i
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR
AL-
QUR’AN SURAT ALI IMRAN AYAT 133
-136
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
Ahmad Mudasir
NIM: 11112162
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
i
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR
AL-
QUR’AN SURAT ALI IMRAN
AYAT 133 -136
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
Ahmad Mudasir
NIM: 11112162
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
هٔذٌاٌُا ظخع ٓف الله ظخع َ هٔذٌاٌُا بضس ٓف الله بضس
“Keridhaan Allah terletak pada keridhaan kedua orangtua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan keduanya.”
Persembahan
Untuk Bapak dan Ibuku (Bapak Nurfauzi dan Ibu Asrifah)
Mas, mbak, adik dan keponakan (Mas Muharrom, Mas Khamim, adek mudhofir, Anindita, Feri Kurniawan, Khakim Lutfil)
Untuk sahabat-sahabatku dan teman spesialku (Muhammad Kholik, Khamidun, Ali, Kang tarmo, Adhikara, Intan, Hasan cilikan, Camplung, Kasibok)
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim yang dengan rahmat, taufik, dan hifdayah-Nya skripsi dengan judul Pendidikan Karakter dalam Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 133-136 bisa diselesaikan.
Skripsi ini tidak akan selesai tanpa motivasi, dukungan dan bantuan dari berbagai piak terkait sehingga kebahagiaan yang tiada tara penulis rasakan setelah skripsi ini selesai. Oleh karena itu penulis ucapkan banyak terima kasih setulusnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
3. Bapak H. Ahmad Agus Suaidi, MA. selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing dan membantu dalam penyelesaian skripsi.
4. Ibu Siti Rukhayati, M. Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
IAIN Salatiga.
5. Bapak Winarno, M, Pd selaku Dosen Pembimbing Akademik
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari sempurna.Oleh
karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari
berbagai pihak demi kesempurnaan tugas-tugas penulis selanjutnya.
Amin Ya Robbal ’Alamin
vii
ABSTRAKMudasir, Ahmad. 2017. Pendidikan Karakter dalam Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 133 sampai 136 . Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing H. Agus Ahmad Suaidi, MA.
Kata kunci: Pendidikan, Karakter
Penelitian ini membahas tentang pendidikan karakter yang terkandung dalam tafsir al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133 sampai 136. Fokus penelitian ini meliputi: 1) Bagaimanakah konsep pendidikan karakter menurut al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136? 2) Bagaimanakah aktualisasi pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari menurut al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136?
Penelitian yang digunakan oleh peneliti ini termasuk dalam jenis penelitian literatur, atau penelitian kepustakaan/library research, baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu. Dalam hal ini penulis mengumpulkan data skripsi ini dengan mengacu pada sumber-sumber kepustakaan seperti buku, majalah, artikel dan jurnal. Dalam penelitian literatur ini, penulis mengacu beberapa sumber yang sesuai dengan topik yang bersangkutan, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primernya yaitu Al-Qur‟an dan Hadist Nabi yang berkaitan dengan pendidikan karakter. Sedangkan sumber sekundernya yaitu tafsir Al-Qur‟an yang berkaitan dengan pendidikan karakter dan buku para ahli yang berkaitan dengannya. Teknik pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi, sedangkan analisis datanya menggunakan metode diskriptif analisis dan metode induktif.
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa konsep pendidikan karakter dalam tafsir al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133 sampai 136 adalah pendidikan karakter yang ditanamkan kepada peserta didik dalam membentuk kepribadian yang baik bagi mereka dan menyempurnakan diri peserta didik secara terus-menerus dengan selalu bergegas dalam kebaikan. Dan aktualisasi pendidikan karakter mengenai tafsir surat Ali Imran ayat 133-136 dalam kehidupan sehari-hari peserta didik antara lain: 1) Pendidik menanamkan kepada peserta didik agar membiasakan menginfakkan hartanya dan harus didasari lillahi ta‟ala. 2) Peserta didik dapat memanage emosi, dan pendidik senantiasa menumbuhkan rasionalitas kepada peserta didik untuk mengalahkan emosi. 3) Pendidik menanamkan toleransi kepada peserta didik agar memaafkan kesalahan orang lain dan memiliki kemuliaan jiwa. 4) Peserta didik memiliki kesadaran untuk cepat mengkoreksi diri dan cepat memperbaiki diri 5) Peserta didik dapat membiasakan diri berbuat kebaikan yang berlebih seperti yang disebutkan di atas.
viii
DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... vii
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Pembahasan ... 4
D. Manfaat Hasil Penelitian ... 5
E. Definisi Operasional ... 6
F. Metode Penelitian ... 8
G. Sistematika Penulisan Skripsi ... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan Karakter ... 11
1. Pengertian Pendidikan Karakter ... 11
2. Aliran-Aliran Pendidikan ... 16
3. Tujuan Pendidikan ... 19
4. Tujuan Pendidikan Karakter ... 21
5. Urgensi Pendidikan Karakter ... 23
B. Karakter atau Akhlak dalam Al-Qur‟an ... 25
1. Karakter dan Akhlak ... 25
ix
BAB III TAFSIR SURAT ALI IMRAN AYAT 133 SAMPAI 136
A. Surat Ali Imran ayat 133 sampai 136 ... 31 B. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 133-136 menurut Tafsir Ibnu
Katsir dan Tafsir Quraisy Shihab ... 33 C. Tafsir Surat Ali Imran ayat 133-136 menurut Tafsir
Al-Maraghi dan Tafsir An-Nur ... 43
BAB IV PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR SURAT ALI IMRAN
AYAT 133 SAMPAI 136
A. Konsep Pendidikan Karakter Menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-136 ... 52 B. Aktualisasi Pendidikan Karakter Dalam Kehidupan
Sehari-Hari Menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-136 ... 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 62 B. Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 64 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 Penunjukan Pembimbing Skripsi Lampiran 2 SKK
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah salah satu cara untuk menciptakan generasi
penerus bangsa yang bermartabat. Dengan pendidikan yang benar dan
berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang
selanjutnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral (Muhammad,
2003: 5). Tetapi walaupun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki
kualitas dan fasilitas yang memadai, namun institusi-institusi tersebut
masih belum mencetak individu-individu yang beradab. Sehingga, tujuan
pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab
terabaikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan
nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Justru yang
terjadi adalah kondisi yang sebaliknya.
Pendidikan di dunia Islam saat ini mengalami krisis yang
menyebabkan kemunduran. Para pemerhati pendidikan telah menganalisis
beberapa sebab terjadinya kemunduran itu, di antaranya karena
ketidaklengkapan aspek materi, terjadinya krisis sosial masyarakat dan
krisis budaya, serta hilangnya qudwah hasanah (teladan yang baik),
akidah shahihah, dan nilai-nilai islami. (Syafri, 2012: 1). Budaya barat
juga sangat berpengaruh pada kehidupan manusia yang menjadikan
mereka seperti tidak membutuhkan pendidikan agama, sehingga bisa
2
Melihat beberapa kasus pelanggaran moral dan akhlak yang terjadi
pada peserta didik, tampak jelas tidak tertanamnya dengan baik mana
akhlak yang mesti dijadikan karakter dan mana akhlak yang terlarang. Jika
pendidikan akhlak dibangun berdasarkan worldview yang benar, metode
yang tepat, dan praktik yang integral pada setiap proses pendidikannya,
maka bangunan karakter anak didik akan mudah terbentuk (Syafri, 2012:
7). Jadi, dapat dikatakan bahwa untuk memperbaiki nilai-nilai moral dan
akhlak seseorang, perlu adanya pendidikan karakter yang ditanamkan
kepada para peserta didik.
Dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter adalah hal
positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter
siswa yang diajarnya. Menurut Winton, pendidikan karakter adalah upaya
sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan
nilai-nilai kepada para siswanya (dalam Samani dan Hariyanto, 2011: 43).
Dalam makna yang sempit, pendidikan karakter dimaknai sebagai sejenis
pelatihan moral yang merefleksikan nilai tertentu, misalnya
diaktualisasikan dalam bentuk sedekah, memaafkan kesalahan orang lain,
menahan amarah, bertaubat dan sebagainya.
Salah satu pemikir pendidikan karakter kontemporer, Thomas
Lickona misalnya, memiliki pandangan bahwa pendidikan karakter dan
pendidikan agama semestinya dipisahkan dan tidak dicampuradukkan.
Nilai-nilai seperti kebijaksanaan, penghormatan terhadap yang lain,
3
copassion), pemecah konflik secara damai, merupakan nilai-nilai yang
semestinya diutamakan dalam pendidikan karakter. (Majid dan Andayani,
2011: 61).
Persoalan kehancuran moral bangsa tidak dapat diatasi dengan
berdoa atau hanya dengan membaca kitab suci. Oleh karena itu, gagasan
Lincona yang masih relevan bagi kita adalah bahwa dalam melaksanakan
pendidikan karakter, terlebih berkaitan dengan pendidikan agama, kita
tidak boleh berhenti pada pengembangan nilai keagamaan yang sifatnya
ritual (Majid dan Andayani, 2011: 64).
Manusia dengan potensinya juga diberi kesempatan memilih.
Manusia bukan robot yang bisa dibentuk, tetapi makhluk yang bisa
dipengaruhi, diarahkan, dan dididik. Namun, manusia sering salah
memilih karena kesalahan pembinaan manusia itu sendiri (Syafri, 2012:
33). Apabila sejak dini peserta didik mulai diberikan arahan-arahan yang
baik, dididik agar memiliki karakter yang baik, pasti mereka akan terbiasa
dengan perilaku yang baik. Untuk itu, proses pendidikan ditempatkan
sebagai misi utama dalam Al-Qur‟an untuk mengenalkan tugas dan fungsi manusia itu sendiri. Al-Qur‟an meskipun bukan tergolong ilmu pengetahuan, namun seluruh ayatnya memuat prinsip-prinsip pendidikan
sebagai pegangan manusia untuk dipelajari.
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya;
4
Menurut Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa‟adi, Al-Qur‟an memiliki dua macam petunjuk; Pertama, berupa perintah, larangan, dan
informasi tentang perbuatan yang baik menurut syari‟at atau ‘urf
(kebiasaan) yang berdasarkan akal, syari‟at dan tradisi. Kedua, menganjurkan manusia memanfaatkan daya nalarnya untuk melakukan
sesuatu yang bermanfaat. Ayat-ayat Al-Qur‟an sangat membangun karakter atau akhlak. Beberapa di antaranya adalah pengarahan agar umat
manusia berakhlakul karimah, bisa dilihat pada beberapa surah dan ayat
berikut; QS An-Nur: 30-32, QS Al-Ahzab:33, QS Al-Isra‟: 23, QS At -Taubah: 119, QS Ali Imran: 133-134 yang mengungkapkan hal-hal yang
berkenaan dengan perilaku, penjagaan diri, sifat pemaaf, dan kejujuran.
(Syafri , 2012: 64).
Oleh karena itu, kedudukan akhlak al-Qur‟an sangat penting, sebab melalui ayat-ayat-Nya al-Qur‟an berupaya membimbing dan mengajak umat manusia untuk berakhlakul karimah. Melalui pendidikan karakter ini
manusia dimuliakan Allah dengan akal, sehingga manusia dapat
mengemban tugas kekhalifahan dengan akhlak yang benar. Berdasarkan
hal-hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang
pendidikan karakter dan semua yang berkaitan dengan hal tersebut, maka
5
B. Rumusan MasalahUntuk menyusun skripsi ini, penulis terlebih dahulu merumuskan
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep pendidikan karakter dalam tafsir Al-Qur‟an Surat Ali Imran ayat 133-136?
2. Bagaimana aktualisasi pendidikan karakter dalam kehidupan
sehari-hari menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran ayat 133-136?
C. Tujuan Pembahasan
1. Memahami dan menganalisis konsep pendidikan karakter dalam tafsir
Al-Qur‟an QS Ali Imran ayat 133-136.
2. Memahami dan menganalisis aktualisasi pendidikan karakter dalam
kehidupan sehari-hari menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran ayat 133 -136.
D. Manfaat Hasil Penelitian
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan tentang pendidikan karakter baik menurut Al Qur‟an
ataupun menurut ilmu pendidikan Islam lainnya. Hasil penelitian ini
diharapkan memberi sumbangan ilmu sebagai sarana memperluas
khazanah pengetahuan peneliti khususnya dan orang yang berinteraksi
langsung dengan pendidikan pada umumnya tentang pendidikan
6
2. Manfaat praktis
Mengetahui tentang konsep pendidikan karakter dan
aktualisasinya dalam kehidupan sehari-hari serta sebagai bahan
referensi bagi pihak atau instansi yang membutuhkan penelitian ini,
serta dapat menumbuhkan semangat untuk mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahfahaman dalam mengartikan pembahasan
dalam skripsi ini, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah dalam
skripsi ini sebagai berikut:
1. Pendidikan Karakter
Menurut Noeng Muhajir sebagaimana dikutip oleh Suwarno
(2006: 19), pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani,
Paedagogy, yang mengandung makna seorang anak pergi dan pulang
sekolah diantar seorang pelayan. Dalam bahasa Romawi, pendidikan
diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang
berada di dalam. Dalam bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to
educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.
Sedangkan karakter berasal dari bahasa Latin “kharakter”,
“kharassein”, “kharax”, dalam bahasa Inggris: character dan Indonesia “karakter”, Yunani character, dari charassein yang berarti membuat
7
Jadi, pendidikan karakter atau oleh para pendidik sering disebutnya
sebagai pendidikan watak, adalah sebuah proses pembelajaran untuk
menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, atau akhlak mulia yang
berakar pada ajaran agama, adat istiadat dan nilai-nilai ke-Indonesiaan,
dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi
manusia yang bermartabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter
sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Zuchdi, 2009: 76).
2. Tafsir
Tafsir berasal dari kata “fassara” yang bermana menjelaskan,
menerangkan. Menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang
mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi.
Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang
membahas tentang al-Qur‟an al-Karim dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia
(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tafsir).
3. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perantara malaikat Jibril, untuk dibaca, dipahami,
dan diamalkan, sebagai petunjuk atau pedoman hidup umat manusia,
8
F. Metode Penelitian1. Jenis penelitian
Penelitian yang digunakan oleh peneliti ini termasuk dalam
penelitian literatur, atau penelitian kepustakaan/library research, yaitu
penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur
(kepustakaan) baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil
penelitian dan peneliti terdahulu (Hasan, 2006: 5). Dalam hal ini
penulis mengumpulkan data skripsi ini dengan mengacu pada
sumber-sumber kepustakaan seperti buku, majalah, artikel dan jurnal.
2. Sumber Data
Dalam penelitian literatur ini, penulis mengacu beberapa sumber
yang sesuai dengan topik yang bersangkutan, yakni dibagi dalam dua
bentuk sumber yaitu:
a. Sumber Primer
Sumber primer yaitu data yang diperoleh secara langsung
dari objek penelitian perorangan, kelompok, dan organisasi
(Ruslan, 2010: 29). Dalam hal ini peneliti mengacu sumber
primernya diantaranya adalah Al-Qur‟an dan Hadist Nabi yang berkaitan tentang pendidikan karakter.
b. Sumber Sekunder
Yaitu sumber yang mendukung dan melengkapi sumber
9
skripsi ini adalah tafsir Al-Qur‟an yang berkaitan dengan pendidikan karakter dan buku para ahli yang berkaitan dengannya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data dalam penelitian ini, digunakan
metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, leger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2010: 274).
Metode dokumentasi adalah cara untuk mendapatkan data mengenai
hal-hal atau variabel dengan membuka kembali catatan, daftar riwayat
hidup, transkrip dan lain-lainnya disebut dokumen. Pada penelitian ini
penulis menggunakan buku dalam menemukan data.
Objek penelitian ini adalah pendidikan karakter. Penulis
memfokuskan kajian ini pada pendidikan karakter yang termaktub
dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136. 4. Analisis Data
Dijelaskan oleh Lexy J. Moleong analisis data adalah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori,
dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja. Di dalam analisis, data yang muncul
berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka (Miles dan Huberman,
10
Dalam menganalisis penelitian tentang pendidikan karakter
penulis menggunakan beberapa metode, diantaranya metode diskriptif
analisis dan metode induktif. Sedangkan pendekatan yang dipakai
dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analisis, yaitu
penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai dari suatu variabel,
dalam hal ini variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih tanpa
membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain.
(Hasan, 2006:7)
Metode Induktif adalah metode yang berangkat dari fakta-fakta
yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkret, kemudian dari
fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang kongkret itu ditarik
generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat umum (Hadi, 1993:42).
Berdasarkan pengertian tersebut penulis akan menguraikan
makna yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136, kemudian penulis menarik kesimpulan tentang permasalahan
tersebut.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman isi skripsi ini,
penulis akan menyusun skripsi ini dalam lima bab dengan sistematika
sebagai berikut:
BAB I, bab ini berisi tentang pendahuluan yang mencakup tentang latar
belakang penelitian, rumusan dan tujuan penelitian. Selain itu di dalamnya
11
penelitian diteruskan dengan sistematika penulisan skripsi agar lebih
terstruktur dalam memahami.
BAB II, sebagai kelanjutan dari bab sebelumnya, maka pada bab ini
penulis memaparkan landasan teori yang di dalamnya terdapat teori-teori
tentang pendidikan, teori-teori tentang pendidikan karakter, dan teori-teori
tentang kandungan surat Ali Imran ayat 133-136.
BAB III, pada bab ini penulis akan membahas tentang ayat-ayat alqur‟an dan hadis pendukung, serta tafsir surat Ali Imran ayat 133-136.
BAB IV, pada bab ini, penulis memfokuskan pembahasan mengenai surat
Ali Imran ayat 133-136 tentang pendidikan karakter dan aktualisasinya
dalam kehidupan sehari-hari.
BAB V, memaparkan tentang kesimpulan yang telah dibahas dan
12
BAB IILANDASAN TEORI A. Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu hal yang dibutuhkan oleh manusia
oleh karena itu tidak heran jika banyak orang yang berbondong-bondong
mengenyam pendidikan dari yang formal sampai yang informal. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 232), Pendidikan berasal dari kata
“didik”, lalu kata ini mendapat awalan me sehingga menjadi “mendidik”,
yang memiliki arti memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara
dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Menurut Noeng Muhajir sebagaimana dikutip oleh Suwarno (2006:
19), pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani, Paedagogy, yang
mengandung makna seorang anak pergi dan pulang sekolah diantar
seorang pelayan. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan
educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam
bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti
memperbaiki moral dan melatih intelektual.
Secara terminologi pedidikan telah diumuskan oleh para pakar
pendidikan maupun ulama. Di antaranya yang dikemukakan oleh al-Qodli
Baidlowi yang dinukil oleh Miqdad Yaljan sebagai berikut:
13
“Pendidikan adalah usaha perlahan-lahan untuk mengembangkan
sesuatu menuju kesempurnaannya”. Jadi kalau kita perhatikan ta‟rif
tersebut, maka pengertian pendidikan berlaku sangat umum (Huda, 2009:
19).
Dalam pengertian yang sederhana dan umum, pendidikan
merupakan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani
sesuai dengan nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Atau
dengan kata lain bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasil
peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa
itu sendiri (Indar, 1994: 16). Sementara pendidikan dalam arti luas
merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya,
yang berlangsung sepanjang hayat (Sadulloh, 2009: 54).
Di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, tercantum pengertian pendidikan yaitu usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (Suwarno, 2006: 21).
Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani
14
(Ikhsan, 2003: 2). Selain itu, pendidikan juga merupakan salah satu sarana
terpenting dalam usaha pembangunan sumber daya manusia dan
penanaman nilai-nilai kemanusiaan, yang pada gilirannya akan
menciptakan suasana dan tatanan kehidupan masyarakat yang beradab dan
berperadaban (Naquib Al-Attas, 2003: 23).
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar siswa secara aktif mengembangkan potensi diinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.
2. Aliran-aliran pendidikan
Terdapat empat aliran pendidikan yang mana keempat aliran tersebut
mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang pendidikan:
a. Aliran empirisme
Aliran empirisme dikemukakan oleh John Locke (1704-1932)
seorang filsuf Inggris. Empirisme juga berasal dari bahasa latin,
dengan kata asal emiricus yang berarti pengalaman. Aliran ini juga
dinamakan aliran “Tabularasa” yang berarti seseorang dilahirkan
seperti kertas kosong yang belum ditulisi apapun, maka pendidikanlah
yang akan menulisnya (Idris, 1992: 5). Jadi John Locke berpendapat
15
empirisme, pendidikan adalah maha kuasa dalam membentuk anak
didik menjadi apa yang diinginkannya (Jumali dkk, 2008: 126).
Teori empirisme ini menganggap bahwa pendidikan hanya
dapat diperolah dari lingkungan yang ada disekitar. Yang dimaksud
dengan lingkungan yaitu lingkungan hidup maupun lingkungan tak
hidup yang berpengaruh besar terhadap pendidikan dan perkembangan
anak.
b. Aliran nativisme
Nativisme berasal dari bahasa latin yaitu natives yang berarti
terlahir. Seseorang berkembang berdasarkan apa yang dibawanya dari
lahir. Pendidikan tidak berpengaruh sama sekali terhadap
perkembangan seseorang. Pelopor dari aliran Nativisme ini adalah
Schopenhauwer (1788-1880) yang berkebangsaan Jerman.
