• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Variasi somaklonal menjadi perhatian yang serius pada mikropropagasi tanaman nenas. Oleh karena itu, diperlukan metode yang mampu mendeteksi dan mengontrol kelainan biakan in vitro sebelum planlet yang dihasilkan ditanam di lapang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tipe dan tingkat keragaman morfologi serta keragaman molekuler yang terjadi pada biakan in vitro nenas yang dikulturkan dalam periode yang panjang. Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi morfologi dan molekuler biakan dan bibit nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun dan evaluasi kestabilan fenotipe varian pada tahap in vitro dan ex vitro. Karakterisasi morfologi dilakukan secara kualitatif sedangkan karakterisasi molekuler dilakukan dengan menggunakan penanda RAPD dengan 10 primer. Data diskor secara biner kemudian dianalisis dengan menggunakan program NTSYS-pc 2.02. Tingkat kemiripan dihitung dengan menggunakan koefisien Dice. Pengelompokan dilakukan dengan berdasarkan UPGMA. Evaluasi kestabilan fenotipe varian pada tahap in vitro dilakukan dengan mengisolasi tiap- tiap varian secara individual dan melakukan subkultur sebanyak 3 kali sedangkan evaluasi pada tahap ex vitro dilakukan dengan mengamati perubahan karakter spesifik setiap varian di rumah kaca. Hasil penelitian memperlihatkan 21 varian terdeteksi dari populasi biakan in vitro nenas umur 4 tahun. Delapan varian menunjukkan fenomena epigenetik selama isolasi varian secara individual, 8 varian menunjukkan fenomena khimera selama proses subkultur, dan 7 varian menunjukkan kestabilan fenotipenya selama di rumah kaca. Karakterisasi morfologi tersebut menghasilkan dendogram dengan koefisien kemiripan sebesar 0.49-0.91 (r=0.83). Karakterisasi molekuler tersebut menghasilkan dendogram dengan koefisien kemiripan sebesar 0.32-0.91, di mana varian dan tanaman kontrolnya memiliki kemiripan sebesar 0.32-0.61 (r=0.97). Pola duri pada daun dari bibit hasil aklimatisasi di rumah kaca menampakkan pola yang sama sekali tidak beraturan karena karakter daun halus dan berduri (1 sisi atau 2 sisi) terjadi secara silih berganti sepanjang pertumbuhan tanaman. Selanjutnya, diduga kuat adanya elemen loncat pada tanaman nenas yang diamati. Dugaan tersebut diperkuat oleh penemuan sebelumnya yang melaporkan bahwa sekuens mirip retrotransposon telah terintegrasi ke dalam genom tanaman nenas. Metode karakterisasi morfologi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat diterapkan untuk deteksi dini dan eliminasi varian yang tak diharapkan selama proses mikropropagasi.

Kata kunci: Karakterisasi morfologi, RAPD, biakan in vitro, Ananas comosus (L.) Merr., epigenetik, khimera, variasi somaklonal

Abstract

Somaclonal variation still becomes a concern in propagation of pineapple plants. Reliable methods are needed to control and to detect deleterious off-types produced during in vitro culture, especially before the plants are grown in the field. The objective of the study was to determine the type and the level of variation of long period in vitro cultures of pineapple. Morphological and molecular characterization of 4 year-old pineapple in vitro cultures and evaluation of phenotypic stability during in vitro and ex vitro culture were conducted in this research. Morphological characterizations were conducted qualitatively and molecular characterizations were conducted by using RAPD markers with 10 primers. The data were scored binary and then they were analyzed by using NTSYS-pc 2.02 program. The similarity degrees were calculated according to the Dice coefficient. Groupings were carried out using UPGMA cluster analysis. Twenty one aberrant phenotypes were observed in cultures derived from the shoot proliferation method, of which the 8 variants showed epigenetic phenomena and the 8 variants showed polysomic cells, indicated chimera tissues. Phenotypic evaluations showed that 7 variants were stable during acclimatization in glass house. The morphological characterization yielded dendogram with the similarity coefficient range from 0.49 to 0.91 (r=0.83). The molecular characterization yielded dendogram with the similarity coefficient range from 0.32 to 0.91 where separated variant and the control plant within the range of 0.32 to 0.61 (r=0.97). Unexpectedly, the observation of spininess showed that there was irregular pattern (the spines sometimes emerged from the young leaves, sometimes along one side of the leaves or along both side of the leaves with different density and sharpness). Therefore, it strongly suggested the presence of retrotransposon. The morphological characterization resulted in this research can be used as guidance for early detection and elimination of undesirable variants in micropropagation. Keywords: Morphological characterization, RAPD, in vitro culture, Ananas

