• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL

1. Karakter Siswa

a. Pengertian Karakter

Istilah karakter terkadang dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika, ahlak, dan atau nilai dan berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif bukan netral. Sedangkan Karakter dalam Kamus bahasa Indonesia merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok orang.

Karakter sering diasosiasikan dengan istilah dengan temperamen yang lebih memberi penekanan pada definisi psikososial yang dihubungkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Proses perkembangan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang juga disebut faktor bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) dimana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Faktor bawaan boleh dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat dan individu untuk mempengaruhinya. Sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor yang berada pada jangkauan masyarakat dan individu. Jadi usaha pengembangan atau pendidikan karakter seseorang dapat dilakukan oleh masyarakat atau individu sebagai bagian dari lingkungan melalui rekayasa faktor lingkungan.

Karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti kepribadian atau akhlak (Oxford). Secara etimologis, karakter artinya adalah kualitas mental atau moral, kekuatan moral. Secara terminologis, karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Karakter dapat dianggap sebagai nilai- nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia. Lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, adat-istiadat, dan estetika. Menurut Samani dan Hariyanto (2011:41) karakter adalah “perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam

berindak.” Kamus Bahasa Indonesia, menyatakan bahwa karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Sedangkan menurut Jack Corley dan Thomas Phillip seperti dikutip Samani dan Hariyanto (2011:42) bahwa “karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral.”

Zubaedi (2011:8) menyatakan bahwa karakter merupakan

”keseluruhan disposisi kodrati dan disposisi yang telah dikuasai secara stabil yang mendefinisikan seorang individu dalam keseluruhan tata perilaku psikisnya yang menjadikannya tipikal dalam cara berpikir dan bertindak.” Menurut Lickona (2013:74) dalam memahami pendidikan karakter perlu mengetahui apa itu pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.

Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau berkarakter tercela).

Menurut para ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa karakter adalah watak, tabiat, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.

Istilah pembangunan secara mendasar bukan saja dilihat sebagai suatu proses yang menghasilkan suatu output tertentu, tetapi mengedepankan bagaimana aliran proses itu mempertimbangkan kaidah- kaidah ilmiah sehingga arahnya dapat diperkirakan (planned

development). Itu sebabnya seluruh faktor, yakni fisik, lingkungan,

sosial, dan ekonomi harus dapat dikenali untuk dapat dioptimalkan dalam rangka mengantarkan perubahan seperti yang di kehendaki atau di rencanakan. Uraian konseptional tersebut kemudian dilengkapi dengan penerapan perencanaan pembangunan di Indonesia.

Menurut Rogers seperti dikutip Makmun (2009:3) menyatakan

“Secara sederhana pembangunan adalah perubahan yang berguna menuju suatu sistem sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak suatu bangsa”.

Berdasarkan uraian teori karakter dan pembangunan, maka kata pembangunan karakter dapat disimpulkan sebagai mengukir atau

memahat jiwa seseorang dalam mencapai perubahan yang berguna menuju suatu keluaran (output) yang diinginkan.

b. Pembentukan Karakter

Bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional.

Upaya mewujudkan pendidikan karakter sesungguhnya sudah tertuang dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu;

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”(SPN, 2003). Berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional merupakan landasan yang kokoh untuk melaksanakan secara operasional pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai prioritas program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, di mana disebutkan bahwa pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral

knowing), akan tetapi juga “merasakan dengan baik atau loving good

(moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan

karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.

Nilai dalam pendidikan karakter begitu penting keberadaanya. Dalam pendidikan karakter, nilai harus menjadi core (intisari) dari pendidikan itu sendiri. Penanaman nilai terpuji dalam pendidikan karakter dalam sebuah lembaga pendidikan mempunyai penekanan yang berbeda. Jumlah dan jenis nilai yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain, tergantung kepentingan dan kondisinya masing-masing. Sebagai contoh, nilai toleransi, kedamaian, dan kesatuan menjadi sangat penting untuk lebih ditonjolkan karena kemajemukan bangsa dan negara. Tawuran

antarwarga, tawuran antaretnis, dan bahkan tawuran antarmahsiswa, masih menjadi fenomena yang terjadi dalam kehidupan ini.

Perbedaan jumlah dan jenis nilai dalam karakter tersebut juga dapat terjadi karena pandangan dan pemahaman yang berbeda sebagai contoh, nilai cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya tidak ditonjolkan, karena ada pandangan dan pemahaman bahwa nilai tersebut telah tercermin ke dalam pilar-pilar nilai yang lainnya.

