• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Karakter atau Akhlak dalam Al- Qur‟an

1. Pengertian Karakter

Secara bahasa, karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein,

yang artinya „mengukir‟. Sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas

benda yang diukir. Tidak mudah usang tertelan waktu atau aus terkena gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan menghilangkan benda yang diukir itu. sebab, ukiran melekat dan menyatu dengan bendanya (Munir, 2010:2). Kata karakter menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008) berarti; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Sedangkan karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas memiliki makna; bawaan hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak (Syafri, 2012: 7). Sementara dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sfat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo dalam Furqon Hidayatullah, 2010: 12).

Karakter berasal dari kata character yang berarti watak, karakter atau sifat (Echols, 1996: 107). Suyanto mendefinisikan karakter sebagai

20

cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan beerja sama, baik dalam lingkup keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa, dan negara (Zuchdi, 2011: 27).

Secara koheren karakter memancar dari hasil olah pikir, olah rasa dan karsa, serta olah raga yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan (Budimansyah, 2010: 23). Dan secara psikologis karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga sehingga menghasilkan enam karater utama dalam seorang individu, yaitu jujur, tanggung jawab, cerdas, bersih, sehat, peduli, dan kreatif (Majiid dan Andayani, 2011: 164).

Karakter memiliki batasan yang berada di dalam dua wilayah. Ia diyakini ada sebagai sifat fitri manusia, sementara pada sisi lain ia diyakini harus dibentuk melalui model pendidikan tertentu. Aristoteles meyakini bahwa individu tidak lahir dengan kemampuan untuk mengerti dan menerapkan standar-standar moral, dibutuhkan pelatihan yang berkesinambungan agar individu menampakkan kebaikan moral. Sementara Socrates meyakini bahwa ada bayi moral dalam diri manusia yang meminta untuk dilahikan , tugas pendidikan adalah untuk membantu melahirkannya (Anees, 2009: 120).

2. Karakter atau Akhlak dalam Al-Qur‟an

Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai

21

suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut kebiasaan (Majiid dan Andayani, 2011: 12).

Al-Qur‟an adalah sebagai rujukan akhlak yang berfungsi menyampaikan risalah hidayah untuk menata sikap dan perilaku yang harus dilakukan manusia. Ayat-ayat al-Qur‟an sangat membangun

karakter akhlak. Beberapa diantaranya adalah pengarahan agar umat manusia berakhlakul karimah, bisa dilihat pada beberapa surat dan ayat berikut yang mengungkapkan hal-hal yang berkenaan dengan perilaku, penjagaan diri, sifat pemaaf, dan kejujuran (Syafri, 2012: 63):

a. QS. An-Nur ayat 30-31

َّنِا ْمٌٍَُ َّوْصَأ َهٌَِر ْمٍَُجَُشُف اُُظَفْحَََٔ ْمٌِِسبَصْبَأ ْهِم اُُّضُغَٔ َهِٕىِمْئُمٌٍِْ ًُْل

(30) َنُُعَىْصَٔ بَمِب ٌشِٕبَخ َ َّالله

َهِٔذْبُٔ َلاََ َّهٍَُجَُشُف َهْظَفْحَََٔ َّهٌِِسبَصْبَأ ْهِم َهْضُضْغَٔ ِثبَىِمْئُمٌٍِْ ًُْلََ

ِا َّهٍَُخَىِٔص

َهِٔذْبُٔ َلاََ َّهٍِِبُُُٕج ٍََّع َّهٌِِشُمُخِب َهْبِشْضٌَََْٕ بٍَْىِم َشٍََظ بَم َّلا

ِءبَىْبَأ ََْأ َّهٍِِئبَىْبَأ ََْأ َّهٍِِخٌَُُعُب ِءبَبَآ ََْأ َّهٍِِئبَبَآ ََْأ َّهٍِِخٌَُُعُبٌِ َّلاِا َّهٍَُخَىِٔص