comosus (L.) Merr, epigenetic, chimera, somaclonal variation Pendahuluan

Teknik kultur in vitro merupakan teknologi alternatif yang tepat untuk produksi bibit secara masal karena mampu memproduksi bibit dalam jumlah yang besar, dalam waktu yang singkat, dan dengan keseragaman yang tinggi. Menurut Smith et al. (2003), teknik mikropropagasi tanaman nenas dapat diterapkan untuk pemantapan blok multiplikasi yang dapat menyediakan bahan tanaman konvensional untuk blok produksi. Hal ini disebabkan oleh penyimpangan (off types) yang terjadi pada bibit nenas hasil kultur in vitro. Wakasa (1979) melaporkan bahwa bibit nenas yang dihasilkan dari eksplan berupa mahkota mempunyai tingkat keragaman yang lebih rendah (7%) daripada syncarp (100%), tunas aksilar (34%), dan slip (98%).

Dari berbagai kajian pustaka, dapat diketahui bahwa off types dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, yaitu variasi dari tanaman donor (pre- existing variation) (Wakasa 1979), periode in vitro yang panjang (Koornneef 1991; Masoud and Hamta 2008), zat pengatur tumbuh (Bairu et al. 2009), subkultur yang frekuentif (Eeuwens et al. 2002), dan tergantung pada genotipe tanaman (Zucchi et al. 2002). Untuk menghindari tingginya keragaman somaklonal dan untuk mengefektifkan metode mikropropagasi maka diperlukan strategi untuk memproduksi bibit dengan kesamaan identitas genetik. Oleh karena itu, diperlukan metode karakterisasi yang mampu mendeteksi penyimpangan tersebut secara dini, sebelum tanaman ditanam di lapang.

Deteksi penyimpangan bibit yang dihasilkan dari teknik kultur in vitro dapat dilakukan melalui karakterisasi morfologi (Noor et al. 2009 ; Somsri et al. 2009; Zhao et al. 2005; Podwyszyńska 2005), sitologi (Al-Zahim et al. 1999; Joachimiak dan Ilnicki 2003), biokimia (Feuser et al. 2003), fisiologi (Perez et al. 2011), dan molekuler (Chen et al. 1998; Al-Zahim et al. 1999; Soniya et al. 2001). Pada tanaman nenas, karakterisasi telah dilakukan secara morfologi, biokimia, dan molekuler. Soneji et al. (2002) telah mengkarakterisasi bibit nenas kultivar Queen untuk sifat daun berduri dan tidak berduri dengan penanda RAPD. Feuser et al. (2003) juga menganalisis ketepatan genetik planlet nenas kultivar Amarelinho (grup Perola) dengan menggunakan penanada RAPD. Demikian pula, Santos et al. (2008) melakukan evaluasi keragaman genetik dari biakan in vitro nenas hias (Ananas comosus var. bracteatus) dengan menggunakan penanda yang sama. Wakasa (1979) telah melakukan evaluasi karakter morfologi bibit nenas kultivar Smooth Cayenne hasil kultur in vitro dengan periode 1.5 tahun, aklimatisasi selama 14-22 bulan, dan 1 tahun periode pertumbuhan tanaman. Suminar (2010) telah melakukan karakterisasi morfologi biakan in vitro nenas Golden Pineapple (kultivar Smooth Cayenne) hasil radiasi sinar gamma. Namun hingga saat ini, belum terdapat penelitian yang melaporkan karakterisasi secara morfologi biakan in vitro nenas yang dikulturkan dalam periode yang panjang. Tujuan penelitian ini adalah mengkarakterisasi biakan in vitro umur 4 tahun dan bibit nenas aklimatisasi dengan menggunakan penanda morfologi dan molekuler.

