• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. BAHAN DAN METODE

3.3. Metode Penelitian

4.1.6 Kandungan Hara Makro-Mikro dan Kondisi Fisik Substrat

50 60 70 80 90 Kontrol A B C D Kombinasi perlakuan B obot s is a s u bs tr a t ( % )

Gambar 12 Bobot sisa substrat jerami padi pada akhir dekomposisi. Perlakuan A adalah kombinasi isolat bakteri selulolitik C4-4 + xilanolitik; B = C5-1 + xilanolitik; C = C11-1 + xilanolitik dan D = xilanolitik.

Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa kombinasi inokulan mempunyai aktivitas yang tinggi dibandingkan kontrol. Hal ini terlihat dari besarnya nilai bahan tersisa selama dekomposisi.

4.1.6 Kandungan Hara Makro-Mikro dan Kondisi Fisik Substrat

Kandungan makro-mikro nutrien substrat selama akhir dekomposisi menunjukkan adanya perubahan terhadap kontrol perlakuan (Tabel 3). Hasil pengukuran terhadap kandungan makro-mikro nutrien substrat diakhir pengomposan menunjukkan adanya peningkatan dari masing perlakuan C4-4 + xilanolitik (A), C5-1 + xilanolitik (B), C11-1 + xilanolitik (C) dan 45I-3+234P-16 (D) dibandingkan kontrol. Dari setiap perlakuan memperlihatkan peningkatan kandungan hara, baik terhadap kandungan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, Fe) maupun hara mikro (Fe, Cu, Zn, Mn). Peningkatan kandungan hara yang tinggi terjadi pada perlakuan B, sehingga kombinasi ini baik digunakan untuk pengomposan.

Tabel 3 Kandungan hara makro-mikro substrat selama dekomposisi

Kandungan hara substrat pada akhir dekomposisi

Perlakuan N P K Ca Mg Fe Cu Zn Mn (%) (ppm) Kontrol 1.32 0.09 0.33 0.20 0.09 359.2 5.4 7.1 186.8 A 1.46 0.12 0.57 0.28 0.12 470.0 6.8 11.1 213.9 B 1.52 0.16 0.92 0.32 0.14 1760.0 20.3 58.6 306.6 C 1.75 0.13 0.59 0.27 0.13 1368.3 12.6 65.0 608.3 D 1.29 0.12 0.76 0.27 0.12 2228.0 17.8 44.8 680.0

Kondisi fisik substrat selama dekomposisi menunjukkan perubahan. Hal ini dapat dilihat adanya perubahan bentuk dan warna substrat (Gambar 13). Dari pengamatan terhadap kondisik fisik yang dilakukan dengan pengamatan secara visual terlihat bahwa struktur substrat semua perlakuan A, B, C, D menunjukkan struktur yang hancur dibandingkan dengan kontrol. Demikian halnya terhadap penampakan warna substrat terlihat bahwa substrat yang mendapat perlakuan inokulasi bakteri selulolitik dan xilanolitik menampakan warna coklat kehitaman, sedangkan pada kontrol substrat masih berwarna kuning kecoklatan.

Kontrol A B C D

Gambar 13 Performansi substrat jerami padi pada akhir dekomposisi. Perlakuan A adalah kombinasi isolat bakteri selulolitik C4-4 + xilanolitik; B = C5-1 + xilanolitik; C = C11-1 + xilanolitik dan D = xilanolitik.

4.2 Pembahasan

Isolat bakteri C4-4, C5-1 dan C11-1 yang ditumbuhkan pada media

carboxymethyl cellulose mempunyai aktivitas selulolitik. Hal ini ditandai adanya

kemampuan pembentukan zona jernih dari ketiga isolat tersebut. Keberadaan zona jernih menandakan bahwa isolat-isolat uji yang digunakan memiliki kemampuan dalam menghidrolisis substrat.

