• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Air Asam Tambang

4.3 Penurunan konsentrasi dan penyisihan Fe 32 4.4 Perhitungan isoterm Freundlich untuk parameter Fe 33 4.5 Perhitungan isoterm Langmuir untuk parameter Fe 35 4.6 Perhitungan isoterm BET untuk parameter Fe 36 4.7 Nilai korelasi isoterm adsorpsi untuk parameter Fe 38 4.8 Penurunan konsentrasi dan penyisihan Sulfat 39 4.9 Perhitungan isoterm Freundlich untuk parameter Sulfat 40 4.10 Perhitungan isoterm Langmuir untuk parameter Sulfat 41 4.11 Perhitungan isoterm BET untuk parameter Sulfat 42 4.12 Nilai korelasi isoterm adsorpsi untuk parameter Sulfat 42 4.13 Nilai pH terhadap waktu kontak 43 4.14 Penyisihan Fe dengan media SMS 44 4.15 Penyisihan Sulfat dengan media SMS 48 4.16 Persamaan garis linear media SMS untuk penyisihan Sulfat 50

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Pemilihan pengolahan air asam tambang 10 3.1 Reaktor penelitian yang digunakan 26 3.2 Diagram alir penelitian 28 4.1 Penentuan waktu seimbang 31 4.2 Penurunan konsentrasi Fe terhadap waktu 32 4.3 Isoterm Freundlich untuk parameter Fe 34 4.4 Isoterm Langmuir untuk parameter Fe 35 4.5 Isoterm BET untuk parameter Fe 37 4.6 Penurunan konsentrasi Sulfat terhadap waktu 39 4.7 Isoterm Freundlich untuk parameter Sulfat 41 4.8 Isoterm Langmuir untuk parameter Sulfat 41 4.9 Isoterm BET untuk parameter Sulfat 42 4.10 Perubahan ph terhadap waktu kontak 44 4.11 Penyisihan Fe dengan media 50 gram SMS 45 4.12 Penyisihan Fe dengan media 100 gram SMS 46 4.13 Penyisihan Fe dengan media 150 gram SMS 46 4.14 Penyisihan Sulfat dengan media 50 gram SMS 48 4.15 Penyisihan Sulfat dengan media 100 gram SMS 49 4.16 Penyisihan Sulfat dengan media 150 gram SMS 50

DAFTAR LAMPIRAN

No Lampiran Halaman

1. Hasil analisa laboratorium pra-penelitian 56 2. Hasil analisa laboratorium parameter Fe dengan media

karbon aktif

57 3. Hasil analisa laboratorium parameter Sulfat dengan media

karbon aktif

58 4. Hasil analisa laboratorium parameter Sulfat dengan media

SMS

59 5. Hasil analisa laboratorium parameter Fe dengan media SMS 62

ABSTRAK

Salah satu dampak yang dihasilkan dari kegiatan penambangan adalah terbentuknya proses air asam tambang. Karaktersitik air asam tambang yang dihasilkan dari industri pertambangan di daerah Batangtoru, Tapanuli Selatan adalah tingginya konsentrasi logam besi (Fe) 4086,86 mg/L dan konsentrasi Sulfat 5131,25 mg/L. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi pengolahan alternatif air asam tambang dengan menggunakan media karbon aktif berbahan dasar kulit bagian dalam ubi kayu dan material organik Spent Mushroom Substrat (SMS) dari sisa pengolahan industri pengembangbiakan jamur. Hasil dari masing – masing media ini menghasilkan adsorpsi logam besi (Fe) sebesar 84,50% dan penyisihan Sulfat sebesar 63,24 % dengan media karbon aktif dan efisiensi penyisihan logam besi (Fe) sebesar 99,99% dan 72,41% untuk penyisihan Sulfat dengan media SMS.

Kata kunci : Air asam tambang, Konsentrasi logam besi (Fe), Konsentrasi Sulfat, adsorpsi, karbon aktif, Spent mushroom substrat (SMS).

