• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAPANKAH WAJIB PAJAK (WP) DAPAT MEMBAYAR BPHTB ?

Dalam dokumen BAB I Dasar dasar perpajakan (Halaman 75-80)

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

B. KAPANKAH WAJIB PAJAK (WP) DAPAT MEMBAYAR BPHTB ?

Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. menyebutkan bahwa "Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan."

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayar (1) tersebut telah menentukan bahwa Notaris/PPAT hanya dapat menandatangani akta peratihan atas tanah dan atau bangunan setelah terlebih dahulu Wajib Pajak (WP) menyerahkan Surat Setoran Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan atau telah membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dengan kata lain sebelum WP menyerahkan tanda bukti sudah membayar BPHTB, maka Notaris/PPAT tidak dapat menandatangani akta peralihan atas Tanah atau bangunan atau: WP bayar BPHTB dahulu kemudian Notaris/PPAT menandatangani akta peralihan atas tanah dan atau bangunan.

Saya dapat menegaskan dan menyimpulkan bahwa isi pasal tersebut bertentangan dengan isi :

1. Pasal I angka 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan menyebutkan bahwa "Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan".

Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa "Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan."

3. Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Tanah Undang-undang Nornor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan menyebutkan bahwa :

* Pasal 9 ayat (1): Saar terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk :

a. jual bell adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; b. tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat din ditandatanganinya akta; c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

d. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan pelatihan haknya ke Kantor Pertahanan;

e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanginya akta;

f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

g. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;

h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

i. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;

j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dan pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

k. pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

l. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; m. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; o. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

* Pasal 9 ayar (2): Pajak yang dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud di atas.

Berdasarkan Pasal I angka 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, ditegaskan bahwa seseorang/badan hukum/ WP akan memperoleh hak atas tanah dan bangunan setelah terlebih dahulu atau didahului terjadi/adanya Perbuatan atau Peristiwa Hukum.

Bahwa perbuatan atau peristiwa hukum adalah suatu peristiwa yang diberi akibat oleh hukum (Soedirnan Kartohadiprudjo, 1982:40-41).

Salah satu contoh dari Perbuatan/Peristiwa Hukum adalah sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 9 ayat I Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tenting bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan di atas. Sehingga jika dari suatu Perbuatan/ Peristiwa Hukum yang telah dilakukan oleh para pihak tersebut ternyata berdasarkan peraturan perundang-undangan (perpajakan) para pihak berkewajiban untuk membayar pajak, maka sejak saat itulah timbul Pajak Terutang. Hal ini sesuai dengan Pasal I angka 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Urnum dan Tata Cara Perpajakan.

Untuk memahami pengertian Pajak Terutang, maka ada 2 (dua) pendapat/ajaran. Pertama, ajaran materil bahwa timbulnya utang pajak itu setelah adanya sebab-sebab (tatbestand) yang menyebabkan orang itu dikenakan pajak . Kedua, ajaran formil bahwa utang pajak itu timbul kalau sudah ada Ketetapan Pajak yang dilakukan oleh fiscus ( S. Munawir, 1992: 30.31)

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwaPajak Terutang timbul setelah terlebih adalah ada Peristiwa Hukum dan Sebab-sebab/Tatbestand (menurut ajaran materil) sehingga seseorang/badan hukum harus membayar pajak.

Dalam berbagai pasal yang saya tuliskan di atas, ada kalimat yang dapat dijadikan dasar/patokan bahwa Pajak Terutang itu muncul setelah terlebih dahulu terjadinya Peristiwa Hukum dan sebab-sebabnya, dengan kata lain harus terlebih dahulu adanya peralihan hak atau perolehan hak yang dituangkan dalam bentuk akta Notaris/PPAT.

Kalimat-kalimat yang dapat dijadikan dasar tersebut seperti :

1. Perbuatan atau Peristiwa Hukum, (Pasal 1 angka 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan).

2. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, (Pasal I angka 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.)

3. Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dan sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; (Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan)

4. Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak (Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan).

Kalimat-kalimat. Perbuatan atau peristiwa hukum, pada saat, sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta, yang berarti utang pajak timbul harus didahului/ diawali dengan perbuatan perolehan hak, bukan berarti pajak (BPHTB) dibayar dulu kemudian hak diperoleh.

Untuk mempermudah permasalahan tersebut, saya memberikan ilustrasi jika suatu hari kita makan di restoran atau rumah makan, maka sesudah makan disamping membayar sejumlah makanan yang sudah kita santap, kita juga berkewajiban atau dikenakan pajak.

Sehingga dalam perolehan alas tanah dan atau bangunan suatu ha) yang misleading (juga Iucu), jika transaksi atau perolehan hak atau peristiwa hokum dan sebab-sebabnya belum terjadi, tapi seseorang/badan hukum telah mempunyai hutang pajak/pajak tentang. Dengan kata lain makan (perolehan haknya atau peristiwa hukumnya) saja belum, tapi terlebih dahulu harus bayar pajak.

Kalimat "pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Perolehan Hak alas Tanah dan Bangunan pada Pasal 24 ayat (1) tersebut, yang berarti Wajib Pajak harus terlebih dahulu bukti pembayaran BPHTB, padahal tanda bukti (berupa akta) perolehan haknya belum ada. Apakah ini yang dikehendaki oleh pasal-pasal lainnya yang telah saya sebutkan di atas.

Dengan pengkajian dan penafsiran secara sistematis, akhirnya dapat disimpulkan Bahwa Pasal 24 ayat (1) tidak berlaku (nonimplementable), atau dengan kata lain Pasal 24 ayat (1) tersebut menjadi tidak berlaku sama sekali atau tidak dapat ditindaklanjuti, karena:

a. syarat adanya perbuatan hukum atau peristiwa hukum belum terjadi sehingga belum timbal pajak yang terutang.

b. Bertentangan dengan pasal-pasal lainnya sebagaimana tersebut di atas.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka dengan sendirinya peraturan-peraturan lainnya sebagai tindak lanjut dari Pasal 24 ayat (1) juga ridak dapat diterapkan.

Sehingga yang benar menurut hukum yang bagaimana? yaitu para pihak (orang atau badan hukum) sebelum membayar BPHTB ataupun pajak-pajak lainnya. terlebih dahulu harus datang

menghadap Notaris/PPAT untuk membuat dan menandatangani akta perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Jika menurut perhitungan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku perolehan hak tersebut ternyata wajib membayar pajak (BPHTB), maka dengan berbekal akta peralihan hak tersebut, orang/badan hukum yang bersangkutan datang ke kantor pajak atau bank yang ditunjuk untuk membayar pajak yang bersangkutan.

C. NOTARIS/PPAT SEBAGAI PROFESI YANG MEMPUNYAI KEDUDUKAN

Dalam dokumen BAB I Dasar dasar perpajakan (Halaman 75-80)

Dokumen terkait