membuktikan bahwa tidak adanya kandungan antosianin di dalam kulit yang berwarna hijau. Hasil ini juga dapat dilihat dari Gambar 3.

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 350 400 450 500 550 600 650

Panjang gelombang (nm)

Ab

so

rb

a

n

si

Keterangan :

= kulit buah duwet berwarna hijau semua = kulit buah duwet berwarna merah

= kulit buah duwet berwarna merah agak keunguan = kulit buah duwet berwarna ungu sedikit merah = kulit buah duwet berwarna ungu kehitaman

Gambar 3. Pola spektra kulit buah duwet pada berbagai tingkat kematangan dalam pH 1

Hasil tersebut menunjukkan bahwa gambar spektrum pada kulit buah duwet berwarna hijau berbeda dari gambar spektrum yang lain. Gambar spektrum pada ekstrak kulit buah duwet yang berwarna hijau ini tidak memiliki panjang gelombang maksimum didaerah antara 500 – 550 nm, sehingga dapat dikatakan bahwa pada sampel ini tidak memiliki kandungan antosianin. Menurut Jackman dan Smith (1996), antosianin mempunyai panjang gelombang maksimum pada daerah visibel yaitu 465 – 550 nm.

Kandungan antosianin pada kulit buah duwet sebanding dengan tingkat kematangannya. Kandungan antosianin semakin meningkat dengan adanya perubahan tingkat kematangan buah duwet. Perubahan tingkat

27 kematangan ini dapat dilihat dari perubahan warna kulit buah duwet, yaitu dari kulit yang berwarna hijau sampai kulit yang berwarna ungu kehitaman. Kandungan antosianin pada berbagai tingkat kematangan buah duwet berturut-turut adalah sebagai berikut, untuk kulit buah berwarna merah adalah sebesar 0.19 mg CyE/g, kulit buah dengan warna merah agak keunguan sebesar 1.04 mg CyE/g, kulit buah dengan warna ungu sedikit merah sebesar 2.67 mg CyE/g, dan kulit buah dengan warna ungu kehitaman sebesar 3.79 mg CyE/g. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kulit dengan tingkat kematangan paling tinggi yaitu dengan warna kulit ungu kehitaman memiliki kandungan antosianin yang paling besar.

Perubahan tingkat kematangan ini juga sebanding dengan rendemen antosianin. Buah yang semakin matang memiliki rendemen antosianin semakin besar. Nilai rendemen antosianin pada berbagai tingkat kematangan buah berturut-turut adalah untuk kulit buah berwarna hijau adalah sebesar 0 %, kulit buah dengan warna merah adalah sebesar 0.02 %, kulit buah dengan warna merah agak keunguan sebesar 0.10 %, kulit buah dengan warna ungu sedikit merah sebesar 0.27 %, dan kulit buah dengan warna ungu kehitaman sebesar 0.38 %.

Selama proses pematangan buah banyak terjadi perubahan kimia, termasuk perubahan komposisi pigmen dan perubahan warna yang melibatkan proses biosintesis dan katabolisme. Selama proses pematangan ini, kloroplas secara berangsur-angsur akan digantikan oleh kromoplas yang hanya mengandung karotenoid. Proses pematangan pada berbagai buah ini juga melibatkan biosintesis antosianin yang larut dalam air yang terakumulasi dalam vakuola sentral dari sel mesofil. Proses sintesis dari antosianin ini diawali oleh malonil-CoA yang berasal dari 3 asetil-CoA dan p-koumaroil-CoA fenilalanin (MacDougall, 2002). Faktor-faktor yang sangat penting yang mempengaruhi biosintesis dan akumulasi dari antosianin selama proses pematangan antara lain adalah cahaya dan suhu (Francis, 1982).

Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran konsentrasi antosianin pada bagian kulit dan bagian daging buah pada buah berwarna

ungu kehitaman (tingkat kematangan paling tinggi). Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan antosianin pada bagian buah duwet pada tingkat kematangan tertinggi.

