• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Karakter dalam Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 133 sampai 136 - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pendidikan Karakter dalam Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 133 sampai 136 - Test Repository"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR

AL-

QUR’AN SURAT ALI IMRAN AYAT 133

-136

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh:

Ahmad Mudasir

NIM: 11112162

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)

i

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR

AL-

QUR’AN SURAT ALI IMRAN

AYAT 133 -136

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh:

Ahmad Mudasir

NIM: 11112162

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(4)
(5)
(6)
(7)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

هٔذٌاٌُا ظخع ٓف الله ظخع َ هٔذٌاٌُا بضس ٓف الله بضس

“Keridhaan Allah terletak pada keridhaan kedua orangtua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan keduanya.”

Persembahan

Untuk Bapak dan Ibuku (Bapak Nurfauzi dan Ibu Asrifah)

Mas, mbak, adik dan keponakan (Mas Muharrom, Mas Khamim, adek mudhofir, Anindita, Feri Kurniawan, Khakim Lutfil)

Untuk sahabat-sahabatku dan teman spesialku (Muhammad Kholik, Khamidun, Ali, Kang tarmo, Adhikara, Intan, Hasan cilikan, Camplung, Kasibok)

(8)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim yang dengan rahmat, taufik, dan hifdayah-Nya skripsi dengan judul Pendidikan Karakter dalam Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 133-136 bisa diselesaikan.

Skripsi ini tidak akan selesai tanpa motivasi, dukungan dan bantuan dari berbagai piak terkait sehingga kebahagiaan yang tiada tara penulis rasakan setelah skripsi ini selesai. Oleh karena itu penulis ucapkan banyak terima kasih setulusnya kepada:

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.

3. Bapak H. Ahmad Agus Suaidi, MA. selaku Dosen Pembimbing yang telah

membimbing dan membantu dalam penyelesaian skripsi.

4. Ibu Siti Rukhayati, M. Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

IAIN Salatiga.

5. Bapak Winarno, M, Pd selaku Dosen Pembimbing Akademik

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari sempurna.Oleh

karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari

berbagai pihak demi kesempurnaan tugas-tugas penulis selanjutnya.

Amin Ya Robbal ’Alamin

(9)

vii

ABSTRAK

Mudasir, Ahmad. 2017. Pendidikan Karakter dalam Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 133 sampai 136 . Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing H. Agus Ahmad Suaidi, MA.

Kata kunci: Pendidikan, Karakter

Penelitian ini membahas tentang pendidikan karakter yang terkandung dalam tafsir al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133 sampai 136. Fokus penelitian ini meliputi: 1) Bagaimanakah konsep pendidikan karakter menurut al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136? 2) Bagaimanakah aktualisasi pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari menurut al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136?

Penelitian yang digunakan oleh peneliti ini termasuk dalam jenis penelitian literatur, atau penelitian kepustakaan/library research, baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu. Dalam hal ini penulis mengumpulkan data skripsi ini dengan mengacu pada sumber-sumber kepustakaan seperti buku, majalah, artikel dan jurnal. Dalam penelitian literatur ini, penulis mengacu beberapa sumber yang sesuai dengan topik yang bersangkutan, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primernya yaitu Al-Qur‟an dan Hadist Nabi yang berkaitan dengan pendidikan karakter. Sedangkan sumber sekundernya yaitu tafsir Al-Qur‟an yang berkaitan dengan pendidikan karakter dan buku para ahli yang berkaitan dengannya. Teknik pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi, sedangkan analisis datanya menggunakan metode diskriptif analisis dan metode induktif.

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa konsep pendidikan karakter dalam tafsir al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133 sampai 136 adalah pendidikan karakter yang ditanamkan kepada peserta didik dalam membentuk kepribadian yang baik bagi mereka dan menyempurnakan diri peserta didik secara terus-menerus dengan selalu bergegas dalam kebaikan. Dan aktualisasi pendidikan karakter mengenai tafsir surat Ali Imran ayat 133-136 dalam kehidupan sehari-hari peserta didik antara lain: 1) Pendidik menanamkan kepada peserta didik agar membiasakan menginfakkan hartanya dan harus didasari lillahi ta‟ala. 2) Peserta didik dapat memanage emosi, dan pendidik senantiasa menumbuhkan rasionalitas kepada peserta didik untuk mengalahkan emosi. 3) Pendidik menanamkan toleransi kepada peserta didik agar memaafkan kesalahan orang lain dan memiliki kemuliaan jiwa. 4) Peserta didik memiliki kesadaran untuk cepat mengkoreksi diri dan cepat memperbaiki diri 5) Peserta didik dapat membiasakan diri berbuat kebaikan yang berlebih seperti yang disebutkan di atas.

(10)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Pembahasan ... 4

D. Manfaat Hasil Penelitian ... 5

E. Definisi Operasional ... 6

F. Metode Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan Skripsi ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan Karakter ... 11

1. Pengertian Pendidikan Karakter ... 11

2. Aliran-Aliran Pendidikan ... 16

3. Tujuan Pendidikan ... 19

4. Tujuan Pendidikan Karakter ... 21

5. Urgensi Pendidikan Karakter ... 23

B. Karakter atau Akhlak dalam Al-Qur‟an ... 25

1. Karakter dan Akhlak ... 25

(11)

ix

BAB III TAFSIR SURAT ALI IMRAN AYAT 133 SAMPAI 136

A. Surat Ali Imran ayat 133 sampai 136 ... 31 B. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 133-136 menurut Tafsir Ibnu

Katsir dan Tafsir Quraisy Shihab ... 33 C. Tafsir Surat Ali Imran ayat 133-136 menurut Tafsir

Al-Maraghi dan Tafsir An-Nur ... 43

BAB IV PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR SURAT ALI IMRAN

AYAT 133 SAMPAI 136

A. Konsep Pendidikan Karakter Menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-136 ... 52 B. Aktualisasi Pendidikan Karakter Dalam Kehidupan

Sehari-Hari Menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-136 ... 54

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 62 B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64 LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1 Penunjukan Pembimbing Skripsi Lampiran 2 SKK

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah salah satu cara untuk menciptakan generasi

penerus bangsa yang bermartabat. Dengan pendidikan yang benar dan

berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang

selanjutnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral (Muhammad,

2003: 5). Tetapi walaupun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki

kualitas dan fasilitas yang memadai, namun institusi-institusi tersebut

masih belum mencetak individu-individu yang beradab. Sehingga, tujuan

pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab

terabaikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan

nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Justru yang

terjadi adalah kondisi yang sebaliknya.

Pendidikan di dunia Islam saat ini mengalami krisis yang

menyebabkan kemunduran. Para pemerhati pendidikan telah menganalisis

beberapa sebab terjadinya kemunduran itu, di antaranya karena

ketidaklengkapan aspek materi, terjadinya krisis sosial masyarakat dan

krisis budaya, serta hilangnya qudwah hasanah (teladan yang baik),

akidah shahihah, dan nilai-nilai islami. (Syafri, 2012: 1). Budaya barat

juga sangat berpengaruh pada kehidupan manusia yang menjadikan

mereka seperti tidak membutuhkan pendidikan agama, sehingga bisa

(13)

2

Melihat beberapa kasus pelanggaran moral dan akhlak yang terjadi

pada peserta didik, tampak jelas tidak tertanamnya dengan baik mana

akhlak yang mesti dijadikan karakter dan mana akhlak yang terlarang. Jika

pendidikan akhlak dibangun berdasarkan worldview yang benar, metode

yang tepat, dan praktik yang integral pada setiap proses pendidikannya,

maka bangunan karakter anak didik akan mudah terbentuk (Syafri, 2012:

7). Jadi, dapat dikatakan bahwa untuk memperbaiki nilai-nilai moral dan

akhlak seseorang, perlu adanya pendidikan karakter yang ditanamkan

kepada para peserta didik.

Dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter adalah hal

positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter

siswa yang diajarnya. Menurut Winton, pendidikan karakter adalah upaya

sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan

nilai-nilai kepada para siswanya (dalam Samani dan Hariyanto, 2011: 43).

Dalam makna yang sempit, pendidikan karakter dimaknai sebagai sejenis

pelatihan moral yang merefleksikan nilai tertentu, misalnya

diaktualisasikan dalam bentuk sedekah, memaafkan kesalahan orang lain,

menahan amarah, bertaubat dan sebagainya.

Salah satu pemikir pendidikan karakter kontemporer, Thomas

Lickona misalnya, memiliki pandangan bahwa pendidikan karakter dan

pendidikan agama semestinya dipisahkan dan tidak dicampuradukkan.

Nilai-nilai seperti kebijaksanaan, penghormatan terhadap yang lain,

(14)

3

copassion), pemecah konflik secara damai, merupakan nilai-nilai yang

semestinya diutamakan dalam pendidikan karakter. (Majid dan Andayani,

2011: 61).

Persoalan kehancuran moral bangsa tidak dapat diatasi dengan

berdoa atau hanya dengan membaca kitab suci. Oleh karena itu, gagasan

Lincona yang masih relevan bagi kita adalah bahwa dalam melaksanakan

pendidikan karakter, terlebih berkaitan dengan pendidikan agama, kita

tidak boleh berhenti pada pengembangan nilai keagamaan yang sifatnya

ritual (Majid dan Andayani, 2011: 64).

Manusia dengan potensinya juga diberi kesempatan memilih.

Manusia bukan robot yang bisa dibentuk, tetapi makhluk yang bisa

dipengaruhi, diarahkan, dan dididik. Namun, manusia sering salah

memilih karena kesalahan pembinaan manusia itu sendiri (Syafri, 2012:

33). Apabila sejak dini peserta didik mulai diberikan arahan-arahan yang

baik, dididik agar memiliki karakter yang baik, pasti mereka akan terbiasa

dengan perilaku yang baik. Untuk itu, proses pendidikan ditempatkan

sebagai misi utama dalam Al-Qur‟an untuk mengenalkan tugas dan fungsi manusia itu sendiri. Al-Qur‟an meskipun bukan tergolong ilmu pengetahuan, namun seluruh ayatnya memuat prinsip-prinsip pendidikan

sebagai pegangan manusia untuk dipelajari.

“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya;

(15)

4

Menurut Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa‟adi, Al-Qur‟an memiliki dua macam petunjuk; Pertama, berupa perintah, larangan, dan

informasi tentang perbuatan yang baik menurut syari‟at atau ‘urf

(kebiasaan) yang berdasarkan akal, syari‟at dan tradisi. Kedua, menganjurkan manusia memanfaatkan daya nalarnya untuk melakukan

sesuatu yang bermanfaat. Ayat-ayat Al-Qur‟an sangat membangun karakter atau akhlak. Beberapa di antaranya adalah pengarahan agar umat

manusia berakhlakul karimah, bisa dilihat pada beberapa surah dan ayat

berikut; QS An-Nur: 30-32, QS Al-Ahzab:33, QS Al-Isra‟: 23, QS At -Taubah: 119, QS Ali Imran: 133-134 yang mengungkapkan hal-hal yang

berkenaan dengan perilaku, penjagaan diri, sifat pemaaf, dan kejujuran.

(Syafri , 2012: 64).

Oleh karena itu, kedudukan akhlak al-Qur‟an sangat penting, sebab melalui ayat-ayat-Nya al-Qur‟an berupaya membimbing dan mengajak umat manusia untuk berakhlakul karimah. Melalui pendidikan karakter ini

manusia dimuliakan Allah dengan akal, sehingga manusia dapat

mengemban tugas kekhalifahan dengan akhlak yang benar. Berdasarkan

hal-hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang

pendidikan karakter dan semua yang berkaitan dengan hal tersebut, maka

(16)

5

B. Rumusan Masalah

Untuk menyusun skripsi ini, penulis terlebih dahulu merumuskan

permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep pendidikan karakter dalam tafsir Al-Qur‟an Surat Ali Imran ayat 133-136?

2. Bagaimana aktualisasi pendidikan karakter dalam kehidupan

sehari-hari menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran ayat 133-136?

C. Tujuan Pembahasan

1. Memahami dan menganalisis konsep pendidikan karakter dalam tafsir

Al-Qur‟an QS Ali Imran ayat 133-136.

2. Memahami dan menganalisis aktualisasi pendidikan karakter dalam

kehidupan sehari-hari menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran ayat 133 -136.

D. Manfaat Hasil Penelitian

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu

pengetahuan tentang pendidikan karakter baik menurut Al Qur‟an

ataupun menurut ilmu pendidikan Islam lainnya. Hasil penelitian ini

diharapkan memberi sumbangan ilmu sebagai sarana memperluas

khazanah pengetahuan peneliti khususnya dan orang yang berinteraksi

langsung dengan pendidikan pada umumnya tentang pendidikan

(17)

6

2. Manfaat praktis

Mengetahui tentang konsep pendidikan karakter dan

aktualisasinya dalam kehidupan sehari-hari serta sebagai bahan

referensi bagi pihak atau instansi yang membutuhkan penelitian ini,

serta dapat menumbuhkan semangat untuk mengaplikasikannya dalam

kehidupan sehari-hari.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahfahaman dalam mengartikan pembahasan

dalam skripsi ini, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah dalam

skripsi ini sebagai berikut:

1. Pendidikan Karakter

Menurut Noeng Muhajir sebagaimana dikutip oleh Suwarno

(2006: 19), pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani,

Paedagogy, yang mengandung makna seorang anak pergi dan pulang

sekolah diantar seorang pelayan. Dalam bahasa Romawi, pendidikan

diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang

berada di dalam. Dalam bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to

educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.

Sedangkan karakter berasal dari bahasa Latin “kharakter”,

“kharassein”, “kharax”, dalam bahasa Inggris: character dan Indonesia “karakter”, Yunani character, dari charassein yang berarti membuat

(18)

7

Jadi, pendidikan karakter atau oleh para pendidik sering disebutnya

sebagai pendidikan watak, adalah sebuah proses pembelajaran untuk

menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, atau akhlak mulia yang

berakar pada ajaran agama, adat istiadat dan nilai-nilai ke-Indonesiaan,

dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi

manusia yang bermartabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter

sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Zuchdi, 2009: 76).

2. Tafsir

Tafsir berasal dari kata “fassara” yang bermana menjelaskan,

menerangkan. Menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang

mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi.

Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang

membahas tentang al-Qur‟an al-Karim dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia

(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tafsir).

3. Al-Qur‟an

Al-Qur‟an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perantara malaikat Jibril, untuk dibaca, dipahami,

dan diamalkan, sebagai petunjuk atau pedoman hidup umat manusia,

(19)

8

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian yang digunakan oleh peneliti ini termasuk dalam

penelitian literatur, atau penelitian kepustakaan/library research, yaitu

penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur

(kepustakaan) baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil

penelitian dan peneliti terdahulu (Hasan, 2006: 5). Dalam hal ini

penulis mengumpulkan data skripsi ini dengan mengacu pada

sumber-sumber kepustakaan seperti buku, majalah, artikel dan jurnal.