Bahan dan Metode

Persiapan Bahan Tanaman

Bahan tanaman adalah biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne Klon Simadu dari Subang yang telah berumur 4 tahun pada periode in vitro. Bahan tanaman awal adalah mahkota yang disterilisasi dengan menggunakan alkohol dan natrium hipoklorit. Eksplan ditanam pada media MS (Murashige dan Skoog 1962) dengan penambahan gula 3%, agar 0.8% dengan penambahan benzyl adenine (BA) 2 mg l-1 dan kinetin (Kn) 2 mg l-1. Kultur diinkubasikan pada kondisi terang 16 jam dengan intensitas cahaya 800-1000 lux, suhu 25±2 0C. Setelah 4 tahun periode in vitro, biakan dipelihara pada media MS dengan penambahan BA 0.5 mg l-1 dan Kn 1 mg l-1.

Karakterisasi Morfologi

Pengamatan terhadap kelainan atau penyimpangan biakan in vitro nenas dilakukan secara visual. Karakterisasi secara morfologi dilakukan dengan menggunakan deskripsi yang dikeluarkan oleh IBPGR (1991) dan Suminar (2010) dengan beberapa modifikasi (Tabel 15). Data dari karakter morfologi diskor secara biner. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan program SIMQUAL, SAHN, dan TREE dari Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System version 2.02 (NTSYS-pc 2.02). Tingkat kemiripan dihitung dengan menggunakan koefisien Dice. Pengelompokan dilakukan dengan metode klastering berdasarkan Unweighted Pair Group Method and Arithmetic Average (UPGMA).

Evaluasi Stabilitas Varian

Untuk mengetahui frekuensi biakan normal dan abnormal, tiap-tiap varian yang muncul dari populasi biakan in vitro nenas umur 4 tahun dihitung jumlahnya. Untuk mengetahui kestabilan fenotipe tersebut maka setiap individu varian diisolasi pada media BA 0.5 mg l-1 dan Kn 1 mg l-1. Subkultur dilakukan sebanyak 3 kali dengan menggunakan media yang sama. Stabilitas sifat dikategorikan menjadi 3 macam, yaitu stabil (S) jika tidak terjadi perubahan fenotipe, agak stabil (R) jika anakan atau regeneran yang dihasilkan mempunyai

fenotipe yang sesuai dengan fenotipe awalnya dan fenotipe yang lain dengan fenotipe awalnya, tidak stabil (N) jika terjadi perubahan fenotipe. Uji stabilitas fenotipe dilakukan ketika isolasi varian secara individual, selama proses subkultur, dan selama pertumbuhan bibit di rumah kaca. Kestabilan fenotipe ditentukan secara kualitatif dengan menitikberatkan pada karakter spesifik yang dimiliki oleh tiap-tiap varian berdasarkan karakterisasi morfologi. Selain perubahan fenotipe, jumlah tunas juga dihitung untuk mengetahui tingkat multiplikasi tunas dari masing-masing varian selama proses subkultur. Masing- masing tunas dari varian diinduksi perakarannya dengan menggunakan indole butyric acid (IBA) 3 mg l-1 dan naphthalene acetic acid (NAA) 1 mg l-1 (5.4 µM). Planlet yang diperoleh tersebut kemudian diaklimatisasi di rumah kaca dengan menggunakan media tanah dan kompos dengan perbandingan 1:1.

Karakterisasi Molekuler

Sebanyak 10 varian dipilih untuk karakterisasi secara molekuler. Varian yang telah diaklimatisasi di rumah kaca diambil daunnya sebagai sampel, kecuali varian climb posture yang diambil sampel daunnya dari biakan in vitro. Sampel daun diekstraksi dengan metode cetyl trimethyl ammonium bromide (CTAB). Karakterisasi molekuler dilakukan dengan menggunakan metode Randomly Amplified Polymorphism DNA (RAPD), modifikasi metode Soneji et al. (2002). DNA diamplifikasi dengan mesin Polymerase Chain Reaction (PCR). Masing- masing reaksi mengandung 25 ng/l DNA genomik 1 µl, 1 µl primer (Operon Tech. Alameda, USA) pada 10 ng/µl, 11 µl ddH2O, dan 12 µl PCR mix, dalam total reaksi 25 µl. Siklus PCR terdiri atas pra-denaturasi pada suhu 94 0C selama 4 menit; 40 siklus pada 94 0C selama 30 detik (denaturasi); 36 0C selama 1 menit (penempelan primer) dan 1 menit pada 72 0C (ekstensi); pasca-ekstensi pada 72