Bagian Buah Kandungan Antosianin (mg CyE/g)

Rendemen Antosianin (%)

Kulit buah 3.79 ± 0.061 0.38± 0.0061

Kulit dan daging buah 1.24 ± 0.054 0.12 ± 0.0054

Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan kandungan antosianin yang cukup besar antara kulit buah dan kulit dengan daging buah. Kandungan antosianin pada bagian kulit buah sebesar 3.79 mg CyE/g sedangkan pada bagian kulit dengan daging buah sebesar 1.24 mg CyE/g. Menurut MacDougall (2002), antosianin ini terdapat pada sel epidermal dan subepidermal, yang terlarut dalam vakuola atau terakumulasi pada gelembung yang disebut antosianoplas. Umumnya antosianin terdapat pada permukaan buah yaitu kulit buah. Rendemen antosianin pada bagian kulit buah lebih besar bila dibandingkan dengan bagian kulit dan daging buah.

Perbedaan ini juga dapat dilihat pada sampel setelah mengalami proses penghancuran. Sampel kulit buah memiliki warna ungu yang lebih tua bila dibandingkan dengan sampel kulit dengan daging buah yang memiliki warna ungu muda. Hal ini dapat menunjukkan kandungan antosianin yang terdapat dalam kulit buah lebih tinggi. Oleh karena itu, pada analisis selanjutnya hanya digunakan kulit buah saja karena akan menghasilkan pigmen yang lebih banyak sehingga lebih efektif.

Untuk membandingkan kandungan antosianin yang terdapat pada buah duwet digunakan bahan lain yaitu kulit buah anggur dan kubis ungu. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6.

29

Tabel 6. Kandungan antosianin pada sampel pembanding

Sampel Kandungan Antosianin

(mg CyE/g)

Rendemen Antosianin (%)

Kulit buah anggur 0.51 ± 0.030 0.05 ± 0.0030

Kubis ungu 0.82 ± 0.030 0.08 ± 0.0030

Hasil yang diperoleh menunjukkan kandungan antosianin pada kulit buah anggur sebesar 0.51 mg CyE/g dan pada kubis ungu sebesar 0.82 mg CyE/g. Rendemen antosianin pada kulit buah anggur dan kubis ungu masing-masing sebesar 0.05 % dan 0.08 %. Rendemen antosianin pada kulit buah duwet ini jauh lebih besar bila dibandingkan pada kulit buah anggur dan kubis ungu. Rendemen antosianin kulit buah duwet sebesar 0.38 % ini berarti jumlah antosianin dalam 100 gram kulit buah duwet adalah 0.38 gram.

Sumber-sumber lain yang mengandung antosianin antara lain

elderberries memiliki antosianin sebesar 2 – 10 mg/g, blueberry sebesar 1.10 – 1.90 mg/g, capulin sebesar 0.32 mg/g, rosella sebesar 15 mg/g,

Vaccinium corymbosum L. sebesar 0.93 – 2.35 mg/g, blackberry sebesar 0.83-3.26 mg/g, apel sebesar 0.01-0.10 mg/g, peach sebesar 0.05 mg/g,

strawberry sebesar 0.07-0.75 mg/g, dan plum sebesar 0.05 mg/g (Bridle dan Timberlake, 1997; Prior et al., 1998; Galindo et al., 1999; Anonim, 2007a).

Hasil ini menunjukkan bahwa kandungan antosianin pada buah duwet sangat berpotensi besar untuk dijadikan sebagai sumber pigmen alami, sehingga dapat meningkatkan nilai manfaat dari buah duwet. Hal ini juga didukung oleh harga buah duwet yang murah.

B. EKSTRAKSI ANTOSIANIN

Ekstraksi merupakan langkah pertama pada penentuan karakterisasi pigmen sehingga didapatkan ekstrak kasar. Pada buah atau sayuran, pigmen antosianin umumnya ditemukan pada bagian sel yang letaknya dekat dengan permukaan. Antosianin yang terdapat dalam jaringan tersebut dapat diperoleh dengan jalan ekstraksi menggunakan pelarut tertentu. Salah satu teori

mengatakan bahwa bahan pengekstrak dapat menyebabkan denaturasi membran sel sehingga pigmen yang terdapat dalam membran tersebut dapat terekstrak (Francis, 1982).

