• Tidak ada hasil yang ditemukan

7.1 Pendahuluan 7.1.1 Latar belakang

Keanekaragaman organisme laut di Indonesia cukup tinggi, akan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Biodiversiti ini merupakan aset penting dalam pengembangan bioteknologi laut. Sejauh ini pengembangan bioteknologi di Indonesia dilakukan antara lain pada bidang pertanian, pangan dan kesehatan maupun lingkungan. Produk alam dari laut dapat digunakan untuk berbagai tujuan tergantung struktur kimia dan karakteristiknya, antara lain untuk nutrasetika, farmasetika dan berbagai bahan tambahan lainnya (Nontji 1999). Senyawa-senyawa kimia yang digunakan untuk farmasetika dan nutrasetika biasanya memiliki aktivitas biologis.

Mikroalga merupakan biota perairan yang potensial untuk dikembangkan karena dapat menghasilkan produk komersial di bidang pangan, farmasi, kosmetika, pertanian, pakan dan sebagainya. Nutrisi mineral alga tidak jauh berbeda dengan tumbuhan tingkat tinggi. Kebutuhan absolut umum untuk alga meliputi karbon, fosfor, nitrogen, sulfur, potasium dan magnesium. Elemen- elemen seperti besi dan mangan diperlukan dalam jumlah sedikit. Beberapa elemen seperti kobal, seng, boron, copper dan molybdenum merupakan essential trace element. Selain mineral ini beberapa alga juga memerlukan substrat organik seperti vitamin, yaitu faktor tumbuh untuk pertumbuhan (Becker 1994).

Umumnya alga digunakan sebagai pakan untuk organisme perairan yang memiliki nilai komersiel penting, termasuk diatom yang ukurannya bervariatif. Diatom yang banyak digunakan dalam marinkultur komersiel adalah Skeletonema costatum, Thalassiosira pseudonana, Chaetoceros gracilis, C. calcitrans dan sebagainya (BBLL 2002).

Nutrisi dalam media pertumbuhan mikroalga akan mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi kimianya. Mikroalga yang ditumbuhkan dalam medium yang berbeda akan menghasilkan metabolit yang berbeda pula. Hasil penelitian sebelumnya menghasilkan bahwa Chaetoceros gracilis dapat ditumbuhkan dalam medium NPSi dan memiliki aktivitas antibakteri terhadap beberapa jenis bakteri patogen seperti bakteri Gram positif (Bacillus cereus

ATCC 13091 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923 serta bakteri Gram negatif (Escherichia coli ATCC 25922 dan Vibrio harveyi).

Chaetoceros gracilis selain mengandung komponen antibakteri, juga mengandung komponen kimia lainnya. Akan tetapi belum diketahui kandungan kimiawi dari biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium pupuk NPSi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian komposisi kimia (nutrisi) dari C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi.

7.1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini antara lain mendapatkan komposisi senyawa kimia dari Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi. Komposisi senyawa kimia yang diteliti pada penelitian ini adalah (1) Kandungan protein, lemak, karbohidrat; (2) Komposisi asam amino dari biomasa C. gracilis; (3) Komposisi asam lemak dari biomasa C. gracilis, dan kandungan mineral dari biomasa C. gracilis; (4) Fitokimia; (5) Kandungan asam nukleat.

7.2 Bahan dan Metode 7.2.1 Bahan dan alat

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah diatom laut jenis Chaetoceros gracilis yang merupakan koleksi dari Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta. Chaetoceros gracilis dikultivasi dalam medium pupuk NPSi dan dipanen pada umur 7 hari. Kultivasi dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Beberapa analisis dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Bioteknologi Hasil Perairan Departemen THP, analisis mineral dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Kimia Balai Penelitian Tanah, analisis asam nukleat dilakukan di Laboratorium Genetika Ikan Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB, dan analisis asam amino dan asam lemak dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB.

Alat-alat yang digunakan meliputi peralatan untuk kultivasi yaitu flask dan akuarium yang dilengkapi dengan lampu dan aerator. Selain itu juga digunakan pengering beku, refrigerator, spektrofotometer, Gas Chromatography (GC), Shimadzu, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Shimadzu, Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS), Hitachi, Gen Quant, serta alat-alat gelas lainnya yang digunakan di laboratorium.

