• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik bulk density, kadar abu dan karbon pada lahan gambut yang didrainase

HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Karakteristik bulk density, kadar abu dan karbon pada lahan gambut yang didrainase

Keragaan bulk density (BD) dan kadar abu pada setiap lapisan (interval 50 cm) dari setiap lokasi kajia disajikan pada Gambar 20, sedangkan tingkat kematangan gambut pada masing-masing lapisan profil tanah disajikan pada Lampiran 3.

Gambar 20. Rata-rata nilai Bulk Desity (BD) dan kadar abu pada setiap 50 cm peningkatan ketebalan gambut

Cot Gajah Mati, Kelapa sawit II Suak Puntong, Kelapa sawit I Suak Puntong, Kelapa sawit II Suak Raya, Kelapa sawit II

Suak Raya, Karet

Suak Raya, Kelapa sawit I Simpang,

Karet

Cot Gajah Mati, Karet Cot Gajah Mati,

Kelapa sawit I

Hasil kajian menunjukkan bahwa BD dan kadar abu pada lapisan permukaan (0-50 cm) pada semua lokasi kajian lebih besar dibandingkan lapisan dibawahnya (Gambar 20). Hal ini mengindikasikan bahwa pada lapisan atas lahan telah terjadi proses dekomposisi dan pemadatan gambut, sehingga mengakibatkan

subsidence. Menurut Gronlund et al. (2008) subsidence terjadi karena dua proses yaitu pemadatan dan kehilangan gambut akibat proses mineralisasi.

Menurut Susanne dan Jonathan (1999) meningkatnya BD lahan gambut berkaitan erat dengan proses pengeringan akibat drainase, yang mana isapan matrik tanah menjadi lebih besar karena penurunan kadar air sehingga menyebabkan terjadinya penyusutan (shrinkage) pada material gambut, kondisi ini berdampak terhadap penurunan volume pori. Berkaitan dengan teori tersebut, indikasi telah terjadi pemadatan pada permukaan lahan pada semua lokasi kajian ini ditandai oleh nilai BD pada permukaan gambut lebih tinggi dibandingkan lapisan di bawahnya. Pada sisi lain, indikasi telah terjadi kehilangan gambut akibat proses dekomposisi dapat diketahui dari kadar abu pada lapisan permukaan gambut lebih tinggi dibandingkan kadar abu lapisan di bawahnya

(Gambar 20). Menurut Gronlund et al. (2008) peningkatan kadar abu pada

permukaan lahan gambut disebabkan oleh hilangnya bahan organik dari lapisan gambut tersebut karena proses mineralisasi menyisakan bahan mineral (abu) yang terkonsentrasi pada lapisan atas lahan.

Secara umum, dari kajian ini terlihat ada kecendrungan kenaikan BD diikuti pula oleh kenaikan kadar abu (Gambar 20). Hal ini mengindikasikan bahwa ada keterkaitan antara BD dengan kadar abu. Untuk melihat keterkaitan antara BD dengan kadar abu, telah dilakukan analisa regresi linear sederhana. Hasil analisa regresi linear sederhana antara BD dengan kadar abu pada berbagai tingkat kematangan gambut disajikan dalam Gambar 21 - 23.

Gambar 21. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan gambut fibrik

Gambar 22. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan gambut hemik

Gambar 23. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan gambut saprik + gambut tercampur bahan mineral

(peaty mineral) Fibrik y = 0,012x + 0,0122 R2 = 0,4176 n = 146 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0 5 10 15 20 25 30 35 Kadar abu (%) B ul k D ens it y ( gr c m -3) Hemik y = 0,0083x + 0,0249 R2 = 0,3642 n = 252 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0 5 10 15 20 25 30 35 Kadar abu (%) B ul k D ens it y ( gr c m -3) Saprik y = 0,0026x + 0,0676 R2 = 0,3243 n = 241 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0 5 10 15 20 25 30 35 Kadar abu (%) B ul k D ens ity ( gr c m -3)

Dari Gambar 21 – 23 terlihat bahwa pada semua tingkat kematangan gambut (fibrik, hemik dan saprik), peningkatan kadar abu diikuti pula oleh peningkatan BD. Kondisi ini menunjukkan bahwa dekomposisi gambut (ditunjukkan oleh peningkatan kadar abu) menyebabkan terjadinya peningkatan BD. Hal ini terjadi karena dalam proses dekomposisi, material gambut dirombak menjadi bagian yang lebih halus, sehingga menyebabkan peningkatan BD. Hasil penelitian Dorien

et al. (2006) di Kalimantan selama periode waktu 6 tahun menemukan bahwa telah terjadi subsidence pada lahan gambut sebesar 2,2 – 4,0 m, dan kejadian ini menyebabkan peningkatan BD gambut.