Efektivitas dari proses ekstraksi tidak terlepas dari kemampuan bahan pengekstrak untuk melarutkan komponen yang diekstrak. Peristiwa pelarutan suatu zat terjadi karena adanya interaksi antara pelarut dengan bahan yang dilarutkan dan dapat dibagi tiga tahap yaitu, tahap pemutusan ikatan antar sesama molekul zat terlarut yang membutuhkan energi, tahap pemutusan ikatan antar sesama molekul pelarut yang membutuhkan energi, dan yang terakhir adalah tahap pembentukan ikatan antara molekul zat terlarut dengan molekul pelarut yang menghasilkan energi. Jika energi yang dihasilkan lebih besar daripada energi yang diperlukan maka proses pelarutan akan terjadi (Nur

et al., 1981).

Polaritas adalah hal yang perlu diperhatikan dalam proses ekstraksi. Polaritas antara bahan pengekstrak harus sama dengan polaritas bahan yang diekstrak. Senyawa-senyawa yang polar hanya dapat larut pada pelarut yang polar, demikian pula senyawa-senyawa yang bersifat non-polar hanya dapat dilarutkan dalam pelarut yang bersifat non-polar juga (Nur et al., 1981). Menurut Timberlake dan Bridle (1997), antosianin merupakan komponen yang bersifat polar sehingga pelarut yang digunakan juga harus bersifat polar.

Sampel yang digunakan dalam ekstraksi ini adalah kulit buah duwet karena pada bagian kulit buah memiliki konsentrasi antosianin yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan penggunaan bagian kulit dan daging buah sehingga penggunaannya akan lebih efektif. Pada tahapan persiapan sampel, sampel yang sudah dipisahkan dari bijinya diblansir dengan menggunakan uap panas. Menurut Hutching (1994), enzim yang dapat merusak antosianin ini dapat diinaktivasi dengan menggunakan pemanasan. Selain itu, enzim yang dapat merusak antosianin ini juga dapat diinaktivasi dengan sulfur dioksida. Sebelum diekstrak sampel dihancurkan terlebih dahulu dengan cara diblender. Proses penghancuran ini secara efektif merusak jaringan sel dan dapat mempercepat proses ekstraksi (Francis, 1982). Selain itu, penghancuran juga memperluas permukaan bahan yang akan diekstrak. Hal ini mengakibatkan

31 semakin tingginya laju pelarutan bahan yang akan diekstrak. Menurut Francis (1982), jaringan yang lembut dapat mempercepat waktu yang diperlukan untuk melarutkan pigmen.

Menurut Francis (1982), ekstraksi dengan menggunakan metanol yang mengandung sedikit asam adalah pelarut yang paling efektif. Akan tetapi, dalam penelitian ini ekstraksi buah duwet dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol tanpa disertai dengan adanya penambahan asam. Menurut Markakis (1982), penggunaan asam ini sebaiknya dihindarkan. Hal ini dapat mengakibatkan hidrolisis pada gugus asil apabila pada pigmen tersebut mengandung gugus asil. Selain itu, penggunaan asam terutama HCl ini bersifat korosif. Pemilihan pelarut ini didasarkan pada kepolaran dari pigmen antosianin dan etanol, dimana keduanya sama-sama bersifat polar. Selain itu, penggunaan etanol dikarenakan sifatnya yang food grade sehingga aman apabila pigmen antosianin ini selanjutnya akan diaplikasikan pada bahan pangan.

Proses ekstraksi pigmen antosianin pada buah duwet dilakukan dengan cara maserasi dengan stirer selama 1 jam pada suhu ruang dan kondisi ruang yang gelap. Hal ini dilakukan karena pada umumnya antosianin tidak stabil terhadap cahaya (Jackman dan Smith, 1996). Adanya cahaya dapat menyebabkan degradasi pada antosianin (Elbe dan Schwarts, 1996). Proses maserasi ini dilakukan dua kali sehingga dihasilkan filtrat yang berwarna ungu pudar. Hal ini dilakukan untuk mengoptimumkan proses ekstraksi sehingga pigmen antosianin yang terdapat dalam buah duwet bisa terekstrak seluruhnya. Pengadukan dengan stirer dilakukan untuk menambah efektifitas dari proses ekstraksi tersebut. Setelah itu juga dilakukan proses sentrifugasi untuk memisahkan filtrat dengan rendemen. Pada proses ekstraksi ini juga dilakukan penyaringan menggunakan vacuum filter untuk memisahkan sisa-sisa rendemen yang ada setelah proses sentrifugasi.