2. Sumber Data

Dalam penelitian literatur ini, penulis mengacu beberapa sumber

yang sesuai dengan topik yang bersangkutan, yakni dibagi dalam dua

bentuk sumber yaitu:

a. Sumber Primer

Sumber primer yaitu data yang diperoleh secara langsung

dari objek penelitian perorangan, kelompok, dan organisasi

(Ruslan, 2010: 29). Dalam hal ini peneliti mengacu sumber

primernya diantaranya adalah Al-Qur‟an dan Hadist Nabi yang berkaitan tentang pendidikan karakter.

b. Sumber Sekunder

Yaitu sumber yang mendukung dan melengkapi sumber

(20)

9

skripsi ini adalah tafsir Al-Qur‟an yang berkaitan dengan pendidikan karakter dan buku para ahli yang berkaitan dengannya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk pengumpulan data dalam penelitian ini, digunakan

metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau

variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti,

notulen rapat, leger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2010: 274).

Metode dokumentasi adalah cara untuk mendapatkan data mengenai

hal-hal atau variabel dengan membuka kembali catatan, daftar riwayat

hidup, transkrip dan lain-lainnya disebut dokumen. Pada penelitian ini

penulis menggunakan buku dalam menemukan data.

Objek penelitian ini adalah pendidikan karakter. Penulis

memfokuskan kajian ini pada pendidikan karakter yang termaktub

dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136. 4. Analisis Data

Dijelaskan oleh Lexy J. Moleong analisis data adalah proses

mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori,

dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja. Di dalam analisis, data yang muncul

berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka (Miles dan Huberman,

(21)

10

Dalam menganalisis penelitian tentang pendidikan karakter

penulis menggunakan beberapa metode, diantaranya metode diskriptif

analisis dan metode induktif. Sedangkan pendekatan yang dipakai

dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analisis, yaitu

penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai dari suatu variabel,

dalam hal ini variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih tanpa

membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain.

(Hasan, 2006:7)

Metode Induktif adalah metode yang berangkat dari fakta-fakta

yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkret, kemudian dari

fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang kongkret itu ditarik

generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat umum (Hadi, 1993:42).

Berdasarkan pengertian tersebut penulis akan menguraikan

makna yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136, kemudian penulis menarik kesimpulan tentang permasalahan

tersebut.

G. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman isi skripsi ini,

penulis akan menyusun skripsi ini dalam lima bab dengan sistematika

sebagai berikut:

BAB I, bab ini berisi tentang pendahuluan yang mencakup tentang latar

belakang penelitian, rumusan dan tujuan penelitian. Selain itu di dalamnya

(22)

11

penelitian diteruskan dengan sistematika penulisan skripsi agar lebih

terstruktur dalam memahami.

BAB II, sebagai kelanjutan dari bab sebelumnya, maka pada bab ini

penulis memaparkan landasan teori yang di dalamnya terdapat teori-teori

tentang pendidikan, teori-teori tentang pendidikan karakter, dan teori-teori

tentang kandungan surat Ali Imran ayat 133-136.

BAB III, pada bab ini penulis akan membahas tentang ayat-ayat alqur‟an dan hadis pendukung, serta tafsir surat Ali Imran ayat 133-136.

BAB IV, pada bab ini, penulis memfokuskan pembahasan mengenai surat

Ali Imran ayat 133-136 tentang pendidikan karakter dan aktualisasinya

dalam kehidupan sehari-hari.

BAB V, memaparkan tentang kesimpulan yang telah dibahas dan

(23)

12

BAB II

LANDASAN TEORI A. Pendidikan

1. Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah salah satu hal yang dibutuhkan oleh manusia

oleh karena itu tidak heran jika banyak orang yang berbondong-bondong

mengenyam pendidikan dari yang formal sampai yang informal. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 232), Pendidikan berasal dari kata

“didik”, lalu kata ini mendapat awalan me sehingga menjadi “mendidik”,

yang memiliki arti memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara

dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan

mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.

Menurut Noeng Muhajir sebagaimana dikutip oleh Suwarno (2006:

19), pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani, Paedagogy, yang

mengandung makna seorang anak pergi dan pulang sekolah diantar

seorang pelayan. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan

educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam

bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti

memperbaiki moral dan melatih intelektual.

Secara terminologi pedidikan telah diumuskan oleh para pakar

pendidikan maupun ulama. Di antaranya yang dikemukakan oleh al-Qodli

Baidlowi yang dinukil oleh Miqdad Yaljan sebagai berikut:

(24)

13

“Pendidikan adalah usaha perlahan-lahan untuk mengembangkan

sesuatu menuju kesempurnaannya”. Jadi kalau kita perhatikan ta‟rif

tersebut, maka pengertian pendidikan berlaku sangat umum (Huda, 2009:

19).

Dalam pengertian yang sederhana dan umum, pendidikan

merupakan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan

mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani

sesuai dengan nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Atau

dengan kata lain bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasil

peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa

itu sendiri (Indar, 1994: 16). Sementara pendidikan dalam arti luas

merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya,

yang berlangsung sepanjang hayat (Sadulloh, 2009: 54).

Di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, tercantum pengertian pendidikan yaitu usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara (Suwarno, 2006: 21).

Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan

mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani

(25)

14

(Ikhsan, 2003: 2). Selain itu, pendidikan juga merupakan salah satu sarana

terpenting dalam usaha pembangunan sumber daya manusia dan

penanaman nilai-nilai kemanusiaan, yang pada gilirannya akan

menciptakan suasana dan tatanan kehidupan masyarakat yang beradab dan

berperadaban (Naquib Al-Attas, 2003: 23).

Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar siswa secara aktif mengembangkan potensi diinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa, dan negara.

2. Aliran-aliran pendidikan

Terdapat empat aliran pendidikan yang mana keempat aliran tersebut

mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang pendidikan:

a. Aliran empirisme

Aliran empirisme dikemukakan oleh John Locke (1704-1932)

seorang filsuf Inggris. Empirisme juga berasal dari bahasa latin,

dengan kata asal emiricus yang berarti pengalaman. Aliran ini juga

dinamakan aliran “Tabularasa” yang berarti seseorang dilahirkan

seperti kertas kosong yang belum ditulisi apapun, maka pendidikanlah

yang akan menulisnya (Idris, 1992: 5). Jadi John Locke berpendapat

(26)

15

empirisme, pendidikan adalah maha kuasa dalam membentuk anak

didik menjadi apa yang diinginkannya (Jumali dkk, 2008: 126).

Teori empirisme ini menganggap bahwa pendidikan hanya

dapat diperolah dari lingkungan yang ada disekitar. Yang dimaksud

dengan lingkungan yaitu lingkungan hidup maupun lingkungan tak

hidup yang berpengaruh besar terhadap pendidikan dan perkembangan

anak.

b. Aliran nativisme

Nativisme berasal dari bahasa latin yaitu natives yang berarti

terlahir. Seseorang berkembang berdasarkan apa yang dibawanya dari

lahir. Pendidikan tidak berpengaruh sama sekali terhadap

perkembangan seseorang. Pelopor dari aliran Nativisme ini adalah

Schopenhauwer (1788-1880) yang berkebangsaan Jerman.

Menurutnya mendidik ialah membiarkan seseorang tumbuh

berdasarkan pembawaannya (Idris, 1992: 6). Aliran ini berpendapat

bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor

yang dibawa manusia sejak lahir, pembawaan yang telah terdapat pada

waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya

(Purwanto, 2006: 59).

