M A S W A R
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ”Kajian Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase untuk Tanaman Tahunan” adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor, Februari 2011 Yang menyatakan
MASWAR. Carbon stock study on drained tropical peat land for parennial crops. Under direction of OTENG HARIDJAJA, SUPIANDI SABIHAM, and MEINE VAN NOORDWIJK
Peat lands are important sinks for atmospheric carbon (C), and current decline of their C stocks represent several percent of global C emissions, contributing to global climate change. It is therefore important to understand the effects of peat land drainage and conversion on the distribution of soil carbon and dynamics of emissions. Tropical peatland occurs in multiple forms and data are limited so far. The study reported here was conducted in West Aceh from May 2008 until October 2009. Peat land characteristics after drainage and conversion were investigated by field observation and laboratory analysis of peat soil samples. Calculations of C stock and C loss were carried out by interpretation data of bulk density (BD), ash content, carbon content and subsidence (changes in peat depth). A pre-study evaluated methods and tools for determining BD and carbon content and found that: a) the commonly used peat auger needs division by a correction factor of 1.136 to convert to the bulk density measured in large soil blocks; b) carbon content (%C) can be derived from the percentage organic matter derived from loss on ignition (LOI) by division by 1.922. A ‘triangulation’ of methods was set up to compare direct CO2 flux measurements in chambers,
calculations based on subsidence rate and change in bulk density and calculations based on differences in ash content (LOI method). Key results of field observation combined with laboratory peat soil analyses were: 1) Location and drainage influences the rates of subsidence, with rates of less than 4 cm/year for some oil palm plantation, rubber agroforests, and drained forest soils, and rates up to 10 cm/year in young oil palm newly drained. 2) the surface structure of the landscape varies over short ranges, making peat depth unattractive as measure of changes in peat C stock, 3) ash content and bulk density of the peat are related, indicating the partial loss of soil C during decomposition and compaction, 4) an “internal tracer” estimate of peat C loss yielded estimates of CO2 flux up to 48 t CO2-eq
per ha per year for young oil palm, highly correlated with the measured rates of subsidence of the surface, 5) an experiment with surface fertilizer application suggest considerable increase in peat C loss (based on increase in ash content and the “internal tracer’ method), 6) the spatial pattern of peat subsidence with increasing distance from the drain differed between oil palm and forest + rubber agroforest, consistent with a direct effect of fertilizer application on CO2 emissions (as microbial activity is N limited at the prevailing high C/N
ratios) beyond the drainage effect alone, 7) the pattern of weight loss of surface litter, measured in litter bags, responded to the inherent quality (C/N) rather than land use, 8) estimate of peat C loss from a documented forest fire were up to 133 t C ha-1 equivalent with 490 t CO2 ha-1. 9) The difference between C accumulation and C loss for rubber agroforests
(>15 year age) on peat, and oil palm agroforests (> 15 year age) on shallow peat indicated have a positive value (C accumulation > C loss). These results support through the triangulation of methods that drainage and fertilization of peat soils increases CO2 emissions
at rates of 30-40 t CO2-eq per ha per year, with higher values in early stages of conversion.
MASWAR. Kajian Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase untuk Tanaman Tahunan. Dibimbing oleh OTENG HARIDJAJA, SUPIANDI SABIHAM, DAN MEINE VAN NOORDWIJK.
Ekosistem gambut berperan sangat penting dalam skala global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat. Disisi lain, ekosistem gambut adalah unik, rapuh dan memiliki sifat tidak dapat diperbaharui. Proses pembentukannya memerlukan waktu ribuan tahun, dan bila terjadi kerusakan, sangat sulit untuk diperbaiki atau bahkan mungkin tidak bisa pulih sama sekali. Luas lahan gambut dunia sekitar 3% dari luas permukaan bumi yakni sekitar 400 juta hektar, namun menyimpan karbon sangat besar yang diperkirakan sebanyak 550 Giga ton, atau setara dengan 75% dari seluruh karbon di atmosfer. Khusus untuk Indonesia yang mewakili daerah gambut tropika, memiliki luas lahan gambut sekitar 265.500 km2, menyimpan cadangan karbon sekitar 54.016 Mega ton. Mengingat cadangan karbon yang besar pada lahan gambut sedangkan ekosistemnya sangat rapuh, maka apabila tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan kehilangan karbon yang banyak, terutama dalam bentuk gas metan (CH4) dan karbon dioksida (CO2
Kajian cadangan, kehilangan dan akumlasi karbon, serta evaluasi terhadap metode dan alat pengukuran bulk density (BD), %C-organik dan emisi CO
) ke atmosfer, sehingga akan semakin meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK).
2 gambut, telah
penggunaan lahan hutan, semak dan kebun karet umur 15 tahun, (2) di desa Suak Raya, jenis penggunaan lahan kelapa sawit dan karet umur 15 tahun, (3) di desa Suak Puntong jenis penggunaan lahan kelapa sawit umur 10 tahun , (4) di desa Cot Gajah Mati jenis penggunaan lahan kelapa sawit umur 1 tahun dan hutan.. Pada kajian pendahuluan telah dilakukan evaluasi terhadap beberapa alat dan metode: a) alat untuk mengambil sampel tanah yaitu: kotak sampel, ring sampel dan bor gambut, b) evaluasi metode penentuan karbon yaitu metode Walkley and Black dan Lost-on-Ignition (LOI), dan c) membandingkan metoda chamber dengan peningkatan kadar abu (metoda LOI) untuk mengestimasi emisi CO2. Untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi kehilangan karbon diperlukan data karakteristik lahan, untuk itu dari sampel tanah dan pengamatan di lapang ditentukan: BD, kadar abu, kadar karbon, ketebalan gambut, subsidence, dalam muka air tanah, kemampuan tanah mengikat air (pF 1,00; 2,00; 2,54; 3,00 dan 4,20), kadar unsur hara (N, P, K, Ca, Mg, Na, Fe, Mn ), pH, kapasitas tukar kation (KTK), salinitas dan respirasi tanah. Pengambilan sampel tanah dan penentuan sifat-saifat tanah di lapang dilakukan dalam satu transek yang mewakili lokasi yang dekat sampai jauh dari saluran drainase. Pengambilan sampel tanah di lapang menggunakan bor gambut tipe setengah silinder dengan kapasitas 500 cm3
Untuk menentukan BD secara efektif dan effisien dapat digunakan bor gambut, namun hasilnya perlu dikoreksi atau dibagi dengan faktor koreksi yaitu 1,136, sedangkan untuk menentukan kandungan bahan organik dan C-organik digunakan metode Loss-on-Ignition (LOI), dengan faktor konversi %bahan-organik menjadi %C-organik adalah 1,922. Hasil uji T-test antara estimasi emisi CO
, mulai dari permukaan sampai lapisan batas dengan tanah mineral.
2
Cadangan karbon tersimpan pada lahan gambut bervariasi antara 622,24 – 3105,08 ton ha
dengan metode chamber dan metode kadar abu (LOI) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
-1
dari saluran drainase permukaan tanah semakin tinggi, muka air tanah semakin dangkal dan subsidence semakin kecil, hubungan antara jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase dengan dalam muka air tanah, tinggi permukaan tanah, subsidence
dan kehilangan karbon secara umum mengikuti pola persamaan logaritmik.
Kehilangan karbon dari permukaan lahan gambut (0-50 cm) yang didrainase, bervariasi antara 0,651 – 13,106 ton C ha-1 th-1 atau setara 2,391 – 48,098 ton CO2 ha -1
th-1
Pengembalian biomassa sisa tanaman ke lahan gambut berpotensi meningkatkan cadangan karbon gambut, yang besarnya berkisar antara 33,2 – 342,3 gr C th
, besarnya variasi kehilangan karbon ini terlihat dipengaruhi oleh perbedaan dalam muka air tanah maksimum, umur saluran, dan manajemen pengelolaan lahan. Kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase berkorelasi positif dengan
subsidence dan kondisi muka air tanah. Kejadian subsidence pada lahan gambut tropika yang didrainase berkisar antara 1,1 – 9,2 cm selama periode waktu 14 bulan, rata-rata 48,13% subsidence disebabkan oleh kehilangan karbon.
-1
dari setiap kg biomassa yang dikembalikan. Namun demikian, disisi lain sebagian biomassa tersebut juga terdekomposisi mengemisikan karbon sebesar 116,7 – 441,0 gr C th-1
Kehilangan karbon akibat pemupukan pada lahan gambut lebih tinggi sekitar 15,3 - 32,1 ton C ha
dari setiap kg biomassa.