7.2.2 Metode penelitian

(1) Kultivasi dan pemanenan C. gracilis

Chaetoceros gracilis dikultivasi dalam akuarium yang berisi medium NPSi. Sebagai sumber cahaya digunakan lampu neon 20 Watt, untuk aerasi digunakan aerator yang diberikan secara terus menerus. Setelah kultur berumur 7 hari, biomasa dipanen menggunakan filter keramik (British PORTACEL) dengan pompa (Deng Yuan). Biomasa dikeringkan menggunakan freeze dryer Yamato untuk proses berikutnya.

(2) Pemanenan biomasa Chaetoceros gracilis

Kultur C. gracilis dipanen pada hari ke 7 untuk dipisahkan biomasanya. Pemanenen dilakukan menggunakan filter keramik. Biomasa yang diperoleh selanjutnya dikeringkan menggunakan freeze dryer.

7.2.3 Prosedur analisis

Analisis kimia pada ekstrak C. gracilis dilakukan untuk mengetahui kandungan protein, lemak, karbohidrat, asam amino, asam lemak, mineral, fitokimia, dan kandungan asam nukleat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui nilai gizi biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi, sehingga dapat diketahui manfaat lain dari biomasa C. gracilis selain memiliki aktivitas antibakteri. Analisis yang dilakukan meliputi kadar protein, kadar lemak, karbohidrat, komposisi asam amino menggunakan HPLC Shimadzu, komposisi asam lemak menggunakan GC Shimadzu, komposisi mineral menggunakan AAS Hitachi Z 5000, kandungan asam nukleat menggunakan Gen Quant.

(1) Analisis kadar protein (Lowry et al. 1951 diacu dalam Chrismadha 1993) Pada analisa protein ini telah disiapkan beberapa larutan yang diperlukan selama tahap analisis, yang meliputi sebagai berikut:

1) Larutan alkaline copper

Sebanyak 20 ml NaOH 4 % (w/v) dan 10 ml Na2CO3 20 % (w/v) disatukan kemudian ditambahkan akuades sampai 100 ml ( larutan alkaline buffer). Larutan alkaline copper kemudian dibuat dengan menambahkan 1 ml Na- K tartrate 20 % (w/v) dan 1 ml CuSO4.4H2O 5 % (w/v) ke dalam larutan. Bahan ini disiapkan segar sebelum digunakan.

2) Larutan standar

Protein standar yang digunakan dalam analisis ini adalah Bovine Serum Albumin (BSA). Untuk larutan stok standar, dibuat larutan dengan

mencampurkan 50 mg BSA ke dalam 50 ml aquades dalam botol reagent dan disimpan pada refrigerator. Larutan diperbaharui setiap bulannya. 3) Larutan folin-Ciocalteu-Fenol

4) Kandungan total protein ditentukan berdasarkan kurva standar hasil pengukuran spektrofotometri

5) Prosedur analisis :

Biomasa kering ditimbang sebanyak 2 mg. Selanjutnya sampel di dilarutkan dalam 10 ml akuades kemudian diambil sebanyak 2 ml ke dalam tabung sentrifugasi 10 ml. Selanjutnya ditambahkan Cu-alkalin 5 ml ke dalam tiap sampel dan pada tiap seri standar. Sampel dan standar dibiarkan selama 1 jam pada suhu ruang kemudian ditambahkan 2 kali 0,3 ml folin-cioocalteu-fenol sambil dihomogenkan menggunakan vorteks. Sampel didiamkan selama 15 menit pada suhu ruang lalu disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan diukur pada panjang gelombang 660 nm. Kandungan protein pada sampel dapat dilihat melalui kurva grafik pada standar. (2) Analisis kadar lemak (Bligh dan Dyer 1959 diacu dalam Chrismadha 1993)

Biomasa kering ditimbang sebanyak 10 mg, lalu diekstraksi dengan 5 ml campuran pelarut kloroform (Cl3CH), metanol (MeOH), air (H2O) dengan perbandingan (1 : 2: 0,8 v/v/v) kemudian dimasukkan ke dalam botol sentrifugasi 10 ml. Setelah itu sampel disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Supernatan kemudian dipindahkan ke dalam botol sentrifugasi 10 ml yang lain sampai total volume 5,7 dengan kloroform (Cl3CH): metanol (MeOH): air (H2O).