Filtrat yang dihasilkan kemudian dipekatkan dengan menggunakan

rotary vacuum evaporator pada suhu 35oC. Penggunaan suhu yang rendah ini bertujuan untuk menghindari terjadinya degradasi dan hidrolisis dari pigmen antosianin (Timberlake dan Bridle, 1983). Ekstrak kasar yang diperoleh

kemudian dimasukkan dalam botol gelap dan disimpan dalam freezer. Penyimpanan dalam freezer ini bertujuan untuk menjaga stabilitas antosianin yang sangat mudah terdegradasi.

C. PURIFIKASI ANTOSIANIN

Purifikasi adalah suatu cara untuk mendapatkan pigmen yang murni. Menurut Francis (1982), purifikasi perlu dilakukan karena pada umumnya pigmen yang berasal dari ekstrak tanaman biasanya mengandung pigmen flavonoid yang lain, leukoantosianin, gula, dan senyawa-senyawa lainnya yang dapat mengganggu pemisahan. Sistem purifikasi yang ideal untuk campuran antosianin dapat menghilangkan komponen-komponen yang mengganggu. Menurut Timberlake dan Bridle (1983), purifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan kolom kromatografi dan kertas kromatografi. Pada umumnya dalam analisis kromatografi pemisahan komponen kimia pada sampel melibatkan fase padat dan cair.

Purifikasi pada penelitian ini menggunakan metode yang disebut solid phase extraction (SPE). SPE adalah teknik persiapan yang digunakan untuk membersihkan sampel. Pada prinsipnya SPE digunakan karena bahan yang mendukung berupa padatan yang dilalui oleh cairan atau gas. Banyak keuntungan yang didapat dari penggunaan SPE ini. Beberapa keuntungannya adalah ukuran sampelnya dapat besar atau kecil, volume yang diperlukan untuk mengelusi sedikit, dan kemungkinan sampel untuk terkontaminasi sangatlah kecil karena kolom hanya digunakan sekali saja dan kemudian dibuang (Anonim, 1998). Penggunaan SPE ini dilakukan karena persiapan sampel yang baik sangat penting untuk menghasilkan analisis yang baik pula.

Purifikasi dalam penelitian ini dilakukan pada sampel ekstrak kasar. Kolom yang digunakan untuk pemurnian antosianin pada penelitian ini adalah C-18 Sep Pak Cartridge. Fase padat terdapat dalam kolom adalah C-18, sedangkan cairan atau fase gerak terdiri dari sampel itu sendiri atau larutan alkohol. C-18 Sep Pak Cartridge terbuat dari reaksi oktadesil dengan silika. Komponen non polar dari sampel akan ditarik oleh rantai panjang hidrokarbon sedangkan komponen yang polar akan ditarik oleh matrik silika yang sedikit

33 Purifikasi antosinin dalam penelitian ini diawali dengan mengaktifkan kolom C-18 Sep Pak cartridge dengan larutan metanol dan air telah diasamkan dengan 0.01 % HCl. Menurut (Anonim, 2007b), cartridge yang akan digunakan pertama kali harus dibasahi atau dilalui dengan suatu pelarut yang polar seperti metanol. Setelah itu dielusi dengan menggunakan air untuk menghilangkan sisa-sisa metanol yang tertinggal.