Menurutnya mendidik ialah membiarkan seseorang tumbuh
berdasarkan pembawaannya (Idris, 1992: 6). Aliran ini berpendapat
bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor
yang dibawa manusia sejak lahir, pembawaan yang telah terdapat pada
waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya
(Purwanto, 2006: 59).
Dalam hubungannya dengan pendidikan, aliran ini berpendapat
bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan ditentukan oleh
pembawaan yang diperolehnya sejak kelahirannya. Lingkungan tidak
16
itu. Aliran ini juga berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat
menghasilkan tujuan yang diharapkan dengan perkembangan anak
didik. Dengan kata lain aliran nativisme merupakan aliran pesimisme
dalam pendidikan. Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung
pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki oleh anak
didik (Jumali dkk, 2008: 126).
c. Aliran naturalisme
Naturalisme berasal dari bahasa latin yaitu nature yang berarti
alami, tabiat, dan pembawaan. Aliran ini hampir sama dengan
nativisme yang berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak sejak
dilahirkan adalah baik. Teori yang dikemukakan oleh J. J Rousseau
(1712-1778) berpendapat bahwa semua anak yang baru lahir
mempunyai pembawaan yang baik, tidak ada seorangpun anak yang
lahir dengan pembawaan buruk(Jumali dkk, 2008: 127).
d. Aliran konvergensi
Konvergensi berasal dari kata Convergative yang berarti
penyatuan hasil atau kerjasama untuk mencapai suatu hasil. Hukum
ini berasal dari ahli ilmu jiwa Jerman, bernama William Stern
(1871-1939). Ia berpendapat bahwa faktor pembawaan dan lingkungan
kedua-duanya menentukan perkembangan manusia, sehingga aliran
ini merupakan kombinasi dari nativisme dengan empirisme
17
Menurutnya, teori empirisme dan nativisme masing-masing
terlalu berat sebelah. Kedua-duanya mendukung kebenaran dan juga
ketidak benaran. Menurut teori konvergensi baik pembawaan maupun
lingkungan kedua-duanya mempunyai pengaruh terhadap hasil
perkembangan anak didik. Hasil perkembangan dan pendidikan
bergabung pada kecilnya pembawaan serta situasi lingkungan (Jumali
dkk, 2008: 128).
Jadi, menurut teori konvergensi perkembangan manusia bukan
karena hasil dari pembawaan saja melainkan juga lingkungan yang
menentukan hasil pendidikan tersebut. Selain itu kemampuan atau
aktivitas seseorang itu sendiri juga menentukan hasil dari pendidikan
dan perkembangan manusia. Dengan begitu teori konvergensi
menggabungkan antara pembawaan dan lingkungan serta aktivitas
manusia itu sendiri.
3. Tujuan Pendidikan
Menurut UUSPN No. 20 Tahun 2003 bab 2 pasal 3 mengenai
fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
18
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
(Kesuma, 2011: 6)
M Athiyah al-Abrasy (2003: 35), mengemukakan bahwa tujuan
Pendidikan dan pengajaran adalah sebagai berikut :
a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia.
b. Pendidikan dan pengajaran bukanlah sekedar memenuhi otak anak
didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi
mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah
(keutamaan),
c. Membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan
mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas, dan jujur.
d. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Jaminan UUD 1945 pasal 29, UU SISDIKNAS RI bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah mencita-citakan lahirnya anak Indonesia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mayoritas jumlah
penduduk Indonesia beragama Islam, tumbuhnya kegairahan para
pemikir dan pengelola lembaga pendidikan Islam untuk memperbaiki,
meningkatkan dan memperbaharui mutu pendidikan, munculnya metode
belajar membaca al-Qur‟an (Mansur, 2005, 145).
Pembentukan karater merupakan salah satu tujuan pendidikan
nasional. Pasal 1 UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa diantara
tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik
19
terkandung dalam UU di atas bermaksud agar pendidikan tidak hanya
membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian
atau berkarakter. Sehingga akan lahir generasi bangsa yang tumbuh
berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa
serta agama (Asmani, 2012: 29).
B. Karakter
1. Pengertian Karakter
Secara bahasa, karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein,
yang artinya „mengukir‟. Sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas
benda yang diukir. Tidak mudah usang tertelan waktu atau aus terkena
gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan menghilangkan benda
yang diukir itu. sebab, ukiran melekat dan menyatu dengan bendanya
(Munir, 2010:2). Kata karakter menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008)
berarti; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari yang lain. Sedangkan karakter menurut Pusat Bahasa
Depdiknas memiliki makna; bawaan hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti,
perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak (Syafri, 2012: 7).
Sementara dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah
kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran
seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sfat-sifat yang relatif
tetap (Dali Gulo dalam Furqon Hidayatullah, 2010: 12).
Karakter berasal dari kata character yang berarti watak, karakter
20
cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu
untuk hidup dan beerja sama, baik dalam lingkup keluarga, sekolah,
masyarakat, bangsa, dan negara (Zuchdi, 2011: 27).
Secara koheren karakter memancar dari hasil olah pikir, olah rasa
dan karsa, serta olah raga yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas
moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan
(Budimansyah, 2010: 23). Dan secara psikologis karakter individu
dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah
pikir, olah rasa, dan olah raga sehingga menghasilkan enam karater
utama dalam seorang individu, yaitu jujur, tanggung jawab, cerdas,
bersih, sehat, peduli, dan kreatif (Majiid dan Andayani, 2011: 164).
Karakter memiliki batasan yang berada di dalam dua wilayah. Ia
diyakini ada sebagai sifat fitri manusia, sementara pada sisi lain ia
diyakini harus dibentuk melalui model pendidikan tertentu. Aristoteles
meyakini bahwa individu tidak lahir dengan kemampuan untuk mengerti
dan menerapkan standar-standar moral, dibutuhkan pelatihan yang
berkesinambungan agar individu menampakkan kebaikan moral.
Sementara Socrates meyakini bahwa ada bayi moral dalam diri manusia
yang meminta untuk dilahikan , tugas pendidikan adalah untuk
membantu melahirkannya (Anees, 2009: 120).
2. Karakter atau Akhlak dalam Al-Qur‟an
Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak
21
suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran karena sudah
tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut
kebiasaan (Majiid dan Andayani, 2011: 12).
