• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI FLUKS KARBON DIOKSIDA PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN DI LAHAN GAMBUT PASANG SURUT DAN PEDALAMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI FLUKS KARBON DIOKSIDA PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN DI LAHAN GAMBUT PASANG SURUT DAN PEDALAMAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI FLUKS KARBON DIOKSIDA PADA BERBAGAI TIPE

PENGGUNAAN DI LAHAN GAMBUT PASANG

SURUT DAN PEDALAMAN

Yosep1),Y.Sulistianto2),Adi Jaya2)

1)

Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

2)Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Palangka Raya 3)UPT Cimtrops

Email : [email protected]

ABSTRACK

The aim of this study to known influence land use change in low tide and ombrotrophic peatland on forest land, ex-burns land, rubber tree land, and maize land and to known amount of microbial populations there. Data was recorded automatically by some equipments are chamber, Infrared CO2 analyzer (Fuji ZFP9GC11), injection 200 cc, Soda Lime, Vacuum plastic, Vacuum oven, termometer, FDR ML 2 Theta Probe Delta Y Device Co, Sensor water table, Lux meter, meter, camera, and paper label. Observation method was carried out at the village Kalampangan (ombrotrophic peatland) , district of Sebangau, Palangka Raya city, and at the village Purwodadi (low tide peatland), district of Maliku, Pulang Pisau Regency, starting from May up to July 2014. Observation variables consist of CO2 fluxes, fluctuations of groundwater levels, soil temperature, soil humidity and microbial populations. The results show that overall carbon dioxide fluxes higher in low tide peatland, with the highest fluxes in burnt areas, 430.24 mg C m-2 h-1, whereas in Ombrotrophic peatland, the highest on 292 forested land, 92 mg C m-2h-1. In Ombrotrophic peatland, relation between fluxes of carbon dioxide and the soil temperature is significant in the burnt areas with a value of R = 0.856 with a quadratic pattern, with the average temperature of 28.89 ° C. Fluxes of carbon dioxide significantly effected by soil moisture that is at a rubber plantation with a value of R = 0.640 with quadraticpatterned, average soil moisture of 0.61 m3/m-3. Fluxes of carbon dioxide to the groundwater depth is significant on a rubber plantation with a value of R = 0.872 with a quadratic pattern, and depth of groundwater on average of 83.74 cm. The populatuin of microorganisms, in forest land 137 sel/ml, rubber plantations 154 sel/ml, cornfields 157 sel/ml and ex-burnt is 80 sel/ml. In Low Tide peatland, fluxes of carbon dioxide to the soil temperature is significant in forest land with the value of R = 0.545 with cubic pattern, and the average temperature of 27,39 oC. Soil moisture has the siginificant effect to fluxes of carbon dioxide that is in the burnt areas with a value of R = 0.617 with patterned quadratic, and average soil moisture of 0.50 m3/m-3. The ground water depth has a siginificant effect to fluxes of carbon dioxide in a cornfield with a value of R = 0.743 with a quadratic pattern, and the depth of soil water on average of 68.98 cm. Population of soil microorganisms, in forest land 73 sel/ml, rubber plantations 36 sel/ml, cornfields 51 sel/ml and ex-burnt 18 sel/ml. Soil temperature, soil moisture, groundwater depth and microoganisms effect on carbon dioxide fluxes.

Key words: Carbon dioxide, fluxes, microorganisms, peatland

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena

terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas rumah kaca (GRK), diantaranya karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O).

(2)

Vol. XI No.1, Juni 2016. Hal. 18-39

Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosisitem. (Wetland International, 2006).

Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat salah satunya sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya, telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga dalam negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 per tahunnya atau menyumbang 10 % dari emisi CO2 di dunia (Wetland International, 2006).

Sumbangan Indonesia terhadap GRK bukan hanya merupakan masalah global, tetapi juga merupakan masalah nasional yang sangat mempengaruhi semua tatanan kehidupan. Pemanasan global yang tidak terkendali dapat menenggelamkan sekitar 2000 pulau kecil di Indonesia sebelum berakhirnya abad ini karena kenaikan permukaan air laut. Berbagai fauna dan flora tidak adaptif terhadap kenaikan suhu yang signifikan sehingga mereka akan punah. Berbagai tanaman pertanian juga terancam menurun produktivitasnya karena tidak adaptif dengan suhu yang lebih tinggi. Banjir dan kemarau yang ekstrim yang makin sering terjadi merupakan gejala dari pemanasan global dan sangat mempengaruhi produktivitas pertanian serta kelestarian lahan.