-1
atau setara 56,15 – 117,81 ton CO2 ha-1 dibandingkan tanpa
pemupukan. Pada kejadian kebakaran hutan pada lahan gambut yang didrainase mengemisikan karbon berkisar antara 92,16 - 133,38 ton C ha-1 atau setara 338,23 – 489,50 ton CO2 ha-1. Kehilangan karbon terbawa air drainase berkisar antara 70 –
280 gr C m-3
Ditemukan ada indikasi akumulai C lebih besar dari kehilangan C pada kebun kelapa sawit tua (umur > 15 tahun) di lahan gambut dangkal dan kebun karet tua (umur > 15 tahun).
air, tergantung dari debit air saluran dan konsentrasi karbon terlarut.
@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan ataumenyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya boleh untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah,
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
M A S W A R
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Fahmuddin Agus.
Balai Penelitian Tanah Bogor.
2. Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS.
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof (R). Dr. Irsal Las
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor
2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc.
N a m a : M a s w a r
N R P : A.361060021
Program Studi : Ilmu Tanah
Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc.
Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr.
Anggota Anggota
Dr. Meine van Noordwijk
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MSc.
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan HidayahNya untuk dapat menyusun disertasi ini. Tema yang diangkat pada penelitian ini yaitu mengenai cadangan karbon pada lahan gambut tropika, yang mana saat ini telah menjadi pusat perhatian dunia karena sangat besarnya peranan karbon dari lahan gambut tropika terhadap perbaikan dan/atau penurunan kualitas lingkungan global khususnya yang berkaitan dengan emisi gas rumah kaca. Penelitian mengenai perubahan cadangan karbon pada kondisi alaminya merupakan suatu hal yang penting buat kita untuk memahami bagaimana lahan gambut tropika merespon pengaruh antropogenik yang dialaminya.
Pada umumnya sejalan dengan konversi lahan gambut baik untuk usaha pertanian maupun penggunaan lainnya seperti pembuatan jalan selalu diikuti dengan pembuatan saluran drainase untuk pembuangan air. Hal ini merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya instabilitas gambut. Untuk itu, pada penelitian ini kondisi tata air pada lahan gambut yang didraining merupakan prioritas utama yang dipelajari disamping kondisi sifat fisik, kimia dan biologinya dalam kaitannya dengan kehilangan karbon pada gambut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai perbedaan perubahan cadangan karbon pada berbagai pengunaan lahan gambut yaitu: hutan, semak belukar, kebun kelapa sawit dan karet, baik karena dekomposisi bahan organik, kebakaran, pemupukan dan hanyut terbawa air dainase.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc. sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr., dan Dr. Meine van Noordwijk sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, motivasi dan saran serta dukungannya untuk kesempurnaan kajian ini.
kepada Bapak Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi., sebagai ketua Program Studi Ilmu Tanah, Bapak Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS., sebagai penguji luas komisi pada sidang ujian tertutup, Bapak Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc., dan Bapak Prof (R) Dr. Ir. Irsal Las sebagai penguji luar komisi pada sidang ujian terbuka.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada ICRAF yang telah bersedia untuk menyediakan dana dan dukungan untuk terlaksananya penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Badan LITBANG Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan Pascasarjana (S.3) dan sekaligus memberikan beasiswa. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada SPs-IPB atas semua fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menjalani Program Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Abak Bahar Dj (Alm) dan Mamak Rosna dan Ibuk Mertua Hasanur atas segala do’a dan dukungan beliau pada penulis. Khusus untuk isteri tercinta Helfianty yang dengan penuh kesabaran dan tabah selalu memotivasi dan mendoakan penulis untuk selalu berbuat yang terbaik dan maksimal, juga kepada anak-anak Alvin Al Asyraf Maswar, Arifin Al Amiri Maswar, Aqil Al Ahnaf Maswar dan Amirah Amanina Maswar yang selalu menjadi inspirasi bagi penulis untuk berbuat yang terbaik.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis uraikan satu per satu, disampaikan terima kasih. Semoga hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman/acuan bagi pengelolaan dan konservasi lahan gambut yang telah terlanjur dikonversi.
Bogor, 4 Februari 2011 Penulis
Penulis dilahirkan di Kayutanam, Kabupaten Padang Pariaman 27 Mei 1962 sebagai anak kedua dari pasangan Alm.H. Bahar Dj dan Hj. Rosna. Pendidikan SD diselesaikan pada tahun 1974 dari SDN 8 Pariaman, SMP tamat pada tahun 1977 dari SMPN 1 Pariaman, SMA tamat tahun 1981 dari SMAN Pariaman. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian Universitas Andalas (UNAND) Padang, lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1998, penulis diterima sebagai GRA (Graduate Assistance) pada kerjasama antara University Putra Malaysia dengan CIFOR malaksanakan penelitian “Rehabilitation of degraded log over forests” guna melanjutkan studi jenjang Master (S.2), meraih gelar Master of Agricultural Science (M. Agric. Sc.) bidang Soil Physics and Conservation, pada Universiti Putra Malaysia, 43400 UPM Serdang, Selangor DE, Malaysia tahun 2000. Pada bulan September 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah pada Sekolah Pascasarjana Institut Prtanian Bogor (SPs-IPB). Beasiswa pendidikan pascasarjana (S.3) diperoleh dari Badan LITBANG Pertanian.
Pada tanggal 5 Februari 1993 penulis menikah dengan Helfianty, dan dikaruniai empat orang anak yakni: Alvin Al Asyraf Maswar (2 Desember 1993), Arifin Al Amiri Maswar (24 November 1995), Aqil Al Ahnaf Maswar (11 Mei 2002) dan Amirah Amanina Maswar (4 Juli 2005).
Penulis bekerja sebagai peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor semenjak tahun 1992 sampai sekarang. Pengalaman penelitian: Sebagai site koordinator dan peneliti pada ”Penelitian Terapan Sistim DAS Kawasan Perbukitan Kritis di Yogyakarta” tahun 1992 - 1997. Sebagai peneliti pada penelitian “Rehabilitation of Logged-over Tropical Forest Ecosystem” di Pasoh Forest Reserve, Negeri Sembilan, Peninsular Malaysia (kerjasama penelitian antara UPM Malaysia dengan CIFOR) tahun 1998 - 2000. Sebagai peneliti pada kegiatan “Alternative to Slash and Burn (ASB) in SE Asia, Phase-3 tahun 2001 - 2004. Sebagai peneliti pada kerjasama penelitian antara ASEAN-Jepang dengan topik ”Multifunctionality of Agrculture” tahun 2004 - 2006. Telah mempublikasikan beberapa karya ilmiah dalam bahasa Indonesia dan Inggris, baik sebagai penulis utama maupun co-author.
