• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Karakterisasi Lempung

Mineral lempung yang digunakan adalah mineral lempung alam yang diperoleh dari Wonosegoro kabupaten Boyolali. Lempung yang digunakan ada 2 macam yaitu lempung yang secara fisik berwarna coklat muda dan abu-abu. Lempung coklat diambil pada kedalaman sekitar 5 m sedangkan lempung abu-abu diambil pada kedalaman sekitar 10 m. Selain warna, perbedaan lempung coklat

H N C CH3 O + OH HN C CH3 O O H H2 N C CH3 O O NH2 + H3C C O O = O H H H H OH CH2OH H O Kitin Kitosan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

dan abu-abu juga terlihat dari sifat mengembang (swelling) dalam air dan KTK. Lempung coklat lebih mengembang dalam air dan memiliki KTK lebih besar dari lempung abu-abu yaitu sebesar 2,13 meq/g (mili-equivalen per gram) sedangkan kapasitas tukar kation lempung abu-abu sebesar 1,04 meq/g. Karakterisasi lempung awal dilakukan dengan spektroskopi difraksi sinar-X. Difraktogram lempung coklat dan abu-abu ditunjukan pada Gambar 10.

Gambar 10. Difraktogram lempung coklat (a) dan lempung abu-abu (b) Karakterisasi lempung awal menggunakan spektroskopi XRD menunjukan perbedaan difraktogram antara lempung coklat dan abu-abu (Gambar 10). Tiga puncak utama lempung coklat terdapat pada 2θ 26,8764o

; 5,9800o; 5,6800o dengan harga d secara berturut-turut 3,31459 Å; 14,76755 Å; dan 15,54687 Å. Puncak utama lempung abu-abu terdapat pada 2θ 26,8765o; 28,0400o; 21,0819o dengan harga d sebesar 3,31458 Å; 3,17963 Å; dan 4,21071 Å. Puncak pada 2θ 5o

-6o dengan harga d 12,3 Å-17,7Å menunjukan puncak karakteristik dari mineral montmorilonit. Puncak karakteristik dari montmorilonit juga ditemukan pada lempung abu-abu namun intensitasnya kecil. Data diatas menunjukan bahwa lempung coklat memiliki kandungan montmorilonit yang lebih besar dibanding lempung abu-abu sehingga lempung coklat lebih mengembang saat direndam dengan air. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Lumingkewas (2009) dan Yulianto (2011).

commit to user C. Sintesis Kitosan-vanilin

Pemanfaatan kitosan sebagai membran polimer elektrolit belum banyak dilakukan dikarenakan terkendala oleh KTK kitosan yang kecil. Modifikasi kitosan merupakan salah satu cara meningkatkan KTK kitosan. Penelitian ini memanfaatkan vanilin sebagai substituen yang akan digabungkan dengan rantai kitosan. Substituen yang mengandung gugus fenol diharapkan dapat menghasilkan KTK yang lebih baik.

NH2 + CH O cepat NH2 CH O cepat NH CH OH cep at, H N C OH2 H H lambat, H2O N C H H cep at, -H N C H OCH3 OH = O OH CH2OH O O n =

Gambar 11. Reaksi pembentukan basa Schiff pada kitosan (Wiyarsi, 2008) Modifikasi kitosan dilakukan dengan mereaksikan kitosan dengan vanilin. Kitosan memiliki gugus amino yang dapat bertindak sebagai nukleofil yang reaktif sehingga mudah dimodifikasi secara kimia. Reaksi kitosan dengan gugus karbonil (C=O) vanilin akan membentuk suatu imina yang disebut basa Schiff. Reaksi pembentukan imina merupakan suatu reaksi adisi-eliminasi, ditampilkan pada Gambar 11.

Modifikasi kitosan dengan vanilin menghasilkan senyawa turunan kitosan yaitu kitosan-vanilin (KV). Dalam penelitian ini dihasilkan KV yang berwarna kuning kecoklatan sebesar 26,505 g dengan rendemen 31%. Perbedaan warna dengan kitosan awal yang digunakan merupakan salah satu indikator keberhasilan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

dari pembuatan KV. Gambar 12 menunjukan perbedaan warna antara kitosan dengan KV. Hal ini sesuai dengan penelitian Suhardi (1993) yang menyatakan bahwa basa Schiff dari kitosan memberikan warna kuning kemerahan sampai kecoklatan.

a b

Gambar 12. Kitosan (a) dan Kitosan-vanilin (b)

Keberhasilan sintesis KV selain dari warna, juga ditunjukan dengan terbentuknya suatu imina (C=N) yang dapat diketahui dari analisis menggunakan spektroskopi FT-IR. Spektrum FT-IR KV disajikankan pada Gambar 13. Karekteristik ikatan pada basa Schiff atau imina adalah ikatan rangkap dua antara atom nitrogen dengan atom karbon (C=N). Rentangan C=N pada imina tersubtitusi muncul pada bilangan gelombang 1643,65 cm-1 (Wiyarsi, 2008). Spektrum FT-IR hasil modifikasi kitosan dengan vanilin tersebut (Gambar 12) muncul serapan C=N pada daerah 1637,56 cm-1 yang menandakan telah terbentuknya imina. Rentangan –OH muncul di daerah 3433,29 cm-1. Vibrasi rentangan C=C aromatis ditunjukan pada serapan 1595,13 cm-1 dan 1516,05 cm-1. Vibrasi rentangan –CH muncul pada bilangan gelombang 2877,79 cm-1, sedangkan vibrasi rentangan C-O muncul pada bilangan gelombang 1026,13 cm