Dalam hubungannya dengan pendidikan, aliran ini berpendapat

bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan ditentukan oleh

pembawaan yang diperolehnya sejak kelahirannya. Lingkungan tidak

(27)

16

itu. Aliran ini juga berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat

menghasilkan tujuan yang diharapkan dengan perkembangan anak

didik. Dengan kata lain aliran nativisme merupakan aliran pesimisme

dalam pendidikan. Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung

pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki oleh anak

didik (Jumali dkk, 2008: 126).

c. Aliran naturalisme

Naturalisme berasal dari bahasa latin yaitu nature yang berarti

alami, tabiat, dan pembawaan. Aliran ini hampir sama dengan

nativisme yang berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak sejak

dilahirkan adalah baik. Teori yang dikemukakan oleh J. J Rousseau

(1712-1778) berpendapat bahwa semua anak yang baru lahir

mempunyai pembawaan yang baik, tidak ada seorangpun anak yang

lahir dengan pembawaan buruk(Jumali dkk, 2008: 127).

d. Aliran konvergensi

Konvergensi berasal dari kata Convergative yang berarti

penyatuan hasil atau kerjasama untuk mencapai suatu hasil. Hukum

ini berasal dari ahli ilmu jiwa Jerman, bernama William Stern

(1871-1939). Ia berpendapat bahwa faktor pembawaan dan lingkungan

kedua-duanya menentukan perkembangan manusia, sehingga aliran

ini merupakan kombinasi dari nativisme dengan empirisme

(28)

17

Menurutnya, teori empirisme dan nativisme masing-masing

terlalu berat sebelah. Kedua-duanya mendukung kebenaran dan juga

ketidak benaran. Menurut teori konvergensi baik pembawaan maupun

lingkungan kedua-duanya mempunyai pengaruh terhadap hasil

perkembangan anak didik. Hasil perkembangan dan pendidikan

bergabung pada kecilnya pembawaan serta situasi lingkungan (Jumali

dkk, 2008: 128).

Jadi, menurut teori konvergensi perkembangan manusia bukan

karena hasil dari pembawaan saja melainkan juga lingkungan yang

menentukan hasil pendidikan tersebut. Selain itu kemampuan atau

aktivitas seseorang itu sendiri juga menentukan hasil dari pendidikan

dan perkembangan manusia. Dengan begitu teori konvergensi

menggabungkan antara pembawaan dan lingkungan serta aktivitas

manusia itu sendiri.

3. Tujuan Pendidikan

Menurut UUSPN No. 20 Tahun 2003 bab 2 pasal 3 mengenai

fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah pendidikan nasional

berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang

(29)

18

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab

(Kesuma, 2011: 6)

M Athiyah al-Abrasy (2003: 35), mengemukakan bahwa tujuan

Pendidikan dan pengajaran adalah sebagai berikut :

a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia.

b. Pendidikan dan pengajaran bukanlah sekedar memenuhi otak anak

didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi

mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah

(keutamaan),

c. Membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan

mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas, dan jujur.

d. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.

Jaminan UUD 1945 pasal 29, UU SISDIKNAS RI bahwa tujuan

pendidikan nasional adalah mencita-citakan lahirnya anak Indonesia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mayoritas jumlah

penduduk Indonesia beragama Islam, tumbuhnya kegairahan para

pemikir dan pengelola lembaga pendidikan Islam untuk memperbaiki,

meningkatkan dan memperbaharui mutu pendidikan, munculnya metode

belajar membaca al-Qur‟an (Mansur, 2005, 145).

Pembentukan karater merupakan salah satu tujuan pendidikan

nasional. Pasal 1 UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa diantara

tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik

(30)

19

terkandung dalam UU di atas bermaksud agar pendidikan tidak hanya

membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian

atau berkarakter. Sehingga akan lahir generasi bangsa yang tumbuh

berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa

serta agama (Asmani, 2012: 29).

B. Karakter

1. Pengertian Karakter

Secara bahasa, karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein,

yang artinya „mengukir‟. Sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas

benda yang diukir. Tidak mudah usang tertelan waktu atau aus terkena

gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan menghilangkan benda

yang diukir itu. sebab, ukiran melekat dan menyatu dengan bendanya

(Munir, 2010:2). Kata karakter menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008)

berarti; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan

seseorang dari yang lain. Sedangkan karakter menurut Pusat Bahasa

Depdiknas memiliki makna; bawaan hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti,

perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak (Syafri, 2012: 7).

Sementara dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah

kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran

seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sfat-sifat yang relatif

tetap (Dali Gulo dalam Furqon Hidayatullah, 2010: 12).

Karakter berasal dari kata character yang berarti watak, karakter

(31)

20

cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu

untuk hidup dan beerja sama, baik dalam lingkup keluarga, sekolah,

masyarakat, bangsa, dan negara (Zuchdi, 2011: 27).

Secara koheren karakter memancar dari hasil olah pikir, olah rasa

dan karsa, serta olah raga yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas

moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan

(Budimansyah, 2010: 23). Dan secara psikologis karakter individu

dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah

pikir, olah rasa, dan olah raga sehingga menghasilkan enam karater

utama dalam seorang individu, yaitu jujur, tanggung jawab, cerdas,

bersih, sehat, peduli, dan kreatif (Majiid dan Andayani, 2011: 164).

Karakter memiliki batasan yang berada di dalam dua wilayah. Ia

diyakini ada sebagai sifat fitri manusia, sementara pada sisi lain ia

diyakini harus dibentuk melalui model pendidikan tertentu. Aristoteles

meyakini bahwa individu tidak lahir dengan kemampuan untuk mengerti

dan menerapkan standar-standar moral, dibutuhkan pelatihan yang

berkesinambungan agar individu menampakkan kebaikan moral.

Sementara Socrates meyakini bahwa ada bayi moral dalam diri manusia

yang meminta untuk dilahikan , tugas pendidikan adalah untuk

membantu melahirkannya (Anees, 2009: 120).

2. Karakter atau Akhlak dalam Al-Qur‟an

Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak

(32)

21

suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran karena sudah

tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut

kebiasaan (Majiid dan Andayani, 2011: 12).

Al-Qur‟an adalah sebagai rujukan akhlak yang berfungsi menyampaikan risalah hidayah untuk menata sikap dan perilaku yang

harus dilakukan manusia. Ayat-ayat al-Qur‟an sangat membangun karakter akhlak. Beberapa diantaranya adalah pengarahan agar umat

manusia berakhlakul karimah, bisa dilihat pada beberapa surat dan ayat

berikut yang mengungkapkan hal-hal yang berkenaan dengan perilaku,

penjagaan diri, sifat pemaaf, dan kejujuran (Syafri, 2012: 63):

a. QS. An-Nur ayat 30-31

َّنِا ْمٌٍَُ َّوْصَأ َهٌَِر ْمٍَُجَُشُف اُُظَفْحَََٔ ْمٌِِسبَصْبَأ ْهِم اُُّضُغَٔ َهِٕىِمْئُمٌٍِْ ًُْل

(30)

َنُُعَىْصَٔ بَمِب ٌشِٕبَخ َ َّالله

َهِٔذْبُٔ َلاََ َّهٍَُجَُشُف َهْظَفْحَََٔ َّهٌِِسبَصْبَأ ْهِم َهْضُضْغَٔ ِثبَىِمْئُمٌٍِْ ًُْلََ

ِا َّهٍَُخَىِٔص

َهِٔذْبُٔ َلاََ َّهٍِِبُُُٕج ٍََّع َّهٌِِشُمُخِب َهْبِشْضٌَََْٕ بٍَْىِم َشٍََظ بَم َّلا