0

C selama 5 menit, serta ekstensi akhir pada 40 0C selama 4 menit. Produk PCR dipisahkan pada agarosa 1.2% (Promega) dan dielektroforesis pada voltase konstan 50 V selama 50 menit, kemudian pita-pita diwarnai dengan ethidium bromide (EtBr) serta divisualisasi di bawah UV transiluminator. Sebagai standar molekuler digunakan DNA ladder 1 kb.

Tabel 15. Karakter dan sub karakter yang diamati pada biakan in vitro nenas kultivar smooth Cayenne (umur 4 tahun)

No. Karakter Sub karakter

1 Postur tunas Tegak/membengkok/agak kerdil/kerdil/tinggi 2 Tegakan daun Tegak lurus/agak vertikal/terbuka/menjuntai 3 Warna daun Hijau/hijau gelap/hijau terang/putih

keperakan/varigata 4 Panjang daun Normal/pendek/panjang 5 Lebar daun Normal/lebar/sempit

6 Pola pada daun Normal/bergaris putih/bergaris hijau/berbintik di bagian adaksial/berbintik di bagian abaksial 7 Permukaan daun Normal/mengkilap/berlilin

8 Helaian daun Normal/keriting/berpilin/bergelombang 9 Konsistensi daun Normal/kaku/lunglai

10 Duri Ada/tidak ada

11 Panjang batang semu Normal/lebih pendek/lebih tinggi 12 Panjang nodus Normal/lebih pendek/lebih panjang

13 Filotaksi Normal/lebih rapat/lebih jarang/tak beraturan 14 Jumlah anakan Normal/banyak/jarang/hampir tidak ada 15 Asal tumbuh anakan Basal tunas/basal daun/nodus/tak diketahui 16 Dominanasi apikal Ada/tidak ada

Sampel diskor berdasarkan ada dan tidak adanya pita pada ukuran yang sama, di mana 1 berarti ada sedangkan 0 berarti tidak ada. Untuk skrining primer, digunakan sampel DNA tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne klon Simadu dari lapang dan varian needle leaf dengan menggunakan 20 primer kemudian dipilih 10 primer yang menghasilkan pita yang jelas. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan program SIMQUAL, SAHN, dan TREE dari NTSYS-pc 2.02. Tingkat kemiripan dihitung dengan menggunakan koefisien Dice. Pengelompokan dilakukan dengan metode klastering berdasarkan UPGMA.

Hasil dan Pembahasan

Karakterisasi Morfologi

Untuk membedakan tipe normal dan varian maka diperlukan informasi tentang karakter asli dari tipe liar tanaman nenas. Wakasa (1979) telah melakukan pengamatan morfologi bibit nenas selama aklimatisasi dan di lapang. Berdasarkan laporan tersebut maka diketahui bahwa fenotipe asli dari tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne adalah daun berwarna hijau gelap, tidak ada varigata, bagian abaksial daun ditutupi oleh lapis lilin, dan duri muncul di sekitar ujung daun (penciri spesifik dari kultivar tersebut).

Berdasarkan karakterisasi morfologi, teramati 21 varian dari populasi biakan in vitro nenas umur 4 tahun. Tabel 16 dan Gambar 37 memperlihatkan tipe variasi dan ciri-ciri spesifik dari tiap-tiap varian. Tipe varian yang dihasilkan pada penelitian ini lebih beragam dibandingkan dengan hasil penelitian Wakasa (1979) yang memperoleh 6 varian, yaitu (spines leaf, lighter green leaf, denser phyllotaxy, powdery leaf, wider leaf, dan albino stripe leaf). Banyaknya varian yang muncul pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh periode in vitro yang lebih panjang. Wakasa (1979) menerapkan kultur in vitro selama 1.5 tahun sedangkan pada penelitian ini digunakan biakan in vitro yang telah berumur 4 tahun. Masoud dan Hamta (2008) juga mengatakan bahwa periode in vitro dapat menyebabkan induksi variasi somaklonal. Joachimiak dan Ilnicki (2003) juga menjelaskan bahwa selama periode kultur in vitro, jaringan tanaman dapat mengalami perubahan struktural, antara lain tingkat ploidi, ukuran telomer, eliminasi kromatin yang berasosiasi dengan ukuran nukleus dan kandungan deoxyribo nucleic acid (DNA).