25

Teather dan Wood (1982) melaporkan bahwa dalam karakterisasi dan penghitungan bakteri selulolitik dapat digunakan dua metode yaitu 1) dengan menggunakan substrat tidak larut yang telah dilabel dengan pewarna dan 2) substrat terlarut carboxymethyl cellulose yang pengendapannya dengan detergen untuk visualisasi zona hidrolisis pada media cawan agar. Pewarna yang digunakan dalam visualisasi adalah merah kongo 0,1% dengan spesifikasi interaksi terhadap polisakarida yang mengandung unit-unit β-(1→4) glukopiranosil dan β-(1→3) D-glukan.

Aktivitas selulase isolat C4-4, C5-1 dan C11-1 mempunyai aktivitas berbeda dalam menghidrolisis substrat. Isolat C4-4 dan C11-1 memiliki aktivitas dalam memanfaatkan ketiga substrat selulase yaitu carboxymethyl cellulose, avicel, dan

filter paper, tetapi isolat C5-1 hanya memiliki aktivitas dalam hidrolisis substrat CMC

dan avicel.

Perbedaan dalam hidrolisa substrat menunjukkan bahwa ketiga isolat memiliki karakter berbeda dalam aktivitas enzimnya. Lemos et al. (2003) menyatakan bahwa mikroba selulolitik adalah mikroba yang mempunyai enzim untuk menghidrolisis selulosa dan kristalin selulosa. Ada tiga enzim selulase yang berperan dalam hidrolisa yaitu 1) endo-1,4-β-D-glukanase (EG; EC 3.2.1.4) yang bekerja secara acak sepanjang rantai selulosa menghasilkan situs baru untuk selobiohidrolase, 2) ekso-1,4-β-D-glukan (CBH; EC 3.2.1.91) yang bekerja sebagai eksoglukanase melepas selobiosa sebagai produk utama dan 3) 1,4-β-D-glukosidase (EC 3.2.1.21) yang menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa (Jorgensen et al. 2003). Untuk penentuan aktivitas enzim dari ketiga macam enzim selulase digunakan uji spesifik. Uji spesifik untuk menggukur aktivitas endoglukanase menggunakan substrat carboxymethyl cellulose, eksoglukanase (substrat avicel) dan aktivitas glukosidase dengan

p-nitrophenyl-β-D-glycopyranoside (pNPG). Dari hasil ini terlihat bahwa isolat C4-4 dan C11-1 memiliki

aktivitas ketiga kelompok enzim selulase yakni endoglukanase, eksoglukanase dan glukosidase. Akan tetapi, isolat C5-1 hanya memiliki aktivitas enzim selulase dari kelompok enzim endo dan eksoglukanase saja.

Kondisi pH alkalin mempunyai dampak yang baik dalam dekomposisi, hal ini terlihat dari penelitian Heerden et al. (2002) yang menggunakan kalsium hidroksida (CaOH)2 dalam pengomposan limbah jeruk untuk menyesuaikan tingkat pH substrat.

Perlakuan ini bertujuan untuk meningkatkan suasana pH substrat yang bersifat asidik menjadi alkalin, sehingga dengan demikian kondisi ikatan lignin-selulosa menjadi lebih mudah untuk dipecah oleh enzim yang diproduksi mikroba selulolitik.

Penelitian Sari (2007) yang menyatakan bahwa isolat bakteri C4-4 memiliki aktivitas spesifik selulase pada kisaran pH 4.5-8.0, isolat C5-1 memiliki aktivitas spesifik selulase pada kisaran pH 3.0-8.0 dan isolat C11-1 mempunyai aktivitas spesifik selulase pada pH 3.0-9.0. Terhadap isolat-isolat xilanolitik juga menunjukkan kisaran pH yang luas, terlihat dari aktivitas spesifik xilanase 45I-3 yang memiliki pH 3.0-9.0 dengan aktivitas optimum xilanase pada pH 5.0. Demikian halnya untuk isolat 234P-16 juga mempunyai aktivitas spesifik xilanase pada kisaran pH 3.0-9.0 dengan aktivitas optimum xilanase pH 5.0 (Meryandini 2005).