ِءبَىْبَأ ََْأ َّهٍِِئبَىْبَأ ََْأ َّهٍِِخٌَُُعُب ِءبَبَآ ََْأ َّهٍِِئبَبَآ ََْأ َّهٍِِخٌَُُعُبٌِ َّلاِا َّهٍَُخَىِٔص

ْخِا ِٓىَب ََْأ َّهٍِِواَُْخِا ََْأ َّهٍِِخٌَُُعُب

بَم ََْأ َّهٍِِئبَغِو ََْأ َّهٍِِحاََُخَأ ِٓىَب ََْأ َّهٍِِواَُ

ْمٌَ َهِٔزٌَّا ًِْفِّطٌا ََِأ ِيبَجِّشٌا َهِم ِتَبْسِ ْلْا ٌَُِٓأ ِشَْٕغ َهِٕعِببَّخٌا ََِأ َّهٍُُوبَمَْٔأ ْجَىٍََم

ْعٌُِٕ َّهٍٍُِِجْسَؤِب َهْبِشْضَٔ َلاََ ِءبَغِّىٌا ِثاَسَُْع ٍََّع اَُشٍَْظَٔ

ْهِم َهِٕفْخُٔ بَم َمٍَ

(33)

22

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;

yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat (30)."Katakanlah

kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan

pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka

menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) Nampak dari

padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung

kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali

kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,

atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau

saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki

mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau

wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau

pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)

atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan

janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan

yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada

(34)

23

َةلاَّصٌا َهْمِلَأََ ٌََّلأا ِتٌٍَِِّٕبَجٌْا َجُّشَبَح َهْجَّشَبَح لاََ َّهُىِحُُُٕب ِٓف َنْشَلََ

َظْجِّشٌا ُمُىْىَع َبٌِْزٌُِٕ ُ َّالله ُذِٔشُٔ بَمَّوِا ًٌَُُُعَسََ َ َّالله َهْعِطَأََ َةبَوَّضٌا َهِٕحآَ

ِجَْٕبٌْا ًٌََْأ

اًشٍِْٕطَح ْمُوَشٍَِّطََُٔ

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu

berhias, dan bertingkah-laku seperti orang-orang Jahiliyah yang

dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah

dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak

menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlulbait, dan membersihkan

(dosa) kamu sebersih-bersihnya." – (QS.33:33) c. QS. Al-Isra‟ ayat 23

َنَذْىِع َّهَغٍُْبَٔ بَّمِا ۚ بًوبَغْحِا ِهَْٔذٌِاٌَُْبِبََ ُيبَِّٔا َّلاِا اَُذُبْعَح َّلاَأ َهُّبَس َّٰضَلََ

ِىٌْا

ًلاَُْل بَمٌٍَُ ًُْلََ بَمٌُْشٍَْىَح َلاََ ٍّفُأ بَمٌٍَُ ًُْمَح َلاَف بَمٌُ َلاِو ََْأ بَمٌُُذَحَأ َشَب

بًمِٔشَو

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu

bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara

keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam

pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan

kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak

(35)

24

hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (199).

e. QS. Ali Imran ayat 133-134

ُض ْرلأا َو ُتا َواَمَّسلا اَهُض ْرَع ٍةَّنَج َو ْمُكِّبَر ْنِم ٍةَرِفْغَم ىَلِإ اوُعِراَس َو

“Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan

mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang

disediakan bagi orang yang bertakwa, (133). (yaitu)

orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan

orang-orang yang menahan amarahnya dan mema‟afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (134)

Al-Qur‟an sendiri melakukan proses pendidikan melalui latihan -latihan, baik formal ataupun nonformal. Pendidikan akhlak ini merupakan

sebuah proses mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan

latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir yang baik. Selain

Al-Qur‟an, sumber akhlak lainnya adalah sunnah Nabi Muhammad Saw.

pandangan ini berdalil pada pendapat Aisyah ra. Ketika menafsirkan

(36)

-25

Qur‟an. Seperti dalam firman Allah,

ِمِْٕظَع ٍكٍُُخ ٍََّعٌَ َهَّوِا ََ

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al -Qalam: 4). (Syafri , 2014: 65)

Akhlak merupakan fondasi dasar sebuah karakter diri. Sehingga

pribadi yang berakhlak baik nantinya akan menjadi bagian dari masyarakat

yang baik pula dan sebaliknya. Akhlaklah yang membedakan karakter

manusia dengan makhluk lainnya. Tanpa akhlak, manusia akan kehilangan

derajat sebagai hamba Allah paling terhormat. Sebagaimana firman –Nya,

( ٍمُِْٔمَح ِهَغْحَأ ِٓف َنبَغْوِ ْلْا بَىْمٍََخ ْذَمٌَ

yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang

serendah-rendahnya(Neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan

mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada

putus-putusnya” (QS At-Tin: 4-6)

C. Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan menurut Ratna Megawangi (2004: 95),

“Sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang

positif kepada lingkungannya.”

Definisi lainnya dikemukakan oleh Fakry Gaffar (2010: 1), “sebuah

(37)

26

dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku

kehidupan orang itu”. (Kesuma, 2011: 5)

Pendidikan karakter atau oleh para pendidik sering disebutnya

sebagai pendidikan watak, adalah sebuah proses pembelajaran untuk

menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, atau akhlak mulia yang

berakar pada ajaran agama, adat istiadat dan nilai-nilai ke-Indonesiaan,

dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi

manusia yang bermartabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter

sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Zuchdi, 2009: 76).

Pengembangan karakter terpuji/akhlak mulia/budi pekerti luhur

memerlukan pengembangan ketajaman berpikir/bernalar, pemberian

teladan, dan pembiasaan secara terus menerus. Semua cara tersebut perlu

dilandasi pengembangan kecerdasan religius karena hal ini telah banyak

diakui sebagai kondisi yang dapat membuat pendidikan karakter dapat

dikelola dengan lebih mudah, dengan hasil yang relatif lebih baik (Zuchdi,

2009: 52).

Mantan Presiden RI pertama Soekarno berulang-ulang

menegaskan:

“Agama adalah unsur mutlak dalam National an Character building” (Sumahamijaya dkk, 2003: 45). Hal ini diperkuat dengan

(38)

27

Sesungguhnya pendidikan karakter sudah ada dalam UU

Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Meskipun kata “karakter” tidak

disebutkan secara langsung, namun penjelasan dari rumusan tersebut

mengarah pada definisi dan arti karakter yang telah disebutkan

sebelumnya. Misalnya pada tujuan pendidikan nasional yang menekankan

“keimanan dan ketakwaan”. Juga pada bahasan kurikulum yang

memperhatikan aspek peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak

mulia dan wajibnya pendidikan agama dari jenjang pendidikan dasar

hingga pendidikan tinggi (Syafri , 2014: 12).

Dalam Majiid dan Andayani (2011: 61), pendidikan karakter

menuju terbentuknya akhlak mulia dalam diri setiap orang ada tiga

tahapan yang harus dilalui, diantaranya:

a. Moral Knowing/Learning to know

Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan karakter.

