• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISASI KIMIA BUAH VANILI SEGAR DAN KERING

HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISASI KIMIA BUAH VANILI SEGAR DAN KERING

Bahan segar yang digunakan dalam ekstraksi, pada umumnya dikeringkan terlebih dahulu karena reduksi ukuran sampel dalam bentuk kering lebih mudah dilakukan. Namun demikian, selama pengeringan sebagian senyawa-senyawa organik dapat hilang. Oleh sebab itu dalam penelitian ini dilakukan persiapan sampel dengan cara pengeringan beku. Adapun buah vanili kering dan segar hasil pengeringan beku dan pengecilan ukuran dengan ayakan 32 mesh dapat dilihat pada Gambar 22.

(a) (b)

Gambar 22 Serbuk buah vanili kering (a) dan segar (b) hasil pengeringan beku Pengeringan beku atau liofilisasi adalah penghilangan air melalui sublimasi yakni perubahan wujud padat (es) langsung menjadi gas (uap), sehingga menghambat aktifitas mikroorganisme dan enzim yang secara normal dapat mendegradasi senyawa di dalam bahan pangan (http://en.wikipedia.org./wiki/Freeze_drying 2006). Dengan kata lain, pengeringan beku menyebabkan kerusakan bahan pangan yang minimum (Menyhart 1995). Berdasarkan FR-A-2634979 diacu dalam Brunerie (1998), dipatenkan proses pengeringan beku vanili segar pada suhu –5 sampai –300C dan kemudian memanaskannya kembali sebelum proses ekstraksi dengan tujuan menghindari proses kuring yang memakan waktu lebih panjang. Faktanya bahwa sampel berbentuk bubuk akan lebih mudah memfasilitasi serangan enzim terhadap substrat. Menurut Fellow (2000), laju transfer massa berhubungan langsung

dengan luas permukaan padatan yang terekspos dengan pelarut sehingga reduksi ukuran partikel (peningkatan luas permukaan) akan menambah laju ekstraksi. Jones dan Vincente pada tahun 1949 diacu dalam Purseglove et al. (1981), menemukan bahwa kuring terhadap buah vanili segar bubuk akan menghasilkan kandungan vanilin yang lebih tinggi dibanding kuring buah vanili utuh dan proses ini tidak menyebabkan kerusakan flavor. Fenomena ini diyakini disebabkan lebih mudahnya kontak antara glukovanilin dan β-glukosidase yang diperoleh akibat penggilingan.

Setelah dilakukan persiapan sampel, selanjutnya dilakukan analisis dasar untuk mengetahui karakteristik buah vanili segar dan kering. Analisis dasar yang dilakukan dalam penelitian ini adala h analisis kadar air, serat pangan dan vanilin. Data dasar buah vanili dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Data dasar buah vanili segar dan kering hasil pengeringan beku

Kadar Air (%) Jenis Vanili Rendemen (%) Ka1* Ka2*

Kadar Serat Pangan (%bk) Kadar Vanilin ( % bk) Segar 17.72±1.88 83.50±1.72 9.04±0.44 10.17±0.036 0.76±0.0014 Kering 86.00±0.12 20.48±0.51 8.40±0.37 9.84±0.17 1.63±0.039 Keterangan:

*Ka1 = kadar air sebelum pengeringan beku

*Ka2 = kadar air setelah pengeringan beku

Rendemen = berat sampel setelah pengeringan beku per berat sampel sebelum pengeringan beku

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa terjadi penyusutan berat buah vanili segar maupun kering akibat dilakukannya proses pengeringan beku. Rendemen untuk vanili segar sebesar 17.72%, sedangkan vanili kering 86.00%. Adapun kadar air yang terkandung dalam buah vanili kering relatif rendah yakni sebesar 20.48%bb buah vanili kering. Berdasarkan SNI 01-0010-1990 (BSN 1990), vanili kering yang digunakan dalam penelitian ini termasuk mutu II karena memiliki kadar air 20.48%bb di bawah kadar maksimum 30%bb buah vanili kering yang dipersyaratkan dan kadar vanilin 1.63%bk di atas kadar minimum 1.5 %bk buah vanili kering yang dipersyaratkan. Hasil penelitian de Guzman dan Siemonsma (1999) menunjukkan bahwa kadar air buah vanili Vanilla planifolia Andrews yang telah mengalami proses kuring adalah 20%bk dan kadar vanilinnya 1.5-

