• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOTARIS/PPAT SEBAGAI PROFESI YANG MEMPUNYAI KEDUDUKAN MANDIR

Dalam dokumen BAB I Dasar dasar perpajakan (Halaman 80-91)

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

C. NOTARIS/PPAT SEBAGAI PROFESI YANG MEMPUNYAI KEDUDUKAN MANDIR

Bahwa secara kelembagaan, baik Notaris maupun PPAT mempunyai kedudukan yang mandiri, tidak tergantung (depend on) kepada institusi yang mengangkatnya ataupun menjadi subordinasi institusi yang mengangkatnya.

Bahwa Notaris dan PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah c.q. Menteri Kehakiman dan Menteri yang bertanggungjawab di bidang agraria/pertanahan selaku pembantu Presiden (Pasal 17 UUD 1945)

Berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai tindaklanjutnya, baik secara eksplisit maupun implisit tidak ada ketentuan bahwa Notaris maupun PPAT menjadi institusi (departemen/badan) yang tergantung kepada atas yang mengangkatnya atau menjadi bawahan yang mengangkatnya. Tapi yang ada yaitu dalam bentuk pembinaan dan pengawasan dari institusi yang mengangkatnya (Untuk pengawasan Notaris berdasarkan Pasal 54 Undang-undang Nomorr 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, sedangkan untuk PPAT berdasarkan Pasal 35 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT). Oleh karena itu suatu hal yang aneh jika ada institusi lain yang tidak pernah dan tidak mungkin mengangkatnya, tiba-tiba berkewajiban meminta dan menyuruh serta dapat menjatuhkan denda jika permintaan dan suruhannya tidak diikuti. Hal ini terbukti dan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, bahwa "Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi

administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 ( tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran."

Secara substansi isi pasal tersebut juga tidak jelas, yaitu berkaitan dengan sanksi administrasi dan denda. Dalam hal ini siapa yang memiliki legitimasi untuk menerapkan sanksi administrasi dan denda tersebut? Penerapan sanksi administrasi dan denda akan berkaitan dengan legitimasi yaitu persoalan kewenangan, yaitu wewenang pengawasan Jan wewenang menerapkan sanksi. Wewenang pengawasan Jan wewenang untuk menerapkan sanksi adalah mutlak.

Wewenang harus ditetapkan, balk melalui atribusi maupun delegasi. Pada atribusi pemberian wewenang (bare) terjadi karena ketentuan suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan delegasi merupakan pelimpahan wewenang yang telah ada pads suatu badan (instansi) yang sebelumnya telah memperoleh wewenang atributif.

Pada rumusan Pasal 26 ayat (1) tersebut di atas tidak menyebutkan secara jelas balk secara atribusi maupun delegasi pejabat mana yang diberi kewenangan untuk menjatuhkan denda dan sanksi administrasi, dan sanksi administrasi jenis apa yang akan dijatuhkan kepada Notaris/PPAT yang melanggar pasal-pasal tersebut ? tidak jelas bukan? Sehingga suatu hal yang tidak logis dari segi hukum, jika tiba-tiba Departemen Keuangan dan instansi bawahannya berwenang untuk melaksanakan isi Pasal 26 ayat (I) tersebut dengan mengeluarkan peraturan pelaksanaannya. Padahal secara atribusi ataupun delegasi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan tidak menyebutkan kewenangan untuk melaksanakan Pasal 26 ayat (1) ada berada pada Departemen Keuangan dan instansi bawahannya. Oleh karena itu pengenaan sanksi tanpa dasar kewenangan merupakan tindakan onbevoegdheid.

Dengan demikian Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Tanah dan Bangunan ridak Japat ditinJaklanjuti karena telah salah secara suhstansi hukum (bahkan terlalu Jipaksakan).

Kesalahan atau penyimpangan yang berasal dari Pasal 24 ayat (1) tersebut hares segera dihentikan, jangan sampai menjadi kesalahan yang melembaga.

Oleh karena itu untuk segera menghentikan kesalahan/ penyimpangan tersebut dan kembali ke jalan yang lurus dan benar menurut hukum. Setidaknya Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan suatu keputusan, bahwa orang/badan hukum ketika akan membayar BPHTB, wajib telah terlebih dahulu membuat dan membawa akta (akta Notaris/PPAT yang sempurna) sebagai bukti telah terjadi perolehan hak.

Notaris/PPAT sebagai salah sate profesi hukum sangat berkepentingan untuk membantu pemerintah dalam hal perpajakan, tapi tidak berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan tersebut karena tidak tepat pengaturan Jan penerapannya sebagaimana yang telah saya uraikan di aras. Tapi bantuan Notaris/PPAT berdasarkan prinsip saling kesejajaran, dalam arti Departemen Keuangan bukan alasan Notaris/PPAT dan Notaris/PPAT bukan bawahan Departemen Keuangan.

Dengan demikian yang harus dilakukan yaitu kerjasama. Departemen Keuangan c.q Direktorat Jenderal Pajak meminta bantuan para Notaris/PPAT untuk bekerjasama dalam hal pembayaran /penarikan BPHTB dan ditentukan hak dan kewajiban masing-masing dengan jelas dan tegas, yang tercantum dalam Perjanjian Kerjasama tersebut.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 35 TAHUN 1997 (35/1997)

TENTANG

PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA HIBAH WASIAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dipandang perlu mengatur pengenaan bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena hibah wasiat dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688);

MEMUTUSKAN:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA HIBAH WASIAT.