Pada tahapan ini, tujuam diorientasikan pada penguasaan pengetahuan

tentang nilai-nilai.

b. Moral Loving/Moral feeling

Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa

butuh terhadap nilai-nilai ahlak mulia.

c. Moral Doing/Learning to do

Pada tahapan ini seseorang mempraktikkan nilai-nilai akhlak mulia itu

dalam perilakunya sehari-hari. Tindakan selanjutnya adalah

(39)

28

Pendidikan karakter yang bersifat langsung adalah yang

disampaikan melalui program pembelajaran dan pelatihan tertentu. Dan

tujuan jangka panjang yang hendak dicapai adalah terbangunnya

kehidupan masyarakat, yang aman dan damai, yang bahagia lahir dan

batin. Guna mencapai tujuan ini perlu pengembangan kultur yang

bercirikan pengawasan oleh Tuhan Yang Maha Esa, teladan oleh

pimpinan, dan feedback dari teman (Zuchdi, 2009: 15).

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter

adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk

mengarahkan peserta didik pada pengembangan perilaku anak secara utuh

yang didasarkan pada nilai-nilai keluhuran (Zuchdi, 2011: 27).

2. Tujuan pendidikan karakter

Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari

pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart.

Dalam sejarah Islam, Rasulullah Muhammad Saw, Sang Nabi terakhir

dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam

mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter

yang baik (good character). Berikutnya, ribuan tahun setelah itu,

rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni

pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat

yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan

menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhammad

(40)

29

dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan Martin Luther King

menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “Intelligence plus character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter,

itulah tujuan yang benar dari pendidikan (Majiid dan Andayani, 2011:

30).

Pemaparan pandangan tokoh-tokoh di atas menunjukkan bahwa

pendidikan sebagai nilai universal kehidupan memiliki tujuan pokok

yang disepakati di setip zaman, pada setiap kawasan, dan dalam semua

pemikiran. Dengan bahasa sederhana, tujuan yang disepakati itu adalah

merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan sikap dan

keterampilan (Majiid dan Andayani, 2011: 30).

Untuk mencapai tujuan pendidikan karater kepada taraf yang baik,

dalam artian terjadi keseimbangan antara ilmu dan amal., maka

Al-Qur‟an juga memberikan model pembiasaan dan praktik keilmuan. Al

-Qur‟an sangat banyak memberikan dorongan agar manusia selalu melakukan kebaikan. Ayat-ayat dalam Al-Qur‟an yang menekankan

pentingnya pembiasaan bisa terlihat pada term “amilus shalihat”. Term

ini diungkap Al-Qur‟an sebanyak 73 kali. Bisa diterjemahkan dengan

kalimat “mereka selalu melakukan amal kebaikan”, atau “membiasakan beramal saleh”. Jumlah term tersebut memperlihatkan pentingnya

pembiasaan suatu amal kebaikan dalam proses pembinaan dan

(41)

30

Pendidikan Karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di

dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi

generasi selanjutnya. Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk

penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih

kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik.

Karakteristik yang paling menonjol dalam organisasi tujuan-tujuan

yang diwujudkan dalam pendidikan karakter, bersifat developmental,

kompetensi-kompetensi itu tidak dapat dikembangkan dalam waktu secara

lingkungan belajar yang sangat terbatas. Mengembangkan kemampuan

dasar/nilai-nilai dalam kehidupan untuk menjadi manusia muslim yang

beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., hanya mungkin dikembangkan

secara kontinu dalam kehidupan sehari-hari (Majiid dan Andayani, 2011:

153).

(42)

31

BAB III

TAFSIR SURAT ALI IMRAN AYAT 133 SAMPAI 136

A. Surat Ali Imran ayat 133 sampai 136

ْتَّدِعُأ ُضْزلأاَو ُتاَوبَمَّسلا بَهُضْسَع ٍةَّىَجَو ْمُكِّثَز ْهِم ٍةَسِفْغَم ىَلِإ اىُعِزبَسَو

Artinya: “Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan

mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan

mema‟afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosanya selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.” (Ali Imran: 133-136)

1. Tafsir Surat Ali Imran

Surah Ali Imran dinamai demikian karena di dalamnya dikemukakan

(43)

32

beliau. Sedangkan Imran adalah ayah dari ibu Nabi Isa, yaitu Maryam as.

Nama surah ini banyak, antara lain surah al-amanu (keamanan), al-kanz,

thibah, tetapi yang populer adalah Ali Imran. Tujuan utama surah Ali

Imran (keluarga Imran) adalah pembuktian tentang tauhid, keesaan dan

kekuasaan Allah swt., serta penegasan bahwa dunia, kekuasaan, harta, dan

anak-anak yang terlepas dari nilai-nilai Ilahiyah, tidak akan bermanfaat di

akhirat kelak. Tujuan ini sungguh pada tempatnya karena al-Fatihah yang

merupakan surat pertama merangkum seluruh ajaran Islam secara singkat,

dan Al-Baqarah menjelaskan secara lebih terperinci tuntunan-tuntunan

agama. Nah, surah Ali Imran datang untuk menekankan seseutau yang

menjadi dasar dan sendi utama tuntunan tersebut, yakni tauhid. Tanpa

kehadiran tauhid, pengamalan lainnya tidak bernilai di sisi-Nya (Shihab,

2009: 3).

2. Asbabun Nuzul surat Ali Imran ayat 133-136

Sifat atau ciri-ciri yang disebutkan di sini berkaitan erat dengan

peristiwa perang Uhud. Dan karena malapetaka yang terjadi adalah akibat

keinginan memperoleh harta rampasan perang yang belum pada waktunya

diambil (Shihab, 2009: 264 ). Ayat ini memberi pengertian bahwa Nabi

saw. memaafkan para pemanah yang meninggalkan pos pertahanan dalam

perang Uhud, sehingga akhirnya menyebabkan pasukan muslim

mengalami kekalahan. Nabi pun tidak melakukan pembalasan terhadap

para musyrik yang berlaku kejam kepada Hamzah, paman Nabi, yang

(44)

33

perbuatan keji (fakhisyah) pada ayat 134 ialah dosa besar yang akibatnya

tidak hanya menimpa diri sendiri, tetapi juga orang lain, seperti zina, riba

dan lain-lain. Menzhalimi diri sendiri ialah melakukan dosa yang

akibatnya hanya menimpa diri sendiri (Kementrian Agama RI, 2010: 67)

B. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 133-136 menurut Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Quraisy Shihab

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imran ayat 133-136 ini

menjelaskan tentang sifat orang-orang yang bertakwa, segera bertobat,

menyesali dosa dan bahwa balasan untuknya adalah diampuni dosa dan

masuk surga.

Dalam Ibnu Katsir (2006: 581), Allah menganjurkan kepada mereka

supaya bergegas dalam kebaikan dan bersegera untuk meraih kedekatan

dengan Allah. Firman Allah,

ْهِم ٍةَسِفْغَم ىَلِإ اىُعِزبَسَو

ُضْزلأاَو ُتاَوبَمَّسلا بَهُضْسَع ٍةَّىَجَو ْمُكِّثَز

َهٍِقَّتُمْلِل ْتَّدِعُأ

Dan bergegaslah kamu menuju ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang

bertakwa”. Maksudnya, sebagaimana neraka disediakan bagi orang-orang kafir. Al-Bazzar meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah Saw. kemudian bertanya, “Bagaimana pendapatmu

mengenai firman Allah, „Surga yang luasnya seluas langit dan bumi,‟ lalu di

manakah neraka?‟, Nabi bersabda, „Bagaimana menurutmu apabila malam

(45)

34

tempat yang dikehendaki Allah.‟ Nabi bersabda, „Demikian pula dengan neraka. Ia berada pada tempat yang dikehendaki Allah Ta‟ala.‟ “Yakni, demikianlah bila kita tidak menyaksikan malam ketika siang datang, maka

hal itu tidak memastikan tidak beradanya malam ada suatu tempat, meskipun

kita tidak tahu di mana malam itu berada. Demikin pula dengan neraka. Ia

berada pada tempat yang dikehendaki Allah Ta‟ala. Ini terlihat jelas dalam hadis Abu Hurairah dari Al-Bazzar .