3%bk. Ia juga menambahkan bahwa buah vanili kering yang telah mengalami proses fermentasi selama kuring mengandung vanilin sekitar 2%bk, tapi jumlah ini tergantung pada sumber buah dan metode kuring yang digunakan.

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kadar air dan kadar vanilin vanili segar dengan usia buah sekitar 7 bulan yang digunakan dalam penelitian ini berturut- turut sebesar 83.50%bb dan 0.76%bb. Diketahui bahwa kadar air vanili segar semakin menurun dengan bertambahnya usia buah. Hasil penelitian Sagrero- Nieves dan Schwartz (1988) menunjukkan bahwa Vanilla planifolia yang dipanen pada bulan Agustus hingga Desember 1986 mengalami penurunan kadar airnya dari 87.6%bb menjadi 81.4%bb. Sedangkan kadar vanilinnya semakin meningkat yakni dari 0.02%bk menjadi 1.13%bk. Menurut Purseglove et al. (1981), kandungan air pada buah vanili segar atau blossom-end yellow adalah sekitar 80%. Kadar air buah akan menurun selama kuring pada tahap pemeraman atau pengeringan serta pada 3 bulan pertama tahap pengkondisian. Oleh sebab itu dari sekitar 6 kg buah vanili segar akan dihasilkan 1 kg vanili kering.

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kadar serat pangan buah vanili segar yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 10.17%bk. Serat pangan terdiri dari beberapa jenis karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa dan pektin yang merupakan komponen penyusun dinding sel bua h. Seiring dengan meningkatnya kematangan buah, serat pangan yang umumnya polisakarida berubah menjadi gula-gula pereduksi (Schwimmer 1981). Degradasi komponen serat pangan ini terjadi lebih lanjut selama kuring, dimana kadar serat pangan pada buah vanili kering yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 9.84%bk.

Hasil penelitian de Guzman dan Siemonsma (1999) menunjukkan bahwa kadar serat vanili kering Indonesia berkisar 15-20%bk. Sedangkan kandungan karbohidratnya memiliki kisaran yang cukup luas yakni 8-20%bk (Purseglove et al. 1981). Dalam hal ini varietas buah, metode kuring serta metode analisis yang digunakan akan sangat mempengaruhi kadar serat pangan yang terdeteksi. Disamping itu metode persiapan sampel yakni proses penggilingan buah yang dilakukan setelahpengeringan beku menyebabkan menurunnya kandungan serat pangan, terutama terjadi karena penurunan kadar serat tidak larut seperti selulosa dan hemiselulosa (http://www.fao.org/docrep/W8079E/w8079e0j.htm 2006).

Sebagai pembanding, dalam penelitian ini dilakukan ekstraksi terhadap buah vanili kering dengan metode maserasi yang biasa digunakan di industri ekstrak vanili alami. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar vanilin ekstrak vanili kering adalah sebesar 3.28%bk ekstrak atau 0.029g/100ml ekstrak, dengan kadar glukosa 11.95%bk ekstrak atau 0.11g/100ml ekstrak buah vanili kering. Disisi lain, hasil penelitian Ruiz-Teran et al. (2001) mendapatkan kadar vanilin sebesar 1.14%bk buah vanili kering pada kondisi suhu dan waktu inkubasi yang sama, namun menggunakan ekstraktor Soxhlet serta tanpa persiapan sampel pengeringan beku.