ABSTRACT

One of the effects of mining activity is the forming of the process of acid mine drainage. The characteristics of acid mine drainage produced by mining industry at Batangtoru, South Tapanuli, is high in iron metal (Fe) concentration at 4086.86 mg/L and in sulfate concentration at 5131.25 mg/L. The aim of the research was to know the efficiency of alternative processing of acid mine drainage using the medium of active carbon made of inner peel of cassava and Spent Mushroom Substrate (SMS) from waste of mushroom industrial processing. The results demonstrated that the adsorption of iron metal (Fe) and sulfate using activated carbon were 84.50% and 63.24%, respectively and the adsorption of iron metal (Fe) and sulfate using Spent Mushroom Substrate (SMS) were 99.99% and 72.41%, respectively.

Keywords: Acid Mine Drainage, Concentration of Iron Metal (Fe), Concentration of Sulfate, Adsorption, Active Carbon, Spent Mushroom Substrate

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan kandungan bahan tambang atau mineral. Majalah The economist tahun 2007 dalam Sembiring (2009), melaporkan rangking Indonesia dalam komoditas global dunia seperti timah penghasil ke-2 terbesar dunia, emas (7), Nikel (5), Tembaga (5) dan Batubara (7). Hal ini mendorong pemerintah dan masyarakat untuk melakukan eksploitasi bahan tambang untuk memenuhi kebutuhan dan kegiatan ekonominya.

Di sisi lain kegiatan penambangan akan menghasilkan perubahan dan dampak terhadap lingkungan. Salah satu dampak yang dihasilkan dari kegiatan eksploitasi penambangan adalah terbentuknya proses air asam tambang. Air asam tambang merupakan hasil dari proses oksidasi dari pirit yang membentuk asam sulfat, menghasilkan debit yang bersifat asam dan juga mengandung logam seperti besi, alumunium dan mangan. Keasaman dan kandungan logam di dalamnya berdampak kepada ekosistem, manusia dan struktur bangunan. Logam – logam berat yang terkandung di dalam air asam tambang apabila lepas ke badan air akan mengalami akumulasi dan mengganggu biota perairan dan apabila dikonsumsi masyarakat akan menyebabkan penyakit yang serius. Air asam tambang merupakan masalah penting dan serius didalam industri pertambangan, karena itu diperlukan suatu metoda untuk mereduksi logam – logam berat terlarut.

Spent Mushroom Substrat (SMS) merupakan material organik yang bersifat heterogen yang mengandung serbuk gergaji, kotoran hewan, dedak dan gypsum. SMS ini mengandung nutrient dan penyedia sumber karbon (Newcombe,

2009). Media SMS atau sisa pengolahan industri pengembangbiakan jamur pada saat ini dapat dijumpai di kota Medan, walaupun masih dalam skala rumah tangga. Penggunaan media SMS untuk mereduksi logam dan menaikkan pH dalam kondisi anaerobik disebut metode Successive Alkalinity Producing System

(SAPS). Pada sistem SAPS terdapat dua proses utama yang menyebabkan terjadinya peningkatan pH dan reduksi logam, yakni larutnya batu kapur

(limestone) dan reduksi sulfat secara biologis. Kedua proses ini menghasilkan alkalinitas dalam bentuk bikarbonat sebagai senyawa penetral. Menurut Neculita (2009), efisiensi pengolahan secara pasif air asam tambang dengan bioreaktor, dalam hal ini SMS dan batu kapur dapat menaikkan pH dari 2,9-5,7 menjadi pH 6 dan mereduksi logam 60-82% untuk logam Fe, dan 99,9% untuk logam Cd, Ni dan Zn dengan hidraulic retention times (HRTs) atau waktu kontak 7,3 dan 10 hari.

Selain media SMS ini, penelitian ini juga akan menggunakan sisa produksi pabrik pengolahan ubi kayu, yaitu kulit ubi kayu bagian dalam yang efektif untuk mereduksi logam (Obiri et al, 2006). Kulit ubi kayu ini dapat dimanfaatkan sebagai adsorben dalam bentuk karbon aktif (Darmawan, 2010). Dalam penelitian Koeswardhani (1995), yang melakukan analisis adsorpsi logam Fe dan Zn pada limbah cair industri tekstil dengan karbon aktif bubuk menyatakan bahwa efektivitas adsorpsi karbon aktif dipengaruhi waktu kontak dengan waktu kontak terbaik 10 menit/liter dan kadar terendah yaitu 7,5% (75 gram karbon aktif/liter limbah cair.