Ekosistem hutan rawa gambut tropika adalah tempat yang paling efisien

untuk menangkap dan menyimpan cadangan karbon (C), karena dalam ekosistem ini karbon tersimpan dalam tubuh tanaman yang masih hidup (biomasa) dan pada bagian tubuh tanaman yang mati, baik yang masih berdiri tegak ataupun yang tumbang termasuk ranting dan daun-daun yang gugur.

Dalam keadaan alami, hutan gambut merupakan penyimpan (net sink) dari karbon. Akan tetapi apabila hutan gambut dibuka sebagian besar karbon yang ada pada biomassa tanaman akan teroksidasi menjadi CO2, terutama apabila pembukaan hutan disertai dengan pembakaran. Sejalan dengan terbakarnya biomassa di atas permukaan tanah, beberapa sentimeter lapisan gambut juga akan ikut terbakar.

Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia (Subagjo, 1998). Dari luasan tersebut 5,7 juta hektar atau 27,8 % terdapat di Kalimantan. Lahan gambut di Indonesia diperkirakan menyimpan lebih dari 30 miliar ton karbon (Kementerian Kehutanan 2008). Kepadatan karbon di lahan gambut berhutan dapat mencapai 5-10 kali lipat dibandingkan dengan tanah mineral berhutan dalam satuan luas yang sama, bergantung pada kedalaman gambutnya. Oleh karena itu melindungi lahan gambut merupakan upaya nyata dalam hal pengurangan emisi dan manfaat lingkungan lainnya.

Khusus di Provinsi Kalimantan Tengah total luasan lahan gambut mencapai 3,01 juta hektar atau 52,18% dari total luasan lahan gambut seluruh Kalimantan. Luasan gambut tersebut terdistribusi sebagian besar di Kabupaten Kapuas, Katingan, Pulang Pisau, Barito Selatan, Kotawaringin Timur, Seruyan, dan Kotawaringin Barat.

(3)

Emisi CO2 yang dihasilkan oleh pembukaan lahan gambut sebagai penyumbang cukup besar yang dapat mempengaruhi iklim lokal maupun global. Pengaruh GRK sangat besar terhadap perubahan iklim global, diyakini dapat mempengaruhi dari produktivitas perkebunan dan pertanian di Indonesia khususnya di Kalimantan Tengah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengukuran emisi karbon yang terdapat di hutan gambut yang ada di Kalimantan Tengah khususnya daerah Kanamit dan sekitarnya, Kabupaten Pulang Pisau dan Kalampangan yang hutan gambutnya cukup luas dan terancam di alih fungsikan menjadi Perkebunan besar swasta yang dapat menyebabkan emisi karbon dioksida (CO2) yang cukup besar terhadap iklim lokal maupun global.

II. METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Kegiatan penelitian ini dimulai bulan Mei-Juli 2014 (tiga bulan). Penelitian lapangan dilaksanakan di Desa Purwodadi (Kanamit), Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, dan di Kalampangan, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Penelitian berupa analisis karbon dioksida (CO2) di Laboratorium UPT CIMTROP - UNPAR dan miroorganisme dilakukan di Laboratorium Jurusan BDP Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tanah pada lahan gambut pedalaman di Desa Kanamit, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang

Pisau dan di Kalampangan, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Alat yang digunakan adalah : sungkup (chamber) untuk mengambil CO2 (terdiri dari 6 buah

chamber dengan tinggi 25 cm namun

mempunyai diameter yang berbeda yaitu 18.5, 19, 19.5, 20, 20.5, dan 21 cm), alat suntikan khusus untuk mengambil gas CO2, alat pengukur emisi CO2 (infrared

CO2 analyzer (Fuji ZFP9GC11)), soda

lime (untuk membuat CO2 standar digunakan sebagai pengkalibrasi sebelum dilakukan analisis CO2), kantong plastik penampung CO2 (vacuum plastic), vacuum

oven, termometer, FDR ML 2 Theta Probe

Delta Y Device Co (alat pengukur kelembaban tanah), alat sensor water

table, pipa PVC (ukuran ¾ inchi) untuk

mengukur fluktuasi air tanah, Lux meter (Intensitas cahaya), meteran, kamera, kertas label dan alat-alat tulis.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan cara mengukur fluks CO2 dari tipe hutan gambut pasang surut (pantai) dan gambut pedalaman, baik pada hutan alami, lahan eks kebakaran, lahan pertanian dan lahan perkebunan karet serta mengambil sampel tanah untuk mengetahui jumlah mikroorganisme pada masing-masing tipe hutan dan lahan tersebut.