Hasil penelitian Lei et al. (2000) dan Rajbanshi et al. (1998) juga melaporkan bahwa selama dekomposisi terjadi peningkatan derajat keasaman substrat. Dalam laporannya menyatakan bahwa pada awal dekomposisi (pengomposan), nilai pH menunjukkan penurunan yang nyata selama dua atau tiga hari pertama dari pengomposan aerobik. Hal ini disebabkan oleh pembentukan beberapa asam organik. Selanjutnya setelah 2-4 hari pH cenderung meningkat hingga akhir proses sebesar 8.0-9.0. Venglovsky et al. (2005) juga melaporkan bahwa selama pengomposan terjadi peningkatan pH sebesar 8.25 dengan penambahan zeolit 1% dan 8.30 dengan penambahan zeolit 2% pada hari ke-5 dan selanjutnya mengalami penurunan secara gradual hingga hari ke-40 hingga mencapai 6.20 dan 6,23, tetapi setelah periode ini derajat keasaman mengalami peningkatan kembali untuk perlakuan zeolit 1% 6.8 dan 6.9 terhadap 2%.

Bertoldi et al. (1983) menyarankan bahwa pH optimum dalam pengomposan

berkisar antara 5.5 dan 8.0, dikarenakan tingkat pH merupakan salah satu karakteristik penting dari proses pengomposan. Selama proses terjadi mineralisasi nitrogen organik menjadi nitrogen amonia yang menyebabkan nilai pH meningkat, sedangkan penurunan pH disebabkan oleh produksi asam-asam organik yang meningkat atau proses nitrifikasi. Perubahan tingkat pH juga dipengaruhi oleh pertukaran amonium.

Pola perubahan amonium cenderung menurun selama dekomposisi berlangsung. Kombinasi inokulan dari masing-masing perlakuan memperlihatkan penurunan kandungan amonium setelah minggu ke-3 hingga akhir dekomposisi

27

pada minggu ke-6. Pola yang sama dilaporkan oleh Venglovsky et al. (2005) selama pengomposan fraksi padat kotoran babi yang diperkaya dengan zeolit alam memperlihatkan penurunan drastis N-NH4+. Dalam penelitian ini dilaporkan bahwa penurunan terjadi pada pengamatan hari ke-5, 7, dan 21 yaitu (406, 490, dan 546 mg l -1) terhadap penambahan zeolit 1% dan pada pengamatan hari 7, 21, dan 28 sebesar (294, 392 dan 329 mg l -1) untuk perlakuan zeolit 2%.

Perubahan amonium berhubungan dengan nilai pH, pada derajat keasaman yang rendah ion amonium bersaing dengan ion hidrogen diantara situs pertukaran. Akan tetapi, pada pH yang tinggi ion amonium ditransformasi menjadi gas amonia. Untuk itu dalam aplikasinya disarankan nilai pH berada pada interval 4-8 selama fase awal pengomposan. Kithome et al. (1998) membuktikan bahwa dengan percobaan variasi pH antara 4 dan 7, sebagian besar amonium di adsorbsi pada pH 7. Lebih lanjut Tiquia et al. (1997) menyatakan bahwa kehilangan atau penurunan dalam N-NH4+ merupakan indikator kematangan dan baiknya proses pengomposan. Penurunan konsentrasi amonium dihasilkan melalui volatilisasi amonia, rendahnya intensitas degradasi material organik, dan penggunaan sumber nitrogen yang sedikit. Akan tetapi, adanya peningkatan konsentrasi amonium pada minggu awal pengomposan menandakan intensitas degradasi material organik dan amonium dihasilkan melalui mineralisasi N-organik tersebut. Disamping itu peningkatan jumlah amonium juga dapat menghambat aktivitas mikroba (Sanche-Monedero et al. 2001). Keberadaan amonium diperlukan oleh mikroba untuk pertumbuhan. Dan jumlah N-NH4+ yang diperlukan relatif berada pada konsentrasi rendah yaitu < 1 µg N g -1 tanah (Shi dan Norton 2000).

Menurut Bernal et al. (1996) bahwa sebagian besar dari proses immobilisasi nitrogen yang terjadi adalah merupakan bagian dari pemanfaatan amonium oleh mikroba untuk menyusun protein sel nya. Pada fase pertumbuhan mikroorganisme yang pesat, jumlah amonium yang dibutuhkan juga tinggi, sehingga akibatnya jumlah nitrogen dalam bentuk amonium berkurang.