ْخِا ِٓىَب ََْأ َّهٍِِواَُْخِا ََْأ َّهٍِِخٌَُُعُب

بَم ََْأ َّهٍِِئبَغِو ََْأ َّهٍِِحاََُخَأ ِٓىَب ََْأ َّهٍِِواَُ

ْمٌَ َهِٔزٌَّا ًِْفِّطٌا ََِأ ِيبَجِّشٌا َهِم ِتَبْسِ ْلْا ٌَُِٓأ ِشَْٕغ َهِٕعِببَّخٌا ََِأ َّهٍُُوبَمَْٔأ ْجَىٍََم

ْعٌُِٕ َّهٍٍُِِجْسَؤِب َهْبِشْضَٔ َلاََ ِءبَغِّىٌا ِثاَسَُْع ٍََّع اَُشٍَْظَٔ

ْهِم َهِٕفْخُٔ بَم َمٍَ

( َنُُحٍِْفُح ْمُىٍََّعٌَ َنُُىِمْئُمٌْا بٍََُّٔأ بًعِٕمَج ِ َّالله ٌَِّا اُُبُُحََ َّهٍِِخَىِٔص

31

22

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat (30)."Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) Nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”(31) b. QS. Al-Ahzab ayat 33

23

َةلاَّصٌا َهْمِلَأََ ٌََّلأا ِتٌٍَِِّٕبَجٌْا َجُّشَبَح َهْجَّشَبَح لاََ َّهُىِحُُُٕب ِٓف َنْشَلََ

َظْجِّشٌا ُمُىْىَع َبٌِْزٌُِٕ ُ َّالله ُذِٔشُٔ بَمَّوِا ًٌَُُُعَسََ َ َّالله َهْعِطَأََ َةبَوَّضٌا َهِٕحآَ

ِجَْٕبٌْا ًٌََْأ

اًشٍِْٕطَح ْمُوَشٍَِّطََُٔ

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias, dan bertingkah-laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlulbait, dan membersihkan (dosa) kamu sebersih-bersihnya." – (QS.33:33)

c. QS. Al-Isra‟ ayat 23

َنَذْىِع َّهَغٍُْبَٔ بَّمِا ۚ بًوبَغْحِا ِهَْٔذٌِاٌَُْبِبََ ُيبَِّٔا َّلاِا اَُذُبْعَح َّلاَأ َهُّبَس َّٰضَلََ

ِىٌْا

ًلاَُْل بَمٌٍَُ ًُْلََ بَمٌُْشٍَْىَح َلاََ ٍّفُأ بَمٌٍَُ ًُْمَح َلاَف بَمٌُ َلاِو ََْأ بَمٌُُذَحَأ َشَب

بًمِٔشَو

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

24

d. QS. At-Taubah ayat 119

َهِٕلِدبَّصٌا َعَم ْاُُوُُوََ َ ّالله ْاُُمَّحا ْاُُىَمآ َهِٔزٌَّا بٍََُّٔأ بَٔ

﴿ 11١ ﴾

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (199).

e. QS. Ali Imran ayat 133-134

ُض ْرلأا َو ُتا َواَمَّسلا اَهُض ْرَع ٍةَّنَج َو ْمُكِّبَر ْنِم ٍةَرِفْغَم ىَلِإ اوُعِراَس َو

( َنيِقَّتُمْلِل ْتَّدِعُأ

٣١١

ِءاَّرَّضلا َو ِءاَّرَّسلا يِف َنوُقِفْنُي َنيِذَّلا )

يِن ِس ْحُمْلا ُّبِحُي ُ َّاللَّ َو ِساَّنلا ِنَع َنيِفاَعْلا َو َظْيَغْلا َنيِمِظاَكْلا َو

( َن

٣١١ )

“Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan

mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa, (133). (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema‟afkan (kesalahan)

orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”

(134)

Al-Qur‟an sendiri melakukan proses pendidikan melalui latihan -latihan, baik formal ataupun nonformal. Pendidikan akhlak ini merupakan sebuah proses mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir yang baik. Selain