ِضْسَ ْلأاََ ِءبَمَّغٌا ِضْشَعَو بٍَُضْشَع ٍتَّىَج ََ ْمُىِّبَس ُهِم ٍةَشِفْغَم ٌَِّا اُُْمِببَع

“Berlomba-lombalah kalian kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” (QS Al-Hadid: 21)

Dalam Shihab (2009: 263), ketaatan yang diperintahkan oleh ayat

yang lalu dapat terlaksana tanpa upaya sunggguh-sungguh, misalnya sekedar

melaksanakan yang wajib dan mengabaikan yang sunnah atau anjuran. Atau

cukup menghindari yang haram, tetapi melaksanakan yang makruh. Sekedar

memohon ampun atas kesalahan dan dosa besar dan tidak mengingat lagi

dosa kecil atau hal-hal yang kurang pantas. Ayat ini menganjurkan

peningkatan upaya dan melukiskan upaya itu bagaikan satu perlombaan dan

kompetisi yang memang merupakan salah satu cara peningkatan kualitas.

Karena itu, bersegeralah kamu bagaikan ketergesaan seorang yang ingin

mendahului yang lain menuju ampunan dari Tuhanmu dengan menyadari

kesalahan dan berlombalah mencapai surga yang sangat agung yang

(46)

35

untuk al-muttaqin, yakni orang-orang yang telah mantap ketakwaannya, yang

taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya .

Yang dimaksud lebar surga di sini adalah luasnya, dan luas yang

dimaksud adalah perumamaan. Ia tidak harus dipahami dalam arti harfiahnya.

Dalam benak kita, manusia, tidak ada sesuatu yang dapat menggambarkan

keluasan, melebihi luasnya langit dan bumi. Maka untuk menggambarkan

betapa luasnya surga, Allah memilih kata-kata “selebar langit dan bumi”. Di

sisi lain, sedemikian luasnya sehingga ketika mendengar bahwa lebarnya itu

sudah demikian, bagaimana pula panjangnya. Perumpamaan yang diberikan

oleh Al-Qur‟an ini mengundang kaum muslimin agar tidak mempersempit surga dan merasa bahwa hanya diri atau kelompoknya saja yang akan

memasukinya yang sedemikian luas sehingga siapa pun yang berserah diri

kepada-Nya, akan mendapat tempat yang luas di sana (Shihab, 2009: 264).

Kemudian Allah Ta‟ala menceritakan sifat ahli surga. Dia berfirman,

Orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit.” Yakni pada saat sulit dan lapang, saat giat dan malas, saat sehat dan

sakit, dan dalam segala hal dan keadaan. Allah Ta‟ala berfirman, “ Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, secara

rahasia maupun terang-terangan.” Maksud ayat ialah bahwa mereka tidak dilalaikan oleh perkara apa pun untuk menaati Allah Ta‟ala dan berinfak untuk memperoleh ridho-Nya. Firman Allah, “Yang menahan marah dan yang memaafkan manusia.” Yakni, bila mereka marah, maka mereka

(47)

36

mengetahuinya. Di samping itu, apabila orang lain berbuat buruk kepadanya,

maka dia memaafkannya (Ibnu katsir, 2006: 582).

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw.,

beliau bersabda (560):

ُذِْٔذَّشٌا َظٌَْٕ

َذْىِع ًَُغْفَو ُهٍِْمَٔ ِْْزٌَّا َذِْٔذَّشٌا ُّهِىٌَََ ،ِتَعَشُّصٌا بِب

ِبَضَغٌْا

Artinya: “Orang yang kuat pemberani bukanlah yang dapat

menaklukan musuh dalam gulat, namun orang yang dapat mengendalikan

nafsunya ketika dia marah.” (HR. Ahmad).

Imam Ahmad meriwayatkan dari Athiyah bin Sa‟ad As-Sa‟di, dia pernah bersama Nabi, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda (562),

“Sesungguhnya kemarahan itu dari setan dan setan itu diciptakan dari api.

Sesungguhnya api itu hanya dapat dipadamkan dengan air. Jadi jika salah

seorang di antara kamu marah, maka berwudlulah.” Demikian pula keterangan yang diriwayatkan oleh Abu Daud (Ibnu Katsir, 2006: 583).

Imam Ahmad mengatakan dari Abdullah bin Yazid bahwa Rasulullah

saw. bersabda,

ا

َلاَخٌْا ِطَُْإُس ٍََّع ُالله ُي بَعَد ,يَزِفْىُٔ ْنَأ ٍََّع ٌسِد بَل ٌَََُُ بًظَْٕغ َمَظَو ْهَم

,ِكِئ

ٌْا َِّْأ ْهِم ُيَشَِّٕخُٔ َّّخَح

َءبَش ِسُُْح

“Barang siapa menahan amarah, sedangkan ia mampu utnuk melaksanakannya, maka Allah kelak akan memanggilnya di mata semua

makhluk hingga Allah menyuruhnya memilih bidadari manakah yang

(48)

37

mereka memaafkan orang yang menzaliminya sehingga di dalam dirinya tiada

niatnya untuk membalas dendam pada seorang pun. Ini merupakan perilaku

yang paling utama. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Ibnu Katsir, 2006: 583).

Al Hakim meriwayatkan dalam mustadraknya, sebuah hadis dari

Musa bin Uqbah dengan sanadnya dari Ubadah bin Shamit, dari Ubai bin

Ka‟ab, bahwa Rasulullah bersabda,

ًٌَُ َفَشْشُٔ ْنَأ ُيَّشَع ْهَم

ُثبَجَسَّذٌا ًٌَُ ُعَفْشُحََ ُنبَْٕىُبٌُا

ًَُمٍََظ ْهَّمَع ُفْعٍََْٕف

ًَُعَطَل ْهم ًِْصَََٔ ًَُمَشَح ْهَم ِظْعََُٔ

“Barang siapa yang berambisi untuk memiliki kepribadian yang mulia

dan derajat yang tinggi, maka hendaklah dia memaafkan orang yang

menzaliminya, memberi kepada orang yang tidak suka memberi kepadanya,

dan menghubungkan tali silaturrahmi kepada orang yang memutuskan

hubungan dengannya.” Kemudian Hakim mengatakan bahwa hadits ini

shahih karena mengikuti syarat syikhani, meskipun keduanya keduanya tida

meriwayatkan hadis itu (Ibnu Katsir, 2006: 584).

Setelah dalam ayat yang lalu telah digambarkan sekelumit tentang

surga, ayat ini menggambarkan sekelumit tentang sifat-sifat mereka yang

wajar menghuninya. Sifat atau ciri-ciri yang disebutkan di sini berkaitan erat

dengan peristiwa perang Uhud. Dan karena malapetaka yang terjadi adalah

akibat keinginan memperoleh harta rampasan perang yang belum pada

waktunya diambil, nasihat pertama adalah tentang berinfak dengan

(49)

38

atau secara terus menerus menginfakan hartanya di jalan Allah baik di waktu

dia lapang, yakni memiliki kelebihan dari kebutuhannya maupun di waktu

dia sempit tidak memiliki kelebihan dari kebutuhannya (Shihab, 2009: 264).