Halaman
DAFTAR TABEL……….. xxiii
DAFTAR GAMBAR………... xxv
DAFTAR LAMPIRAN... xxvii
PENDAHULUAN………. 1
Latar Belakang……….…... 1
Rumusan Masalah dan Kerangka Pikir Penelitian... 4
Tujuan penelitian.………... 8
Manfaat Penelitian……….………. 8
Hypotesis Penelitian………... 9
Kebaharuan Penelitian……… 9
TINJAUAN PUSTAKA……….... 11
Definisi, Proses Pembentukan, dan Pengelompokan Gambut………… 11
Definisi gambut………. 11
Proses pembentukan gambut………. 12
Pengelompokan gambut………. 14
Sifat-sifat Tanah Gambut………... 16
Pemanfaatan Lahan Gambut di Indonesia………. 16
Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut... 18
Pengaruh Pola dan Dimensi Saluran Drainase... 19
Emisi dan Kehilangan Karbon Dari Lahan Gambut………. 20
Pemanasan Global dan Karbon Lahan Gambut... 22
Interaksi Antara Karbon, Mikro Organisme dan Unsur Hara... 24
METODOLOGI PENELITIAN……… 27
Waktu dan Lokasi Penelitian .……….. 27
Metode Penelitian……….. 27
Tahapan Penelitian……… 28
Deskripsi Lokasi Penelitian ……….. 30
Penentuan Lokasi Titik Pengamatan ……… 35
Peralatan Penelitian……….……….. 35
xx
Pengukuran cadangan karbon dan karakteristik lahan
gambut tropika yang didrainase... 39 Kajian kehilangan karbon dari berbagai penggunaan lahan
gambut yang didrainase………... 43
1.Kehilangan karbon pada permukaan lahan gambut pada masing-masing lokasi dan faktor yang
mempengaruhinya……… 43
2.Pengamatan kehilangan karbon akibat pemupukan.... 45
3.Pengamatan kehilangan karbon akibat dekomposisi
biomasa tanaman... 46
4.Pengamatan kehilangan karbon akibat kebakaran
hutan... 47
5.Pengamatan kehilangan karbon terbawa air drainase.. 48
HASIL DAN PEMBAHASAN... 49
Evaluasi Metode Pengukuran Karbon Tersimpan Pada Lahan
Gambut... 49
1. Evaluasi metode pengukuran bulk density (BD) lahan
gambut... 49 2. Evaluasi metode pengukuran kandungan karbon gambut... 52 3. Evaluasi metoda pengukuran emisi
CO
55
2………
Karakteristik Lahan Gambut yang Didrainase... 57
1.Keadaan umum saluran drainase pada masing-masing lokasi
Kajian... 57
2.Keragaan transek dalam muka air tanah dan permukaan tanah
berdasarkan jarak dari saluran drainase... 59
3.Karakteristik bulk density, kadar abu dan karbon pada lahan
gambut yang didrainase... 66 Cadangan Karbon Pada Berbagai Kondisi Lahan Gambut Tropika
yang Didrainase... 71 Kehilangan Karbon Dari Lahan Gambut yang Didrainase... 78
1. Kehilangan karbon dari lapisan permukaan lahan gambut
yang didrainase dan faktor-faktor yang mempengaruhinya... 78 a. Rata-rata kehilangan karbon dari lapisan permukaan
lahan gambut yang didrainase... 78
b. Karakteristik lahan yang berkaitan erat dengan kehilangan karbon pada permukaan gambut yang
didrainase... 84
2. Kehilangan karbon dari dekomposisi biomasa pada berbagai
penggunaan lahan gambut yang didrainase... 93
3. Kehilangan karbon akibat pemupukan pada lahan gambut... 99
xxi
drainase... 108
Perbedaan Antara Kehilangan dan Akumulasi Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase Untuk Tanaman Tahunan... 109
PEMBAHASAN UMUM... 113
KESIMPULAN DAN SARAN... 129
Kesimpulan... 129
Saran... 130
DAFTAR PUSTAKA... 133
xxiii
No Halaman
1. Daftar kebutuhan air tanaman yang diusahakan di lahan gambut... 17
2. Ringkasan dari perbedaan jenis-jenis respirasi mikro organisme dan kaitannya dengan potensial redoks... 25
3. Lokasi kajian berdasarkan penggunaan lahan dan wilayah
administrative……… 29
4. Peralatan yang digunakan selama kajian di lapangan... 36
5. Sifat-sifat tanah yang diamati dan metode pengukurannya... 40
6. Matrik korelasi nilai BD tanah gambut dengan penggunaan alat kotak sampel 1 dengan kotak sampel 2, ring sampel, dan bor
gambut khusus... 50
7. Hasil uji T-test rata-rata nilai emisi CO2 berdasarkan pengukuran
metoda chamber dan metoda LOI... 55
8. Nilai hasil prediksi emisi CO2 antara metoda chamber (fluks CO2)
dan metoda LOI (peningkatan kadar abu)... 56
9. Ketebalan gambut dan distribusi cadangan karbon di
masing-masing lokasi kajian pada kondisi bulan Agustus tahun 2009... 72 10. Kerapatan karbon pada lahan gambut yang didrainase di
masing-masing lokasi kajian... 77
11. Rata-rata kehilangan karbon dari ketebalan gambut 50 cm dan prediksi emisi CO2 pada berbagai kondisi gambut tropika yang
didrainase ... 78
12. Bentuk hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan kehilangan karbon... 83
13. Nilai koefisien korelasi antara kehilangan karbon dengan karakteristik lahan... 85
14. Rata-rata nilai kehilangan karbon dan subsidence serta rata-rata kontribusi kehilangan karbon terhadap subsidence pada berbagai
penggunaan lahan gambut yang didainase... 87
15. Hasil analisa hubungan kehilangan karbon dengan karakteristik lahan pada lahan gambut yang didrainase menggunakan prosedur
stepwise... 88
xxiv
18. Kadar karbon dan nilai C/N awal serta berat biomasa yang tersisa pada periode waktu 0, 6 dan 14 bulan setelah proses dekomposisi
berlangsung... 94
19. Kehilangan biomasa selama 14 bulan proses dekomposisi dan besarnya emisi karbon atau gas CO2 dari setiap kilo gram biomasa. 98
20. Rata-rata nilai BD dan kadar abu pada plot yang diberi pupuk dan
tanpa pupuk 8 bulan setelah pempukan... 99
21. Hasil uji T-test berpasangan terhadap nilai persentase abu, BD dan
berat abu antara plot dipupuk dengan tanpa dipupuk... 100
22. Perbandingan BD, %kadar abu, dan kandungan abu antara hutan alami dengan hutan terbakar di desa Simpang dan desa Cot Gajah Mati pada ketebalan permukaan gambut 5 cm... 104
23. Hasil uji T-tes rata-rata berat abu pada permukaan tanah pada hutan alami dan hutan terbakar di desa Simpang dan desa Cot Gajah Mati... 105
24. Debit air saluran drainase dan konsentrasi karbon dalam air pada beberapa lokasi lahan gambut yang didrainase... 109
25. Perbedaan antara kehilangan dan akumulasi karbon pada
xxv
No Halaman
1. Kerangka pemikiran dinamika karbon pada lahan gambut yang
didrainase untuk tanaman tahunan………... 7
2. Emisi CO2 dari lahan gambut berdasarkan Negara pada tahun 2008... 21
3. Perobahan konsentrasi CO2 di atmofir di Mauna Loa selama periode
waktu 50 tahun (1960 – 2010). Sumber: Dr. Pieter Tans, NOAA/ESRL
... 23
4. Bagan alir tahapan penelitian………... 28
5. Peta tanah dan lokasi kajian dilaksanakan... 30
6. Bentuk hubungan antara hasil pengukuran bulk density menggunakan kotak sampel 1 dengan kotak sampel 2, ring dan bor... 50
7. Hubungan antara hasil pengukuran %C-organik metode LOI dengan %bahan organik metode Walkley dan Black... 52
8. Kondisi saluran drainase di masing-masing lokasi kajian... 57
9. Telaga (suak) di pinggir pantai tempat terakumulasinya air drainase dari lahan gambut... 58
10. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian hutan di desa Simpang... 59
11. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian semak belukar I di desa Simpang... 60
12. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian semak belukar II di desa Simpang... 60
13. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun karet di desa Simpang... 60
14. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit I di desa Suak Puntong... 61
xxvi
kajian kebun kelapa sawit I di desa Suak Raya... 61
17. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit II di desa Suak Raya... 62
18. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun karet di desa Suak Raya... 62
19. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati... 62
20. Rata-rata nilai Bulk Desity (BD) dan kadar abu pada setiap 50 peningkatan ketebalan gambut... 67
21. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan gambut fibrik... 69
22. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan gambut hemik... 69
23. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan
gambut saprik + gambut tercampur bahan mineral (peaty mineral) ... 69
24. Hubungan antara ketebalan gambut dengan cadangan karbon yang tersimpan di dalamnya... 71
25. Hubungan antara subsidence dengan kehilangan karbon... 86
26. Keragaan masing-masing biomasa yang tertinggal setelah 14 bulan terdekomposisi... 96
27. Bentuk hubungan antara rasio C/N dengan berat biomasa yang tersisa setelah 6 dan 14 bulan proses dekomposisi berjalan... 97
28. Keragaan kondisi hutan alami dan kondisi hutan setelah terbakar... 108
29. Diagram pencar hubungan antara dalam muka air tanah maksimum
xxvii
No Halaman
1. Legenda land unit kabupaten Aceh Barat……... 142
2. Koordinat geografis titik pengamatan... 144
3. Tingkat kematangan gambut pada profil gambut di berbagai lokasi
kajian………... 145
4. Data cadangan dan kehilangan karbon dan sifat-safat tanah pada semua land use kajian... 146
5. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian hutan di desa Simpang... 151
6. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian semak I di desa Simpang... 151
7. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada penggunaan lahan semak II di desa Simpang... 151
8. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun karet I di desa Simpang... 152
9. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati... 152
10. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun karet di desa Suak Raya... 152
11. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun kelapa sawit I di desa Suak Raya... 153
12. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kelapa sawit II di desa Suak Raya. 153
13. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kelapa sawit I di desa Suak Puntong... 153
14. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun kelapa sawit II di desa Suak Puntong... 154
15. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada lokasi hutan di desa Simpang... 154
16. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada lokasi semak I di desa Simpang... 154
17. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
xxviii
19. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada lokasi kelapa sawit I di desa Suak Puntong... 155
20. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada lokasi kelapa sawit II di desa Suak Puntong... 156
21. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada lokasi karet di desa Suak Raya... 156
22. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada lokasi kelapa sawit I di desa Suak Raya... 156
23. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada lokasi kelapa sawit II di desa Suak Raya... 157
24. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Cot Gajah Mati... 157
Latar Belakang
Ekosistem gambut mempunyai peranan yang sangat penting dalam skala
global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat karena
menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai
air, menyimpan karbon, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati
dengan berbagai jenis flora dan fauna langka yang hanya ada dijumpai pada
ekosistem ini (Roulet, 2000; Zhang et al., 2002; Chmura et al., 2003; Sudip et al.,
2005; Sanderson et al., 2006). Disisi lain, ekosistem gambut sangat unik, rapuh
dan memiliki sifat tidak dapat diperbaharui, proses pembentukannya memerlukan
waktu ribuan tahun, bila terjadi kerusakan, sangat sulit untuk diperbaiki atau
bahkan tidak bisa pulih sama sekali.