PENENTUAN SUHU INKUBASI OPTIMUM ENZIM β-GLUKOSIDASE

Di dalam penelitian ini dilakukan penentuan suhu inkubasi optimum bagi aktifitas enzim β-glukosidase, dimana β-glukosidase komersial yang digunakan memiliki pH optimum 5. Dua enzim komersial lainnya yakni pektinase komersial dari Aspergillus aculeatus memiliki aktifitas optimum pada pH 3.3-5.5 dan suhu 50-600C serta selulase komersial dari Trichoderma reseii dengan pH optimum 4.5-4.8 dan suhu 48-600C. Kedua enzim tersebut diaplikasikan untuk penelitian ini pada suhu 500C. Di dalam penelitian ini tidak dilakukan penentuan pH optimum enzim karena pH alami ekstrak buah vanili segar yakni 4.8-5.3, telah sesuai untuk aktifitas ketiga enzim tersebut. Adapun data penentuan suhu inkubasi optimum enzim β-glukosidase dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23 Penentuan suhu inkubasi optimum enzim β-glukosidase

16.18 15.56 15.17 13.37 70.99 75.85 62.92 42.29 0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 30 37 45 50 suhu (C) kadar (%bk ekstrak) vanilin glukosa

Pada Gambar 23 dapat dilihat bahwa aktifitas enzim β-glukosidase semakin meningkat seiring dengan meningkatnya suhu, ditandai dengan peningkatan kadar vanilin hingga mencapai 16.18%bk ekstrak pada suhu 500C. Sedangkan pada suhu 30, 37 dan 450C menghasilkan kadar vanilin berturut-turut sebesar 13.37, 15.17, dan 15.56%bk ekstrak.

Data pada Gambar 23 menunjukkan pula bahwa produksi vanilin yang meningkat, diimbangi dengan produksi glukosa yang juga semakin meningkat. Kadar glukosa tertinggi sebesar 75.85%bk ekstrak dicapai pada suhu 500C. Sedangkan pada suhu 30, 37 dan 450C menghasilkan kadar glukosa berturut-turut sebesar 42.29, 62.92 dan 70.99%bk ekstrak. Kurva pembentukan vanilin yang serupa dengan glukosa ini kemungkinan besar disebabkan glukosa merupakan produk lain dari hasil pemecahan glukovanilin. Disamping itu, semakin tinggi suhu maka laju degradasi karbohidrat kompleks pada buah vanili segar semakin tinggi. Peningkatan suhu menyebabkan pemutusan ikatan lemah antar rantai polisakarida, termasuk ikatan glikosida dalam polisakarida serat pangan pun akan rusak (http://www.fao.org/docrep/W8079E/w8079e0j.htm 2006). Oleh sebab itu, selanjutnya dapat difahami bahwa walaupun kurva peningkatan vanilin dan glukosa serupa, namun jumlah glukosa yang terbentuk akibat peningkatan suhu lebih berbeda nyata diantara perlakuan suhu yang digunakan. Tingginya kadar glukosa di dalam ekstrak buah vanili segar ini ditandai dengan kadar padatan terlarut yang tinggi pula (Lampiran 4).

Suhu merupakan faktor yang sangat mempengaruhi penggunaan enzim dalam pengolahan pangan. Biasanya industri menginginkan penggunaan suhu tinggi pada proses reaksinya. Hal ini bukan ditujukan untuk mengurangi tingkat kontaminasi saja, tetapi suhu tinggi juga akan mengurangi masalah viskositas dan meningkatkan laju reaksi (Chaplin dan Bucke 1990; Chaplin 2004). Suatu reaksi dengan penambahan enzim yang hanya memiliki energi aktivasi 12.000 cal mol-1, laju reaksinya akan meningkat 2 kali jika suhu dinaikan dari 220C menjadi 320C. Oleh sebab itu, reaksi-reaksi yang dikatalisis enzim akan sangat menguntungkan jika dilakukan pada suhu tinggi (Tucker 1995). Disamping itu, lebih tingginya suhu dapat meningkatkan laju difusi produk ke dalam pelarut (Fellow 2000).

