BAB III PAPARAN DAN TEMUAN PENELITIAN
KAJIAN PUSTAKA A Konsep Pendidikan Karakter
B. Karakter dan Nilai-nilai yang Berkembang di Pesantren
Tujuan umum pendidikan santri adalah membimbing santri untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam, yang dengan ilmu agamanya, dia sanggup menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalannya. Sedangkan, tujuan khususnya adalah memprsiapkan santri untuk menjadi seorang yang „alim dan mendalami ilmu agama serta mengamalkan dalam masyarakat. Dengan demikian tujuan terpenting pesantren adalah membangun moralitas agama santri dan pengamalannya (Mansur, 2004: 26- 27).
Intinya, bahwa tujuan pesantren adalah pembentukan insan yang memahami ajaran agama Islam dan kemudian mengajarkannya. Dengan kata lain adalah manusia memproduk manusia yang memiliki karakter yang selanjutnya mengamalkan nilai- nilai Islam dalam kehidupan. Sementara itu, sebagai tempat memahami dan mendalami ajaran Islam serta pembentukan karakter Islami, pesantren memiliki ciri khas tersendiri.
Oleh karena itu kehidupan pesantren sering disebut unik sehingga bisa dikatakan subkultur. Sebuah subkultur karena pesantren memiiki keunikan sendiri dalam aspek-aspek seperticara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tatanilai yang diikuti, serta hierarki kekuasaan interen tersendiri yang ditaati sepenuhnya (Wahid, 2007:9)
Misalnya pesantren adalah sebuah komplek dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan disekitarnya, dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan, yaitu ndalem atau rumah kediaman pengasuh pondok
21
pesantren yang sering disebut dengan kiai, kemudian terdapat surau atau masjid, tempat pengajaran yang diberikan madrasah atau sekolah, dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren. Dalam lingkungan fisik yang demikian ini , diciptakan semacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan ciri khas tersendiri. Dimulai dari jadwal kegiatan yang memang menyimpang dari pengertian rutin kegiatan masyarakat sekitar (Wahid,2007:11)
Corak kehidupan tersendiri dari kehidupan di pesantren dapat dilihat dari struktur pengajaran yang diberikan, dari sistematika pembelajaran, dijumpai jenjang pelajaran yang diulang- ulang dari tingkat ke tingkat, tanpa terlihat kesudahannya, persoalan yang diajarkan sering kali pembahasan serupa yang diulang ulang selama jangka wantu bertahun-tahun.
Dari kekhasan inilah yang mehasilakan pandangan hidup dan aspirasi yang khas pula. Misalnya visi yng dicapai untuk mencapai penerimaan disisi Allah di hari kelak adalah merupakan kedudukan yang paling penting dalam tata nilai di pesantren, visi mana dalam terminologi pesantren sering dikenal dengan nama keikhlasan.orientasi yang mengarah pada kehidupan akhirat ini, yang terutama ditekankan pada perintah-perintah agama seteliti dan selengkap mungkin, merupakan pokok dasar kehidupan pesantren, sebagaimana dapat ditemukan pada literatur yang diwajibkan didalamnya.
Wajah lain dari ajaran ini adalah kesediaan yang tuulus untik menerima apa saja kadar yang diberikan oleh kehidupan, terutama apabila dipandang dari sudut kehiupan yang bermateri, asalkan pandangan ukhrawi itu sejauh mungkin dapat dipuaskan. Pandangan hidup semacam ini memiliki segi positifnya, yaitu
22
kemampuan menciptakan penerimaan perubahan- perubahn setatus dalam kehidupan dengan mudah, serta fleksibelitas para santri untuk menempuh karir masing- masing nanti (Wahid , 2007:7-8).
Ciri utama pesantren sebagai subkultur adalah mempunyai peran ganda, yaitu sebagai unit budaya yang terpisah dari dan pada waktu yang bersamaan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Dalam menjalankan peran ganda ini pesantren terlibat dalam proses penciptaan tata nilai yang mempunyai dua unsur utama, yaitu peniruan, adalah usaha dimana dilakukan terus menerus tanpa sadar untuk memindahkan pola memindahkan pola kehidupan para sahabat nabi, dan para ulama’ salaf kedalam praktik kehidupan pesantren , yang tercermin atas kondisi materiil yang relatif serba kurang, dan kesadaraan kelompok yang tinggi. Unsur kedua, pengekangan¸yang memiliki perwujudan utama dalam disiplin yang ketat dalam pesantren (Wahid, 2007:13-14).
Di pesantren kiai adalah sebagai pengsuh dan sekaligus sebagai pemilik pesantren mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan watak atau karakter santri.Kiai adalah pembimbing para santri dalam segala hal. Fungsi ini menghasilkan peranan kiai sebagai peneliti, penyaring, dan akhirnya menjadi asimilator aspek aspek kebudayaan yang datang dari luar yang masuk kedalam pesantren. Karena para santri nantinya mengembangkan aspek-aspek kebudayaan yang telah memperoleh imprimatur sang kiai di masyarakat mereka sendiri, dengan sendirinya peran kiai sebagaiagen budaya juga tidak dianggap kecil, kiai secara tidak disadari telahterlibat dalam aspek penyesuaian terus menerus antara tata nilai yang ada di masyrakat dan nilai-nilai baru yng
23
menyentuhnya. Misalnya salah satu pesantren di Jawa Timur, seorang kiai mendirikan sebuah SMP, guna menghilangkan ancaman dari narkotika dikalangan sementara keluarga santri yang tadinya putra – ptra mereka disekolahkan diluar pesantren (Wahid,2007:18).