Kolom yang telah diaktifkan kemudian dapat digunakan. Sampel ekstrak kasar dimasukkan dalam kolom. Komponen-komponen yang polar akan terikat, sedangkan yang non-polar tidak. Kolom tersebut kemudian dielusi dengan menggunakan air yang diasamkan dengan 0.01% HCl. Hal ini mengakibatkan komponen seperti gula, asam, dan komponen pengganggu lainnya akan terelusi dan hanya tersisa pigmen antosianin dan komponen fenolik lainnya. Menurut (Anonim, 2007b), komponen polar seperti gula, asam, dan flavor akan terelusi dengan melewatkan air kedalam cartridge. Menurut Timberlake dan Bridle (1983), ekstrak kasar dimasukkan pada bagian atas kolom, antosianin yang terdapat dalam sampel akan terabsorbsi dan senyawa-senyawa pengganggu dibersihkan dengan melewatkan air. Pigmen antosianin akan terpisahkan dan dielusi dengan menggunakan alkohol. Dalam penelitian ini pigmen antosianin kemudian dielusi dengan menggunakan metanol yang mengandung 0.01 % HCl. Pelarut yang selektif dapat mengalahkan daya tarik antara komponen dengan cartridge sehingga komponen yang terikat pada cartridge tersebut dapat terlarut. Penggunaan HCl dalam konsentrasi yang sedikit saat pengelusian antosianin sangat cocok dengan stabilitas antosianin (Timberlake dan Bridle, 1983).

Larutan yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan menggunakan

rotary vacuum evaporator dengan suhu 35oC sehingga didapatkan pigmen murni yang pekat. Pigmen pekat ini kemudian dilarutkan dalam air deionisasi yang mengandung 0.01% HCl. Hasil yang diperoleh kemudian dimasukkan dalam botol gelap dan disimpan sehingga dapat digunakan untuk tahapan berikutnya. Penyimpanan ini dilakukan dalam freezer untuk mengurangi degradasi pigmen antosianin yang telah murni ini. Hal ini disebabkan sifat antosianin yang tidak stabil terhadap suhu dan cahaya (Jackman dan Smith,

1996). Menurut Francis (1982), tujuan akhir dari purifikasi adalah untuk mendapatkan konsentrasi pigmen antosianin yang sudah tidak mengandung gula dan komponen yang dapat mendegradasi pigmen tersebut dengan tidak mengubah komposisi antosianin pada sampel.

D. KARAKTERISASI ANTOSIANIN

Karakterisasi antosianin yang ada dalam buah duwet ini dilakukan dengan menggunakan analisis spektrofotometrik dan TLC. Menurut Jackman dan Smith (1996), metode kromatografi dan spektroskopik telah digunakan untuk mengidentifikasi antosianin secara cepat dan akurat. Akan tetapi, karakteristik antosianin yang mutlak tidak dapat ditentukan hanya dengan metode kromatografi saja atau spektroskopik saja. Penentuan karakteristik dari antosianin ini biasanya melibatkan identifikasi dari aglikon, keberadaan gula dan gugus asil bila ada, dan posisi ikatan dari gugus gula dan gugus asil.

Karakterisasi pigmen antosianin pada kulit buah duwet dalam penelitian ini dilakukan setelah sampel mengalami beberapa tahapan perlakuan. Tahapan-tahapan perlakuan tersebut adalah ekstraksi kulit buah duwet, purifikasi ekstrak kulit buah duwet, hidrolisis basa dan asam pada ekstrak yang sudah dipurifikasi. Tahapan tersebut dilakukan untuk mengetahui karakteristik antosianin yang ada pada buah duwet. Menurut Jackman dan Smith (1997), karakterisasi dari antosianin ini biasanya melibatkan hidrolisis asam, hidrolisis basa, hidrolisis enzim atau peroksida. Selanjutnya hasil-hasil dari hidrolisis tersebut dianalisis dengan kromatografi untuk diidentifikasi. Dalam hal ini, sampel yang sudah siap harus segera dianalisis untuk memperkecil kemungkinan terjadinya hidrolisis glikosida (Markham, 1988).

Hidrolisis basa ini dilakukan pada sampel yang sebelumnya telah dipurifikasi. Hidrolisis ini dilakukan dengan menggunakan basa kuat. Basa yang digunakan dalam penelitian ini adalah KOH. Hidrolisis basa ini dilakukan untuk menghidrolisis gugus asil yang terikat pada antosianin. Menurut Jackman dan Smith (1996), hidrolisis basa digunakan untuk menentukan antosianin itu sendiri. Hidrolisis basa pada kondisi vakum (dibawah nitrogen), secara spesifik dapat menghilangkan gugus asil. Selain

35 orto-hidroksil yang tidak stabil pada suasana basa (Francis, 1982). Setelah hidrolisis ini terjadi, hasil dari hidrolisis ini kemudian dipurifikasi kembali. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan gugus asil yang sudah terlepas dari antosianin.