Akan tetapi, enzim merupakan protein dan akan mengalami denaturasi yang bersifat irreversible (misalnya perubahan konformasi sehingga kehilangan aktifitas biologinya) pada suhu yang melebihi suhu yang biasa enzim tersebut terekspos pada lingkungan alaminya. Diatas suhu kritis, akan terjadi kehilangan aktifitas dengan laju tinggi. Hal itu dapat disebabkan perubahan kovalen seperti deaminasi residu asparagin atau perubahan non kovalen seperti rearrangement

rantai protein. Kehilangan aktifitas secara nyata merupakan hasil dari pengaruh suhu dan lama inkubasi. Inaktivasi akibat denaturasi panas ini memiliki efek terhadap produktifitas enzim (Chaplin dan Bucke 1990; Chaplin 2004).

Proses inaktifasi enzim pada suhu tinggi dapat berlangsung sedikitnya melalui 2 tahap yaitu adanya pembukaan partial struktur sekunder, tertier dan atau kuartener molekul enzim serta terjadinya perubahan struktur primer enzim karena adanya kerusakan asam-asam amino tertentu oleh panas. Pada kedua tahap tersebut, keberadaan air sangat penting dalam meningkatkan reaksi inaktivasi oleh panas karena air menyebabkan konformasi molekul enzim menjadi lebih fleksibel (Goodenough 1995).

Pada penelitian ini, percobaan yang lebih dari 500C tidak dilakukan karena dikhawatirkan dapat merusak komponen flavor ekstrak vanili itu sendiri. Mazza dan LeMagunitr (1980) diacu dalam Fellow (2000), menyatakan bahwa panas tidak hanya menguapkan air tapi juga menyebabkan hilangnya komponen volatil bahan pangan. Tingkat kehilangan komponen volatil bahan tergantung pada suhu, kandungan air dalam bahan, tekanan uap komponen volatil dan kelarutan komponen volatil tersebut dalam uap air. Disamping itu, menurut Fellow (2000), suhu yang terlalu tinggi pun akan menyebabkan terekstraksinya komponen yang tidak diinginkan.

Suhu ekstraksi dianjurkan untuk tidak melebihi suhu maksimum karena dapat menyebabkan degradasi flavor vanili. Sebaliknya, suhu yang terlalu rendah dapat mengakibatkan bloking reaksi yang diinginkan. Suhu ekstraksi vanili pada umumnya antara 10 sampai 600C dan disukai antara 30 sampai 400C (Brunerie 1998). Menurut Purseglove et al. (1981), suhu 38-490C dapat meningkatkan ekstraksi vanili tanpa merusak flavor. Oleh sebab itu, berdasarkan percobaan pada tahap ini ditetapkan bahwa suhu optimum untuk aktifitas enzim β-glukosidase

adalah 500C dan untuk tahapan penelitian berikutnya, penambahan enzim β- glukosidase diaplikasikan pada suhu tersebut. Adapun hasil ekstraksi buah vanili segar yang diperoleh dengan suhu inkubasi enzim β-glukosidase yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24 Ekstrak vanili segar yang diperoleh dengan perlakuan ekstraksi pada suhu inkubasi enzim β-glukosidase yang berbeda

Pada Gambar 24 dapat dilihat bahwa setiap perlakuan menghasilkan penampakan visual ekstrak yang berbeda. Perlakuan ekstraksi dengan suhu inkubasi 300C menghasilkan warna lebih gelap dibanding perlakuan lainnya. Sedangkan pada suhu inkubasi 37, 45 dan 500C, warna coklat yang terbentuk nyaris serupa. Hal ini kemungkinan besar berhubungan dengan reaksi pencoklatan enzimatik dari senyawa fenolik, reaksi pencoklatan non enzimatik terutama reaksi

Maillard serta degradasi klorofil buah vanili segar. Berlangsungnya ketiga tipe reaksi tersebut sangat dipengaruhi oleh suhu.