Pelaksanaan Penelitian

Pemilihan dan Persiapan Lokasi Lahan Gambut

Lokasi penelitian di lahan gambut pasang surut (pantai) di Desa Kanamit, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau dan lahan gambut pedalaman di Kelurahan Kalampangan, Kota Palangka Raya yang merupakan lokasi kegiatan

(4)

Vol. XI No.1, Juni 2016. Hal. 18-39

penelitian kerjasama antara Universitas Palangka Raya dan Universitas Hokkaido Jepang yang terletak di block C.

Areal ini bekas Proyek Sawah Lahan Gambut Sejuta Hektar Kalimantan Tengah.

(5)

F = ρ x V/A x ∆c/∆t x 273/(273 + T) x α

Pengambilan Contoh Gas CO2 di

Lapangan

Pengambilan contoh gas CO2 di lapangan dilakukan dengan metode sungkup/chamber tertutup (closed

chamber method).

Cara kerja untuk metode sungkup/chamber tertutup (closed

chamber method).

1. Chamber sebanyak 6 diletakkan di

atas permukaan tanah pada petak yang ditentukan kemudian ditekan hingga kedalaman 3 cm.

2. Tumbuhan dibersihkan jika terdapat dalam chamber.

3. Chamber dibiarkan selama ± 30

menit dengan tujuan agar keadaan tanah menjadi stabil.

4. Setelah itu tabung suntik dan

vacuum plastic disiapkan untuk

mengambil gas CO2.

5. Gas diambil dari dalam chamber yang belum ditutup kemudian gas diambil dengan menggunakan alat suntik sebanyak ± 200 ml plastik-1. 6. Setelah itu chamber ditutup selama

6 menit, lalu kemudian gas CO2 diambil melewati slang vacuum sebanyak ± 200 ml plastik-1.

Cara kerja untuk mengukur water

table ( kedalaman permukaan air tanah)

1. Pipa PVC paralon untuk mengukur kedalaman permukaan air tanah ditancapkan ke tanah sedalam 2 m kemudian dibiarkan selama 30 menit.

2. Kemudian memasukan kabel alat sensor water table sampai menyentuh permukaan air tanah, kemudian mengukur tinggi air permukaan tanah.

3. Mengukur ketinggian pipa paralon dari permukaan tanah.

4. Kedalaman air tanah = panjang kabel sensor water table – tinggi pipa dari permukaan tanah.

Pengukuran Gas CO2 di Laboratorium

Contoh gas yang telah diambil di lapangan kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis dengan alat pengukur infrared CO2 analyzer (Fuji ZFP9GC11). Sebelum dilakukan analisis untuk mengukur kadar emisi CO2, terlebih dahulu dibuat CO2 standar yang berfungsi sebagai pengkalibrasi sebelum alat pengukur digunakan, serta berfungsi untuk pengecer gas CO2 yang diambil dari pipa.

Setelah dilakukan kalibrasi pada alat, kemudian dilakukan pengukuran kadar emisi CO2 untuk masing-masing sampel. Untuk hasil pengukuran dari

chamber dikonversi dengan perhitungan

yaitu dihitung dengan menggunakan rumus (Hu, et al., 2001) sebagai berikut :

Keterangan :

F = nilai dari fluks gas CO2 (mg C m-2 jam-1)

V = volume dari sungkup (m3) A = luas alas dalam sungkup (m2) ρ = kerapatan dari gas CO2 (1.977x106 mg m-3)

∆c/∆t = perbandingan antara per bahan konsentrasi gas di dalam sungkup sepanjang waktu pengambilan (m3 m-3 jam-1) T = suhu mutlak dalam sungkup (oK)