-1

. Serapan karakteristik kitosan-vanilin yang lain adalah serapan pada bilangan gelombang 1290,38 cm-1 yang menunjukan vibrasi rentangan C-OH fenol. Perbedaan serapan yang karakteristik antar kitosan, vanilin, dan kitosan-vanilin ditampilkan pada Tabel 2.

commit to user

Gambar 13. Spektrum FT-IR vanilin, kitosan, dan kitosan-vanilin Tabel 2. Serapan FT-IR karakteristik kitosan, vanilin, dan kitosan-vanilin

Jenis Vibrasi Kitosan Vanilin KV KV*

Rentangan –CH 2885,5 2859, 6 2877,79 2877,79 Rentangan –OH dan –

NH

3444,8 3173,1 (fenol)

3433,29 3417,86

Vibrasi tekuk –NH 1595,1 - 1595,13 -

Rentangan C-O asimetri 1082,1 1024,5 1026,13 1064,71 Rentangan C-OH (fenol) - 1265,3 1290,38 1288,45 Rentangan C=O - 1665,6 - - Rentangan C=N - - 1637,56 1643,35 Rentangan C=C aromatis - 1588,4 & 1509,3 1595,13 & 1516,05 1589,2 & 1512,1 Keterangan : * (Wiyarsi, 2008)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Rendemen yang dihasilkan tidak terlalu besar dipengaruhi oleh derajat deasetilasi dan berat molekul kitosan yang digunakan. Derajat deasetilasi yang tidak terlalu besar menyebabkan gugus amino kitosan yang dapat disubstitusi dengan gugus vanilin kurang optimal. Sedangkan berat molekul kitosan berpengaruh pada kekompleksan kitosan dalam sistem. Kitosan dengan berat molekul tinggi cenderung berbentuk gumpalan padat seperti tongkat (rod-like) dan sistemnya cenderung penuh sesak (crowded) sehingga proses substitusi vanilin kurang optimal.

Pengukuran berat molekul KV dilakukan sama seperti dalam pengukuran berat molekul kitosan. Berat molekul kitosan-vanilin dari hasil perhitungan sebesar 26,8 kDa. Berat molekul KV jauh lebih kecil dari kitosan awal dikarenakan saat proses deasetilasi kitosan terjadi depolimerisasi kitosan. Peningkatan temperatur reaksi saat proses deasetilasi berpengaruh signifikan terhadap penurunan berat molekul kitosan yang dihasilkan, sedangkan konsentrasi NaOH dan waktu reaksi tidak secara signifikan berpengaruh terhadap terjadinya depolimerisasi kitosan (Junaidi, 2008).

Analisis kapasitas tukar kation KV menunjukan peningkatan KTK yang signifikan dari kitosan awal. KTK KV sebesar 2,36 meq/g. Gugus fenol pada rantai samping KV mengakibatkan polimer lebih bersifat asam dan mudah melepaskan ion H+. Hal ini mengakibatkan peningkatan KTK KV dan menyebabkan polimer KV bermuatan negatif. Muatan negatif pada ujung-ujung gugus fenol KV dapat digunakan sebagai transfer proton dalam polimer elektrolit sehingga KV dapat digunakan dalam pembuatan membran polimer elektrolit.

Pengujian stabilitas termal atau ketahanan terhadap panas dilakukan secara

Thermogravimetric Analysis (TGA). Termogram menunjukan perubahan massa

materi karena pemanasan. Termogram TGA KV disajikan pada Gambar 14. Berdasarkan termogram tersebut, secara umum terbagi dalam lima daerah degradasi. Daerah degradasi pertama pada suhu 60-140 oC merupakan proses hilangnya air. Suhu 140-260 oC merupakan proses kehilangan vanilin bebas yang tidak tersubstitusi pada kitosan. Daerah degradasi ketiga terjadi pada suhu 260-350 oC menunjukan hilangnya gugus asetil kitin, gugus amino kitosan yang tidak

commit to user

tersubstitusi dan hilangnya gugus vanilin. Gugus asetil memiliki ikatan  yang lebih lemah sehingga mudah lepas, sementara gugus amino lebih reaktif dengan ukuran molekul yang lebih kecil dibandingkan vanilin sehingga dimungkinkan terlepas lebih awal. Sementara itu, hilangnya gugus vanilin terjadi pada suhu 300-350 oC. Daerah degradasi keempat yaitu degradasi polimer menjadi homopolimer atau monomer-monomer penyusunnya terjadi pada suhu 350-420 oC. Daerah degradasi kelima pada suhu diatas 420-700 oC merupakan pemutusan rantai karbon polimer menjadi arang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wiyarsi (2008) tentang sintesis polimer KV dan Santos et al. (2005) yang meneliti tentang stabilitas termal basa Schiff yang terbentuk dari reaksi kitosan dengan berbagai senyawa turunan salisilaldehid.

Gambar 14. Termogram kitosan-vanilin

Dokumen terkait