Luas lahan gambut dunia hanya sekitar 3% dari luas permukaan bumi
yaitu sekitar 400 juta hektar (Joosten dan Clarke, 2002; Global Peatlands
Initiative, 2002); Hooijer et al., 2006), namun menyimpan karbon yang sangat
banyak yakni diperkirakan sebanyak 550 Giga ton, atau setara dengan 75% dari
seluruh karbon di atmosfer (Alex dan Joosten, 2008; Joosten, 2009). Menurut
Joosten (2009) khusus untuk Indonesia yang mewakili daerah gambut tropika,
memiliki luas lahan gambut ketiga terluas di dunia setelah Rusia dan Kanada
yakni sekitar 265.500 km2, jumlah ini sekitar 14% dari luas daratan Indonesia atau
lebih dari setengah dari luas gambut yang berada di daerah tropika, dan
berdasarkan data kondisi tahun 2008 gambut Indonesia menyimpan cadangan
karbon juga peringkat tiga terbesar di dunia (setelah Kanada dan Rusia) yakni
sekitar 54.016 Mega ton. Mengingat cadangan karbon yang besar pada lahan
gambut sedangkan ekosistemnya sangat rapuh, maka apabila tidak dikelola
dengan baik akan menyebabkan kehilangan karbon yang banyak, terutama dalam
bentuk gas metan (CH4) dan karbon dioksida (CO2
Salah satu sumber yang berkontribusi besar terhadap peningkatan CO ) ke atmosfer sehingga
semakin meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK).
2 di
atmosfer akhir-akhir ini adalah berasal dari emisi karbon dari proses dekomposisi
dan/atau kebakaran gambut, akibat dari aktivitas alih guna (konversi) hutan dan
ekosistem gambut tropika yang diwakili oleh Indonesia dan Malaysia misalnya,
kehilangan karbon akibat oksidasi dari permukaan lahan gambut yang didrainase
rata-rata sebesar 65 ton CO2 ha-1 th-1 (Hooijer et al., 2006).
Meski memiliki fungsi strategis, namun alih fungsi atau reklamasi lahan
gambut untuk dijadikan lahan pertanian maupun pemukiman serta untuk
infrastruktur lainnya telah terjadi semenjak beberapa dekade terakhir dan masih
terus berlangsung sampai sekarang. Sebagai gambaran telah terjadi konversi
dan/atau pembuatan drainase terhadap lahan gambut dunia dapat dilihat dari
laporan Alex dan Joosten (2008) yang mana seluas 65 juta hektar lahan gambut
dunia telah didrainase, dan telah mengemisikan CO2 sebanyak 3 Giga ton per
tahun. Khusus untuk Indonesia, menurut Hooijer et al.(2006) selama periode 1985
– 2000 sebanyak 20% atau rata-rata sebesar 1,3% per tahun hutan gambut alami
telah ditebang dan/atau dikonversi untuk penggunaan lain, dan berdasarkan data
konsesi Indonesia, menunjukkan bahwa 27% dari luas area konsesi untuk kelapa
sawit dan hutan tanaman industri (HTI) berada pada lahan gambut, rinciannya
adalah 28.009 km2 untuk perkebunan kelapa sawit dan 19.923 km2
Pemanfaatan lahan gambut untuk komuditi tanaman tahunan (pertanian
atau perkebunan dan hutan tanaman industri) mengharuskan adanya saluran
drainase atau kanal untuk meningkatkan ketersediaan oksigen bagi akar supaya untuk HTI.
Bentuk lain dari aktivitas konversi hutan gambut alami Indonesia yang
telah menyebabkan degradasi lahan adalah, setelah pembuatan drainase
dilanjutkan dengan penebangan hutan, kayu-kayu dibawa keluar dari kawasan
hutan melalui saluran-saluran drainase, selanjutnya lahan dibiarkan terlantar
sehingga ditumbuhi oleh semak belukar. Kasus seperti ini banyak ditemui
dibeberapa tempat di pulau Sumatera dan Kalimantan, seperti yang dikemukakan
oleh Ardjakusuma et al. (2001) bahwa di Kalimantan Tengah banyak dijumpai
lahan bongkor yaitu lahan gambut yang terdegradasi (rusak) dan
dibiarkan/ditinggalkan oleh pengelolanya, sehingga menjadi lahan tidur. Pada
awal kajian ini dilaksanakan (pra penelitian) kondisi yang hampir sama dengan di
Kalimantan Tengah juga terjadi di kabupaten Aceh Barat, propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam yang mana banyak lahan gambut setelah hutanya ditebang
tanaman bisa tumbuh dan berkembang dengan baik (Hooijer et al., 2006).
Pembuatan drainase menyebabkan penurunan muka air tanah, akibatnya terjadi
perubahan kondisi lingkungan dari anaerob menjadi aerob pada lapisan dekat
permukaan gambut, sehingga meningkatkan kehilangan karbon melalui proses
dekomposisi gambut (Chimner dan Cooper, 2003). Dalam kondisi seperti ini, jelas
bahwa konsekwensi logis dari pembuatan drainase adalah menyebabkan
terjadinya peningkatan kehilangan karbon terutama dalam bentuk: emisi CO2
Penanaman tanaman tahunan pada lahan gambut yang didrainase seperti
kelapa sawit, karet dan HTI sebenarnya juga dapat meningkatkan cadangan
karbon, karena dalam proses pertumbuhan yang simultan selama proses
fotosintesis tanaman mengabsorpsi CO
ke
atmosfer, dan hanyutnya karbon terlarut (disolved organik carbon) bersama aliran
air drainase yang keluar dari lahan gambut.
Berbagai aktivitas pengelolaan lahan pertanian pada lahan gambut setelah
pembuatan drainase, seperti pembakaran semak dan sisa-sisa tanaman di atas
permukaan gambut, praktek pengolahan tanah dan pemupukan juga dapat
meningkatkan laju kehilangan karbon. Hal ini menunjukkan bahwa dampak lebih
lanjut yang terjadi setelah pengembangan sistim drainase di lahan gambut adalah
penurunan permukaan tanah (subsidence) karena hilangnya gambut dan proses
pemadatan. Berkaitan dengan hal ini, Limin et al. (2000) melaporkan bahwa
besarnya penurunan permukaan lahan gambut tropika di daerah Kalampangan
(eks UPT Bereng Bengkel) berkisar antara 1-3 cm per tahun.