Kedua media yang digunakan ini adalah sisa produk industri, sehingga pemanfaatan kembali kedua media ini tidak hanya akan berguna untuk

mengurangi limbah industri jamur dan pabrik tapioka, tapi juga untuk pengolahan air asam tambang pada industri pertambangan.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam tesis ini adalah mengetahui sejauh mana kemampuan kulit ubi kayu sebagai adsorben (karbon aktif) dan media SMS dalam metode SAPS dapat mereduksi logam terlarut besi (Fe), sulfat terlarut yang mempunyai konsentrasi tinggi dan menaikkan derajat keasaman pH air asam tambang.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Efisiensi optimal media adsorben karbon aktif berbahan dasar kulit bagian dalam ubi kayu berdasarkan jumlah dan waktu adsorpsi dalam menyerap logam terlarut besi (Fe), sulfat dan peningkatan pH yang terkandung dalam air asam tambang.

2. Efisiensi optimal SMS sebagai media organik dalam menyerap logam terlarut besi (Fe), sulfat dan peningkatan pH yang terkandung dalam air asam tambang.

1.4 Hipotesis

Kulit bagian dalam ubi kayu sebagai adsorben (karbon aktif) dan sisa industri pengembangbiakan jamur sebagai media organik dapat dimanfaatkan untuk menyerap logam dalam air asam tambang dan menaikkan pH.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan data dan informasi sebagai alternatif pengolahan air asam tambang kepada pelaku sektor industri pertambangan, pemerintah dan dunia pendidikan.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri Pertambangan

Air asam tambang adalah salah satu permasalahan lingkungan yang dihasilkan oleh industri pertambangan. Air asam tambang merupakan hasil dari oksidasi batuan yang mengandung pirit (FeS2) dan mineral sulfida dari sisa batuan yang terpapar oleh oksigen yang berada dalam air (Elberling.et.al, 2008). Permasalahan air asam tambang adalah salah satu dampak potensial yang dihadapi industri pertambangan. Air asam tambang juga mengandung logam berat seperti besi (Fe), alumunium (Al), mangan (Mn). Kesalahan dalam pemantauan, pengumpulan dan pengolahan air asam tambang dapat menyebabkan kontaminasi terhadap air tanah dan air permukaan yang berdampak kepada ekosistem, manusia dan struktur bangunan (MEND Program, 1997).

Seperti diketahui beberapa komponen atau kegiatan pertambangan menghasilkan dampak yang serius terhadap lingkungan. Kolam tailing (tailing impoundment) dan penempatan batuan sisa (waste rock piles) merupakan bagian yang harus benar-benar diperhatikan karena menghasilkan dampak negatif terhadap saluran air, tanah dan air permukaan (Bussiere, 2009).

Langkah pertama yang digunakan untuk mengelola air asam tambang adalah dengan mengetahui sumber produksi pembentuk potensial asam. Produksi potensial asam umumnya berasal dari penilaian melalui sisa batuan (waste rock) yang dianalisis, dimana dapat dibagi atas 2 kategori analisis, yaitu analisis statis atau analisis dinamis atau kinetik. Dalam tes statis, seluruh analisis batuan digunakan untuk memprediksi kualitas air asam tambang, dengan asumsi bahwa

mineral – mineral spesifik yang terdiri dari batuan sisa akan bereaksi dengan air akan menghasilkan tingkat asam atau basa yang bervariasi. Alternatif lain adalah test dinamis yang secara empiris menentukan kualitas lindi berdasarkan subjek batuan sampel yang disimulasikan dengan proses pelapukan dan pemantauan kualitas efluen yang dihasilkan. Masing – masing teknik mempunyai kelebihan dan kekurangan satu dengan yang lainnya (Bradham dan Carrucio, 1990).