Adanya penurunan kandungan C-organik merupakan indikator yang menandakan bahwa dekomposisi berlangsung. Goyal et al. (2005) melaporkan bahwa selama pengomposan bahan organik yang berbeda-beda terjadi perubahan total kandungan C-organik. Dari hasil penelitiannya terlihat bahwa pada pengomposan limbah tumbuhan tebu + kotoran ternak (4:1) terjadi perubahan

C-organik dari 47.5% (hari ke-0) menjadi 43.0% (hari ke-60) serta pada pengomposan limbah eceng gondok juga terjadi perubahan C-organik dari 41.8% (hari ke-0) menjadi 30.2% (hari ke-60). Perbedaan dalam perubahan kandungan C-organik berhubungan dengan komposisi kimia penyusun dinding sel tumbuhan. Hal ini terlihat dari keberadaan senyawa karbon yang sukar dipecah seperti halnya lignin pada limbah tebu tersebut.

Atkinson et al. (1996) melaporkan bahwa perubahan C-organik disebabkan

oleh hilangnya karbon sebagai karbon dioksida. Hal ini terlihat dari hasil pengomposan sampah serbuk gergaji dengan kotoran ternak, 29% karbon yang hilang sebagai CO2 dan substrat yang mengandung jumlah karbon besar dalam bentuk lignin sudah dipastikan dekomposi berlangsung lambat. Diketahui bahwa karbon menyusun 40-50% dari bobot kering jaringan tumbuhan, sehingga bila dikomposkan keperluan karbon dan nutrisi dari mikroba yang berperan dalam pengomposan diperoleh melalui perombakan senyawa karbon yang menyusun jaringan. Dekomposisi senyawa karbon pada pengomposan bergantung pada aktivitas mikroba yang berperan. CO2 yang dibebaskan melalui oksidasi dalam pengomposan menggambarkan tingkat aktivitas mikrobanya (Barrigton et al. 2002).

Perubahan C-organik juga berlangsung pada pengomposan bersama antara limbah gandum + abu terbang (0-60%). Hal ini terlihat dari penurunan C-organik pada penambahan abu terbang 0% sebesar 37.2% hingga 28.4% untuk konsentrasi penambahan 60%. Dan penurunan drastis terjadi dengan inokulasi Bacillus

polymyxa dimana kandungan C-organik menurun dari 30.2% pada tingkat 0%

hingga 21.2% pada tingkat 60% abu terbang (Gaind dan Gaur 2002).

Variasi kadar N-total selama dekomposi juga terjadi pada pengomposan limbah tumbuhan tebu + kotoran ternak (1:1) dengan pola N-total yang terus meningkat seiring dengan waktu pengomposan, seperti hal nya pada perlakuan C. Nilai N-total pada perlakuan ini adalah 1.50%, 1.53%, 1.71% pada pengomposan hari ke-0, 30 dan 60. Pada perlakuan pengomposan limbah eceng gondok terjadi penurunan N-total sebagai berikut 2.31%, 1.58%, 1.70% terhadap perlakuan pada hari ke-0, 30 dan 60. Penurunan kandungan N-total pada tahap awal pengomposan disebabkan oleh bentuk N yang hilang dalam bentuk amonia, tipe bahan yang dikomposkan, dan rasio C/N substrat (Goyal et al. 2005).

29

Sanchez-Monedero et al. (2001) menyatakan bahwa pengomposan dengan substrat yang memiliki rasio C/N rendah menghasilkan nilai N yang mudah dilepas dibandingkan limbah dengan nisbah C/N tinggi. N yang hilang akibat volatilisasi tidak hanya dipengaruhi oleh kelembaban atau cara aerasi, tapi juga oleh kehilangan C selama pengomposan. Selain itu penurunan konsentrasi N dapat juga disebabkan oleh immobilisasi N selama pengomposan. Martin et al. (1993) menemukan bahwa pada substrat dekomposisi dengan kandungan ligno-selulosa tinggi menyebabkan kemampuan degradasi mikroba yang rendah dan menimbulkan banyak kehilangan N.