Dari data untuk Gambar 21 - 23, ditemukan bahwa BD gambut pada tingkat kematangan fibrik berkisar antara 0,01 – 0,07 gr cm-3, hemik 0,05 – 0,10 gr cm-3, saprik 0,06 – 0,35 gr cm-3, sedangkan kadar abu pada tingkat kematangan fibrik berkisar antara 0,68 – 4,01%, hemik 2,00 – 8,73% dan saprik + peaty mineral 3,03 – 29,37%. Terlihat ada ditemukan gambut dengan BD yang rendah tetapi memiliki kadar abu yang tinggi (Gambar 23), hal ini dapat terjadi karena dalam profil gambut tersebut terdapat rongga, sehingga sewaktu pengambilan sampel dengan bor material gambut yang terambil hanya sedikit, dalam penentuan BD total berat tanah gambut yang terambil/berada pada kondisi ada ronngga tersebut tetap dibagi sesuai volume bor yaitu 500 cm3.

Dari hasil analisa hubungan liniear antara kadar abu dengan BD ditemukan bahwa semakin matang gambut kemiringan (slope) hubungan antara kadar abu dengan BD semakin kecil yaitu 0,012; 0,0083 dan 0,0026 masing-masing untuk fibrik, hemik dan saprik secara berurutan (Gambar 21; 22 dan 23). Hal ini menunjukkan bahwa pada peningkatan kadar abu yang sama, pengaruhnya terhadap peningkatan BD lebih besar pada tingkat kematangan gambut fibrik dibandingkan hemik dan saprik, dan hemik lebih tinggi dari saprik (fibrik > hemik > saprik).

Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut Tropika Yang Didrainase

Cadangan karbon yang tersimpan pada satu hamparan lahan gambut adalah yang ada pada: vegetasi pohon (aboveground biomassas), semak belukar

(belowground biomassas), serasah (litters) dan dalam tanah (soils). Hasil pengamatan ketebalan gambut dan perhitungan cadangan karbon yang tersimpan di dalamnya pada masing-masing lokasi kajian disajikan pada Tabel 7, sedangkan bentuk hubungan antara ketebalan gambut dengan cadangan karbon disajikan pada Gambar 24. Cadangan karbon pada masing-masing lokasi kajian gambut yang dikemukakan dalam kajian ini adalah berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapangan pada kondisi lahan bulan Agustus 2009.

Terlihat bahwa lapisan gambut yang paling tebal ditemukan pada lokasi di desa Simpang dengan jenis penggunaan lahan hutan, sebaliknya yang paling tipis ditemukan pada lokasi di desa Suak Puntong jenis penggunaan lahan kebun kelapa sawit I dan II (Tabel 9). Berdasarkan hasil analisis regresi antara ketebalan gambut dengan cadangan karbon menunjukkan bahwa cadangan karbon yang tersimpan pada lahan gambut berkaitan erat dengan ketebalan gambutnya (R2 = 0,87), yang mana semakin tebal lapisan gambut cadangan karbon yang tersimpan di dalamnya juga semakin banyak (Gambar 24).

Gambar 24. Hubungan antara ketebalan gambut dengan cadangan karbon yang tersimpan di dalamnya.

y = 2,7321x + 261,67 R2 = 0,8707 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 0 200 400 600 800 1000 1200 Ketebalan gambut (cm) C adangan k ar bon ( ton ha- 1)

Lokasi/Desa Ketebalan gambut (cm) Karbon (ton ha-1) Penggunaan lahan Umur tanaman (tahun)