Al-Qur‟an, sumber akhlak lainnya adalah sunnah Nabi Muhammad Saw.

pandangan ini berdalil pada pendapat Aisyah ra. Ketika menafsirkan

-25

Qur‟an. Seperti dalam firman Allah,

ِمِْٕظَع ٍكٍُُخ ٍََّعٌَ َهَّوِا ََ

“Dan

sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al -Qalam: 4). (Syafri , 2014: 65)

Akhlak merupakan fondasi dasar sebuah karakter diri. Sehingga pribadi yang berakhlak baik nantinya akan menjadi bagian dari masyarakat yang baik pula dan sebaliknya. Akhlaklah yang membedakan karakter manusia dengan makhluk lainnya. Tanpa akhlak, manusia akan kehilangan derajat sebagai hamba Allah paling terhormat. Sebagaimana firman –Nya,

( ٍمُِْٔمَح ِهَغْحَأ ِٓف َنبَغْوِ ْلْا بَىْمٍََخ ْذَمٌَ

4

( َهٍِِٕفبَع ًََفْعَأ ُيبَوْدَدَس َّمُث )

5

َّلاِا )

َْٕغ ٌشْجَأ ْمٍٍََُف ِثبَحٌِبَّصٌا اٍُُِمَعََ اُُىَمَآ َهِٔزٌَّا

( ٍنُُىْمَم ُش

6 )

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya(Neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya” (QS At-Tin: 4-6)

C. Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan menurut Ratna Megawangi (2004: 95),

“Sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang

positif kepada lingkungannya.”

Definisi lainnya dikemukakan oleh Fakry Gaffar (2010: 1), “sebuah

26

dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku

kehidupan orang itu”. (Kesuma, 2011: 5)

Pendidikan karakter atau oleh para pendidik sering disebutnya sebagai pendidikan watak, adalah sebuah proses pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, atau akhlak mulia yang berakar pada ajaran agama, adat istiadat dan nilai-nilai ke-Indonesiaan, dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi manusia yang bermartabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Zuchdi, 2009: 76).

Pengembangan karakter terpuji/akhlak mulia/budi pekerti luhur memerlukan pengembangan ketajaman berpikir/bernalar, pemberian teladan, dan pembiasaan secara terus menerus. Semua cara tersebut perlu dilandasi pengembangan kecerdasan religius karena hal ini telah banyak diakui sebagai kondisi yang dapat membuat pendidikan karakter dapat dikelola dengan lebih mudah, dengan hasil yang relatif lebih baik (Zuchdi, 2009: 52).

Mantan Presiden RI pertama Soekarno berulang-ulang menegaskan:

“Agama adalah unsur mutlak dalam National an Character building” (Sumahamijaya dkk, 2003: 45). Hal ini diperkuat dengan

pendapat Simahamijaya itu sendiri yang mengatakan bahwa karakter harus mempunyai landasan yang kokoh dan jelas. Tanpa landasan yang jelas, karakter kemandirian tidak punya arah, mengambang, keropos sehingga tidak berarti apa-apa. Oleh karenanya, fundamen atau landasan dari pendidikan karakter itu tidak lain haruslah agama (Majiid dan Andayani, 2011: 61).

27

Sesungguhnya pendidikan karakter sudah ada dalam UU

Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Meskipun kata “karakter” tidak

disebutkan secara langsung, namun penjelasan dari rumusan tersebut mengarah pada definisi dan arti karakter yang telah disebutkan sebelumnya. Misalnya pada tujuan pendidikan nasional yang menekankan

“keimanan dan ketakwaan”. Juga pada bahasan kurikulum yang

memperhatikan aspek peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia dan wajibnya pendidikan agama dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi (Syafri , 2014: 12).