2 dan menyimpannya sebagai materi
organik dalam biomassa tanaman. Berkaitan dengan hal ini, Agus (2007)
memperkirakan bahwa jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam
kurun waktu 15 sampai 25 tahun akan terjadi penambatan (sequestration) karbon
sekitar 100 ton/ha. Dalam jangka panjang ranting, daun dan bahan-bahan tanaman
lain yang jatuh ke permukaan tanah juga dapat menyimpan karbon sampai
terdekomposisi namun disisi lain, menurut hasil study oleh Dr. Susan Page
University of Leicester yang dipublikasikan oleh Hooijer et al. (2006) dan
Mongabay.com (2009)selama siklus berproduksi kelapa sawit yaitu lebih dari 25
telah mengemisikan sebanyak 15 - 70 ton CO2
Diperkirakan untuk masa yang akan datang lahan gambut Indonesia akan
lebih cepat terdegradasi, karena pada proses reklamasi lahan gambut untuk
budidaya pertanian dan perkebunan khususnya untuk tanaman tahunan selalu
diawali dengan pembuatan drainase, penyiapan lahan (land clearing) dan
persiapan lahan untuk komoditas tanaman tertentu. Adanya proses usikan selama
aktivitas reklamasi dan pengelolaan lahan gambut yang meliputi: pengeringan yang berasal dari dekomposisi
gambut dan pembakaran pada proses land clearing.
Dari berbagai data atau informasi yang dipublikasikan oleh beberapa stake
holder saat ini terlihat bahwa kegiatan konversi hutan gambut di daerah tropika
menjadi bentuk penggunaan lain yang diikuti dengan pembuatan saluran drainase
telah menyebabkan kehilangan karbon yang sangat besar dan berkontribusi sangat
besar pula terhadap emisi GRK dan perubahan iklim global. Untuk
meminimumkan dampak dari aktivitas pengelolaan lahan gambut tropika, maka
perlu adanya upaya atau tindakan nyata yang dapat mendorong penurunan laju
kehilangan atau emisi karbon dari lahan gambut yang telah terlanjur dikonversi
dan/atau didrainase. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah Indonesia telah
meresponnya dengan mencanangkan target penurunan emisi GRK Indonesia
sebesar 26 persen sampai tahun 2020. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden
Republik Indonesia pada pertemuan perubahan iklim PBB yaitu Confrence of the
Parties (COP-15) di Kopenhagen pada tanggal 7-18 Desember 2009.
Rumusan Masalah dan Kerangka Pikir Penelitian
Dalam beberapa dasawarsa mendatang, lahan gambut Indonesia
diperkirakan akan terus menjadi semakin terancam, karena dikonversi untuk
dijadikan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan infrastruktur lainnya. Hal
ini didasarkan pada pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian bukanlah
hal yang baru bagi Indonesia, secara tradisional masyarakat lokal telah lama
memanfaatkan lahan gambut untuk usaha pertanian dalam skala kecil. Bahkan
pada tahun 2008 pemerintah Indonesia telah memberi izin lagi pengembangan
lebih dari 2 juta hektar lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit (Rhett,
atau drainase, pembersihan dan/atau pembakaran, pengolahan tanah, serta
pemupukan, merupakan faktor-faktor yang dapat mempercepat degradasi gambut.
Pada pengembangan lahan gambut tropika yang didrainase untuk usaha
tanaman tahunan, pada proses keberlanjutan hidupnya tanaman menyerap karbon
dalam bentuk CO2
Permasalahan dalam mengevaluasi dinamika karbon pada lahan gambut
tropika saat ini adalah belum tersedianya metoda dan alat yang representatif.
Sebagai contoh, selama ini perhitungan cadangan dan/atau kehilangan karbon
pada lahan gambut tropika lebih banyak dilakukan dengan metode prediksi dan
bahkan lebih banyak menggunakan data asumsi, bahkan metode yang digunakan
banyak mengadopsi dari metode yang umum bukan motode yang spesifik untuk
gambut tropika. Data utama yang diperlukan untuk mengestimasi cadangan, dari atmosfer yang diperlukan dalam proses fotosintesis.
Karbon yang diserap ini kemudian diubah menjadi karbohidrat yang selanjutnya
disebarkan ke seluruh bagian jaringan tumbuhan dan selanjutnya ditimbun dalam
bentuk akar, daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses pengambilan dan
penyimpanan karbon oleh tanaman ini merupakan bagian dari siklus karbon yang
berperan penting dalam keseimbangan karbon, hal ini semestinya juga perlu
dipertimbangkan sebagai sisi positif dalam pengelolaan lahan gambut tropika
yang telah terlanjur didrainase.
Berdasarkan pada data dan informasi yang telah dikemukakan, tergambar
bahwa pada proses konversi lahan gambut tropika khususnya untuk tanaman
tahunan terjadi dinamika karbon yang sangat komplek. Untuk itu, perlu adanya
kajian ilmiah yang komprehensif meliputi berbagai aspek yang terkait dengan
dampak konversi dan/atau pembuatan drainase pada lahan gambut tropika,
khususnya aspek yang berkaitan dengan dinamika karbon. Dari hasil kajian
ilmiah yang komprehensif khususnya yang berkaitan dengan dampak manajemen
pengelolaan lahan terhadap dinamika karbon dan karakteristik gambut, diharapkan
dapat diperoleh informasi akurat dan realistis yang dibutuhkan untuk upaya
mereduksi kehilangan karbon dan sekaligus mengkonservasi lahan gambut
tropika, sehingga dalam pengelolaan lahan gambut tropika pada masa mendatang
tidak lagi mengulangi kesalahan pada masa lalu, dan tidak lagi menjadi pro dan
kehilangan dan dinamika karbon pada lahan gambut adalah: karakteristik fisik,
kimia dan bologi gambut yang meliputi antara lain: ketebalan gambut, kerapatan
dan/atau bulk density (BD), kandungan karbon dan/atau kadar abu, biomassa
tumbuhan yang tumbuh di atasnya, sistim drainase, kecepatan dekomposisi bahan
gambut dan biomassa tumbuhan yang gugur, serta model pertumbuhan tanaman.
Dalam hal ini dalam mengevaluasi karakteristik gambut tropika diperlukan pula
metoda dan/atau alat yang representatif serta spesifik untuk gambut tropika.
Untuk mengestimasi kehilangan karbon lahan gambut selama ini biasanya
digunakan dua metode yang umum yaitu pengukuran tingkat penurunan
permukaan gambut (subsidence rate) dan pengukuran langsung fluks gas. Dalam
metode subsidence, sebenarnya tidak seluruh gambut yang menyebabkan
subsidence tersebut hilang, karena subsidence merupakan kombinasi dari
kehilangan karbon dan proses pemadatan gambut. Apabila menggunakan metode
pengukuran fluks gas misalnya CO2 untuk mengestimasi kehilangan karbon
gambut tropika, masalahnya ada pada keterbatasan kondisi lokasi dan waktu yang
sempit. Pada kajian ini kondisi lahan gambut yang digunakan sebagai kajian
sudah didrainase yang menyebabkan sebagaian material gambut dalam kondisi
aerob, maka diasumsikan bahwa terdekomposisinya material gambut karena
kondisi aerob tersebut akan menyisakan bahan mineral (kadar abu) dan
terkonsolidasi pada lahan tersebut. Berdasarkan hal ini, adanya peningkatan atau
perbedaan kadar abu (kandungan mineral) pada lahan gambut dapat dijadikan
sebagai data/informasi untuk memprediksi kehilangan karbon, baik karena proses
dekomposisi maupun kebakaran.
Alasan utama kenapa lahan gambut tropika yang dipilih sebagai obyek
dari kajian ini adalah karena lahan gambut tropika dapat berperan sebagai
penyerap/penyimpan karbon (sink) maupun pengemisi karbon (source), yang
mana kedua hal ini sangat penting bagi keseimbangan ekologi. Khusus untuk
gambut tropika di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam akhir-akhir ini telah
mengalami tekanan yang sangat besar untuk dikonversi. Hal ini terlihat dari
semakin banyak areal gambut yang telah dibuat drainase. Sementara itu, belum
ada terlihat upaya atau kajian untuk mengkonservasi kelestarian ekosistemnya.
Tujuan Penelitian
Dari uraian yang diungkapkan dalam latar belakang, disusun beberapa
tujuan penelitian yaitu:
1. Mengevaluasi metode dan alat untuk mengestimasi kandungan karbon tanah
gambut tropika.
2. Mengevaluasi karakteristik lahan dan/atau sifat-sifat gambut tropika yang
didrainase.
3. Menghitung cadangan karbon tersimpan pada lahan gambut tropika yang
dikembangkan untuk tanaman tahunan.