Naczk dan Shahid i (2004), menegaskan bahwa vanilin yang merupakan komponen utama flavor dalam ekstrak vanili adalah senyawa fenolik sederhana. Reaksi pencoklatan enzimatik terhadap senyawa fenolik tersebut banyak dikatalisis oleh enzim katekol oksigenase (dalam bentuk polifenol oksidase, EC.1.10.3.1). Pada umumnya katekol oksigenase dapat mengkatalisis 2 tipe reaksi yakni hidroksilasi (aktifitas kresolase) dan dehidrogenasi (aktifitas katekolase). Tipe reaksi pertama adalah hidroksilasi monofenol menjadi o-difenol. Sedangkan tipe kedua adalah oksidasi o-difenol menjadi kuinon. Menurut Francis (1996), kuinon berkontribusi terhadap timbulnya warna gelap, kuning, oranye dan coklat

pada jamur dan ganggang Reaktifitas kuinon yang tinggi biasanya lebih jauh memicu terjadinya reaksi kondensasi non enzimatik yang berperan dalam pembentukan melanin yang berwarna coklat (Eskin 1990; Lee 1993; Davidek et al. 1990; Richardson dan Hyslop 1985). Oleh sebab itu, peningkatan kadar vanilin ekstrak buah vanili segar seiring dengan meningkatnya suhu, seperti terlihat pada Gambar 23 berkontribusi terhadap pembentukan warna coklat akibat reaksi pencoklatan enzimatik terutama oleh enzimpolifenol oksidase.

Menurut Eskin (1990), suhu optimum aktifitas enzim polifenol oksidase bervariasi tergantung pada jenis buah atau sayuran. Berdasarkan hasil penelitian Hanum (1997), suhu optimum aktifitas polifenol oksidase pada buah vanili kering selama kuring adalah 450C. Aktifitas polifenol oksidase meningkat setelah killing

dan menurun saat conditioning. Diduga panas yang tidak terlalu tinggi saat killing

(60-650C selama 2 menit) merangsang aktifitas enzim sehingga lebih aktif atau terjadi penurunan ketegaran jaringan sel sehingga kontak antara enzim dan substrat berjalan lebih sempurna. Aktifitas polifenol oksidase tidak banyak berubah pada tahap pemeraman (suhu kamar, 24 jam) dan mencapai maksimal pada tahap pengeringan (600C selama 3 hari). Secara umum terjadi kecenderungan perubahan yang sama antara aktifitas polifenol oksidase, kadar vanilin dan warna coklat vanili kering selama kuring. Akan tetapi, belum dapat disimpulkan peran enzim ini terhadap pembentukan flavor mengingat selama ini polifenol oksidase hanya dikaitkan dengan pencoklatan dan rasa sepat buah-buahan.

Reaksi penting lainnya dalam pembentukan warna coklat adalah reaksi pencoklatan non enzimatik Maillard. Reaksi ini dapat terjadi dalam ekstrak vanili segar akibat dihasilkannya gula-gula pereduksi terutama glukosa, yang merupakan produk lain dari hidrolisis glukovanilin dan degradasi karbohidrat kompleks pada buah vanili segar. Tahap awal dari reaksi Maillard adalah kondensasi antara α- amino dari asam amino atau protein dengan gugus karbonil dari gula pereduksi. Tahap ini disebut reaksi karbonilamino dan produk awal yang terbentuk akan kehilangan air, membentuk basa Schiff diikuti dengan siklisasi menghasilkan glikosilamin yang tersubstitusi N. Senyawa ini sangat labil sehingga mengalami isomerisasi menjadi asam fruktosamino (1-amino-1-deoksi-1-ketosa). Reaksi ini disebut Amadori rearrangement. Selanjutnya, setidaknya ada 3 jalur pembentukan

warna coklat melanoidin dalam reaksi Maillard. Pertama, melalui senyawa

Amadori yang diubah menjadi 1,2-eneaminol dan 2,3-enediol. Kedua, kondensasi aldol yang merupakan jalur alternatif. Ketiga, degradasi Strecker yang tidak secara langsung membentuk pigmen tapi menyediakan senyawa pereduksi penting untuk pembentukan warna coklat (Eskin 1990).