Sebaliknya, santri adalah siswa yang tinggal di peantren , guna menyerahkan diri mendapatkan bimbingan kiai. Ini merupakan syarat mutlak bagisantri memungkinkan dirinya menjadi peserta didik kiai dalam arti sepenuhnya. Dengan kata lain dia harus mempunyai kerelaan sang kiai dengan mengikutisegenap kehendaknya dan melayani segenep kepentingannya.
Kerelaan inilah yang terdapat dipesantren dengan istilah baraakah, adalah alasan tepat tempat berpijak santri dalam menuntut ilmu.sikap seoerti ini yang pada masanya akan membentuk sikap hidup santri. Sikap hidup bentukan pesantren semacam ini, apabila dibawa dalam kehidupan ke masyarakat luar, sudah barang tentu merupakan pilihan ideal bagi sikap hidup rawan yang serba tak menetu yang merupakan ciri utama kondisi transisional dalam masyarakat dewasa ini (Wahid, 2007:21-23).
Ada beberapa nilai utama yang berkembang di pesantren, pertama, cara memandang kehidupan secara keseluruhan sebagai ibadah. Semenjak pertama kalimemasuki kehidupan pesantren, seorang santri sudah diperkenalkan pada duniayang terpisah dan tersendiri. Dimana peribadatan merupakan kedudukan yang paling tinggi. Dari pemeliharaan cara-cara beribadah ritual yang dilakukan secermat mungkin hingga pada penetuan jalan hidup yang akan dipilih seorang santri sekeluarganya dari pesantren nanti. Titik pusat kehidupan
24
diletakan pada ukuran kehidupan itu sendiri sebagai peribadatan. Ilmu- ilmu agama sebagai mana dimengerti di lingkungan pesantren, yang merupakan landasan pembenaran pandangan sarana ibadah tersebut (Wahid, 2007:132).
Inilah yang disebut dengan istilah teosentris. Jadi semua aktivitas yang dilakukan oleh kiai dalam mengajar dan santri dalam mengaji, dipandang sebagai salah satubntuk ibadah kepada Allah. Ilmu dan ibadah itulah yang dengan sendirinya memunculkan kecintaan mendalam kepada ilmu-ilmu agama sebagai nilai utama lain yang berkembang dipesantren. Kecintaan ini dimanivestasikan dalam berbagai bentuk, seoerti penghormatan santri yang sangat dalam kepada ahli-ahli ilmu agama, kesediaan berkorban dan bekerja keras untukmenguasai ilmu-ilmu tersebut. Kecintaan itu pula yang akan mendorong santri untuk mencari pola-pola kerja tersendiri sepulang dari pesantren (Wahid,2007:133).
Nilai utama yang ketiga adalah keikhlasan atau ketulusan bekerja untuk tujuan bersama, menjalankan semua yang diperintahkan kiai dengan tidak ada rasa berat sedikitpun, bahkan dengan penuh kerelaan adalah bentuk bukti nyata, hidup pribadi kiai dan santrinya, dilihat dari satu segi larut semua dalam irama kehidupan pesantren yang dipimpinnya, tujuan dan pamrih lain menjadi soal skunder dalam pandangannya. Secara bersamaan nilai-nilai diatas itulah yang membentuk sebuah nilai umum, yang mampu menopang berkembangnya nilai-nilai kemandirian di pesantren (Wahid, 2007:134).
Banyak unsur yang menunjang watak mandiri di pesantren, misalnya kesediaan mengabdi dengan jalan berkarya di pesantren tanpa memperoleh
25
imbalan finansial yang seimbang. Bahkan kebanyakan tanpa imbalan apapun. Demikian pula kesediaan santri untuk tinggal dipesantren dalam kondisi fisik yang tidak menyenagkan selama bertahun-tahun, dengan bilik sempit tanpa peralatan, dan terkadang tanpa pengairan yang kurang memadahi. Kesemua kesukaran itu ditanggung oleh kesadaran santri bahwa pesantren adalah alat perjuangan agama untuk mengubah kehidupan moral masyarakat sekitar.
Disamping itu dapat juga dilihat struktur pendidikan di pesantren berkarakter populis dan memiliki kelenturan yang besar. Semua orang tak peduli di semua strata apapun, diterima dengan terbuka di pesantren, tnpa hambatan administratif atau finansial apapun.seorang santri yang tak memiliki bekal apapun dapat juga belajar dan tinggal dipesantren, dengan cara mencari bekal sendiri, seperti denga menjadi pelayan kiai bahkan orang lain di sekitar pesantren (Wahid, 2007: 138).