Untuk mendapatkan pemisahan fase, sebanyak 1,5 ml kloroform dan 1,5 ml air non ion ditambahkan kemudian dihomogenkan dan untuk mendapatkan pemisahan fase yang terbaik sampel disentrifugasi. Lapisan hijau kloroform secara hati-hati dipisahkan dengan pipet pasteur. Bobot lemak ditentukan dengan menuangkan lemak terlarut ke dalam botol kecil (vial) yang telah ditimbang terlebih dahulu, dan dikeringkan secara evaporasi dengan gas N2 murni. Botol yang berisi lemak kering kemudian ditimbang kembali setelah disimpan dalam desikator semalam

(3) Analisa karbohidrat (Kochert 1978 diacu dalam Chrismadha 1993). 1) Bahan : H2SO4 98 %, 5 % (w/v) larutan fenol, larutan H2SO4 2 N

2) Standar : sebanyak 100 mg glukosa dilarutkan dalam 100 ml larutan H2SO4 2 N kemudian disimpan pada suhu 4 oC dan disiapkan segar setiap bulan

3) Prosedur analisis:

Sebanyak 2 mg sampel di homogenkan dengan 2 ml H2SO4 2 N, kemudian ekstrak (termasuk 3 ml H2SO4 2 N ditambahkan agar volume total 5 ml) dipindahkan ke botol sentrifugasi 10 ml dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu 100 oC. Setelah itu, sampel didinginkan pada suhu ruang kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 2500 rpm, kemudian 0,5 ml supernatan dipindahkan ke botol test 10 ml yang baru.

Pada saat yang bersamaan, disiapkan satu set standar yang terdiri dari 0,10, 20, 40, 60, 80 dan 100 ppm glukosa dan ditambahkan H2SO4 2 N hingga 1 ml. Lalu larutan fenol 5 % sebanyak 1 ml ditambahkan ke dalam larutan standar dan larutan sampel tersebut sambil dihomogenkan menggunakan vorteks diikuti dengan penambahan 5 ml H2SO4 sampai homogen pada suhu ruang. Selanjutnya absorban dibaca pada panjang gelombang 485 nm pada spektrofotometer. Kandungan karbohidrat pada sampel dapat dilihat melalui kurva grafik pada standar.

(4) Analisis komposisi asam lemak (AOAC 2005).

Sampel dalam bentuk lemak ditimbang 20-30 mg dalam tabung bertutup teflon. Kemudian ditambahkan 1 mL NaOH 0,5 N dalam metanol dan dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan 2 mL BF3 16 %, lalu dipanaskan selama 20 menit. Setelah dingin ditambahkan 2 mL NaCl jenuh dan 1 mL heksan dikocok dengan baik. Kemudian lapisan heksan dipindahkan dengan bantuan pipet yang berisi 0,1 g Na2SO4 anhidrat, lalu dibiarkan selama 15 menit. Fase cair dipisahkan, selanjutnya diinjeksikan ke kromatografi gas.

(5) Analisis komposisi asam amino (Nur et al. 1992).

Sampel dalam tabung ulir ditambahkan 1 mL HCl 6 N, lalu dialirkan gas nitrogen selama 0,5-1 menit dan tabung segera ditutup. Selanjutnya tabung dimasukkan ke dalam oven suhu 110 oC selama 24 jam untuk melakukan tahap hidrolisis. Kemudian didinginkan pada suhu kamar dan larutan dipindahkan secara kuantitatif ke labu rotary evaporator. Tabung ulir dibilas dengan 2 mL HCl 0,01 N sebanyak 2-3 kali. Larutan bilasan digabung ke labu rotary evaporator, sampel lalu dikeringkan dengan evaporator. Selanjutnya sampel ditambah

dengan 5 mL HCl 0,01 N, kemudian disaring dengan kertas milipore. Sampel ditambahkan Buffer Kalium Borat pH 10,4 dengan perbandingan 1 : 1. Selanjutnya sampel sebanyak 10 µl dimasukkan ke dalam vial kosong yang bersih dan ditambahkan 25 µl pereaksi OPA, dibiarkan selama 1 menit agar derivatisasi berlangsung sempurna. Kemudian sampel diinjeksikan ke dalam kolom HPLC sebanyak 5 µl kemudian tunggu sampai pemisahan semua asam amino selesai. Waktu yang diperlukan sekitar 25 menit.