Al-Qur‟an adalah sebagai rujukan akhlak yang berfungsi menyampaikan risalah hidayah untuk menata sikap dan perilaku yang
harus dilakukan manusia. Ayat-ayat al-Qur‟an sangat membangun karakter akhlak. Beberapa diantaranya adalah pengarahan agar umat
manusia berakhlakul karimah, bisa dilihat pada beberapa surat dan ayat
berikut yang mengungkapkan hal-hal yang berkenaan dengan perilaku,
penjagaan diri, sifat pemaaf, dan kejujuran (Syafri, 2012: 63):
a. QS. An-Nur ayat 30-31
َّنِا ْمٌٍَُ َّوْصَأ َهٌَِر ْمٍَُجَُشُف اُُظَفْحَََٔ ْمٌِِسبَصْبَأ ْهِم اُُّضُغَٔ َهِٕىِمْئُمٌٍِْ ًُْل
(30)
َنُُعَىْصَٔ بَمِب ٌشِٕبَخ َ َّالله
َهِٔذْبُٔ َلاََ َّهٍَُجَُشُف َهْظَفْحَََٔ َّهٌِِسبَصْبَأ ْهِم َهْضُضْغَٔ ِثبَىِمْئُمٌٍِْ ًُْلََ
ِا َّهٍَُخَىِٔص
َهِٔذْبُٔ َلاََ َّهٍِِبُُُٕج ٍََّع َّهٌِِشُمُخِب َهْبِشْضٌَََْٕ بٍَْىِم َشٍََظ بَم َّلا
ِءبَىْبَأ ََْأ َّهٍِِئبَىْبَأ ََْأ َّهٍِِخٌَُُعُب ِءبَبَآ ََْأ َّهٍِِئبَبَآ ََْأ َّهٍِِخٌَُُعُبٌِ َّلاِا َّهٍَُخَىِٔص
ْخِا ِٓىَب ََْأ َّهٍِِواَُْخِا ََْأ َّهٍِِخٌَُُعُب
بَم ََْأ َّهٍِِئبَغِو ََْأ َّهٍِِحاََُخَأ ِٓىَب ََْأ َّهٍِِواَُ
ْمٌَ َهِٔزٌَّا ًِْفِّطٌا ََِأ ِيبَجِّشٌا َهِم ِتَبْسِ ْلْا ٌَُِٓأ ِشَْٕغ َهِٕعِببَّخٌا ََِأ َّهٍُُوبَمَْٔأ ْجَىٍََم
ْعٌُِٕ َّهٍٍُِِجْسَؤِب َهْبِشْضَٔ َلاََ ِءبَغِّىٌا ِثاَسَُْع ٍََّع اَُشٍَْظَٔ
ْهِم َهِٕفْخُٔ بَم َمٍَ
22
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat (30)."Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) Nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,
atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
23
َةلاَّصٌا َهْمِلَأََ ٌََّلأا ِتٌٍَِِّٕبَجٌْا َجُّشَبَح َهْجَّشَبَح لاََ َّهُىِحُُُٕب ِٓف َنْشَلََ
َظْجِّشٌا ُمُىْىَع َبٌِْزٌُِٕ ُ َّالله ُذِٔشُٔ بَمَّوِا ًٌَُُُعَسََ َ َّالله َهْعِطَأََ َةبَوَّضٌا َهِٕحآَ
ِجَْٕبٌْا ًٌََْأ
اًشٍِْٕطَح ْمُوَشٍَِّطََُٔ
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu
berhias, dan bertingkah-laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah
dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlulbait, dan membersihkan
(dosa) kamu sebersih-bersihnya." – (QS.33:33) c. QS. Al-Isra‟ ayat 23
َنَذْىِع َّهَغٍُْبَٔ بَّمِا ۚ بًوبَغْحِا ِهَْٔذٌِاٌَُْبِبََ ُيبَِّٔا َّلاِا اَُذُبْعَح َّلاَأ َهُّبَس َّٰضَلََ
ِىٌْا
ًلاَُْل بَمٌٍَُ ًُْلََ بَمٌُْشٍَْىَح َلاََ ٍّفُأ بَمٌٍَُ ًُْمَح َلاَف بَمٌُ َلاِو ََْأ بَمٌُُذَحَأ َشَب
بًمِٔشَو
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibubapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
24
hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (199).e. QS. Ali Imran ayat 133-134
ُض ْرلأا َو ُتا َواَمَّسلا اَهُض ْرَع ٍةَّنَج َو ْمُكِّبَر ْنِم ٍةَرِفْغَم ىَلِإ اوُعِراَس َو
“Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan
mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan bagi orang yang bertakwa, (133). (yaitu)
orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan mema‟afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (134)
Al-Qur‟an sendiri melakukan proses pendidikan melalui latihan -latihan, baik formal ataupun nonformal. Pendidikan akhlak ini merupakan
sebuah proses mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan
latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir yang baik. Selain
Al-Qur‟an, sumber akhlak lainnya adalah sunnah Nabi Muhammad Saw.
pandangan ini berdalil pada pendapat Aisyah ra. Ketika menafsirkan
-25
Qur‟an. Seperti dalam firman Allah,
ِمِْٕظَع ٍكٍُُخ ٍََّعٌَ َهَّوِا ََ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al -Qalam: 4). (Syafri , 2014: 65)Akhlak merupakan fondasi dasar sebuah karakter diri. Sehingga
pribadi yang berakhlak baik nantinya akan menjadi bagian dari masyarakat
yang baik pula dan sebaliknya. Akhlaklah yang membedakan karakter
manusia dengan makhluk lainnya. Tanpa akhlak, manusia akan kehilangan
derajat sebagai hamba Allah paling terhormat. Sebagaimana firman –Nya,
( ٍمُِْٔمَح ِهَغْحَأ ِٓف َنبَغْوِ ْلْا بَىْمٍََخ ْذَمٌَ
yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yangserendah-rendahnya(Neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya” (QS At-Tin: 4-6)
C. Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan menurut Ratna Megawangi (2004: 95),
“Sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang
positif kepada lingkungannya.”
Definisi lainnya dikemukakan oleh Fakry Gaffar (2010: 1), “sebuah
26
dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku
kehidupan orang itu”. (Kesuma, 2011: 5)
Pendidikan karakter atau oleh para pendidik sering disebutnya
sebagai pendidikan watak, adalah sebuah proses pembelajaran untuk
menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, atau akhlak mulia yang
berakar pada ajaran agama, adat istiadat dan nilai-nilai ke-Indonesiaan,
dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi
manusia yang bermartabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter
sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Zuchdi, 2009: 76).
Pengembangan karakter terpuji/akhlak mulia/budi pekerti luhur
memerlukan pengembangan ketajaman berpikir/bernalar, pemberian
teladan, dan pembiasaan secara terus menerus. Semua cara tersebut perlu
dilandasi pengembangan kecerdasan religius karena hal ini telah banyak
diakui sebagai kondisi yang dapat membuat pendidikan karakter dapat
dikelola dengan lebih mudah, dengan hasil yang relatif lebih baik (Zuchdi,
2009: 52).
Mantan Presiden RI pertama Soekarno berulang-ulang
menegaskan:
“Agama adalah unsur mutlak dalam National an Character building” (Sumahamijaya dkk, 2003: 45). Hal ini diperkuat dengan
27
Sesungguhnya pendidikan karakter sudah ada dalam UU
Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Meskipun kata “karakter” tidak
disebutkan secara langsung, namun penjelasan dari rumusan tersebut
mengarah pada definisi dan arti karakter yang telah disebutkan
sebelumnya. Misalnya pada tujuan pendidikan nasional yang menekankan
“keimanan dan ketakwaan”. Juga pada bahasan kurikulum yang
memperhatikan aspek peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak
mulia dan wajibnya pendidikan agama dari jenjang pendidikan dasar
hingga pendidikan tinggi (Syafri , 2014: 12).
Dalam Majiid dan Andayani (2011: 61), pendidikan karakter
menuju terbentuknya akhlak mulia dalam diri setiap orang ada tiga
tahapan yang harus dilalui, diantaranya:
a. Moral Knowing/Learning to know
Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan karakter.