Rasio C/N merupakan salah satu karakteristik utama yang digunakan dalam proses pengomposan. Walaupun demikian rasio ini pada fase padat tidak dapat digunakan sebagai indikator mutlak dikarenakan adanya variasi yang mempengaruhi dalam pengomposan tersebut, seperti komposisi substrat yang dikomposkan (Abdelhamid et al. 2004).

Dalam penelitian ini terlihat bahwa hingga akhir dekomposisi semua perlakuan kombinasi inokulan memperlihatkan nisbah C/N ≥20, hal ini menandakan bahwa kombinasi inokulan yang diaplikasikan berpeluang untuk digunakan sebagai bioaktivator. Kendatipun demikian dalam aplikasi ini masih perlu adanya perbaikan metode, penambahan nutrisi dan perbanyakan jumlah substrat yang digunakan untuk mencapai standarisasi SNI 19-7030-2004 dalam pengomposan, dimana nilai C/N rasio berkisar 10-20.

Sutanto (2002) menyatakan bahwa nisbah C/N sangat penting untuk memasok hara yang diperlukan mikroba selama pengomposan berlangsung. Bahan dasar kompos yang mempunyai nisbah C/N 20 sampai 35 sangat menguntungkan dalam pengomposan, selain itu nilai C/N yang terlalu besar (>40) atau terlalu kecil (<20) akan mengganggu kegiatan biologis proses dekomposisi. Apabila ketersediaan karbon terbatas (nisbah C/N terlalu rendah) tidak cukup senyawa sebagai sumber energi yang dapat dimanfaatkan mikroorganisme untuk mengikat seluruh nitrogen bebas. Dan jika ketersediaan karbon berlebihan (C/N >40) jumlah nitrogen sangat terbatas sehingga menjadikan faktor pembatas pertumbuhan mikroorganisme. Nisbah C/N yang cukup besar juga menunjukkan substrat yang sukar terdekomposisi, sedangkan nisbah C/N rendah relatif menunjukkan substrat mudah untuk didekomposisi.

Dalam proses pengomposan aerobik terdapat dua fase suhu yaitu mesofilik (23-45 oC) dan termofilik (45-65 oC). Kisaran suhu ideal untuk pengomposan adalah 55 oC-65 oC. Lebih lanjut Liang C et al. (2003) menyatakan bahwa pada suhu pengomposan 60 oC memperlihatkan berkurangnya aktivitas komunitas mikroorganisme, tetapi pada suhu ini aktivitas mikroorganisme termofilik bersifat optimum. Pada suhu pengomposan di bawah 20 oC mengakibatkan aktivitas dekomposisi mikroba yang rendah, bahkan proses dekomposisi terhenti. Hasil pengukuran yang sama juga dilaporkan Ruskandi (2006) bahwa dalam pengomposan limbah kelapa (sabut + daun) dicatat rerata suhu (oC) selama pengomposan yaitu 28.6; 27.3; 27.7; dan 27.4; pada (minggu ke-1, 2, 3, 4), limbah sulit terdekomposisi (jerami padi + jagung) 40.4; 38.3; 34.4; 34.2; (minggu ke-1, 2, 3, 4) dan limbah mudah terdekomposisi (kacang tanah + rumput) 44.0; 36.0; 36.6; 33.5; pada (minggu ke-1, 2, 3, 4).

Tidak tercapainya peningkatan suhu hingga batas ideal disebabkan oleh beberapa hal seperti kurangnya jumlah tumpukan bahan yang dikomposkan dan cara pengendalian suhu selama pengomposan. Akan tetapi, aktivitas mikroba yang diaplikasikan dalam penelitian ini terus berlangsung. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitan karakterisasi Sari (2007) dan Meryandini (2005) yang menyatakan bahwa isolat-isolat yang digunakan dalam aplikasi ini memiliki aktivitas enzim pada kisaran suhu yang luas. Semua isolat C4-4, C5-1 dan C11-1 memiliki aktivitas spesifik selulase pada kisaran suhu 30-90 oC dengan aktivitas optimum pada suhu 70 oC (C4-4), suhu 90 oC (C5-1) dan suhu 70 oC (C11-1). Untuk aktivitas isolat 45I-3 dan 234P-16 juga memiliki aktivitas spesifik xilanase pada kisaran suhu 30-90 oC, dengan aktivitas optimum pada suhu 50 oC terhadap isolat 45I-3 dan suhu 90 oC untuk isolat 234P-16.