Dalam Majiid dan Andayani (2011: 61), pendidikan karakter menuju terbentuknya akhlak mulia dalam diri setiap orang ada tiga tahapan yang harus dilalui, diantaranya:

a. Moral Knowing/Learning to know

Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan karakter. Pada tahapan ini, tujuam diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai.

b. Moral Loving/Moral feeling

Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai ahlak mulia.

c. Moral Doing/Learning to do

Pada tahapan ini seseorang mempraktikkan nilai-nilai akhlak mulia itu dalam perilakunya sehari-hari. Tindakan selanjutnya adalah pembiasaana dan pemotivasian.

28

Pendidikan karakter yang bersifat langsung adalah yang disampaikan melalui program pembelajaran dan pelatihan tertentu. Dan tujuan jangka panjang yang hendak dicapai adalah terbangunnya kehidupan masyarakat, yang aman dan damai, yang bahagia lahir dan batin. Guna mencapai tujuan ini perlu pengembangan kultur yang bercirikan pengawasan oleh Tuhan Yang Maha Esa, teladan oleh pimpinan, dan feedback dari teman (Zuchdi, 2009: 15).

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengarahkan peserta didik pada pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada nilai-nilai keluhuran (Zuchdi, 2011: 27).

2. Tujuan pendidikan karakter

Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah Muhammad Saw, Sang Nabi terakhir dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character). Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhammad Saw. bahwa akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan

29

dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan Martin Luther King

menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “Intelligence plus character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter,

itulah tujuan yang benar dari pendidikan (Majiid dan Andayani, 2011: 30).

Pemaparan pandangan tokoh-tokoh di atas menunjukkan bahwa pendidikan sebagai nilai universal kehidupan memiliki tujuan pokok yang disepakati di setip zaman, pada setiap kawasan, dan dalam semua pemikiran. Dengan bahasa sederhana, tujuan yang disepakati itu adalah merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan sikap dan keterampilan (Majiid dan Andayani, 2011: 30).

Untuk mencapai tujuan pendidikan karater kepada taraf yang baik, dalam artian terjadi keseimbangan antara ilmu dan amal., maka

Al-Qur‟an juga memberikan model pembiasaan dan praktik keilmuan. Al

-Qur‟an sangat banyak memberikan dorongan agar manusia selalu melakukan kebaikan. Ayat-ayat dalam Al-Qur‟an yang menekankan pentingnya pembiasaan bisa terlihat pada term “amilus shalihat”. Term

ini diungkap Al-Qur‟an sebanyak 73 kali. Bisa diterjemahkan dengan kalimat “mereka selalu melakukan amal kebaikan”, atau “membiasakan beramal saleh”. Jumlah term tersebut memperlihatkan pentingnya

pembiasaan suatu amal kebaikan dalam proses pembinaan dan pendidikan karakter dalam Islam (Syafri , 2014: 137).

30

Pendidikan Karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya. Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik.

Karakteristik yang paling menonjol dalam organisasi tujuan-tujuan yang diwujudkan dalam pendidikan karakter, bersifat developmental, kompetensi-kompetensi itu tidak dapat dikembangkan dalam waktu secara lingkungan belajar yang sangat terbatas. Mengembangkan kemampuan dasar/nilai-nilai dalam kehidupan untuk menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., hanya mungkin dikembangkan secara kontinu dalam kehidupan sehari-hari (Majiid dan Andayani, 2011: 153).

31

BAB III

TAFSIR SURAT ALI IMRAN AYAT 133 SAMPAI 136

A. Surat Ali Imran ayat 133 sampai 136

ْتَّدِعُأ ُضْزلأاَو ُتاَوبَمَّسلا بَهُضْسَع ٍةَّىَجَو ْمُكِّثَز ْهِم ٍةَسِفْغَم ىَلِإ اىُعِزبَسَو

( َهٍِقَّتُمْلِل

٣١١

َظٍَْغْلا َهٍِمِظبَكْلاَو ِءاَّسَّضلاَو ِءاَّسَّسلا ًِف َنىُقِفْىٌُ َهٌِرَّلا )

( َهٍِىِس ْحُمْلا ُّتِحٌُ ُ َّاللََّو ِسبَّىلا ِهَع َهٍِفبَعْلاَو

٣١١

ًةَشِحبَف اىُلَعَف اَذِإ َهٌِرَّلاَو )