Pigmen antosianin hasil dari hidrolisis basa ini kemudian dilanjutkan dengan hidrolisis asam. Hidrolisis asam ini dilakukan dengan menggunakan asam kuat yaitu HCl 2 N. Hidrolisis ini digunakan untuk menghidrolisis gugus gula yang terikat pada pigmen antosianin sehingga dihasilkan suatu aglikon yang disebut antosianidin. Menurut Jackman dan Smith (1996), hidrolisis asam ini digunakan untuk menghasilkan aglikon dan gula, sehingga gula tersebut akan terpisah dari pigmen dalam pola yang acak. Menurut Lee dan Wicker (1991), hidrolisis asam ini dilakukan untuk menghasilkan antosianidin. Hidrolisis asam ini juga dilakukan pada kondisi vakum untuk mengurangi terjadinya kerusakan pada antosianidin. Hasil dari hidrolisis asam ini kemudian dipurifikasi kembali untuk menghilangkan gula yang sudah terlepas dari antosianin sehingga hanya tertinggal antosianidinnya saja. Antosianidin ini akan menghilang selama penyimpanan, tetapi akan digantikan oleh warna coklat kemerah-merahan yang pekat atau polimer flavonoid (Hutching, 1994).

Analisis spektrofotometrik dilakukan pada ekstrak kasar, ekstrak yang sudah dipurifikasi, ekstrak terpurifikasi yang sudah dihidrolisis basa, dan ekstrak terpurifikasi yang sudah dihidrolisis asam. Analsis spektrofotometrik ini dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Visibel.

Pelarut yang digunakan untuk analisis ini adalah metanol yang mengandung 0.01 % HCl. Analisis ini dilakukan pada panjang gelombang dari 200 sampai 700 nm yang merupakan panjang gelombang sinar UV sampai visibel. Pemilihan panjang gelombang dari 200 sampai 700 nm ini disebabkan karena dalam pelarut yang asam, antosianin dan aglikonnya menunjukkan dua karakteristik panjang gelombang maksimum. Satu pada daerah visibel antara 465 dan 550 nm dan yang satunya lagi pada daerah UV yaitu disekitar 275 nm. Panjang gelombang absorbansi maksimum dapat digunakan sementara untuk mengidentifikasi aglikon, akan tetapi penggunaan dengan metode yang

lain juga diperlukan (Jackman dan Smith, 1996). Pola spektrum pada analisis spektrofotometrik ini dapat dilihat pada Gambar 4.

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 200 300 400 500 600 700 Panjang Gelombang (nm) Ab so rb a n si Ekstrak kasar Purifikasi Hidrolisis basa Hidrolisis asam

Gambar 4. Pola spektra dalam pelarut metanol-HCl 0.01% pada berbagai perlakuan.

Pola spektra yang dihasilkan mempunyai panjang gelombang maksimum yang dapat digunakan untuk menduga jenis antosianin yang terdapat dalam buah duwet. Menurut Timberlake dan Bridle (1997), spektrum UV-Visibel ini merupakan salah satu cara yang sederhana untuk mengidentifikasi dan memeriksa kemurnian dari pigmen antosianin. Hasil dari analisis spektrofotometrik ini menunjukkan gambar pola spektrum yang sama antara sampel ekstrak kasar, ekstrak yang sudah dipurifikasi, dan ekstrak terpurifikasi yang telah dihidrolisis basa. Sampel yang telah mengalami hidrolisis asam mempunyai pola spektrum yang berbeda sendiri, yaitu terjadi pergeseran panjang gelombang maksimum.

Panjang gelombang maksimum dari masing-masing sampel adalah pada sampel ekstrak kasar panjang gelombang maksimumnya adalah 274 dan 536 nm, pada sampel ekstrak yang telah dipurifikasi panjang gelombang

Dokumen terkait