Perez-Harguindeguy et al. (2000) menyatakan bahwa perbedaan dalam laju dekomposisi berhubungan dengan variasi sifat bahan yang dikomposkan, seperti kekerasan daun, konsentrasi nitrogen, lignin, dan polifenol serta rasio C/N. Disamping itu proses dekomposisi tergantung pada tipe dari bahan untuk dekomposisi dan faktor-faktor lain seperti iklim dan ketersediaan air. Berikutnya kualitas dari bahan mempengaruhi proses mikroba dalam hal immobilisasi dan penyimpanan nutrien di dalam sistem (Bardget et al. 1999).

31

Takeda (1995) menyimpulkan bahwa dalam dekomposisi substrat dibagi ke dalam dua fase. Pada fase pertama, terjadi dekomposisi oleh mikroba terhadap senyawa yang larut dan karbohidrat yang tidak berlignin, seperti halnya sellulosa dan hemiselulosa. Sementara dalam fase kedua dekomposisi terjadi peruraian senyawa lignin dan sellulosa berlignin. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dekomposisi dipengaruhi oleh sifat fisiko-kimia substrat dan faktor-faktor lingkungan dimana tempat dekomposisi berlangsung. Kandungan dari daun-daun yang dikomposkan juga mempengaruhi laju dekomposisi. Pada umumnya substrat dengan tingkat nutrien tinggi, seperti halnya kandungan nitrogen mampu mempercepat proses dekomposisi. Hal ini menandakan bahwa terdapat hubungan positif antara konsentrasi awal nitrogen dengan laju dekomposisi (Mfilinge et al. 2002).

Bobot bahan tersisa menggambarkan adanya penurunan bobot substrat yang dikomposkan. Terjadinya penurunan ini diakibatkan oleh pelepasan CO2, N-NH3 dan senyawa-senyawa lainnya sehingga berakibat pada penyusutan bobot. Dengan adanya penyusutan bobot dalam aplikasi ini menunjukkan bahwa kombinasi bakteri selulase dan xilanase yang digunakan mampu merombak selulosa dan hemiselulosa dari bahan yang dikomposkan.

Penyusunan bobot dapat disebabkan oleh terjadinya perombakan bahan oleh mikroba sehingga kadar air bahan berkurang dan akibat panas yang ditimbulkan selama proses pengomposan menyebabkan terjadinya penguapan. Prosentase penyusutan bobot yang tinggi akan menghasilkan prosentase bobot kompos yang rendah, sebaliknya penurunan kompos yang rendah akan menghasilkan prosentase bobot kompos yang tinggi. Menurut Dalzel et al. (1987) dalam perombakan bahan organik mikroba membutuhkan air dan oksigen dari udara dan nutrien dari bahan organik sebagai sumber energi selanjutnya akan melepaskan CO2, air dan energi panas sehingga menyebabkan bobot bahan semakin berkurang.

Perubahan kandungan makro-mikro nutrien dari setiap perlakuan A, B, C, D yang menunjukkan peningkatan terhadap kontrol menandakan bahwa selama dekomposisi telah terjadinya proses mineralisasi unsur-unsur hara, sehingga hara makro dan mikro menjadi terlepas dan tersedia. Fenomena yang sama juga dilaporkan Tejada et al. (2001) pada dekomposisi residu kapas, bahwa adanya peningkatan kandungan hara makro-mikro pada hari ke-35 dari proses pengomposan. Peningkatan nilai makro nutrien P, K, Ca, Mg (1.10%, 3.8%, 100 mg

kg-1, 21 mg kg-1) pada awal dekomposisi menjadi ( 1.25%, 5.6%, 170 mg kg-1, 25 mg kg-1) di hari ke-35 pengomposan. Untuk kandungan mikro nutrien (Fe, Cu, Zn, Mn) dalam penelitian ini juga terjadi peningkatan menjadi 6.8; 0.13; 0.28; 0.60 mg kg-1 dari awal pengomposan 3.4; 0.06; 0.13; 0.38 mg kg-1.