Pada tahap awal reaksi Maillard, gula pereduksi sangat penting keberadaannya karena menyediakan gugus karbonil untuk berinteraksi dengan amino bebas dan asam amino, peptida atau protein. Laju awal reaksi ini tergantung pada pembentukan cincin gula menjadi okso atau bentuk yang mudah tereduksi. Dilaporkan bahwa pembentukan warna coklat oleh D- fruktosa lebih cepat dibanding glukosa pada tahap awal reaksi pencoklatan, tapi menurun drastis setelahnya. Reyes et al. (1982) diacu dalam Eskin (1990), melaporkan bahwa pada sistem glukosa-glisin dan fruktosa- glisin suhu 600C, pH 3.5 selama 280 jam, pembentukan coklat oleh fruktosa lebih cepat pada 80 jam pertama, tapi pada periode selanjutnya konsumsi glukosa justru lebih tinggi.

Reaksi pencoklatan non enzimatik Maillard dipengaruhi beberapa faktor terutama suhu dan pH. Laju reaksi akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Hal ini dapat ditunjukkan dengan menurunnya jumlah nitrogen amino bebas secara linier dalam sistem kasein- glukosa berdasarkan rumus Arrhenius, pada suhu 0-800C. Selain itu pada sistem albumin- glukosa suhu 370C selama 30 hari, ε- amino lisin mengalami penurunan hingga 89% (Eskin 1990). Menurut Davidek et al. (1990), peningkatan suhu 100C akan menyebabkan laju reaksi meningkat 2-3 kali. Oleh sebab itu, pembentukan glukosa yang meningkat seiring meningkatnya suhu seperti terlihat pada Gambar 24 mempengaruhi pembentukan warna coklat ekstrak vanili segar. Disamping suhu, aspek penting lainnya adalah pH. Intensitas reaksi Maillard akan meningkat, seiring dengan meningkatnya pH antara 3-8 dan mencapai maksimum (warna coklat maksimum) pada pH basa (9-10) (Davidek et al.1990). Dengan kata lain, reaksi Maillard dapat berlangsung pada kondisi basa maupun asam (Eskin 1990). Hal inilah yang mendukung kemungkinan terjadinya reaksi Maillard sebagai penyebab warna coklat pada ekstrak vanili segar walaupun memiliki pH agak asam (4.8-5.3).

Reaksi lain yang menyebabkan terbentuknya warna coklat pada ekstrak vanili adalah rusak atau hilangnya klorofil buah vanili segar. Reaksi utama adalah penggantian atom Mg2+ dalam klorofil oleh hidrogen di bawah kondisi asam dengan membentuk peofitin. Selanjutnya piropeofitin a dan b sebagai hasil degradasi peofitin a dan b dapat menimbulkan warna coklat (Eskin 1990). Kim et al. (2003), meneliti perubahan kandungan klorofil pada adonan tepung yang mengandung bubuk bayam (Spinacea oleracea) yang digoreng dalam minyak kedelai pada suhu 1600C selama 1 menit dan disimpan dalam botol gelas. Setelah diinkubasikan pada suhu 600C dalam kondisi gelap selama 12 hari, ternyata terjadi penurunan klorofil, sedangkan kandungan peofitin meningkat lalu menurun.

Disamping peofitinisasi, enzim endogenous klorofilase mampu mengubah klorofil menjadi klorofilida dengan hilangnya gugus fitol. Kombinasi kerja klorofilase dan asam menyebabkan hilangnya Mg2+ dan gugus fitol, sehingga membentuk peoforbida. Perlu dicatat bahwa seluruh reaksi perubahan klorofil ini dapat berlangsung dengan adanya panas (Eskin 1990; Francis 1996).