ْغَتْسبَف َ َّاللَّ اوُسَكَذ ْمُهَسُفْوَأ اىُمَلَظ ْوَأ

ُ َّاللَّ لاِإ َةىُوُّرلا ُسِفْغٌَ ْهَمَو ْمِهِثىُوُرِل اوُسَف

( َنىُمَلْعٌَ ْمُهَو اىُلَعَف بَم ىَلَع اوُّسِصٌُ ْمَلَو

٣١١

ْهِم ٌةَسِفْغَم ْمُهُؤاَزَج َكِئَلوُأ)

ِمبَعْلا ُس ْجَأ َمْعِوَو بَهٍِف َهٌِدِلبَخ ُزبَهْولأا بَهِت ْحَت ْهِم يِسْجَت ٌتبَّىَجَو ْمِهِّثَز

َهٍِل

(

٣١١

Artinya: “Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan

mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan

mema‟afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosanya selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.” (Ali Imran: 133-136)

1. Tafsir Surat Ali Imran

Surah Ali Imran dinamai demikian karena di dalamnya dikemukakan kisah keluarga Imran dengan terperinci, yaitu: Isa, Yahya, Maryam dan ibu

32

beliau. Sedangkan Imran adalah ayah dari ibu Nabi Isa, yaitu Maryam as. Nama surah ini banyak, antara lain surah al-amanu (keamanan), al-kanz,

thibah, tetapi yang populer adalah Ali Imran. Tujuan utama surah Ali Imran (keluarga Imran) adalah pembuktian tentang tauhid, keesaan dan kekuasaan Allah swt., serta penegasan bahwa dunia, kekuasaan, harta, dan anak-anak yang terlepas dari nilai-nilai Ilahiyah, tidak akan bermanfaat di akhirat kelak. Tujuan ini sungguh pada tempatnya karena al-Fatihah yang merupakan surat pertama merangkum seluruh ajaran Islam secara singkat, dan Al-Baqarah menjelaskan secara lebih terperinci tuntunan-tuntunan agama. Nah, surah Ali Imran datang untuk menekankan seseutau yang menjadi dasar dan sendi utama tuntunan tersebut, yakni tauhid. Tanpa kehadiran tauhid, pengamalan lainnya tidak bernilai di sisi-Nya (Shihab, 2009: 3).

2. Asbabun Nuzul surat Ali Imran ayat 133-136

Sifat atau ciri-ciri yang disebutkan di sini berkaitan erat dengan peristiwa perang Uhud. Dan karena malapetaka yang terjadi adalah akibat keinginan memperoleh harta rampasan perang yang belum pada waktunya diambil (Shihab, 2009: 264 ). Ayat ini memberi pengertian bahwa Nabi saw. memaafkan para pemanah yang meninggalkan pos pertahanan dalam perang Uhud, sehingga akhirnya menyebabkan pasukan muslim mengalami kekalahan. Nabi pun tidak melakukan pembalasan terhadap para musyrik yang berlaku kejam kepada Hamzah, paman Nabi, yang gugur dalam medan perang (As-Shiddieqy, 2000: 690). Yang dimaksud

33

perbuatan keji (fakhisyah) pada ayat 134 ialah dosa besar yang akibatnya tidak hanya menimpa diri sendiri, tetapi juga orang lain, seperti zina, riba dan lain-lain. Menzhalimi diri sendiri ialah melakukan dosa yang akibatnya hanya menimpa diri sendiri (Kementrian Agama RI, 2010: 67)

B. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 133-136 menurut Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Quraisy Shihab

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imran ayat 133-136 ini menjelaskan tentang sifat orang-orang yang bertakwa, segera bertobat, menyesali dosa dan bahwa balasan untuknya adalah diampuni dosa dan masuk surga.