Dalam konteks menghadapi kesalahan orang lain, ayat ini

menunjukkan tiga kelas manusia atau jenjang sikapnya. Pertama, yang

mampu menahan amarah. Kata al-kadhimin mengandung makna penuh dan

menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh air lalu ditutup rapat

agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat

masih memenuhi hati yang bersangkutan, pikirannya masih menuntut balas,

tetapi dia tidak memperturutkan ajakan hati dan pikiran itu, dia menahan

amarah. Di atas tingkat ini, adalah yang memaafkan. Kata al-‘afin terambil

dari kata al-afni yang biasa diterjemahkan dengan kata maaf. Kata ini antara

lain berarti menghapus. Seseorang yang memaafkan orang lain adalah yang

menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain

terhadapnya. Kalau dalam peringkat pertama di atas, yang bersangkutan baru

sampai pada tahap menahan amarah, kendati bekas-bekas luka itu masih

memenuhi hatinya, pada tahapan ini yang bersangkutan telah menghapus

bekas-bekas luka itu. kini seakan-akan tidak pernah terjadi satu kesalahan

atau suatu apapun. Namun, karena pada tahap ini seakan-akan tidak pernah

terjadi sesuatu, boleh jadi juga tidak terjalin hubungan. Untuk mencapai

tingkat ketiga Allah mengingatkan bahwa yang disukai-Nya adalah

(50)

39

atau memaafkan, tetapi justru berbuat baik kepada orang yang pernah

melakukan kesalahan. Firman Allah Swt,

ْمُهَسُفْوَأ اىُمَلَظ ْوَأ ًةَشِحبَف اىُلَعَف اَذِإ َهٌِرَّلاَو

ََّاللَّ اوُسَكَذ

اوُسَفْغَتْسبَف

ْمِهِثىُوُرِل

Dan orang-orang yang apabila mereka melakukan perbuatan keji atau mereka menzalimi diri sendiri, maka mereka ingat kepada Allah, lalu

memohon ampun atas dosa-dosanya.” Yakni apabila dia melakukan sebuah dosa, maka perbuatannya itu diiringi dengan tobat dan istighfar (Ibnu katsir,

2006: 584).

Tatkala melakukan tobat sangat dianjurkan untuk berwudlu dan shalat

dua rekaat.

َهِْٔشٍَِّطَخُمٌا ُّبِحُٔ ََ َهِْٕباََُّّخٌا ُّبِحُٔ َالله َّنِا

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah:222)

Firman Allah, “Tiada yang dapat mengampuni dosa kecuali Allah.”

Yakni, tidak ada seorang pun yang mengampuni dosa kecuali Dia.

Sebagaimana Imam Ahmad meriwayatkan dari Aswad bin Sari‟,

“Sesungguhnya Nabi datang dengan membawa seorang tawanan. Dia berkata, „Ya Allah, sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu bukan bertobat pada

Muhammad.‟ Maka Nabi Saw. bersabda, „Dia mengenal hak itu bagi bagi

yang seharusnya menerimanya.‟” Firman Allah Swt., “Dan mereka tidak terus menerus berada dalam kemaksiatan dan menekuninya. Jika dia mengulangi

(51)

40

Firman Allah Swt., “Sedang mereka tidak mengetahui.” Yakni barang

siapa yang bertobat, maka Allah akan menerima tobatnya. Ini senada dengan

firman Allah, ”Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah akan menerima

tobat dari hamba-hamba-Nya.” Firman Allah Swt., “Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhannya,” yakni balasan bagi mereka yang memiliki

sifat-sifat seperti itu adalah “ampunan dan surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. “ dari berbagai jenis minuman,” sedang mereka kekal di dalamnya,” yakni mereka menetap di sana. “Dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” Di sini Allah memuji kebaikan surga. (Ibnu Katsir, 2006: 586)

Setelah menjelaskan sikap dan perilaku mereka yang disebut di atas

dalam menghadapi orang lain, kini melalui ayat ini dijelaskan sikap mereka

menghadapi diri sendiri. Atau, setelah menyebut peringakat tinggi dari

penghuni surga, kini disebutkan peringkat yang di bawah mereka, yaitu

mereka yang apabila mengerjakan dengan sengaja atau tidak sadar perbuatan

keji, yakni dosa besar, seperti membunuh, berzina, korupsi, mencuri atau

menganiaya diri sendiri dengan dosa atau pelanggaran apa pun, mereka ingat

Allah sehingga mereka malu atau takut lalu mereka menyesali perbuatan

merek, bertekad untuk tidak mengulanginya dan memohon ampun atas

dosa-dosa mereka. Ketika itu, Allah mengampuni mereka karena Dia Maha

Pengampun dan tiada selain-Nya yang dapat memberi ampun. Siapa lagi

yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Tentu saja tidak ada!

(52)

41

itu, sedang mereka tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut terlarang.

Mereka yang kedudukannya tinggi sebagaimana diisyaratkan oleh kata itulah

yang akan memperoleh balasan dari Allah. Balasannya ialah mendapat

ampunan dari Tuhan Pemelihara mereka atas kesalahan dan dosa mereka,

baik yang besar mapupun yang kecil, dan di samping itu mereka juga

dianugerahi surga-surga, masing-masing sesuai dengan kedudukan mereka di

sisi Allah, yakni surga itu yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sedang

mereka kekal di dalamnya dan sungguh baik pahala orang-orang yang

beramal (Shihab, 2009: 266).

Di atas Anda baca fahisyah yang diterjemahkan dengan perbuatan keji

diartikan sebagai dosa besar, sedang menganiaya diri diartikan sebagai dosa

atau pelanggaran secara umum termasuk di dalamnya dosa besar. Ada juga

yang membalik pengertiannya. Pendapat ketiga dikemukakan oleh

Muhammad Sayyid Thantawi bahwa perbuatan keji dan menganiaya diri

merupakan dosa dari setiap kedurhakaan. Setiap perbuatan keji yang

dilakukan seseorang berakibat penganiayaan atas dirinya, demikian pula

sebaliknya. Atas dasar itu, sementara ulama menegaskan bahwa kata atau

sebelum kata menganiaya diri sendiri pada ayat di atas berarti dan. (Shihab,

2009: 267).

Kalau diamati sifat-sifat para penghuni surga atau orang-orang

bertakwa di atas, ditemukan bahwa maksiat dan kedurhakaan yang dilakukan

seseorang, selama ia segera menyadarinya, tidak mencabut identitas

Referensi

Dokumen terkait

Surfaktan merupakan molekul yang memiliki gugus polar yang suka air (hidrofilik) dan gugus non polar yang suka minyak (hidrofobik) sekaligus, sehingga dapat mempersatukan

Ketiga, kendala-kendala yang dialami oleh nelayan tradional untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya: (1) kondisi internal, yang dicirikan dengan nelayan yang

Pesan yang tersirat yaitu mereka memiliki keterbatasan dalam mengekspresikan diri di ranah virtual, bahwa mereka menyadari esteem needs cukup dibangun dengan

Manusia merupakan makhluk yang memiliki kemampuan istimewa dan menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk lainnya, yakni menjadi khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi (Q.S.

TAP MPR yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui

1. Dalam pelaksanaan kegiatan MCA tidak diperlukan dana pendampingan dari Pemerintah seperti yang disyaratkan oleh beberapa lembaga donor yang lain. Namun demikian ada

Tabel 3 memperlihatkan bahwa semua aplikasi limbah cair pulp kakao fermentasi 1-3 minggu menunjukkan tingkat keracunan yang berat sampai yang sangat berat

Berdasarkan percakapan tersebut dapat disimpulkan, bahwa alih kode tidak hanya terbatas pada pengalihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain seperti dalam masyarakat dwibahasa