4. Mengevaluasi berbagai bentuk kehilangan karbon pada lahan gambut tropika
yang didrainase untuk tanaman tahunan
Manfaat Penelitian
Data ataupun kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian ini dapat
dimanfaatkan sebagai/untuk:
1. Hasil evaluasi terhadap metode dan/atau alat penentuan karbon gambut dapat
digunakan untuk mengkoreksi informasi/data yang berkaitan dengan karbon
pada lahan gambut tropika, dan acuan buat penelitian dinamika karbon pada
lahan gambut tropika untuk masa yang akan datang.
2. Informasi mengenai dampak drainase terhadap karakteristik lahan berguna
untuk manajemen pegelolaan tata air pada lahan gambut.
3. Informasi mengenai cadangan dan kehilangan karbon pada berbagai kondisi
lahan gambut, berguna sebagai acuan dalam memperkirakan umur guna lahan
dan tindakan konservasi yang tepat terhadap lahan tersebut.
4. Informasi mengenai bentuk-bentuk kehilangan karbon dari lahan gambut
dapat dijadikan dasar acuan dalam upaya mereduksi kehilangan karbon dan
emisi gas rumah kaca (GRK), khususnya untuk acuan kebijakan yang
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Berbagai metode dan/atau alat yang digunakan untuk menentukan kandungan
karbon tanah gambut memberikan nilai kandungan karbon yang beberbeda.
2. Pada lahan gambut yang didrainase ke dalaman muka air tanah dan jarak dari
saluran drainase dominan mempengaruhi karakteristik lahan.
3. Lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan dan jenis vegetasi
menyimpan cadangan karbon yang berbeda.
4. Semakin banyak material gambut dalam kondisi aerob atau semakin dalam
muka air tanah, dan semakin subur lahan, menyebabkan semakin banyak
material gambut yang terdekomposisi, sehingga kehilangan karbon dan
subsidence juga semakin besar.
Kebaruan Penelitian
Kebaruan yang dapat diajukan dari kajian ini adalah:
1. Kajian ini menginformasikan nilai konstanta yang representatif untuk: a)
mengkonversi nilai kandungan bahan organik menjadi kandungan C-organik
atau sebaliknya untuk tanah gambut tropika, b) konstanta yang relevan untuk
mengkoreksi data hasil pengukuran Bulk density (BD) tanah gambut
menggunakan ring sampel atau bor gambut (yang umum digunakan selama
ini).
2. Kajian ini menginformasikan nilai cadangan karbon yang tersimpan pada
lahan gambut berdasarkan data kondisi aktual fisik gambut di lapangan.
3. Kajian ini mempermudah prediksi kehilangan karbon pada lahan gambut
khususnya karena dekomposisi material gambut ataupun karena proses
terbakarnya lahan gambut, yaitu dengan menggunakan data kadar abu dari
hasil metode Loss on Ignition (LOI).
4. Kajian ini menginformasikan data nilai kehilangan karbon yang spesifik
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi, Proses Pembentukan, dan Pengelompokan Gambut
Definisi gambut
Gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan
komposisi lebih dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu
ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat
proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Setiap lahan gambut
mempunyai karakteristik yang berbeda tergantung dari sifat-sifat dari badan alami
yang terdiri dari sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam sedimen di
bawahnya, yang akan menentukan daya dukung wilayah gambut, menyangkut
kapasitasnya sebagai media tumbuh, habitat biota, keanekaragaman hayati, dan
hidrotopografi (Menteri Pertanian, Peraturan Nomor: 14/Permentan/PL.110/2/
2009). Di dalam bidang ilmu taksonomi tanah, gambut dikenal dengan istilah
‘Histosols’, atau yang populer dalam bahasa Inggris disebut sebagai peat. Istilah
‘gambut’ sendiri diserap dari bahasa daerah
kecamatan di Kalimantan Selatan (Sabiham, 2006).
Menurut Soil Survey Staff (2010) tanah organik (Histosols) adalah tanah
yang:
1. Mempunyai bahan tanah organik mulai dari permukaan ke salah satu berikut:
a. Kedalaman 10 cm atau kurang dari kontak litik atau paralitik, asalkan
ketebalan bahan tanah organik lebih dari dua kali ketebalan tanah mineral
di atas kontak tersebut; atau
b. Kedalaman seberapapun apabila bahan tanah organik berada di atas bahan
fragmen (kerikil, batu, kerakal) dan celah-celahnya terisi oleh bahan tanah
organik, atau berada diatas kontak litik atau paralitik; atau
2. Mempunyai bahan organik yang memiliki batas atas di dalam kedalaman 40
cm dari permukaan; dan
(1) 60 cm atau lebih, bila tiga perempat bagian atau lebih volumenya
adalah serat, atau bulk density kurang dari 0,1 gr cm-3 (6,25 pon per
kaki kubik); atau
(2) 40 cm atau lebih, bila:
(a) Bahan tanah organik jenuh air dalam waktu lama (lebih dari 6
bulan) atau telah didrainase; dan
(b) Bahan organik terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau terdiri dari
bahan fibrik yang kurang dari tiga perempat bagian volumenya
adalah serat dan bulk density 0,1 gr cm-3
Lahan gambut terbentuk karena pada kondisi alami akumulasi bahan
organik lebih besar dari laju dekomposisisinya sehingga terjadi penumpukan
bahan organik (Roulet, 2000; Zhang et al., 2002; Chmura et al., 2003; DeBusk
dan Reddy, 2003). Menurut Keddy (2000) diantara ekosistem yang ada di bumi
ini, ekosistem lahan basah atau gambut adalah sistim yang paling produktif dalam
menyerap karbon dari atmosfer yakni mencapai 1300 gr C m
atau lebih; dan
b. Mempunyai bahan tanah organik yang:
(1) Tidak memiliki lapisan mineral sampai setebal 40 cm baik pada
permukaan ataupun yang batas atasnya di dalam kedalaman 40 cm dari
permukaan; dan
(2) Tidak memiliki lapisan-lapisan mineral, yang secara komulatif, sampai
setebal 40 cm dari permukaan; dan
3. Tidak memiliki sifat-sifat tanah andik dalam lapisan setebal 35 cm atau lebih
di dalam kedalaman 60 cm dari permukaan.
Merupakan kaidah umum bahwa tanah diklasifikasikan sebagai suatu tanah
organik (Histosols) apabila lebih dari separuh lapisan tanah teratas 80 cm (32
inchi) merupakan bahan tanah organik, atau apabila bahan tanah organik dengan
ketebalan berapapun berada di atas bahan fragmen yang mempunyai celah-celah
terisi bahan organik.
Proses pembentukan gambut
-2
th-1 dibandingkan
atmosfer tersebut sebagian jatuh dan diakumulasikan dalam bentuk bahan tanah
gambut. Menurut Bernal (2008) lahan basah daerah tropika di Costa Rica
mengakumulasikan sekitar 263 gr C m-2 th-1 dan lahan basah daerah temperate di
Ohio mengakumulasikan sekitar 140 gr C m-2 th-1. Namun, prediksi yang lebih
rendah disampaikan oleh Chmura et al. (2003) yakni hanya sekitar 20 to 30 gr C
m-2 th-1. Laju akumulasi bahan gambut sebenarnya juga dipengaruhi oleh: lokasi
geogafis lahan gambut (selatan>utara), umur (muda>tua), jenis (rawa>fens),
iklim (kering<humid) dan posisi (dataran tinggi>depressi) (Asada dan Warner,
2005; Chun Mei et al., 2009).