Dalam Ibnu Katsir (2006: 581), Allah menganjurkan kepada mereka supaya bergegas dalam kebaikan dan bersegera untuk meraih kedekatan dengan Allah. Firman Allah,

ْهِم ٍةَسِفْغَم ىَلِإ اىُعِزبَسَو

ُضْزلأاَو ُتاَوبَمَّسلا بَهُضْسَع ٍةَّىَجَو ْمُكِّثَز

َهٍِقَّتُمْلِل ْتَّدِعُأ

Dan bergegaslah kamu menuju ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang

bertakwa”. Maksudnya, sebagaimana neraka disediakan bagi orang-orang kafir. Al-Bazzar meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Seseorang

datang kepada Rasulullah Saw. kemudian bertanya, “Bagaimana pendapatmu mengenai firman Allah, „Surga yang luasnya seluas langit dan bumi,‟ lalu di

manakah neraka?‟, Nabi bersabda, „Bagaimana menurutmu apabila malam datang dan merambahi segala pekara, maka di manakah siang?‟ „Di tempat-

34

tempat yang dikehendaki Allah.‟ Nabi bersabda, „Demikian pula dengan

neraka. Ia berada pada tempat yang dikehendaki Allah Ta‟ala.‟ “Yakni,

demikianlah bila kita tidak menyaksikan malam ketika siang datang, maka hal itu tidak memastikan tidak beradanya malam ada suatu tempat, meskipun kita tidak tahu di mana malam itu berada. Demikin pula dengan neraka. Ia berada pada tempat yang dikehendaki Allah Ta‟ala. Ini terlihat jelas dalam

hadis Abu Hurairah dari Al-Bazzar .

ِضْسَ ْلأاََ ِءبَمَّغٌا ِضْشَعَو بٍَُضْشَع ٍتَّىَج ََ ْمُىِّبَس ُهِم ٍةَشِفْغَم ٌَِّا اُُْمِببَع

“Berlomba-lombalah kalian kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” (QS Al-Hadid: 21)

Dalam Shihab (2009: 263), ketaatan yang diperintahkan oleh ayat yang lalu dapat terlaksana tanpa upaya sunggguh-sungguh, misalnya sekedar melaksanakan yang wajib dan mengabaikan yang sunnah atau anjuran. Atau cukup menghindari yang haram, tetapi melaksanakan yang makruh. Sekedar memohon ampun atas kesalahan dan dosa besar dan tidak mengingat lagi dosa kecil atau hal-hal yang kurang pantas. Ayat ini menganjurkan peningkatan upaya dan melukiskan upaya itu bagaikan satu perlombaan dan kompetisi yang memang merupakan salah satu cara peningkatan kualitas. Karena itu, bersegeralah kamu bagaikan ketergesaan seorang yang ingin mendahului yang lain menuju ampunan dari Tuhanmu dengan menyadari kesalahan dan berlombalah mencapai surga yang sangat agung yang lebarnya, yakni luasnya selebar seluas langit dan bumi yang disediakan

35

untuk al-muttaqin, yakni orang-orang yang telah mantap ketakwaannya, yang taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya .

Yang dimaksud lebar surga di sini adalah luasnya, dan luas yang dimaksud adalah perumamaan. Ia tidak harus dipahami dalam arti harfiahnya. Dalam benak kita, manusia, tidak ada sesuatu yang dapat menggambarkan keluasan, melebihi luasnya langit dan bumi. Maka untuk menggambarkan betapa luasnya surga, Allah memilih kata-kata “selebar langit dan bumi”. Di

sisi lain, sedemikian luasnya sehingga ketika mendengar bahwa lebarnya itu sudah demikian, bagaimana pula panjangnya. Perumpamaan yang diberikan oleh Al-Qur‟an ini mengundang kaum muslimin agar tidak mempersempit

surga dan merasa bahwa hanya diri atau kelompoknya saja yang akan memasukinya yang sedemikian luas sehingga siapa pun yang berserah diri kepada-Nya, akan mendapat tempat yang luas di sana (Shihab, 2009: 264).