(6) Analisis mineral

Analisis mineral yang dilakukan meliputi P, Mg, Ca, Fe, Zn, Mn mengacu pada metode Reitz et al. (1960). Sebanyak 1 g sampel kering dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 5 ml HNO3 pekat, dibiarkan sekitar 1 jam. Selanjutnya dipanaskan di atas hotplate selama 4 jam. Setelah dingin ditambahkan 0,4 mL H2SO4 pekat, lalu dipanaskan. Selanjutnya sampel diangkat dari hotplate untuk ditambahkan 0,1 mL larutan campuran HClO4:HNO3 (2:1), sehingga terjadi perubahan warna coklat-kuning-bening. Kemudian dipanaskan lagi selama 15 menit, lalu ditambahkan 2 mL akuades, 0,6 mL HCl pekat, dan dipanaskan lagi hingga larut. Selanjutnya diencerkan dalam labu takar sampai 100 mL dengan akuades, lalu diukur menggunakan AAS Hitachi Z 5000.

Analisis kandungan silika (SiO2) dilakukan menggunakan metode acid detergent fibre (ADF) yang mengacu pada metode yang dilakukan Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2003). Sebelum dilakukan penentuan kadar silika bahan, telah dilakukan penghilangan lignin dan selulosa. Abu hasil penghilangan lignin dan selulosa ditimbang (a gram), ditetesi hingga basah dengan HBr 48%. Selanjutnya dibiarkan selama 1-2 jam. Kelebihan asam dikeluarkan dengan menggunakan vakum dan dicuci dengan aseton. Kemudian dikeringkan dan diabukan menggunakan tanur bersuhu 400 – 600 oC, lalu didinginkan dan ditimbang (f gram).

Perhitungan :

f - b

% Silika = x 100 % a

(7) Analisis fitokimia (Harborne 1987)

Uji fitokimia pada biomasa dan ekstrak C. gracilis dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa yang ada pada ekstrak mikroalga, antara lain alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, biuret, dan ninhidrin.

1) Uji alkaloid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam 3-5 tetes asam sulfat 2 N. Kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu pereaksi Dragendorff, Meyer dan Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah sampai jingga dengan pereaksi Dragendorff.

Pereaksi Wagner dibuat dengan cara memipet 10 ml akuades ditambah 2,5 gram iodin dan 2 gram kalium iodida. Lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat.

Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 g HgCl2 dengan 0,5 gram kalium iodida. Lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna.

Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara menambahkan 0,8 gram bismut subnitrat dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi berwarna jingga.

2) Uji steroid (Liebermann-Burchard)

Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi yang kering. Tabung reaksi tersebut selanjutnya ditambah 10 tetes anhidrida asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali, yang kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan adanya reaksi positif.

3) Uji flavonoid

Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,05 mg dan 0,2 ml alkohol (campuran asam klorida 37 % dan etanol 95 % dengan volume sama) dan 2 ml alkohol. Kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menujukkan adanya flavonoid.

4) Uji saponin (uji busa)

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N, menunjukkan adanya saponin

5) Uji fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3 )

Kedalam 1 ml ekstrak sampel (1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70 % ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5 %. Terbentuknya warna hiaju atau hijau biru menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan.

6) Uji Molisch

Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya karbohidrat ditandai oleh terbentuknya kompleks berwarna ungu antara 2 lapisan cairan.