A

B

C

D

E

F

G

H

I

J

K

L

M

N

O

P

Q

R

S

T

U

W

Gambar 37. Keragaan varian nenas kultivar Smooth Cayenne: normal (a), branched shoot (b). needle leaf (c). long core (e). climb posture (f), whitish leaf (g), glossy stiff leaf (h), spiness spot leaf (i), narrow leaf (j), bending posture (k), albino stripes leaf (l), curly leaf (m), wider leaf (n), dwarf posture (o), powdery leaf (p), ultra dwarfposture (q), wave laef (r), darker leaf (s), lighter leaf (t), denser foliage (u), reddish leaf (v), erect posture (w).

Jumlah varian yang dihasilkan dalam penelitian ini bahkan lebih banyak jika dibandingkan dengan hasil radiasi sinar gamma yang dilakukan oleh Suminar (2010). Tampaknya pengaruh periode kultur in vitro lebih besar dalam menginduksi terbentuknya varian, terutama ketika dosis radiasi yang diujikan masih belum optimal. Suminar (2010) mengatakan bahwa kalus yang mendapatkan perlakuan radiasi sebagian besar mempunyai pertumbuhan yang baik dan tidak menunjukkan gejala kerusakan fisiologis.

Analisis pengelompokan berdasarkan 16 karakter dan 58 sub karakter (Tabel 15) menghasilkan koefisien kemiripan sebesar 0.49-0.91 (Gambar 38). Analisis pengelompokan tersebut memiliki nilai korelasi matriks Rohlf sebesar 0.83 (r=0.83). Hal ini berarti bahwa dendogram yang diperoleh sudah sesuai dalam menggambarkan pengelompokan berbagai macam varian atau fenotipe tersebut. Pada koefisien kemiripan 0.62, populasi tersebut terpisah atas 3 kelompok.

Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa varian bending posture memiliki proporsi paling tinggi (16.6%), diikuti dengan needle-like leaf (15.1%), spines spotleaf (9.8%), glossy stiff leaf (8.6%), narrow leaf (5.4%), dan curly leaf (5.3%) (Tabel 16). Proprosi tersebut kemungkinan berkaitan dengan tingkat multiplikasi tunas dari tiap-tiap varian (Tabel 17). Selain itu, terdapat 3 varian yang kehilangan dominansi apikalnya yang berasosiasi dengan tingkat multiplikasi tunas yang tinggi.

Evaluasi Stabilitas Varian

Zucchi et al. (2002) melaporkan bahwa stress selama kultur in vitro dapat menyebabkan terjadinya metilasi di dalam genom tanaman. Diduga bahwa perubahan epigenetik dalam tingkat metilasi DNA memegang peranan penting dalam mekanisme adaptasi tanaman terhadap stres lingkungan. Menurut Koornneef (1991), diduga bahwa propagasi vegetatif yang stabil dari suatu varian dapat dipertimbangkan sebagai indikasi bahwa varian tersebut mutan atau bukan mutan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan subkultur sebanyak 3 kali.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 8 varian menunjukkan ketidak- stabilan fenotipe selama isolasi secara individual, yaitu whitish leaf, bending posture, curly leaf, wave leaf, darker leaf, lighter leaf, denser foliage, dan reddish leaf. Fenomena ini memperlihatkan terjadinya epigenetik karena 8 varian tersebut tidak dapat mepertahankan fenotipenya. Diduga bahwa perubahan tersebut berkaitan dengan stres lingkungan selama kultur in vitro 4 tahun, khususnya faktor pencahayaan dan rasio fitohormon.