α = faktor konversi untuk CO2 ke C (12/44)

(6)

Vol. XI No.1, Juni 2016. Hal. 18-39 Analisis Mikroorganisme di Laboratorium

Menurut Rachdie (2006), sampel tanah yang diambil dari lapangan yang berasal dari masing-masing keempat jenis penggunaan tanah dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Dari setiap jenis tanah tersebut diambil 10 g yang kemudian dicampurkan dengan 90 ml aquadest per labu Erlenmeyer. Untuk tanah budidaya pertanian diberi label A, tanah bekas lahan terbakar diberi label B, tanah hutan alami diberi label C dan tanah lahan perkebunan karet diberi label D.

Variabel Pengamatan

Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah fluks gas CO2 dari permukaan tanah dengan metode sungkup/chamber tertutup. Pada setiap pengamatan juga dilakukan pengukuran terhadap fluktuasi muka air tanah (kedalaman air tanah), kelembaban tanah 4 cm dan 10 cm, dan suhu tanah dengan kedalaman 4 cm dan 10 cm sebagai data pendukung. Pengambilan suhu tanah untuk menggambarkan aktivitas perakaran dalam pengangkutan air dan absorsi unsur hara serta aktivitas mikroorganisme. Sedangkan pengambilan kedalaman air tanah untuk mengetahui batas air tanah.

Pengambilan sampel tanah dilakukan satu kali bersamaan dengan pengambilan sampel gas pada pagi menjelang siang hari.

Analisis Data

Data hasil pengamatan fluks gas CO2, jumlah mikroorganisme, fluktuasi muka air tanah dan data-data pendukungnya diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis data dengan menggunakan regresi non linier

model kuadratik dengan bantuan SPSS Versi 20 untuk menelaah hubungan emisi karbon dioksida (CO2 fluks) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Data pengukuran fluks karbon dioksida (CO2 fluxs) pada berbagai kedalaman air tanah (water table), suhu tanah, kelembaban tanah, jumlah mikroorganisme tanah dan pH tanah, baik pada lahan gambut pedalaman di Kelurahan Kalampangan dan lahan gambut pasang surut di Desa Purwodadi (Kanamit).

Hasil Pengukuran Fluks Karbon

dioksida (CO2 fluks)

Data hasil pengukuran di lapangan fluks karbon dioksida (CO2 fluks), suhu tanah (oC), kelembaban tanah (m3 m-3), dan kedalaman air tanah (cm), jumlah mikroorganisme tanah dan pH tanah pada kedua lokasi yaitu di Gambut Pedalaman (Kalampangan) dan di Gambut Pasang Surut (Purwodadi) pada areal berhutan, kebun karet, lahan pertanian tanaman jagung dan lahan bekas terbakar disajikan pada Tabel 1.

Hasil Pengukuran Fluks Karbon

dioksida (CO2 fluks) di Gambut

Pedalaman

Pengukuran fluks karbon dioksida (CO2 fluks) pada lokasi penelitian yaitu hutan, kebun karet, tanaman jagung dan bekas kebakaran tersaji pada Tabel 3. Dari data tersebut, menunjukan bahwa fluks karbon dioksida yang paling besar adalah

(7)

VARIABEL

PENGAMATAN

LOKASI PENELITIAN

GAMBUT PEDALAMAN

GAMBUT PASANG SURUT

Hutan Karet Jagung

Bekas

Terbakar

Hutan Karet Jagung

Bekas

Terbakar

Emisi CO

2

(mg Cm

-2

h

-1

)

292,92 224,93 211,30 228,07 285,22 264,69 232,08 430,24

Suhu Tanah

(°C)

28,10 28,53 28,78 28,89 27,39 28,58 32,23 27,98

Kelembaban

Tanah (m

3

/m

3

)

0,51 0,61 0,58 0,67 0,58 0,67 0,46

0,50

Kedalaman Air

Tanah (cm)

-66,89 -83,74 -72,11 -74,89 -73,41 -67,91 -68,96 -75,14

Jlh

Mikroorganisme

(sel/ml)

137 154 157

80

73

36

51

18

pH Tanah

3,4 3,6 3,8

3,6

2,5 2,9

3,0

2,8

Tabel 1. Rata-Rata fluks CO2, suhu tanah, kelembaban tanah,

kedalaman air tanah, jumlah mikroorganisme tanah dan pH tanah pada berbagai tipe lahan di Gambut Pedalaman dan Pasang Surut

pada lokasi Hutan Kalampangan yaitu sebesar 292,92 mg C m-2 jam-1.