Pada tahapan ini, tujuam diorientasikan pada penguasaan pengetahuan
tentang nilai-nilai.
b. Moral Loving/Moral feeling
Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa
butuh terhadap nilai-nilai ahlak mulia.
c. Moral Doing/Learning to do
Pada tahapan ini seseorang mempraktikkan nilai-nilai akhlak mulia itu
dalam perilakunya sehari-hari. Tindakan selanjutnya adalah
28
Pendidikan karakter yang bersifat langsung adalah yang
disampaikan melalui program pembelajaran dan pelatihan tertentu. Dan
tujuan jangka panjang yang hendak dicapai adalah terbangunnya
kehidupan masyarakat, yang aman dan damai, yang bahagia lahir dan
batin. Guna mencapai tujuan ini perlu pengembangan kultur yang
bercirikan pengawasan oleh Tuhan Yang Maha Esa, teladan oleh
pimpinan, dan feedback dari teman (Zuchdi, 2009: 15).
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter
adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk
mengarahkan peserta didik pada pengembangan perilaku anak secara utuh
yang didasarkan pada nilai-nilai keluhuran (Zuchdi, 2011: 27).
2. Tujuan pendidikan karakter
Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari
pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart.
Dalam sejarah Islam, Rasulullah Muhammad Saw, Sang Nabi terakhir
dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam
mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter
yang baik (good character). Berikutnya, ribuan tahun setelah itu,
rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni
pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat
yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan
menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhammad
29
dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan Martin Luther King
menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “Intelligence plus character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter,
itulah tujuan yang benar dari pendidikan (Majiid dan Andayani, 2011:
30).
Pemaparan pandangan tokoh-tokoh di atas menunjukkan bahwa
pendidikan sebagai nilai universal kehidupan memiliki tujuan pokok
yang disepakati di setip zaman, pada setiap kawasan, dan dalam semua
pemikiran. Dengan bahasa sederhana, tujuan yang disepakati itu adalah
merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan sikap dan
keterampilan (Majiid dan Andayani, 2011: 30).
Untuk mencapai tujuan pendidikan karater kepada taraf yang baik,
dalam artian terjadi keseimbangan antara ilmu dan amal., maka
Al-Qur‟an juga memberikan model pembiasaan dan praktik keilmuan. Al
-Qur‟an sangat banyak memberikan dorongan agar manusia selalu melakukan kebaikan. Ayat-ayat dalam Al-Qur‟an yang menekankan
pentingnya pembiasaan bisa terlihat pada term “amilus shalihat”. Term
ini diungkap Al-Qur‟an sebanyak 73 kali. Bisa diterjemahkan dengan
kalimat “mereka selalu melakukan amal kebaikan”, atau “membiasakan beramal saleh”. Jumlah term tersebut memperlihatkan pentingnya
pembiasaan suatu amal kebaikan dalam proses pembinaan dan
30
Pendidikan Karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di
dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi
generasi selanjutnya. Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk
penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih
kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik.
Karakteristik yang paling menonjol dalam organisasi tujuan-tujuan
yang diwujudkan dalam pendidikan karakter, bersifat developmental,
kompetensi-kompetensi itu tidak dapat dikembangkan dalam waktu secara
lingkungan belajar yang sangat terbatas. Mengembangkan kemampuan
dasar/nilai-nilai dalam kehidupan untuk menjadi manusia muslim yang
beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., hanya mungkin dikembangkan
secara kontinu dalam kehidupan sehari-hari (Majiid dan Andayani, 2011:
153).
31
BAB IIITAFSIR SURAT ALI IMRAN AYAT 133 SAMPAI 136
A. Surat Ali Imran ayat 133 sampai 136
ْتَّدِعُأ ُضْزلأاَو ُتاَوبَمَّسلا بَهُضْسَع ٍةَّىَجَو ْمُكِّثَز ْهِم ٍةَسِفْغَم ىَلِإ اىُعِزبَسَو
Artinya: “Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan
mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema‟afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosanya selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.” (Ali Imran: 133-136)
1. Tafsir Surat Ali Imran
Surah Ali Imran dinamai demikian karena di dalamnya dikemukakan
32
beliau. Sedangkan Imran adalah ayah dari ibu Nabi Isa, yaitu Maryam as.
Nama surah ini banyak, antara lain surah al-amanu (keamanan), al-kanz,
thibah, tetapi yang populer adalah Ali Imran. Tujuan utama surah Ali
Imran (keluarga Imran) adalah pembuktian tentang tauhid, keesaan dan
kekuasaan Allah swt., serta penegasan bahwa dunia, kekuasaan, harta, dan
anak-anak yang terlepas dari nilai-nilai Ilahiyah, tidak akan bermanfaat di
akhirat kelak. Tujuan ini sungguh pada tempatnya karena al-Fatihah yang
merupakan surat pertama merangkum seluruh ajaran Islam secara singkat,
dan Al-Baqarah menjelaskan secara lebih terperinci tuntunan-tuntunan
agama. Nah, surah Ali Imran datang untuk menekankan seseutau yang
menjadi dasar dan sendi utama tuntunan tersebut, yakni tauhid. Tanpa
kehadiran tauhid, pengamalan lainnya tidak bernilai di sisi-Nya (Shihab,
2009: 3).
2. Asbabun Nuzul surat Ali Imran ayat 133-136
Sifat atau ciri-ciri yang disebutkan di sini berkaitan erat dengan
peristiwa perang Uhud. Dan karena malapetaka yang terjadi adalah akibat
keinginan memperoleh harta rampasan perang yang belum pada waktunya
diambil (Shihab, 2009: 264 ). Ayat ini memberi pengertian bahwa Nabi
saw. memaafkan para pemanah yang meninggalkan pos pertahanan dalam
perang Uhud, sehingga akhirnya menyebabkan pasukan muslim
mengalami kekalahan. Nabi pun tidak melakukan pembalasan terhadap
para musyrik yang berlaku kejam kepada Hamzah, paman Nabi, yang
33
perbuatan keji (fakhisyah) pada ayat 134 ialah dosa besar yang akibatnya
tidak hanya menimpa diri sendiri, tetapi juga orang lain, seperti zina, riba
dan lain-lain. Menzhalimi diri sendiri ialah melakukan dosa yang
akibatnya hanya menimpa diri sendiri (Kementrian Agama RI, 2010: 67)
B. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 133-136 menurut Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Quraisy Shihab
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imran ayat 133-136 ini
menjelaskan tentang sifat orang-orang yang bertakwa, segera bertobat,
menyesali dosa dan bahwa balasan untuknya adalah diampuni dosa dan
masuk surga.