Koefisien kemiripan 0.49 0.60 0.70 0.81 0.91 N V12 V7 V8 V5 V17 V20 V11 V14 V3 V19 V10 V1 V16 V18 V21 V2 V6 V13 V15 V9 V4

Keterangan: N = Normal, V1 = branched shoot, V2 = needle leaf, V3 = long core, V4 = climb posture, V5 = whitish leaf, V6 = glossy stiff leaf, V7 = spiness spot leaf, V8 = narrow leaf, V9 = bending posture, V10 = albino stripe leaf, V11 = curly leaf, V12 = wider leaf, V13 = dwarf posture, V14 = powdery leaf, V15 = ultradwarf posture, V16 = wave leaf, V17 = darker leaf, V18 = lighter leaf, V19 = denser foliage, V20 = reddish leaf, dan V21 = erect posture.

Gambar 38. Dendogram hasil karakterisasi morfologi biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun, berdasarkan metode (SAHN)-UPGMA (r=0.83).

Tabel 16. Ciri-ciri spesifik dari varian yang muncul dari populasi biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun

No. Varian Karakter spesifik

1 Branched shoot (V1)

Banyak tunas, dominansi apikal hilang, daun normal atau terkulai

2 Needle leaf (V2) Daun agak terbuka, pendek, dan sempit, kaku, seperti jarum, mempunyai banyak anakan, tidak ada dominansi apikal

3 Long core (V3) Batang semu lebih pajang dan besar tetapi nodus tidak memanjang, daun terakumulasi di bagian atas tunas 4 Climb posture

(V4)

Tunas tinggi, tampak seperti memanjat, daun pendek dan sempit, normal atau terkulai, nodus lebih panjang 5 Whitish leaf

(V5)

Daun keperakperakan dan berduri 6 Glossy stiff leaf

(V6)

Daun mengkilat dan kaku, elongasi tunas agak terbatas 7 Spines spot leaf

(V7)

Duri muncul pada sepanjang tepi daun, permukaan daun berbintik-bintik putih

8 Narrow leaf (V8)

Daun lebih sempit dan ramping, menjuntai ke bawah atau tidak

9 Bending posture (V9)

Nodus lebih panjang, tunas membelok-belok, tidak roset 10 Albino stripe

leaf (V10)

Daun bergaris-garis putih dan hijau atau albino 11 Curly leaf (V11) Daun melengkung dengan ujung melekuk ke bawah,

keriting atau spiral 12 Wider leaf (V12) Daun lebih lebar 13 Dwarf posture

(V13)

Tunas kerdil, lebar daun normal, warna daun lebih gelap 14 Powdery leaf

(V14)

Bagian abaksial dan adaksial daun seperti bertaburan tepung dipenuhi lapis lilin atau kutikula

15 Ultradwarf posture (V15)

Tunas kerdil, daun lebih kecil dan lebih pendek 16 Wave laf (V16) Struktur daun bergelombang dengan filotaksi tak

beraturan 17 Darker leaf

(V17)

Daun berwarna hijau tua 18 Lighter leaf

(V18)

Daun berwarna hijau muda 19 Denser foliage

(V19)

Tata letak daun lebih rapat 20 Reddish leaf

(V20)

Bagian sekitar tulang daun berwarna kemerah-merahan 21 Erect posture

(V21)

Tabel 17. Proporsi varian yang muncul dalam populasi biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun

Varian Jumlah tunas Proporsi (%)

Normal 134 17.7 Branched shoot (V1) 4 0.5 Needle leaf (V2) 114 15.1 Long core (V3) 4 0.5 Climb posture (V4) 17 2.3 Whitish leaf (V5) 5 0.7

Glossy stiff leaf (V6) 65 8.6

Spines spot leaf (V7) 74 9.8

Narrow leaf (V8) 41 5.4

Bending posture (V9) 141 18.7

Albino stripe leaf (V10) 4 0.5

Curly leaf (V11) 40 5.3 Wider leaf (V12) 14 1.9 Dwarf posture (V13) 30 4.0 Powdery leaf (V14) 25 3.3 Ultradwarf posture (V15) 21 2.8 Wave laf (V16) 8 1.1 Darker leaf (V17) 2 0.3 Lighter leaf (V18) 1 0.1 Denser foliage (V19) 6 0.8 Reddish leaf (V20) 3 0.4 Erect posture (V21) 2 0.3 Total 755 100