2.2 Air Asam Tambang (AAT)

Air asam tambang (AAT) dihasilkan di atau dalam sisa batuan, tailing, dinding pit tambang terbuka dan tambang bawah tanah. Mineral sulfida seperti pirit teroksidasi dan hadir di air dan udara melalui oksigen yang menghasilkan air asam tambang melalui proses kimia dan biokimia. Oksidasi mineral sulfida dapat dideskripsikan dengan persamaan (Morin and Hutt, 1997 dalam Bussiere, 2009) dengan langkah pertama terjadinya oksidasi langsung dari pirit (FeS2) oleh oksigen yang menghasilkan sulfat (SO42-), ferrous iron (Fe2+) dan keasaman (H+) :

2FeS2 + 7O2 + 2H2O = 2Fe2+ + 4SO42- + 4H+ (1) Reaksi selanjutnya ferrous iron teroksidasi menjadi ferric iron (Fe3+). 2Fe2+ + 1/2O2 + 2H+ = 2Fe3+ + H2O (2) Ferrous iron juga dapat teroksidasi menghasilkan iron hidroksida (FeOOH) dan keasaman.

Fe2+ + 1/4O2 + 3/2H2O = FeOOH + 2H+ (3) Pada saat pH > 4, Fe3+ akan terendapkan sebagai ferric hidroksida (Fe(OH)3), lepas ke lingkungan dengan sangat asam.

Pada saat pH < 4, Ferric iron akan larut dan mengoksidasi pirit secara langsung dan melepas asam kesekelilingnya dengan bebas.

FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O = 15Fe2+ + 2SO42- + 16H+ (5) Secara keseluruhan reaksi oksidasi pirit dapat diperlihatkan sebagai berikut :

FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O = Fe(OH)3 + 2H2SO4 (6) Oksidasi 1 mol pirit akan menghasilkan 2 mol asam sulfur. Secara umum pertimbangan literatur (Aubertin et al, 2002 dalam Bussiere 2009) bahwa oksidasi oleh oksigen (persamaan 1) berlangsung pada pH netral (5 < pH > 7), sementara itu oksidasi tidak langsung (Persamaan 5) lebih dominan pada pH rendah (pH < 3). Persamaan diatas berdasarkan pada persamaan stoikiometri tanpa mempertimbangkan kondisi kinetik setiap reaksi. Seperti nilai rata-rata oksidasi sebagai fungsi faktor penambah (Jerz dan Rimstidt, 2004 dalam Bussiere, 2009),

supply oksigen, temperatur, pH, aktivitas bakteri, luas paparan. Pertimbangan secara umum rata-rata reaksi dikontrol oleh (persamaan 2). Rata-rata reaksi berjalan lambat pada pH rendah, tetapi meningkat dengan cepat dan menurunkan pH karena adanya bakteri. Contohnya Acidithiobaccilus ferrooxidans sebagai katalisator reaksi oksidasi ferrous iron menjadi ferric iron.

Kualitas kimia dari drainase juga tergantung dari mineral lain yang ada di batuan sisa. Asam dapat bereaksi dengan penetral oleh karbonat dan mineral sillicate, yang dapat dipertimbangkan sebagai penetral utama adalah calcite (CaCO3) dan dolomite (CaMg(CO3)2) (Lapakko,1992).

2CaCO3 + H2SO4 = 2Ca2+ + 2HCO3- + SO42- (7) CaMgCO32- + H2SO4 = Ca2+ + Mg2+ + 2HCO3- + SO42- (8)

Persamaan diatas memperlihatkan bahwa 2 mol calcite dan 1 mol dolomit dibutuhkan untuk menetralkan 1 mol asam sulfur. Kapasitas mineral penetral untuk membatasi pembentukan air asam tambang juga tergantung kepada faktor yang berbeda beda untuk mempengaruhi proses reaksi seperti : temperatur, pH, tekanan, permukaan mineral.