Gambut Semak Pohon Serasah Total

Simpang 1000 2841,7 10,05 236,3 17,07 3105,08 Hutan -

Simpang 621 1768,1 11,63 - - 1779,73 Semak belukar I -

Simpang 349 989,8 10,97 - - 1000,77 Semak belukar II -

Simpang 166 607,1 12,92 165,3 - 785,35 Karet 15

Suak Puntong 126 606,5 13,41 14,42 - 634,33 Kelapa sawit I 10

Suak Puntong 118 596,6 11,22 14,42 - 622,24 Kelapa sawit II 10

Suak Raya 424 2108,9 8,77 16,26 - 2133,93 Kelapa sawit I 15

Suak Raya 154 735,8 7,22 16,26 - 759,28 Kelapa sawit II 15

Suak Raya 482 1916,7 10,61 119 - 2046,34 Karet 15

Cot Gajah Mati 227 677,9 12,26 0,71 - 690,87 Kelapa sawit I 1

Cot Gajah Mati 240 915,5 12,26 0,71 - 928,47 Kelapa sawit II 1

Cot Gajah Mati 227 670 9,17 123 20,35 822,51 Hutan -

Keterangan: (-) Tidak tersedia data

Hasil kajian menemukan bahwa cadangan karbon yang tersimpan pada berbagai lokasi lahan gambut yang didrainase bervariasi antara 622,24 – 3105,08 ton ha-1. Khusus untuk cadangan yang tersimpan dalam tanah, terlihat bahwa cadangan karbon pada tanah gambut yang tertinggi ditemukan pada lokasi di desa Simpang khususnya penggunaan lahan hutan yaitu sebanyak 2841,70 ton ha-1 dengan ketebalan gambut mencapai > 10 m, sedangkan yang terendah ditemukan pada lokasi di desa Suak Puntong yaitu 596,60 ton ha-1

Apabila dibandingkan cadangan karbon yang tersimpan pada gambut di desa yang sama tetapi penggunaan lahan berbeda terlihat bahwa: a) Di desa Simpang: Urutan ketebalan gambut dan cadangan karbon dari yang paling tinggi sampai yang terendah adalah hutan > semak I > semak II > kebun karet, b) Di desa Suak Raya urutan ketebalan gambut dan cadangan karbon dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah kelapa sawit I > kebun karet > kelapa sawit II, c) Di desa Cot Gajah Mati kelapa sawit II > kelapa sawit I > hutan. Terlihat disini bahwa secara umum cadangan karbon yang tersimpan dalam tanah gambut lebih dipengaruhi oleh lokasi keberadaan lahan dari pada pengaruh penggunaan lahan. Hal ini ditunjukkan oleh data cadangan karbon pada penggunaan lahan hutan di desa Simpang lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya, sedangkan di desa Cot Gajah Mati cadangan karbon pada kebun kelapa sawit lebih tinggi dari lokasi hutan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak selalu cadangan karbon yang tersimpan pada tanah gambut di hutan lebih tinggi dari hutan yang telah dikonversi.

dengan ketebalan gambut 118 cm, jenis penggunaan lahan kebun kelapa sawit. Terlihat jelas bahwa cadangan karbon pada tanah gambut bervariasi berdasarkan ketebalan gambut (Gambar 24), dalam hal ini dengan berbedanya lokasi, ke dalaman gambut juga berbeda. Hooijer et al., (2006) melaporkan bahwa kandungan karbon pada lahan gambut di Asia Tenggara tergantung pada bulk density dan persentase karbon material gambut, yang mana BD dan persentase karbon tersebut bervariasi karena adanya perbedaan lokasi, asal bahan dan tingkat dekomposisi material gambut.

Pada sisi lain kajian ini juga menemukan bahwa, apabila data dari hasil kajian ini dibandingkan dengan dari hasil kajian yang telah pernah dipublikasikan lebih dahulu dari kajian ini yaitu mengenai data ketebalan gambut dan cadangan

karbon di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, menunjukkan bahwa ada perbedaan antara nilai cadangan karbon lahan gambut dari hasil pengukuran atau perhitungan secara langsung dibandingkan dengan metode prediksi. Sebagai contoh, Sofyan dan Wahyunto (2003) mengemukakan bahwa di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam tidak ada ditemukan gambut dengan kriteria ke dalaman ”sangat dalam” (ketebalan 401- 800 cm). Namun kenyataannya, dari kajian ini (pengukuran langsung di lapang) ditemukan ada gambut yang ketebalannya menurut kriteria ”sangat dalam” tersebut yaitu pada lokasi di desa Suak Raya pada jenis penggunaan lahan kelapa sawit I (424 cm), di desa Suak Raya penggunaan lahan karet (482 cm), dan di desa Simpang penggunaan lahan semak belukar I (621 cm), bahkan juga ada ditemukan gambut dengan ketebalan mencapai lebih dari 1000 cm yaitu di desa Simpang jenis penggunaan lahan hutan. Adanya perbedaan hasil pengukuran ketebalan gambut secara langsung (hasil kajian ini) dibandingkan dengan metode interpretasi dari data citra satelit Landsat TM-7 dan citra satelit Landsat MSS (Multi Spectral Scanner, paper print)

berwarna semu (false color) seperti yang digunakan Sofyan dan Wahyunto

(2003), mengindikasikan bahwa pengunaan data citra satelit untuk memprediksi cadangan karbon pada lahan gambut belum sepenuhnya mencerminkan nilai yang representatif (sesuai kondisi di lapangan), khususnya dalam memprediksi ketebalan gambut, sementara data ketebalan gambut merupakan variabel utama untuk menghitung cadangan karbon pada lahan gambut, disamping data bulk density (BD), kadar abu atau persentase karbon (%C-organik), dan luas area.