Kemudian Allah Ta‟ala menceritakan sifat ahli surga. Dia berfirman, “Orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit.” Yakni pada saat sulit dan lapang, saat giat dan malas, saat sehat dan

sakit, dan dalam segala hal dan keadaan. Allah Ta‟ala berfirman, “ Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, secara

rahasia maupun terang-terangan.” Maksud ayat ialah bahwa mereka tidak dilalaikan oleh perkara apa pun untuk menaati Allah Ta‟ala dan berinfak untuk memperoleh ridho-Nya. Firman Allah, “Yang menahan marah dan yang memaafkan manusia.” Yakni, bila mereka marah, maka mereka

36

mengetahuinya. Di samping itu, apabila orang lain berbuat buruk kepadanya, maka dia memaafkannya (Ibnu katsir, 2006: 582).

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw., beliau bersabda (560):

ُذِْٔذَّشٌا َظٌَْٕ

َذْىِع ًَُغْفَو ُهٍِْمَٔ ِْْزٌَّا َذِْٔذَّشٌا ُّهِىٌَََ ،ِتَعَشُّصٌا بِب

ِبَضَغٌْا

Artinya: “Orang yang kuat pemberani bukanlah yang dapat

menaklukan musuh dalam gulat, namun orang yang dapat mengendalikan

nafsunya ketika dia marah.” (HR. Ahmad).

Imam Ahmad meriwayatkan dari Athiyah bin Sa‟ad As-Sa‟di, dia

pernah bersama Nabi, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda (562),

“Sesungguhnya kemarahan itu dari setan dan setan itu diciptakan dari api.

Sesungguhnya api itu hanya dapat dipadamkan dengan air. Jadi jika salah

seorang di antara kamu marah, maka berwudlulah.” Demikian pula keterangan yang diriwayatkan oleh Abu Daud (Ibnu Katsir, 2006: 583).

Imam Ahmad mengatakan dari Abdullah bin Yazid bahwa Rasulullah saw. bersabda,

ا

َلاَخٌْا ِطَُْإُس ٍََّع ُالله ُي بَعَد ,يَزِفْىُٔ ْنَأ ٍََّع ٌسِد بَل ٌَََُُ بًظَْٕغ َمَظَو ْهَم

,ِكِئ

ٌْا َِّْأ ْهِم ُيَشَِّٕخُٔ َّّخَح

َءبَش ِسُُْح

“Barang siapa menahan amarah, sedangkan ia mampu utnuk melaksanakannya, maka Allah kelak akan memanggilnya di mata semua makhluk hingga Allah menyuruhnya memilih bidadari manakah yang

37

mereka memaafkan orang yang menzaliminya sehingga di dalam dirinya tiada niatnya untuk membalas dendam pada seorang pun. Ini merupakan perilaku

yang paling utama. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Ibnu Katsir, 2006: 583).

Al Hakim meriwayatkan dalam mustadraknya, sebuah hadis dari Musa bin Uqbah dengan sanadnya dari Ubadah bin Shamit, dari Ubai bin

Ka‟ab, bahwa Rasulullah bersabda,

ًٌَُ َفَشْشُٔ ْنَأ ُيَّشَع ْهَم

ُثبَجَسَّذٌا ًٌَُ ُعَفْشُحََ ُنبَْٕىُبٌُا

ًَُمٍََظ ْهَّمَع ُفْعٍََْٕف

ًَُعَطَل ْهم ًِْصَََٔ ًَُمَشَح ْهَم ِظْعََُٔ

“Barang siapa yang berambisi untuk memiliki kepribadian yang mulia

dan derajat yang tinggi, maka hendaklah dia memaafkan orang yang menzaliminya, memberi kepada orang yang tidak suka memberi kepadanya, dan menghubungkan tali silaturrahmi kepada orang yang memutuskan

hubungan dengannya.” Kemudian Hakim mengatakan bahwa hadits ini

shahih karena mengikuti syarat syikhani, meskipun keduanya keduanya tida meriwayatkan hadis itu (Ibnu Katsir, 2006: 584).

Dokumen terkait