Ketika potensi penetral kurang dari potensial pembentukan asam, air asam tambang akan terjadi dan diperlukan pengukuran yang akurat dan tindakan mitigasi. Beberapa tahun terakhir, beberapa teknik telah diajukan untuk membatasi dampak air asam tambang terhadap lingkungan. Salah satu pendekatan yang dikembangkan untuk mengontrol produksi air asam tambang dari tailing

dan batuan sisa adalah dengan mengeliminasi atau menghilangkan satu atau lebih dari 3 komponen utama reaksi oksidasi yaitu : oksigen, air dan mineral sulfida. Beberapa metode yang dikembangkan adalah :

a. Ekstraksi sulfida

Kehadiran mineral sulfida adalah esensi utama pembentukan air asam tambang. Air asam tambang dapat dikontrol dengan melakukan ekstraksi mineral sulfida sehingga membatasi pembentukan air asam tambang di lingkungan.

Recovery atau penyimpanan mineral sulfida yang diperlukan tergantung kepada jumlah mineral penetral. Teknik yang berbeda dapat digunakan seperti flotasi dan pemisahan dengan gravimetri dapat digunakan untuk memisahkan sulfida dari

tailing (Bussiere, 1998). Metode kontrol seperti ini secara umum sangat aplikatif untuk pertambangan yang sedang beroperasi.

b. Hambatan oksigen / oxygen barriers

Oksigen merupakan salah satu komponen kunci terhadap pembentukan air asam tambang. Membatasi kemampuan oksigen bereaksi pada batuan sisa adalah salah satu teknik yang paling sering digunakan untuk mengontrol air asam tambang, terutama pada daerah lembab (MEND, 2008). Pendekatan yang berbeda dapat digunakan untuk menghambat oksigen dengan cara menempatkan pelindung air dan megatur elevasi air tanah.

2.3 Pengolahan Air Asam Tambang

Pemilihan pengolahan air asam tambang dikategorikan atas 2 yaitu pengolahan pasif dan pengolahan aktif. Pengolahan yang paling umum digunakan adalah dengan metode mengolah debit air asam tambang dengan pengolahan aktif dimana pengolahan menggunakan kimia penetral yang ditambahkan terus menerus ke air asam tambang. (Johnson and Hallberg, 2005 dalam Newcombe, 2009). Proses penetralan air asam tambang ini akan mengendapkan logam-logam terlarut dan akan membentuk selimut lumpur (sludge blanket). Kelemahan dari pengolahan aktif ini adalah memerlukan biaya yang besar dan memindahkan atau membuang selimut lumpur yang mengandung logam.

Pemilihan metode pasif dalam pengolahan air asam tambang dibandingkan dengan pengolahan secara aktif mempunyai kelebihan terutama dari segi perawatan dan biaya yang lebih rendah. Sistem pengolahan pasif hanya memerlukan perawatan dan penggantian secara periodik.

Gambar 2.1 dibawah ini memperlihatkan beberapa alternatif pemilihan pengolahan air asam tambang.

Gambar 2.1 Pemilihan pengolahan air asam tambang (amd), Johnson and Hallberg, 2005a Dalam Newcombe (2009)

2.4 Metoda Successive Alkalinity Producing System (SAPS)

Successive Alkalinity Producing System (SAPS) merupakan salah satu metode pengolahan pasif air asam tambang yang terdiri atas lapisan bahan organik dan batu kapur. Keduanya disusun secara vertikal dengan ketebalan tertentu. Air asam tambang yang diolah akan mengalir secara vertilal ke dalam sistem berdasarkan tekanan gravitasi hidrolik.

Pada sistem SAPS terdapat dua proses utama yang menyebabkan terjadinya Peningkatan pH dan reduksi logam, yakni larutnya batu kapur dan reduksi sulfat secara biologis. Kedua proses ini menghasilkan alkalinitas dalam bentuk bikarbonat sebagai senyawa penetral.