Apabila dilihat dari distribusi cadangan karbon pada lahan gambut, hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar cadangan karbon ekosistem gambut berada pada material tanah gambutnya (Tabel 9). Berdasarkan data dari Tabel 9 dapat dihitung distribusi cadangan karbon yang tersimpan pada masing-masing lokasi kajian,yaitu perbandingan antara persentase karbon yang tersimpan dalam tanah, biomassa vegetasi yang tumbuh di atasnya dan serasah yang jatuh ke permukaan tanah. Distribusi karbon pada masing-masing lokasi lahan gambut yang didrainase adalah:

1. Di desa Simpang, penggunaan lahan hutan, cadangan karbon secara berurutan adalah 91,52%; 7,61%; 0,55% dan 0,32% berada pada tanah, pohon, semak dan serasah.

2. Di desa Simpang, penggunaan lahan semak belukar I, cadangan karbon 99,75% pada tanah dan 0,65% pada vegetasi semak belukar.

3. Di desa Simpang, penggunaan lahan semak belukar II, cadangan karbonya 98,90% berada pada tanah dan 1,10% pada vegetasi semak belukar.

4. Di desa Simpang, penggunaan lahan karet umur >15 tahun, cadangan karbon 77,30% pada tanah, 21,05% pada pohon karet, dan 1,65% pada semak/gulma. 5. Di desa Suak Puntong, penggunaan lahan kelapa sawit I umur 10 tahun,

cadangan karbon 95,61% pada tanah, 2,27% pada pohon kelapa sawit dan 2,11% pada gulma.

6. Di desa Suak Puntong,penggunaan lahan kelapa sawit II umur 10 tahun, cadangan karbon 95,88% pada tanah, 2,32% pada kelapa sawit dan 1,80% dalam biomassa gulma.

7. Di desa Suak Raya, penggunaan lahan karet umur >15 tahun, cadangan karbon 93,66% pada tanah, 5,82% pada pohon karet dan 0,52% pada biomassa gulma. 8. Di desa Suak Raya, penggunaan lahan kelapa sawit I umur 15 tahun, cadangan

karbon 98,83% dalam tanah, 0,76% pada pohon kelapa sawit dan 0,41% dalam gulma.

9. Di desa Suak Raya, penggunaan lahan kelapa sawit II umur 15 tahun, cadangan karbon 96,91% dalam tanah, 2,14% dalam pohon kelapa sawit, dan 0,95% dalam gulma.

10. Di desa Cot Gajah Mati, penggunaan lahan hutan, cadangan karbon 82,55% dalam tanah, 14,95% pohon, 2,47% serasah dan 1,11% pada semak.

11. Di desa Cot Gajah Mati, penggunaan lahan kelapa sawit I umur 1 tahun, cadangan karbonnya 98,12% dalam tanah, 1,77% dalam gulma, dan 0,10% dalam pohon kelapa sawit.

12. Di desa Cot Gajah Mati, penggunaan lahan kelapa sawit II umur 1 tahun, cadangan karbonnya 98,60% dalam tanah. 1,32% dalam biomassa gulma dan 0,08% pada pohon kelapa sawit.

Menurut Lasco (2002) cadangan karbon tersimpan dalam vegetasi di hutan tropika Asia berkisar antara 40-250 ton C ha-1. Data kajian ini mendukung apa yang dikemukakan Lasco (2002) terebut, yang mana terlihat bahwa cadangan karbon tersimpan pada vegetasi hutan gambut tropika di Aceh berkisar antara 152,51 – 263,38 ton C ha-1 yang diwakili oleh data dari hutan di desa Cot Gajah Mati dan di desa Simpang

Informasi mengenai kerapatan karbon (carbon density) pada lahan gambut juga berguna untuk menduga cadangan karbon pada material gambut tersebut. Yang dimaksud dengan kerapatan karbon pada lahan gambut pada kajian ini adalah total karbon yang terkandung dalam setiap meter kubik (m3

Umumnya kerapatan karbon pada lahan gambut meningkat setelah lahan gambut tersebut didrainase dan/atau dikonversi menjadi penggunaan lainnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai kerapatan karbon pada berbagai lokasi lahan gambut yang didrainase bervariasi dari 28,30 - 57,17 kg C m

) gambut pada kondisi alaminya di lapangan. Nilai rata-rata kerapan karbon gambut pada masing-masing lokasi kajian ini disajikan dalam Tabel.10.