Hsu dan Lo (2001) menyatakan bahwa peningkatan kandungan hara substrat meningkat seiring dengan waktu pengomposan dan berhubungan dengan kehilangan material organik. Unsur-unsur hara makro-mikro yang meningkat disebabkan oleh terlepasnya unsur yang sebelumnya terikat dalam komponen-komponen sel, contohnya nitrogen dalam protein dan magnesium dalam klorofil (Salisbury 1995). Hal ini terlihat dari peningkatan kandungan Cu, Zn, dan Mn pada pengomposan fraksi padat kotoran babi dari 343, 577, dan121 mg kg-1 hingga mencapai 976, 1540, 331 mg kg-1 pada hari ke-25 pengomposan. Adanya peningkatan kandungan hara substrat yang dikomposkan juga sangat bergantung pada tipe pengomposan dan bahan dasar substrat. Unsur hara juga dapat menurun, disebabkan oleh adanya proses penguapan atau terlarut dalam air yang dihasilkan selama pengomposan. Di samping itu kondisi iklim selama pengomposan juga dapat mempengaruhi perubahan kandungan unsur hara kompos.

Kondisi fisik yang diamati dari warna dan bentuk substrat memperlihatkan perubahan. Pada awal dekomposisi warna yang dominan adalah warna substrat jerami padi, yaitu kuning kecoklatan, tetapi selama dekomposisi berlangsung terjadi degradasi warna. Hal ini terlihat dari semua substrat yang mendapat perlakuan inokulan bakteri selulolitik dan xilanolitik menunjukkan gradasi warna yang lebih cepat dibandingkan kontrol, yaitu dengan penampakan warna coklat kehitaman. Murbandono (2000) menyatakan bahwa penambahan mikroba dalam pengomposan dapat mempercepat proses pematangan kompos sehingga mencapai warna kematangan yang lebih cepat pula. Kematangan kompos dikatakan tercapai bila warnanya telah menjadi coklat kehitaman. Terjadinya perubahan warna menjadi lebih hitam disebabkan oleh terbentuknya senyawa humik. Stevenson (1994) menyatakan bahwa senyawa polifenol yang merupakan hasil dekomposisi senyawa lignoselulosa menjadi kuinon dan selanjutnya bereaksi dengan senyawa amino membentuk asam humik atau asam fulvik yang berwarna gelap (hitam).

Perubahan warna pada semua perlakuan yang menuju ke warna coklat kehitaman berhubungan dengan perubahan bentuk substrat. Hal ini dengan ditandai

33

adanya bentuk substrat yang lebih remah dan hancur dibandingkan kontrol perlakuan. Dan umumnya pada bahan kompos yang berwarna kehitaman mengandung senyawa-senyawa humus, seperti asam humik, asam fulvik, dan hematomelanik dengan prosentase yang tinggi.

5.1 Simpulan

Kombinasi perlakuan C4-4 + xilanolitik (A) dan C5-1 + xilanolitik (B) memberikan profil yang lebih baik terhadap beberapa parameter dekomposisi. Kedua kombinasi ini memperlihatkan pH substrat yang relatif stabil, nilai rasio C/N 22.484 untuk perlakuan (A) dan 23.425 (B), peningkatan kandungan hara makro-mikro serta perubahan kondisi fisik substrat yang baik pada akhir dekomposisi. Dengan demikian kedua kombinasi perlakuan A dan B berpeluang sebagai bioaktivator potensial dalam dekomposisi substrat jerami padi.

5.2 Saran

Pemanfaatan kedua kombinasi perlakuan C4-4 + xilanolitik (A) dan C5-1 + xilanolitik (B) sebagai bioaktivator potensial dalam skala penerapan dilapangan, hendaknya memperhatikan beberapa aspek agen pembawa kedua inokulan tersebut dan jumlah substrat yang digunakan

.

Dokumen terkait