Penetral kimia AA T Pengolahan aktif Abiotik Biologis Bioreaktor Pengolahan pasif Abiotik Biologis Saluran batu kapur tertutup Saluran batu kapur terbuka Hambatan aktif Kolam aerobik Kolam Anaerobik Hambatan aktif

Lapisan bahan organik yang umum digunakan adalah komposisi produk organik sisa yang biasanya dari industri perkembangbiakan jamur yang disebut dengan Spent Mushroom Substrat (SMS). SMS merupakan material organik yang bersifat heterogen yang mengandung serbuk gergaji, kotoran hewan, dedak dan gypsum. SMS ini mengandung nutrient dan penyedia sumber Karbon (Newcombe, 2009). Media SMS ini sangat kaya jenis mikrobiologi di dalamnya, tinggi kandungan organiknya tetapi rendah konsentrasi material esensi nutrient untuk tumbuhan.

Serbuk gergaji yang terdapat dalam komposisi SMS berfungsi sebagai penyedia nutrisi bagi jamur. Sebelum digunakan sebagai media, biasanya serbuk kayu harus dikompos terlebih dahulu agar bisa terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana agar mudah dicerna oleh jamur. Proses pengomposan berlangsung 1 – 2 hari menggunakan plastik atau terpal. Alternatif bahan yang digunakan untuk mengganti serbuk kayu adalah berbagai macam ampas, misalnya ampas kopi, ampas kertas, ampas tebu dan ampas teh. Dedak atau bekatul berfungsi sebagai substrat dan penghasil kalori untuk pertumbuhan jamur (Chazali dan Pratiwi, 2010).

Aspek desain SAPS yang harus diperhatikan adalah temperatur antara 40o C dan terendah 1o C, dengan reduksi sulfat sebesar 20% (Gusek et al, 2002 dalam Bhattacharya et al 2008), tipikal reduksi sulfat antara 200 – 600 mmol/m3/hari, rekomendasi adalah 300 mmol/m3/hari untuk desain SAPS (Wildeman et al, 1994 dalam Bhattacharya et al, 2008). Studi yang dilakukan oleh Thomas et al, 2006 dalam Bhattacharya et al, 2008 menyatakan bahwa logam terlarut seperti Fe, Al, Cu, Zn dan Ni dapat terakumulasi dalam substrat sepanjang waktu, walaupun fase

akumulasi berubah terhadap loading rate dan waktu. Dengan ketebalan batu kapur 1 m dan diameter 1,3 – 1,9 cm dapat menghasilkan paling sedikit 100 mg/L alkalinitas untuk periode 10 tahun.

Menurut Neculita (2009), efisiensi pengolahan secara pasif air asam tambang dengan bioreaktor, dalam hal ini SMS dan batu kapur dapat menaikkan pH dari 2,9-5,7 menjadi pH 6 dan mereduksi logam 60-82% untuk logam Fe, dan 99,9% untuk logam Cd, Ni dan Zn dengan hidraulic retention times (HRTs) atau waktu kontak 7,3 dan 10 hari.

2.5 Adsorpsi dan Jenis Adsorpsi

Adsorpsi adalah proses dimana satu atau lebih unsur-unsur pokok dari suatu larutan fluida akan lebih terkonsentrasi pada permukaan suatu padatan tertentu (adsorben). Dengan cara ini, komponen-komponen dari suatu larutan, baik dari larutan gas ataupun cairan, bisa dipisahkan satu sama lain (Treybal, 1980). Adsorpsi melibatkan proses perpindahan massa dan menghasilkan kesetimbangan distribusi dari satu atau lebih larutan antara fasa cair dan partikel. Pemisahan dari suatu larutan tunggal antara cairan dan fasa yang diserap membuat pemisahan larutan dari fasa curah cair dapat dilangsungkan. Berdasarkan interaksi molekular antara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dibagi menjadi 2 (dua) jenis :

1. Adsorpsi fisik adalah adsorpsi yang terjadi akibat gaya interaksi tarik-menarik antara molekul adsorben dengan molekul adsorbat. Adsorpsi ini melibatkan gaya-gayaVan der Wals (sebagai kondensasi uap). Jenis ini cocok untuk proses adsorpsi yang membutuhkan proses regenerasi karena zat yang

teradsorpsi tidak larut dalam adsorben tapi hanya sampai permukaan saja. Pada adsorpsi fisik, adosrbat tidak terikat kuat pada permukaan adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lainnya. Permukaan yang ditinggalkan oleh adsorbat dapat digantikan oleh adsorbat lainnya (multilayer).