Dalam Ibnu Katsir (2006: 581), Allah menganjurkan kepada mereka
supaya bergegas dalam kebaikan dan bersegera untuk meraih kedekatan
dengan Allah. Firman Allah,
ْهِم ٍةَسِفْغَم ىَلِإ اىُعِزبَسَو
ُضْزلأاَو ُتاَوبَمَّسلا بَهُضْسَع ٍةَّىَجَو ْمُكِّثَز
َهٍِقَّتُمْلِل ْتَّدِعُأ
“Dan bergegaslah kamu menuju ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yangbertakwa”. Maksudnya, sebagaimana neraka disediakan bagi orang-orang kafir. Al-Bazzar meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah Saw. kemudian bertanya, “Bagaimana pendapatmu
mengenai firman Allah, „Surga yang luasnya seluas langit dan bumi,‟ lalu di
manakah neraka?‟, Nabi bersabda, „Bagaimana menurutmu apabila malam
34
tempat yang dikehendaki Allah.‟ Nabi bersabda, „Demikian pula dengan neraka. Ia berada pada tempat yang dikehendaki Allah Ta‟ala.‟ “Yakni, demikianlah bila kita tidak menyaksikan malam ketika siang datang, maka
hal itu tidak memastikan tidak beradanya malam ada suatu tempat, meskipun
kita tidak tahu di mana malam itu berada. Demikin pula dengan neraka. Ia
berada pada tempat yang dikehendaki Allah Ta‟ala. Ini terlihat jelas dalam hadis Abu Hurairah dari Al-Bazzar .
ِضْسَ ْلأاََ ِءبَمَّغٌا ِضْشَعَو بٍَُضْشَع ٍتَّىَج ََ ْمُىِّبَس ُهِم ٍةَشِفْغَم ٌَِّا اُُْمِببَع
“Berlomba-lombalah kalian kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” (QS Al-Hadid: 21)Dalam Shihab (2009: 263), ketaatan yang diperintahkan oleh ayat
yang lalu dapat terlaksana tanpa upaya sunggguh-sungguh, misalnya sekedar
melaksanakan yang wajib dan mengabaikan yang sunnah atau anjuran. Atau
cukup menghindari yang haram, tetapi melaksanakan yang makruh. Sekedar
memohon ampun atas kesalahan dan dosa besar dan tidak mengingat lagi
dosa kecil atau hal-hal yang kurang pantas. Ayat ini menganjurkan
peningkatan upaya dan melukiskan upaya itu bagaikan satu perlombaan dan
kompetisi yang memang merupakan salah satu cara peningkatan kualitas.
Karena itu, bersegeralah kamu bagaikan ketergesaan seorang yang ingin
mendahului yang lain menuju ampunan dari Tuhanmu dengan menyadari
kesalahan dan berlombalah mencapai surga yang sangat agung yang
35
untuk al-muttaqin, yakni orang-orang yang telah mantap ketakwaannya, yang
taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya .
Yang dimaksud lebar surga di sini adalah luasnya, dan luas yang
dimaksud adalah perumamaan. Ia tidak harus dipahami dalam arti harfiahnya.
Dalam benak kita, manusia, tidak ada sesuatu yang dapat menggambarkan
keluasan, melebihi luasnya langit dan bumi. Maka untuk menggambarkan
betapa luasnya surga, Allah memilih kata-kata “selebar langit dan bumi”. Di
sisi lain, sedemikian luasnya sehingga ketika mendengar bahwa lebarnya itu
sudah demikian, bagaimana pula panjangnya. Perumpamaan yang diberikan
oleh Al-Qur‟an ini mengundang kaum muslimin agar tidak mempersempit surga dan merasa bahwa hanya diri atau kelompoknya saja yang akan
memasukinya yang sedemikian luas sehingga siapa pun yang berserah diri
kepada-Nya, akan mendapat tempat yang luas di sana (Shihab, 2009: 264).
Kemudian Allah Ta‟ala menceritakan sifat ahli surga. Dia berfirman,
“Orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit.” Yakni pada saat sulit dan lapang, saat giat dan malas, saat sehat dan
sakit, dan dalam segala hal dan keadaan. Allah Ta‟ala berfirman, “ Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, secara
rahasia maupun terang-terangan.” Maksud ayat ialah bahwa mereka tidak dilalaikan oleh perkara apa pun untuk menaati Allah Ta‟ala dan berinfak untuk memperoleh ridho-Nya. Firman Allah, “Yang menahan marah dan yang memaafkan manusia.” Yakni, bila mereka marah, maka mereka
36
mengetahuinya. Di samping itu, apabila orang lain berbuat buruk kepadanya,
maka dia memaafkannya (Ibnu katsir, 2006: 582).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw.,
beliau bersabda (560):
ُذِْٔذَّشٌا َظٌَْٕ
َذْىِع ًَُغْفَو ُهٍِْمَٔ ِْْزٌَّا َذِْٔذَّشٌا ُّهِىٌَََ ،ِتَعَشُّصٌا بِب
ِبَضَغٌْا
Artinya: “Orang yang kuat pemberani bukanlah yang dapat
menaklukan musuh dalam gulat, namun orang yang dapat mengendalikan
nafsunya ketika dia marah.” (HR. Ahmad).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Athiyah bin Sa‟ad As-Sa‟di, dia pernah bersama Nabi, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda (562),
“Sesungguhnya kemarahan itu dari setan dan setan itu diciptakan dari api.
Sesungguhnya api itu hanya dapat dipadamkan dengan air. Jadi jika salah
seorang di antara kamu marah, maka berwudlulah.” Demikian pula keterangan yang diriwayatkan oleh Abu Daud (Ibnu Katsir, 2006: 583).
Imam Ahmad mengatakan dari Abdullah bin Yazid bahwa Rasulullah
saw. bersabda,
ا
َلاَخٌْا ِطَُْإُس ٍََّع ُالله ُي بَعَد ,يَزِفْىُٔ ْنَأ ٍََّع ٌسِد بَل ٌَََُُ بًظَْٕغ َمَظَو ْهَم
,ِكِئ
ٌْا َِّْأ ْهِم ُيَشَِّٕخُٔ َّّخَح
َءبَش ِسُُْح
“Barang siapa menahan amarah, sedangkan ia mampu utnuk melaksanakannya, maka Allah kelak akan memanggilnya di mata semua
makhluk hingga Allah menyuruhnya memilih bidadari manakah yang
37
mereka memaafkan orang yang menzaliminya sehingga di dalam dirinya tiada
niatnya untuk membalas dendam pada seorang pun. Ini merupakan perilaku
yang paling utama. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Ibnu Katsir, 2006: 583).
Al Hakim meriwayatkan dalam mustadraknya, sebuah hadis dari
Musa bin Uqbah dengan sanadnya dari Ubadah bin Shamit, dari Ubai bin
Ka‟ab, bahwa Rasulullah bersabda,
ًٌَُ َفَشْشُٔ ْنَأ ُيَّشَع ْهَم
ُثبَجَسَّذٌا ًٌَُ ُعَفْشُحََ ُنبَْٕىُبٌُا
ًَُمٍََظ ْهَّمَع ُفْعٍََْٕف
ًَُعَطَل ْهم ًِْصَََٔ ًَُمَشَح ْهَم ِظْعََُٔ
“Barang siapa yang berambisi untuk memiliki kepribadian yang muliadan derajat yang tinggi, maka hendaklah dia memaafkan orang yang
menzaliminya, memberi kepada orang yang tidak suka memberi kepadanya,
dan menghubungkan tali silaturrahmi kepada orang yang memutuskan
hubungan dengannya.” Kemudian Hakim mengatakan bahwa hadits ini
shahih karena mengikuti syarat syikhani, meskipun keduanya keduanya tida
meriwayatkan hadis itu (Ibnu Katsir, 2006: 584).