Faktor-faktor yang menyebabkan lambatnya laju dekomposisi sehingga
terjadi akumulasi bahan organik pada lahan gambut alami diantaranya adalah:
adanya bahan organik yang tidak mudah lapuk (Dai et al., 2002; White et al.,
2002), rendahnya konsenterasi oksigen karena dalam kondisi tergenang air,
temperatur rendah (khususnya pada daerah iklim temperate), tingkat kemasaman
rendah, dan terbatasnya unsur hara (Baldock dan Skjemstad, 2000; Hobbie et al.,
2000; Blodau, 2002; Dai et al., 2002; White et al., 2002; Bridgham dan
Richardson, 2003; Yavitt et al., 2004; Bertrand et al., 2007). Menurut Hobbie et
al. (2000) dan Yavitt et al. (2004) pada kodisi suhu dingin dan/atau anaerob
aktivitas mikroorganisme perombak bahan organik terhalang, sehingga proses
dekomposisi bahan organik berjalan dengan lambat, akibatnya terjadi
penumpukan bahan organik. Dua kondisi inilah yaitu suhu dingin dan kekurangan
oksigen (anerob) yang membedakan proses pembentukan gambut antara daerah
temprate dengan daerah tropika, yang mana di daerah temprate pembentukan atau
akumulasi gambut terjadi akibat suhu dingin (<80C), sedangkan di daerah tropika
akumulasi gambut terjadi karena suasana anaerob biasanya karena
jenuh/tergenang air (waterlogged). Menurut Maas (2003) di daerah tropis tanah
gambut terdiri dari batang tubuh-tumbuhan mati yang terhambat proses
dekomposisinya akibat air tergenang secara permanen/suasana anaerob dan kahat
hara. Bukti-bukti yang mengindikasikan lambatnya proses dekomposisi bahan
organik pada lahan gambut adalah masih dapat ditemukan bahan organik dalam
bentuk seperti aslinya seperti batang, cabang dan akar-akar besar (Murdiyarso et
Berkaitan dengan proses pembentukan gambut, Sarwono (2003) merangkum
teori evolusi proses pembentukan gambut yaitu: tahapan pertama, merupakan
proses akumulasi bahan organik (menghasilkan bahan induk) yang dikenal dengan
proses geogenesis; tahapan kedua, merupakan proses pematangan gambut yang
terjadi pada awal reklamasi atau pengeringan tanah gambut dikenal dengan proses
pedogenesis yang meliputi: (a) proses pematangan fisik, yaitu pematangan
disebabkan oleh dehidratasi akibat pengeringan (drainase dan evaporasi), (b)
proses pematangan kimia, terjadi karena bahan gambut kehilangan kelembaban
dan masuknya udara ke dalam pori-porinya, (c) proses pematangan biologi, terjadi
akibat pencampuran bahan gambut oleh mikrofauna, yang menghasilkan mull atau
moder. Pembentukan mull terjadi pada tanah gambut yang mengandung liat dan
pH tinggi sampai sedang. Sedangkan pembentukkan moder terjadi pada lapisan
atas (topsoil) tanpa dan/atau dengan kadar liat yang rendah.
Menurut Sabiham (2006) proses pembentukan gambut di Indonesia sama
dengan gambut daerah tropis lainnya. Awal terbentuknya endapan gambut di
Indonesia diperkirakan sekitar 11.000 BP (BP= Before Period, yaitu dicatat
sebelum tahun 1950). Kejadian terbentuknya endapan gambut di Indonesia
berkaitan erat dengan peristiwa transgresi dan regresi air laut pada Zaman Kuarter
(Holosen) yang membentuk dataran-dataran pantai dan daerah cekungan, seperti
di pulau-pulau sekitar Dataran Sunda dan Dataran Sahul. Lebih lanjut detegaskan
oleh Sabiham (2006) bahwa dengan adanya proses sedimentasi dan progradasi
menyebabkan garis pantai cenderung bertambah ke arah laut. Daerah-daerah ini
kemudian ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi yang mampu beradaptasi dengan
kondisi lingkungan dan mengisi cekungan-cekungan tersebut. Di daerah pantai
dan dataran rendah (cekungan), mula-mula terbentuk gambut topogen karena
kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tingginya permukaan air sungai,
terjadi peningkatan penumpukan serasah tanaman, menghasilkan pembentukan
hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome).
Pengelompokan gambut
Menurut Soil Survey Staff (2010) berdasarkan tingkat kematangan atau
a. Fibrik, memiliki kandungan serat lebih dari ¾ volume tanah (terombak < 33%).
b. Hemik, kandungan seratnya antara fibrik dan saprik (terombak 33 – 66%), dan,
c. Saprik kandungan seratnya kurang dari 1/6 dari volume tanah (terombak >66%).
Secara umum dapat dijelaskan bahwa gambut fibrik adalah apabila bahan
vegetasi aslinya masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami
dekomposisi, hemik apabila tingkat dekomposisinya sedang, dan saprik apabila
tingkat dekomposisinya telah lanjut. Karena bulk density (BD) meningkat dengan
meningkatnya tingkat dekomposisi maka parameter ini juga telah digunakan
sebagai kriteria dalam mengkarakterisasi gambut.
Gambut mempunyai keberagaman yang cukup tinggi tergantung pada
lingkungan fisiknya. Berdasarkan lingkungan fisiknya, lahan gambut dibedakan
atas enam macam bentuk (Noor, 2001), yaitu:
1. Gambut daratan rawa pantai
2. Gambut rawa lagun
3. Gambut cekungan atau lembah kecil yang menyatu dengan daratan
4. Gambut yang terisolasi pada lembah sungai
5. Gambut endapan karang (khusus kawasan salinitas)
6. Gambut rawa delta
Menurut lingkungan pembentukan dan fisiografi lahan gambut dapat
dibedakan atas empat tipe lahan gambut (Noor, 2001), yaitu:
1. Gambut cekungan (basin peat) adalah gambut yang terbentuk didaerah
cekungan, lembah sungai atau rawa burit atau rawa belakang.
2. Gambut sungai (river peat) adalah gambuit yang terbentuk di sepanjang
sungai yang masuk kedaerah lembah kurang dari 1 km.
3. Gambut daratan tinggi (highland peat) adalah gam,but yang terbentuk di
punggung-punggung bukit atau pegunungan
4. Gambut daratan pesisir atau pantai (coastal peat) adalah gambut yang
Berdasarkan ketebalannya, gambut dikelompokan menjadi empat tipe
(Wahyunto et al., 2003, 2004 dan 2007), yaitu:
1. Gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 -1 m,
2. Gambut sedang dengan ketebalan 1 - 2 m,
3. Gambut dalam dengan ketebalan 2 - 3 m dan
4. Gambut sangat dalam dengan ketebalan > 3 m
Sifat-Sifat Tanah Gambut
Sifat inheren gambut yang penting adalah sangat sensitif terhadap
perubahan lingkungan. Menurut Sarwono (2003) sifat inheren gambut tropika
yang kurang menguntungkan diantaranya adalah kering tidak balik (irreversible
drying) dan penurunan (subsidence). Apabila mengalami pengeringan yang
berlebihan koloid gambut menjadi rusak sehingga terjadi gejala kering tidak balik
dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara
dan menahan air sehingga membuatnya peka tererosi. Lebih lanjut dijelaskan
oleh Sarwono (2003) bahwa gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5
minggu mengalami pengeringan, kondisi ini menyebabkan gambut mudah
terbakar. Tanah gambut juga memiliki sifat penurunan permukaan tanah yang
besar setelah dilakukan drainase. Hubungan antara subsidence dengan saluran
drainase pada tanah gambut dikemukakan oleh Fitzgerald et al. (2005)
sebagaimana diilustrasikan menurut persamaan berikut :
Subsidence = (-0,1202 x kedalaman saluran + 0,0162) x Ln (jarak dari saluran
drainase) + (0,8102 x kedalaman drainase – 0,4079)
Pemanfaatan Lahan Gambut di Indonesia
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan
dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan
tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tergantung pada iklim
tanah gambut lebih sesuai untuk tanaman sayuran (Sarwono, 2003). Di
Indonesia, tanah gambut banyak diusahakan untuk tanaman padi terutama untuk
gambut yang tidak terlalu dalam dan ada pula untuk tanaman buah-buahan
(seperti nanas, pepaya dan rambutan) dan tanaman perkebunan (terutama kelapa,
kelapa sawit, kopi dan karet), dan Acasia crasicarpa sebagai hutan tanaman
industri (Sabiham, 2006).
Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress air
yang berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah irigasi
pada saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan penggunaan
air yang optimum. Untuk penanaman tanaman pada lahan gambut khususnya
tanaman semusim, pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat dan
kebutuhan tanaman dan disesuaikan dengan ketersediaan air tanah di atas water
table. Menurut informasi dari berbagai sumber hasil kajian yang dirangkum oleh
Ambak dan Melling (2000) kebutuhan kondisi tata air tanah yang diperlukan
untuk berbagai jenis tanaman disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Daftar kebutuhan air tanaman yang diusahakan di lahan gambut
Tanaman
Kebutuhan muka air
tanah (cm)
Kelapa Sawit 50-75
Nanas 60-90
Sagu 20-40
Ubi kayu 15-30
Kacang tanah 65-85
Kedelai 25-45
Jagung 75
Ubi jalar 25
Asparagus 25
Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut
Apabila terjadi konversi hutan gambut yang biasanya diikuti dengan
pembuatan drainase, maka akan berdampak terhadap unit-unit hidrologi dari hutan
rawa gambut tersebut. Sebagai contoh, terjadinya penurunan kadar air gambut
dibawah batas kritis, menyebabkan tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak
dapat lagi menyerap air. Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh sisa
tanaman (daun, dahan, ranting, batang) mengalami kondisi aerob menyebabkan
aktivitas bakteri pembusuk akan meningkat. Setelah bakteri pembusuk mulai
mendekomposisi gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon, maka
karbon yang tersimpan did alam bagian bahan tersebut akan teremisi ke udara
dalam bentuk CO2 dan memenuhi lapisan ozon sehingga akan menciptakan efek
rumah kaca (green house effect) hal ini dapat memacu terjadinya pemanasan
global yang berdampak terhadap naiknya suhu bumi dan berubahnya iklim
global.
Pada kondisi lahan gambut di drainase, serasah dan bahan gambut
mengalami pelapukan yang lebih cepat. karena proses dekomposisi pada kondisi
aerobik jauh lebih cepat dibandingkan pada kondisi anaerobik. Menurut Kirk
(2004) pengaruh peningkatan kondisi aerase terhadap peningkatan tingkat
dekomposisi dapat pula diikuti oleh penurunan pH gambut, dan penurunan suhu
gambut, kedua hal ini sangat penting dalam menentukan tingkat dekomposisi
bahan organik. Proses yang terjadi adalah, pada kondisi lahan gambut alami di
atas tanah mineral, aliran air bawah tanah yang berasal dari lahan tanah mineral
disekitarnya membawa kation-kation basa masuk ke lahan gambut sehingga dapat
menetralkan asam-asam organik gambut. Setelah gambut didrainase, aliran air
dari luar yang masuk ke area lahan gambut menjadi terhalang oleh
saluran-saluran, sementara itu kation-kation basa tetap lebih banyak diambil oleh tanaman
untuk meningkatkan pertumbuhannya, sehingga menyebabkan pH gambut jadi
turun. Secara umum, menurut Minkkinen et al. (1999) dalam periode waktu yang
lama setelah didrainase terjadi penurunan konduktivitas thermal pada permukaan
gambut dan peningkatan naungan oleh tajuk tanaman yang tumbuh di atas lahan
Pengaruh Pola dan Dimensi Saluran Drainase
Lahan gambut pada kondisi alami adalah jenuh air sepanjang tahun.
Konversi lahan gambut untuk usaha tanaman tahunan memerlukan sistim
pengelolaan air untuk menurunkan permukaan air dan membuang air hujan yang
berlebih.Untuk menghindari subsidence yang berlebihan dan mengatasi
kekurangan air dimusim kering, dalam muka air tanah perlu dikontrol melalui
pembuatan saluran drainase. Oleh karena karakteristik gambut sangat unik,
supaya air hujan tidak mengalir sebagai aliran permukaan (run off) tetapi sebagai
aliran bawah tanah, maka desain dari saluran drainase seharusnya berdasarkan
kepada karakteristik hidraulik tanah gambut tersebut yaitu kecepatan infiltrasi,
kapasitas penyimpanan air dan permeabilitas. Menurut Wosten dan Ritzema
(2001) untuk drainase lahan gambut tropika pendekatan menurut “persamaan
Hooghudt” dapat digunakan untuk menentukan jarak antar saluran drainase, yang
mana jarak saluran drainase dapat berdasarkan kepada keperluan drainase selama
kondisi muka air tanah normal, sedangkan dimensi saluran berdasarkan kepada
kondisi muka air tanah tinggi.
Ada beberapa pola dari drainase yang umum digunakan diantaranya
adalah: a) pola herringbone, yaitu pola drainase dengan satu atau dua saluran
vertikal yang mempunyai saluran cabang berbentuk diagonal masuk ke saluran
utama tersebut, semua saluran cabang membentuk kemiringan dengan saluran
utama, pola ini baik karena memungkinkan saluran menangkap air untuk masuk
ke saluran dari semua permukaan lahan, b) pola gridiron, terdiri dari saluran
lateral yang paralel masuk ke saluran utama, pola ini kurang ekonomis, c) pola
random, digunakan pada daerah basah/tergenang tersebar di hamparan yang agak
terisolasi antara satu dengan lainnya lain, dan d) pola interseptor, digunakan untuk
mencegat air rembesan dari lereng bukit yang disebabkan oleh air rembesan
bergerak secara horizontal melalui lapisan permeabel yang berada di atas lapisan
Emisi dan Kehilangan Karbon Dari Lahan Gambut
Secara umum, bentuk siklus karbon pada ekosistem lahan gambut adalah:
awalnya karbon diserap oleh tanaman melalui proses fotosintesis, sebagian
dilepaskan kembali ke atmosfer dalam bentuk CO2 hasil dari proses respirasi
tanaman, karbon yang tersisa ditransformasi menjadi struktur tanaman (akar,
batang, daun, buah), dan terakhir disimpan sebagai bagian tanaman yang mati
yaitu sebagai serasah di atas atau dalam gambut. Karbon tersimpan pada lahan
gambut dapat hilang dari lahan gambut dalam bentuk gas dan bentuk terlarut
(dissolved organic carbon). Kehilangan karbon gambut dalam bentuk gas
sebagian besar dalam bentuk karbon dioksida (CO2) dan metan (CH4).
Pertukaran CO2
Pada dekade akhir-akhir ini sebagian lahan gambut dunia telah didrainase,
kondisi ini menyebabkan terjadinya perobahan keseimbangan ekosistem gambut
dari sebagai penyimpan menjadi penyumbang karbon (Canadell et al., 2007;
Rieley et al., 2008). Menurut Joosten (2009) secara global emisi CO
pada lahan gambut ditentukan oleh keseimbangan antara fiksasi
karbon melalui fotosintesis dan pembebasan karbon melalui respirasi tanaman dan
mineralisasi gambut. Mineralisasi karbon pada lahan gambut sangat dipengaruhi
oleh muka air tanah dan suhu (Charman, 2002). Produksi gas metan pada lahan
gambut oleh bakteri pada kondisi anaerobik dipengaruhi oleh temperatur dan
dalam muka air tanah.
2 dari lahan
gambut yang didrainase telah meningkat dari 1.058 Mega ton pada tahun 1990
menjadi 1.298 Mega ton pada tahun 2008 (> 20%). Peningkatan ini terutama
terjadi pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, China, Malaysia and
Papua New Guinea. Khusus Indonesia, menurut Hooijer et al. (2006) diperkiran
rata-rata 632 Mega ton CO2 (interval 355–874 Mega ton CO2) per tahun
diemisikan dari lahan gambut yang didrainase. Menurut Hooijer et al. (2010)
emisi CO2 dari lahan gambut yang didrainase pada tahun 2006 adalah antara 355
- 855 Mega ton th−1, 82% dari jumlah ini berasal dari Indonesia. Data terbaru
yang disampaikan Joosten (2009) emisi CO2 tahun 2008 dari lahan gambut
Indonesia adalah yang tertinggi di dunia yaitu sebanyak 500 Mega ton
dibandingkan Rusia diposisi kedua hanya 139 Mega ton. Data lengkap emisi CO2
Kebakaran hutan pada lahan gambut yang didrainase merupakan salah satu
bentuk penyebab hilangnya karbon dari lahan gambut. Kebakaran hutan gambut
yang parah pernah terjadi di Indonesia adalah pada tahun 1997, 1998 dan 2002,
yang mana pada setiap tahun kejadian kebakaran sekitar 1,5 – 2,2 juta hektar
lahan gambut terbakar di Sumatera dan Kalimantan dengan emisi karbon
sebannyak 3000 – 9400 Mega ton CO2, jumlah ini mencapai 40% dari emisi CO2
secara global (Hooijer et al., 2006). Menurut Ballhorn et al. (2009) kebakaran
seluas 13% (2,79 juta hektar) lahan gambut Indonesia pada tahun 2006
mengemisikan 98,38 ± 180,38 Mega ton CO2, sedangkan pada saat kejadian El
Nino 1997 sebanyak 2,57 Giga ton karbon diemisikan dari lahan gambut
Indonesia, ini semua adalah akibat dari alih fungsi lahan gambut (Page et al.,
2002).