-3

(Tabel 8). Page et al. (2002) menyarankan bahwa nilai 60 kg C m-3 adalah representatif untuk kerapatan karbon (carbon density) gambut di Asia Tenggara, sedangkan hasil penelitian Wahyunto et al. (2010) melaporkan bahwa kerapatan karbon lahan gambut Indonesia pada penggunaan lahan hutan sekunder, semak belukar, tanaman semusim (sawah dan lahan kering), kebun kelapa sawit secara berurutan adalah 27,06 - 94,37 kg m-3, 25,54 – 121,39 kg m-3, 29,13 – 86,23 kg m-3, dan 38,57 – 126,61 kg m-3. Secara umum dari data Tabel 8 terlihat bahwa kerapatan kabon paling rendah ditemukan pada lokasi desa Simpang dan Cot Gajah mati pada jenis penggunaan lahan hutan, kemudian diikuti lokasi di desa Simpang pada jenis penggunaan lahan karet.umur >15 tahun dan tertinggi di lokasi Suak Puntong pada penggunaan lahan kelapa sawit umur >10 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa kerapatan karbon pada lahan gambut yang didrainase

berkaitan dengan penggunaan lahan. Menurut Laiho dan Finér (1996) bahwa

pemadatan gambut juga terjadi karena peningkatan berat dari vegetasi yang tumbuh di atasnya. Dari hasil kajian ini mengindikasikan bahwa konversi hutan gambut menjadi penggunaan lain, khususnya kelapa sawit dan karet nyata

meningkatkan kerapatan karbon, sedangkan pada penggunaan lahan semak belukar belum terjadi perubahan peningkatan kerapatan karbon gambut yang signifikan dibandingkan kondisi hutan (Tabel 10). Berkaitan dengan perubahan kerapatan karbon gambut, Minkkinen dan Laine (1998) melaporkan bahwa setelah 60 tahun lahan gambut didrainase, kerapatan karbonnya meningkat sebesar 26 ± 15 kg m-3

Tabel 10. Kerapatan karbon pada lahan gambut yang didrainase di masing- masing lokasi kajian

Lokasi Kerapatan Penggunaan Umur

karbon lahan tanaman

(kg m

, besarannya tergantung pada: lokasi, unsur hara dan iklim makro.

-3

Simpang 35,45 Karet 15

Simpang 29,27 Semak belukar II -

Simpang 28,51 Semak I -

Simpang 28,42 Hutan -

Suak Puntong 52,17 Kelapa sawit II 10

Suak Puntong 47,00 Kelapa sawit I 10

Suak Raya 49,74 Kelapa sawit I 15 Suak Raya 47,86 Kelapa sawit II 15

Suak Raya 39,69 Karet 15

Cot Gajah Mati 39,42 Kelapa sawit I 1

Cot Gajah Mati 29,22 Hutan -

) (tahun)

Keterangan: (-) Tidak tersedia data umur tanaman.

Proses terjadinya peningkatan kerapatan karbon pada lahan gambut yang didrainase dapat disebabkan oleh beberapa kasus, diantaranya: a) terjadinya

subsidence pada lahan gambut yang didrainase menyebabkan struktur gambut menjadi lebih padat, sehingga meningkatkan BD sekaligus kerapatan karbon gambut (Laiho dan Laine, 1994), b) pemadatan gambut juga terjadi karena peningkatan berat dari vegetasi yang tumbuh di atasnya (Laiho dan Finér, 1996), dan c) peningkatan proses oksidasi pada lapisan gambut yang aerobik akibat drainase juga merupakan salah satu penyebab meningkatnya BD dan sekaligus

kerapatan karbon gambut. Dari hasil analisa regresi linear berganda hubungan antara cadangan karbon dengan ketebalan dan kerapatan karbon gambut, adalah seperti yang diilustrasikan melalui persamaan regresi linier berganda, yaitu:

Cadangan karbon (kg m-2) = -0,88,97 + 31,85 ketebalan gambut (m) + 2,62 kerapatan karbon (kg m-3), dengan nilai R2 = 0,9443

Kehilangan Karbon Dari Lahan Gambut yang Didrainase

1. Kehilangan karbon dari lapisan permukaan lahan gambut yang didrainase