Pasal 1

Yang dimaksud dengan hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

Pasal 2

Yang dimaksud dengan badan hukum tertentu adalah badan hukum yang melayani kepentingan umum di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan yang kegiatannya semata-mata tidak mencari keuntungan.

Pasal 3

Besarnya bea atau pajak yang terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena hibah wasiat yang diterima oleh:

a.orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus atau derajat ke atas dan satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, dikenakan sebesar 0% (nol persen) dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang seharusnya terutang;

b.orang pribadi selain dimaksud pada huruf a, dikenakan sebesar 50% (lima puluh persen) dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang seharusnya terutang; c.badan hukum tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dikenakan sebesar 50% (lima puluh

persen) dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang seharusnya terutang.

Saat yang menentukan bea atau pajak yang terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.

Pasal 5

(1)Nilai Perolehan Objek Pajak hak atas tanah dan atau bangunan yang diperoleh karena hibah wasiat adalah nilai pasar pada saat didaftarkannya peralihan hak tersebut.

(2)Dalam hal nilai pasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah dari pada Nilai Jual Obyek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, yang digunakan adalah Nilai Jual Obyek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.

Pasal 6

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya hanya dapat melakukan pendaftaran peralihan hak setelah Wajib Pajak menyerahkan salinan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pasal 7

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan mengenai tata cara pengenaan bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena hibah wasiat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 8

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1998.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 7 Oktober 1997

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 7 Oktober 1997

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd.

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 78

PENJELASAN ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 1997

TENTANG

PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA HIBAH WASIAT

UMUM

Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan disebutkan bahwa perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat merupakan objek pajak. Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

Pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga dengan pemberi hibah wasiat, atau orang pribadi, penerima hibah pada umumnya juga berupa badan hukum tertentu yang melayani kepentingan umum di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan, yang semata-mata tidak mencari keuntungan.

Oleh karena pemberian dengan melalui hibah wasiat merupakan penghargaan dari pemberi hibah wasiat kepada penerima hibah wasiat, maka untuk lebih memberikan rasa keadilan, besarnya pengenaan bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat perlu diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 pengertian Bea atas Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikatakan pula sebagai pajak. Oleh karenanya, dalam Peraturan Pemerintah ini kedua sebutan digunakan. Sebutan Pajak terutama dipakai untuk mempermudah pemahaman tentang cara perhitungan dalam penetapan besarnya Bea yang terutang.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Yang dimaksud dengan suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan adalah penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan dari pemberi hibah wasiat kepada penerima hibah wasiat yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

Pasal 2

Pasal 3

Huruf a

Berbeda dengan pengertian umum, untuk keperluan perpajakan pengertian hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas dan satu derajat ke bawah tidak termasuk saudara kandung.

Pembuktian hubungan keluarga tersebut didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam fatwa waris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai contoh besarnya bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat sebagaimana dimaksud dalam huruf a ini:

Seorang anak memperoleh hibah wasiat dari ayahnya sebidang tanah dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp. 130.000.000,00, maka besarnya bea atau pajak yang terutang adalah sebagai berikut:

-Nilai Perolehan Objek PajakRp.130.000.000,00 -Nilai Perolehan Objek PajakRp. 30.000.000,00

Tidak Kena Pajak ---(-)

- Nilai Perolehan Objek PajakRp.100.000.000,00 Kena Pajak

-Bea atau pajak yang

seharusnya terutang =

5% x Rp. 100.000.000,00= Rp. 5.000.000,00

-Bea atau pajak yang

harus dibayar = 0% x

Rp. 5.000.000,00 = 0 (Nihil).

Sebagai contoh besarnya bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat sebagaimana dimaksud dalam Huruf b ini:

Badu memperoleh hibah wasiat dari Ali, antara Badu dan Ali tidak ada hubungan keluarga sedarah, berupa sebidang tanah yang diatasnya terdapat bangunan rumah dengan NPOP sebesar Rp. 130.000.000,00 maka besarnya bea atau pajak yang terutang adalah sebagai berikut:

-Nilai Perolehan Objek PajakRp.130.000.000,00 -Nilai Perolehan Objek PajakRp. 30.000.000,00

Tidak Kena Pajak ---(-)

-Nilai Perolehan Objek PajakRp.100.000.000,00 Kena Pajak

-Bea atau pajak yang

seharusnya terutang = 5% x

Rp. 100.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00

-Bea atau pajak yang harus dibayar = 50% x Rp.

5.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00.

Huru c

Sebagai contoh besarnya bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat sebagaimana dimaksud dlam Huruf c ini:

Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak Yatim Piatu memperoleh hibah wasiat sebidang tanah dengan NPOP sebesar Rp. 130.000.000,00 maka besarnya bea atau pajak yang terutang adalah sebagai berikut:

-Nilai Perolehan Objek PajakRp. 30.000.000,00 Tidak Kena Pajak

---(-)

-Nilai Perolehan Objek PajakRp.100.000.000,00 Kena Pajak

-Bea atau pajak yang seharusnya terutang = 5% x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00

-Bea atau pajak yang harus dibayar = 50% x Rp. 5.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00.

Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3707

Dalam dokumen BAB I Dasar dasar perpajakan (Halaman 80-91)

Dokumen terkait