Terjadinya varian bending posture kemungkinan disebabkan oleh upaya biakan dalam mengakses cahaya. Srivastava (2002) mengatakan bahwa pertumbuhan yang asimetris sebagian diperantarai oleh auksin. Menurut Taiz dan Zeiger (2002), pertumbuhan ke arah cahaya demikian disebut sebagai fototropisme. Perolehan cahaya yang tidak seimbang menyebabkan ketidak- seimbangan konsentrasi auksin pada daerah yang terkena cahaya dan yang ternaungi sehingga menyebabkan pertumbuhan yang tidak seimbang atau membelok. Asumsi ini dikonfirmasi dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa tunas-tunas yang bengkok tersebut berukuran kecil dan selalu bergerombol. Alasan yang serupa juga ditujukan pada varian whitish leaf, lighter leaf, darker leaf, dan reddish leaf, di mana cahaya yang tidak mencukupi atau bahkan berlebihan menyebabkan munculnya varian-varian tersebut.

Varian curly leaf dan wave leaf kemungkinan berkaitan dengan taraf auksin endogenus. Menurut Srivastava (2002), hilangnya homeostasis IAA dapat menyebabkan perubahan taraf IAA bebas sehingga tanaman memperlihatkan daun yang epinastik oleh karena pertumbuhan yang asimetris. Pada penelitian ini, varian wave leaf berubah menjadi curly leaf. Ini menunjukkan bahwa pada kenyataannya, kedua varian tersebut adalah sama.

Fenotipe branched shoot, needle leaf, dan dwarf posture kemungkinan berkaitan dengan overproduksi sitokinin. Semua varian tersebut mempunyai tingkat multiplikasi tunas yang tinggi (Tabel 18) dan kehilangan dominansi apikalnya. Srivastava (2002) meriviu bahwa produksi sitokinin yang berlebihan akan menghasilkan kelainan yang bermacam-macam, dan kelaianan yang paling konsisten adalah meningkatnya percabangan atau pembentukan tunas dan hilangnya dominansi apikal. Sebaliknya, dominansi apikal pada varian climb posture sangat tinggi. Pada varian ini, pertunasan terjadi pada pada bagian apikal sehingga semakin memperkuat dugaan tersebut.

Varian dwarf posture dan climb posture juga berbeda dengan fenotipe normal dalam hal tinggi tanaman atau ukuran daunnya. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan respon tanaman terhadap giberelin. Taiz dan Zeiger (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga macam mutasi yang mempengaruhi tinggi tanaman, yaitu gibberellin-insensitive dwarf, gibberellin-deficient mutant, dan mutan dengan respon gibberellin yang konstitutif. Pada kasus penelitian ini, varian dwarf posture diduga sebagai mutan gibberellin-insensitive dwarf yang mirip dengan mutan ga-1 (gibberelin insensitive-1), di mana mutasi terjadi pada daerah regulatory domain. Varian climb posture diduga sebagai gibberellin- deficient mutant karena ukurannya tinggi (sifat roset hilang). Mutan demikian mirip dengan mutan rga (repressor of ga1-3), di mana mutasi terjadi pada daerah repressor domain sehingga tanaman tetap tinggi walaupun tanpa pemberian GA. Munculnya varian albino stripes leaf kemungkinan berkaitan dengan kelainan pada kloroplas. Collins (1951) melaporkan bahwa albino dikendalikan oleh karakter tunggal. Taiz dan Zeiger (2002) juga mengatakan bahwa sektor

albino berhubungan dengan diferensiasi kloroplas, di mana daun albino tidak memiliki klorofil sehingga tidak mampu berfotosintesis, namun daun yang berwarna hijau dapat mengekspor produk fotosintatnya ke sektor albino (Taiz dan Zeiger 2002) sehingga varian albino stripe leaf dapat bertahan hidup. Terlebih lagi ketika varian tersebut dalam kondisi heterotrof, sektor albino dapat