Sesuai dengan fungsi pendidikan nasional, pendidikan karakter dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Secara lebih khusus pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama dalam Kemdiknas (2010:5), yaitu;

1) Pembentukan dan Pengembangan Potensi

Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila.

2) Perbaikan dan Penguatan

Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan warga negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi manusia atau warga negara menuju bangsa yang berkarakter, maju, mandiri, dan sejahtera. 3) Penyaring

Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadi karakter manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa yang bermartabat.

Pendidikan karakter dilakukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Menurut Fitri (2012:24), bahwa tujuan pendidikan karakter antara lain adalah:

1) Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;

2) Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;

3) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;

4) Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan; 5) Mengembangkan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar

yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan.

Sekolah atau satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Satuan pendidikan dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun.

Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010:9-10) terdapat 18 nilai yang harus dikembangkan sekolah dalam menentukan keberhasilan pendidikan karakter, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin,(5) kerja keras, (6)kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat dan komunikatif, (14) cinta damai,(15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.

Penilaian pendidikan karakter pada hakikatnya adalah evaluasi atau proses pembelajaran secara terus menerus dari individu untuk menghayati peran dan kebebasannya bersama dengan orang lain dalam sebuah lingkungan sekolah demi pertumbuhan integritas moralnya sebagai manusia. Penilaian pendidikan karakter berkaitan erat dengan adanya unsur pemahaman, motivasi, kehendak, dan praktis dari individu. Pendidikan karakter menjadi semakin bertumbuh ketika motivasi dalam diri individu menjadi pendorong semangat bagi perilaku moralnya dalam kebersamaan dengan orang lain.

Secara sederhana, fokus pendidikan hanya tiga, yaitu membangun pengetahuan, membangun keterampilan (skill), dan membangun karakter. Dari ketiga elemen pendidikan intnya hanya satu yakni berbasis, adalah karakter. Pendidikan di Indonesia cukup berhasil dalam membangun pengetahuan (sain dan teknologi), cukup berhasil juga dalam membangun keterampilan; namun pendidikan kita ternyata menunjukan indikasi kegagalan dalam membangun karakter. Untuk menjawab persoalan di atas, Tilaar (1990:19-23) mengemukakan pokok-pokok paradigma baru pendidikan sebagai berikut:

“(1) pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis; (2) masyarakat demokratis memerlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis; (3) pendidikan diarahkan untuk

mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global; (4) pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis; (5) di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif,

pendidikan harus mampu mengembangkan kemampuan

berkompetisi di dalam rangka kerjasama; (6) pendidikan harus mampu mengembangkan kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan masyarakat, dan (7) yang paling penting, pendidikan harus mampu mengIndonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi warga negara Indonesia”.

Paradigma baru pendidikan di atas mengisyaratkan bahwa tanggung jawab pendidikan tidak lagi dipikulkan kepada sekolah, akan tetapi dikembalikan kepada masyarakat dalam arti sekolah dan masyarakat sama-sama memikul tanggung jawab. Dalam paradigma baru ini, masyarakat yang selama ini pasif terhadap pendidikan, tiba-tiba ditantang menjadi penanggung jawab pendidikan. Tanggung jawab ini tidak hanya sekedar memberikan sumbangan untuk pembangunan gedung sekolah dan membayar uang sekolah, akan tetapi yang lebih penting masyarakat ditantang untuk turut serta menentukan jenis pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, termasuk meningkatkan mutu pendidikan dan memikirkan kesejahteraan tenaga pendidik agar dapat memberikan pendidikan yang bermutu kepada peserta didik. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah karena banyak kendala yang mempengaruhi, antara lain: (1) bagi masyarakat hal ini merupakan masalah baru sehingga perlu proses sosialisasi; (2) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota propinsi, kotamadya dan kabupaten, masalahnya lebih sederhana karena tingkat pendidikan dan ekonomi relatif baik,sehingga tidak sulit menyeleksi orang-orang yang akan duduk pada posisi tanggung jawab ini; (3) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota kecamatan dan desa masalahnya menjadi rumit karena tingkat pendidikan masyarakatnya rendah dengan kondisi kehidupan miskin.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan yang dimaksud dengan kararter siswa dalam penelitian ini adalah suatu usaha yang dilakukan guru dalam rangka membentuk kepribadian bangsa melalui pendidikan karakter siswa, sehingga output yang dinginkan dapat terwujud, dapat diukur melalui dimensi: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin,(5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat dan komunikatif, (14) cinta damai,(15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.

2. Komunikasi Orangtua

Dokumen terkait