Setelah dalam ayat yang lalu telah digambarkan sekelumit tentang
surga, ayat ini menggambarkan sekelumit tentang sifat-sifat mereka yang
wajar menghuninya. Sifat atau ciri-ciri yang disebutkan di sini berkaitan erat
dengan peristiwa perang Uhud. Dan karena malapetaka yang terjadi adalah
akibat keinginan memperoleh harta rampasan perang yang belum pada
waktunya diambil, nasihat pertama adalah tentang berinfak dengan
38
atau secara terus menerus menginfakan hartanya di jalan Allah baik di waktu
dia lapang, yakni memiliki kelebihan dari kebutuhannya maupun di waktu
dia sempit tidak memiliki kelebihan dari kebutuhannya (Shihab, 2009: 264).
Dalam konteks menghadapi kesalahan orang lain, ayat ini
menunjukkan tiga kelas manusia atau jenjang sikapnya. Pertama, yang
mampu menahan amarah. Kata al-kadhimin mengandung makna penuh dan
menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh air lalu ditutup rapat
agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat
masih memenuhi hati yang bersangkutan, pikirannya masih menuntut balas,
tetapi dia tidak memperturutkan ajakan hati dan pikiran itu, dia menahan
amarah. Di atas tingkat ini, adalah yang memaafkan. Kata al-‘afin terambil
dari kata al-afni yang biasa diterjemahkan dengan kata maaf. Kata ini antara
lain berarti menghapus. Seseorang yang memaafkan orang lain adalah yang
menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain
terhadapnya. Kalau dalam peringkat pertama di atas, yang bersangkutan baru
sampai pada tahap menahan amarah, kendati bekas-bekas luka itu masih
memenuhi hatinya, pada tahapan ini yang bersangkutan telah menghapus
bekas-bekas luka itu. kini seakan-akan tidak pernah terjadi satu kesalahan
atau suatu apapun. Namun, karena pada tahap ini seakan-akan tidak pernah
terjadi sesuatu, boleh jadi juga tidak terjalin hubungan. Untuk mencapai
tingkat ketiga Allah mengingatkan bahwa yang disukai-Nya adalah
39
atau memaafkan, tetapi justru berbuat baik kepada orang yang pernah
melakukan kesalahan. Firman Allah Swt,
ْمُهَسُفْوَأ اىُمَلَظ ْوَأ ًةَشِحبَف اىُلَعَف اَذِإ َهٌِرَّلاَو
ََّاللَّ اوُسَكَذ
اوُسَفْغَتْسبَف
ْمِهِثىُوُرِل
“Dan orang-orang yang apabila mereka melakukan perbuatan keji atau mereka menzalimi diri sendiri, maka mereka ingat kepada Allah, lalu
memohon ampun atas dosa-dosanya.” Yakni apabila dia melakukan sebuah dosa, maka perbuatannya itu diiringi dengan tobat dan istighfar (Ibnu katsir,
2006: 584).
Tatkala melakukan tobat sangat dianjurkan untuk berwudlu dan shalat
dua rekaat.
َهِْٔشٍَِّطَخُمٌا ُّبِحُٔ ََ َهِْٕباََُّّخٌا ُّبِحُٔ َالله َّنِا
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah:222)Firman Allah, “Tiada yang dapat mengampuni dosa kecuali Allah.”
Yakni, tidak ada seorang pun yang mengampuni dosa kecuali Dia.
Sebagaimana Imam Ahmad meriwayatkan dari Aswad bin Sari‟,
“Sesungguhnya Nabi datang dengan membawa seorang tawanan. Dia berkata, „Ya Allah, sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu bukan bertobat pada
Muhammad.‟ Maka Nabi Saw. bersabda, „Dia mengenal hak itu bagi bagi
yang seharusnya menerimanya.‟” Firman Allah Swt., “Dan mereka tidak terus menerus berada dalam kemaksiatan dan menekuninya. Jika dia mengulangi
40
Firman Allah Swt., “Sedang mereka tidak mengetahui.” Yakni barang
siapa yang bertobat, maka Allah akan menerima tobatnya. Ini senada dengan
firman Allah, ”Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah akan menerima
tobat dari hamba-hamba-Nya.” Firman Allah Swt., “Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhannya,” yakni balasan bagi mereka yang memiliki
sifat-sifat seperti itu adalah “ampunan dan surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. “ dari berbagai jenis minuman,” sedang mereka kekal di dalamnya,” yakni mereka menetap di sana. “Dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” Di sini Allah memuji kebaikan surga. (Ibnu Katsir, 2006: 586)
Setelah menjelaskan sikap dan perilaku mereka yang disebut di atas
dalam menghadapi orang lain, kini melalui ayat ini dijelaskan sikap mereka
menghadapi diri sendiri. Atau, setelah menyebut peringakat tinggi dari
penghuni surga, kini disebutkan peringkat yang di bawah mereka, yaitu
mereka yang apabila mengerjakan dengan sengaja atau tidak sadar perbuatan
keji, yakni dosa besar, seperti membunuh, berzina, korupsi, mencuri atau
menganiaya diri sendiri dengan dosa atau pelanggaran apa pun, mereka ingat
Allah sehingga mereka malu atau takut lalu mereka menyesali perbuatan
merek, bertekad untuk tidak mengulanginya dan memohon ampun atas
dosa-dosa mereka. Ketika itu, Allah mengampuni mereka karena Dia Maha
Pengampun dan tiada selain-Nya yang dapat memberi ampun. Siapa lagi
yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Tentu saja tidak ada!
41
itu, sedang mereka tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut terlarang.
Mereka yang kedudukannya tinggi sebagaimana diisyaratkan oleh kata itulah
yang akan memperoleh balasan dari Allah. Balasannya ialah mendapat
ampunan dari Tuhan Pemelihara mereka atas kesalahan dan dosa mereka,
baik yang besar mapupun yang kecil, dan di samping itu mereka juga
dianugerahi surga-surga, masing-masing sesuai dengan kedudukan mereka di
sisi Allah, yakni surga itu yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sedang
mereka kekal di dalamnya dan sungguh baik pahala orang-orang yang
beramal (Shihab, 2009: 266).
Di atas Anda baca fahisyah yang diterjemahkan dengan perbuatan keji
diartikan sebagai dosa besar, sedang menganiaya diri diartikan sebagai dosa
atau pelanggaran secara umum termasuk di dalamnya dosa besar. Ada juga
yang membalik pengertiannya. Pendapat ketiga dikemukakan oleh
Muhammad Sayyid Thantawi bahwa perbuatan keji dan menganiaya diri
merupakan dosa dari setiap kedurhakaan. Setiap perbuatan keji yang
dilakukan seseorang berakibat penganiayaan atas dirinya, demikian pula
sebaliknya. Atas dasar itu, sementara ulama menegaskan bahwa kata atau
sebelum kata menganiaya diri sendiri pada ayat di atas berarti dan. (Shihab,
2009: 267).
Kalau diamati sifat-sifat para penghuni surga atau orang-orang
bertakwa di atas, ditemukan bahwa maksiat dan kedurhakaan yang dilakukan
seseorang, selama ia segera menyadarinya, tidak mencabut identitas