7) Uji ninhidrin

Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah 5 tetes larutan ninhidrin 0,1 %. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terjadinya larutan berwarna biru menunjukkan reaksi yang positif terhadap adanya asam amino. (8) Analisis kandungan asam nukleat

1) Sebanyak 5-10 mg sampel ditimbang, ditambahkan 200 µl cell lysis solution

2) Sampel ditambah 1,5 µl proteinase K (20 mg/ml), lalu diinkubasi pada suhu 55 oC (overnight)

3) Sampel dikeluarkan dari alat incubator dan dibiarkan sampai mencapai suhu ruang. Selanjutnya ditambahkan 1,5 µl RNase (4 mg/ml), lalu diaduk dengan hati-hati sebanyak 25 kali, lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 60 menit

4) Sampel dikeluarkan dari inkubator, lalu disimpan pada es selama 5 menit, kemudian ditambahkan 100 µl protein precipitation solution

5) Sampel disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 15 menit

6) Supernatan dipindahkan ke tube baru yang berisi 200 µl isopropanol, lalu diaduk dengan hati-hati

7) Sampel disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 10 menit

8) Supernatan dipindahkan atau dibuang, lalu ditambahkan 200 µl etanol 70% dingin

9) Selanjutnya disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 10 menit

10) Etanol dibuang dan pelet DNA dikeringudarakan sampai etanol habis atau kering

11) Selanjutnya ditambahkan 50 µl steril destillated water/aquabidest, dan disimpan pada refrigerator suhu 4 oC untuk penyimpanan jangka waktu lama

12) Konsentrasi DNA diukur menggunakan Gen Quant pada גּ 260 nm 7.3 Hasil dan Pembahasan

7.3.1 Komposisi senyawa kimia biomasa Chaetoceros gracilis

Komposisi senyawa kimia bahan pangan adalah kandungan kimia dari suatu bahan pangan tersebut. Analisis komposisi senyawa kimia dari Chaetoceros gracilis dilakukan untuk mendapatkan kandungan protein, lemak, karbohidrat, asam amino, asam lemak dan mineral. Zat nutrisi tersebut merupakan senyawa kimia yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kehidupan suatu makhluk hidup.

Biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi dan dipanen pada umur 7 hari mempunyai kadar protein, lemak dan karbohidrat sebesar 45,88 % (Lampiran 8), 16,5 %, dan 10,17 % (Lampiran 9). Kandungan kimia C. gracilis ini berbeda dengan apa yang ada di laporan Kungvankij (1988) yang menyatakan bahwa Chaetoceros memiliki kandungan protein 35 % (bk) dan lemak 6,9 % (bk), sedangkan menurut Renaud et al. (2002) kandungan protein, lemak dan karbohidrat pada Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam medium Guillard pada suhu 25 oC sebesar 57,3 %,16,8 %, dan 13,1 %. Komposisi kimia dari biomasa Chaetoceros berbeda satu dengan lainnya. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan faktor ekstrinsik dan instrinsik dalam kultivasinya, antara lain spesies, umur kultur, nutrien, dan CO2. Renaud et al. (2002) menyatakan bahwa komposisi kimia mikroalga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan termasuk suhu dan pencahayaan. Suhu pertumbuhan berhubungan dengan penurunan kandungan protein, peningkatan lemak dan karbohidrat. Respon komposisi kimia terhadap tinggi dan rendahnya suhu pada pertumbuhan tergantung dari jenisnya.

Selain suhu kultivasi, masih ada faktor lain yang juga berperan dalam komposisi senyawa kimia mikroalga. Yap dan Chen (2001) menyatakan bahwa komposisi asam lemak pada mikroalga Cylindrotheca fusiformis, Phaeodactylum tricornutum, Nitzschia closterium dan Chaetoceros gracilis berubah pada intensitas cahaya kultur yang berbeda. Faktor nutrisi yang meliputi nitrogen, fosfor, karbon mempengaruhi kandungan lemaknya. Salinitas dalam medium

mempengaruhi fisiologi dari mikroorganisme dan juga mempengaruhi komposisi asam lemak dan kandungan lemak dalam sel.

Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki kandungan kimia yang masih tinggi. Sumber nitrogen, fosfor, dan silikat dari medium NPSi diperoleh dari urea, TSP, dan sodium metasilika. Beberapa analisis lain yang dilakukan pada penelitian ini antara lain komposisi asam lemak dan komposisi asam amino dari biomasa C. gracilis. Kandungan lemak dan protein C. gracilis perlu diketahui karena beberapa jenis mikroalga potensi mengandung lemak maupun protein. Menurut Rosa et al. (2005) mikroalga telah lama dikenal karena memiliki aktivitas biologikal seperti pigmen, vitamin, lemak, sterol dan protein, selain itu juga menjadi sumber yang potensial untuk produk komersial di bidang akuakultur. Komponen silika dalam mikroalga jenis diatom berperan dalam pembentukan dinding sel, tanpa silika dalam medium pertumbuhan, diatom tidak bisa tumbuh.