2. Adsorpsi Kimia Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang terjadi akibat interaksi kimia antara molekul adsorben dengan molekul adsorbat. Proses ini pada umumnya menurunkan kapasitas dari adsorben karena gaya adhesinya yang kuat sehingga proses ini tidak reversibel. Ikatan yang terbentuk merupakan ikatan yang kuat sehingga lapisan yang terbentuk adalah lapisan monolayer.

2.6 Jenis Adsorben

Adsorben merupakan material berpori dan proses adsorpsi berlangsung di dinding pori. Adsorben dapat digolongkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu adsorben tidak berpori (non-porous sorbents) dan adsorben berpori (porous sorbents).

1. Adsorben tidak berpori (non-porous sorbents)

Adsorben tidak berpori dapat diperoleh dengan cara presipitasi deposit kristalin seperti BaSO4 atau penghalusan padatan kristal. Luas permukaan spesifiknya kecil, tidak lebih dari 10 m2/g dan umumnya antara 0,1 – 1 m2/g. adsorben tidak berpori seperti filter karet (rubber filters) dan karbon bergrafit (graphitized carbon blacks) adalah jenis adsorben tidak berpori yang telah mengalami perlakuan khusus sehingga luas permukaannya dapat mencapai ratusan m2/g.

2. Adsorben berpori

Luas permukaan spesifik adsorben berpori berkisar antara 100 – 1000 m2/g. Beberapa jenis adsorben berpori yang telah digunakan secara komersial antara lain adalah karbon aktif, zeolit, silica gel, activated alumina.

2.7 Kulit Bagian Dalam Ubi Kayu Sebagai Adsorben Karbon Aktif

Karbon aktif merupakan arang yang telah diproses sedemikian rupa dengan cara diaktifasi oleh suatu zat sehingga mempunyai daya serap yang tinggi. Karbon atau arang merupakan padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon, dihasilkan dari pemanasan pada suhu tinggi. Luas permukaan karbon aktif 300 – 3500 m2/g yang berhubungan dengan struktur pori internal yang berhubungan dengan struktur pori internal yang menyebabkan karbon aktif mempunyai sifat sebagai adsorber (Darmawan, 2010).

Kulit ubi kayu termasuk jenis sampah organik. Kulit ubi kayu mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Kulit ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan karbon aktif. (Darmawan, 2011). Karakteristik ubi kayu (manihot esculenta crantz) yang efektif dalam menyerap logam berat (Obiri et al, 2006). Dalam pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan makanan dalam pengolahannya, ubi kayu harus dikupas terlebih dahulu. Dengan kata lain kulit ubi kayu merupakan limbah dari pengolahan ubi kayu yang cukup besar. Pemanfaatan kulit ubi kayu secara komersil masih sedikit. Hal ini disebabkan karena kulit ubi kayu mengandung 3-5 kali lebih banyak kadar asam sianida (HCN) dari ubinya yang sangat berbahaya jika dikonsumsi oleh manusia (Darmawan, 2010).

Menurut Darmawan (2010), salah satu cara untuk mengatasi limbah kulit ubi kayu adalah dengan membuatnya menjadi lebih berguna dan mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi, yaitu sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif.

Dalam penelitian Koeswardhani (1995) yang melakukan analisis adsorpsi logam Fe dan Zn pada limbah cair industri tekstil dengan karbon aktif bubuk menyatakan bahwa efektivitas adsorpsi karbon aktif dipengaruhi waktu kontak. Waktu kontak terbaik adalah 10 menit/liter dan kadar terendah yaitu 7,5% (75 gram karbon aktif/liter limbah cair). Dari penelitian ini juga disebutkan bahwa karbon aktif masih efektif digunakan sebanyak 20 kali tanpa regenerasi.

Menurut Wasay, et.al, 1997 menyatakan bahwa karbon aktif berbentuk granular mempunyai efektivitas mengadsorpsi logam (Cd, Cu, Cr, Hg, Mn, Pb dan

Dokumen terkait