Kandungan karbohidrat dalam biomasa kering Chaetoceros gracilis 10,17 %. Parson et al. (1984) melaporkan bahwa Chaetoceros sp mengandung serat kasar 22,8 % dari karbohidrat. Komposisi monosakarida dari sel keringnya meliputi glukosa 3,3 %, galaktosa 1,5 %, manosa 0,79 %, ribosa 0,71 %, silosa 0,4 %, ramnosa 2,8 %.

7.3.2 Kandungan lemak biomasa Chaetoceros gracilis

Lemak adalah sumber dari asam berantai lurus dari karbon berjumlah lebih dari 6 karbon. Sel-sel lemak tersimpan dalam tanaman dan hewan. Fosfollipid ditemukan dalam membran sel yang merupakan elemen struktur dasar dari kehidupan organisme (Morrison dan Boyd 1991).

Lemak merupakan komposisi kimia yang diperlukan oleh semua mahluk hidup. Beberapa jenis mahluk hidup seperti mikroalga dapat mensistesis lemak dalam tubuhnya. Diatom merupakan mikroalga yang mengandung lipid. Di dalam diatom, sulfolipid adalah komponen yang paling banyak dalam membran sel dan merupakan tipikal kelas lipid yang melimpah dalam sel mikroalga (Dunstan et al. 1994). Lemak berfungsi sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya.

Kadar lemak C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi sebesar 16,5 % lebih tinggi dibandingkan Chaetoceros hasil laporan Kungvanji (1988) yaitu sebesar 6,9 % (bk), tetapi mendekati hasil penelitian Renaud et al. (2002), yaitu sebesar 16,8 % (bk). Perbedaan ini disebabkan antara lain oleh jenis yang

berbeda maupun kondisi lingkungan dan nutrisi medium yang berbeda. Pada penelitian Renaud (2002), kultivasi dilengkapi dengan penggunaan CO2 dengan laju aliran 10 ml/menit, sedangkan pada penelitian ini tidak menggunakan CO2. Karbondioksida (CO2) merupakan senyawa yang diperlukan dalam proses fotosintesis. Senyawa tersebut (CO2) sangat penting untuk pertumbuhan mikroalga karena terkait dalam proses fotosintesis, yaitu senyawa yang akan tereduksi menjadi senyawa organik. Proses fotosintesis menggunakan radiasi sinar matahari atau sumber cahaya lainnya untuk membuat cadangan energi dalam jaringan sel dalam bentuk bahan organik dari bahan anorganik (Schlegel dan Schmidt 1994). Penelitian ini tidak menambahkan CO2, tetapi menggunakan aerasi dengan cara memasang pompa aerator non stop. Sumber CO2, hanya mengandalkan dari udara. Borowitzka (1988) menyatakan bahwa kandungan nitrogen atau silika dalam nutrien dapat mempengaruhi kandungan lemak mikroalga. Hal ini didukung oleh laporan Rosa et al. (2005) yang menyatakan bahwa biosintesis lipid dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti kondisi pertumbuhan dan komposisi nutrien dalam media.

Kandungan lemak dalam Chaetoceros gracilis lebih kecil bila dibandingkan kedele (17,7 %), tetapi lebih besar dibandingkan susu sapi (3,5 %) dan telur ayam (11,5 %) (FAO 1972). Lemak sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk sumber energi, pelarut beberapa vitamin.

7.3.3 Komposisi asam lemak ekstrak Chaetoceros gracilis

Asam lemak merupakan komponen gizi penyusun lemak suatu bahan. Fitoplankton seperti mikroalga diketahui sebagai produser primer rantai makanan di dalam laut, karena dapat mensintesis asam lemak rantai panjang (PUFAs). Mikroalga termasuk diatom (Bacillarophyceae) potensial sebagai sumber PUFAs, sehingga dianggap sebagai sumber asam lemak (Yap dan Chen 2001).

Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi mempunyai komposisi asam lemak yang terdiri dari asam lemak jenuh yang meliputi kaprilat (C8:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0), laurat (C12:0), stearat (C18:0), heneikosanoat (C21:0), behenat (C22:0), serta asam lemak tidak jenuh yang terdiri atas palmitoleat (C16:1), heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1), pentadekanoat (C15:1), oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat (C20:4n6), linolenat (C18:3), dokosadienoat (C22:2), eikosapentaenoat (C20:5n3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n3) (Tabel 3).

Tabel 3 Komposisi asam lemak biomasa kering Chaetoceros gracilis

Asam lemak asam lemak (%) asam lemak dalam bahan (g/100g)

Asam lemak jenuh

Asam kaprilat, C8:0 0,06 0,0099 Asam laurat, C12:0 0,08 0,0132 Asam miristat, C14:0 7,90 1,3035 Asam pentadekanoat, C15:0 0,38 0,0627 Asam palmitat, C16:0 5,17 0,8531 Asam stearat C18:0 0,26 0,0429 Asam arakidat, C20:0 0,31 0,0512 Asam heneikosanoat, C21:0 0,30 0,0495 Asam behenoat, C22:0 0,16 0,0264

Asam lemak tidak jenuh

Asam miristoleat, C14:1 0,16 0,0264 Asam pentadekanoat C15:1 0,25 0,0413 Asam palmitoleat, C16:1 14,83 2,4470 Asam heptadekanoat, C17:1 0,69 0,1139 Asam oleat, C18:1n9 0,42 0,0693 Asam linoleat, C18:3n3 0,31 0,0512 Asam linolenat, C18:3n6 0,32 0,0528 Asam arakhidonat C20:4n6 1,49 0,2459 Asam dokosadienoat C22:2 0,03 0,0050 Asam eikosapentaenoat, C20:5n3 9,74 1,6071 Asam dokosaheksaenoat, C22:6n3 0,90 0,1485

Hasil penelitian menunjukkan bahwa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi masih memproduksi beberapa jenis asam lemak. Hasil penelitian Renaud et al. (2002) menunjukkan bahwa asam lemak jenuh Chaetoceros meliputi C14:0 (23,6 %), C16:0 (9,2 %), C18:0 (0,7 %), sedangkan asam lemak tidak jenuhnya meliputi C16:1n-7 (36,5 %), C18:1n-9 (1,7 %), C18:1n-7 (1,2 %), C16:2n-7 (0,9 %), C16:3n-4 (2,6 %), C16:4n-1 (0,5 %), C18:2n-6 (0,4 %), C18;3n-6 (0,9 %), C18;3n-3 (0,5 %), C18:4n-3 (0,6 %), C20:4n-6 (4,1 %), C20:5n-3 (8,0 %), C22:6n-3 (1,0 %). Secara umum asam lemak yang dikandung pada Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam medium Guillard (Renaud et al. 2002) juga dimiliki oleh Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam NPSi hasil penelitian, tetapi jumlahnya tidak sama. Hal ini dikarenakan perbedaan dalam kultivasi.

Perbedaan hasil penelitian yang diperoleh dengan penelitian Renaud et al. (2002) dikarenakan kondisi kultivasi yang diterapkan berbeda. Walaupun demikian, hal ini menunjukkan bahwa medium NPSi dapat digunakan sebagai medium pertumbuhan C. gracilis yang menghasilkan asam lemak, tetapi masih perlu penelitian optimasi kultivasi C. gracilis supaya kandungan lemaknya lebih besar. Menurut Araujo dan Garcia (2005), penambahan karbondioksida pada kultivasi Chaetoceros cf. waghamii dapat memperpanjang fase logaritmik, yang mana pada fase ini mikroalga memiliki nilai nutrisi tinggi dan baik untuk akuakultur. Laju pertumbuhan lebih tinggi pada kultivasi yang ditambah CO2. Kandungan lipid dan karbohidrat mikroalga tersebut yang kultivasinya pada suhu 20 dan 25 oC lebih tinggi daripada pada suhu 30 oC.

Beberapa jenis asam lemak juga berperan sebagai antibakterial. Zheng