Suhu tanah pada ke empat lokasi penelitian mempunyai nilai rata-rata yang hampir sama, namun pada lokasi lahan bekas kebakaran yang mempunyai nilai rata-rata suhu tanah yang lebih besar yaitu 28,89 0C.

Pada Gambar 4, menjelaskan bahwa hubungan fluks karbon dioksida dengan suhu tanah adalah kuadratik dengan nilai R = 0,856 yaitu pada lahan bekas kebakaran (D), diikuti pada lokasi kebun karet (C) dengan nilai R = 0,653, pada tanaman jagung (B) dengan nilai R = 0,464 dan pada lokasi hutan (A) dengan nilai R = 0,163.

Gambar 2. Bentuk Hubungan Fluks Karbon dioksida (CO2

fluks) dan Suhu Tanah

pada : A: Hutan, B: Kebun Karet, C: Tanaman Jagung dan D: Lahan Bekas Kebakaran

(8)

Vol. XI No.1, Juni 2016. Hal. 18-39

Hubungan antara fluks karbon dioksida dengan kelembaban tanah adalah kuadratik dengan nilai R = 0,640 terdapat pada lokasi kebun karet (Gambar 5B) dengan nilai kelembaban tanah rata-rata adalah 0,61 m3 m-3, diikuti pada lokasi hutan (Gambar 5A) dengan nilai R = 0,632 dan nilai kelembaban tanah rata-rata adalah 0,51 m3 m-3, pada tanaman jagung (C) dengan nilai R = 0,403 dan nilai kelembaban tanah rata-rata adalah 0,58 m3 m-3, pada lokasi lahan bekas kebakaran (D) dengan nilai R = 0,375 dan nilai kelembaban tanah rata-rata adalah 0,67 m3 m-3.

Satuan yang digunakan m3 m-3, karena tanah dibagi dalam tiga fraksi yaitu bahan organik, udara dan air. Karena kelembaban identik dengan kandungan air yang umumnya memakai satuan m3 m-3, maka apabila ingin mengubah dalam bentuk % maka dikalikan dengan 100

kedalaman air tanah adalah kuadratik dengan nilai R = 0,872 terdapat pada lokasi kebun karet (Gambar 6B) dengan nilai kedalaman air tanah rata-rata adalah 83,74 cm, diikuti pada lokasi tanaman jagung hutan (Gambar 6C) dengan nilai R = 0,421 dan nilai kedalaman air tanah rata-rata adalah 72,11 cm, pada hutan (A) dengan nilai R = 0,385 dan nilai kedalaman air tanah rata-rata adalah 66,89 cm,pada lokasi lahan bekas kebakaran (D) dengan nilai R = 0,236 dan nilai kedalaman air tanah rata-rata adalah 74,89 cm.

Hasil Pengukuran Fluks Karbon

dioksida (C02 fluks) di Gambut Pasang

Surut

Pengukuran fluks karbon dioksida (CO2 fluks) pada lokasi penelitian yaitu hutan, kebun karet, tanaman jagung dan bekas kebakaran tersaji pada Tabel 7. Dari data tersebut, menunjukan bahwa fluks karbon doiksida yang paling besar adalah Gambar 3. Bentuk Hubungan fluks karbon

dioksida (CO2 fluks) dan

Kelembaban Tanah pada: A: Hutan, B: Kebun Karet, C: Tanaman Jagung dan D: Lahan Bekas Kebakaran

Gambar 4. Bentuk Hubungan Fluks Karbon dioksidsa (CO2 fluks) dan

Kedalaman Air Tanah pada : A: Hutan, B: Kebun Karet, C: Tanaman Jagung dan D: Lahan Bekas Kebakaran

(9)

pada lokasi lahan bekas terbakar yaitu sebesar 430,24 mg C m-2 Jam-1.

Nilai rata-rata pengukuran suhu tanah, kelembaban dan kedalaman air tanah (water table) tersaji secara berturut-turut pada Tabel 8, 9 dan 10. Sedangkan hubungan antara fluks karbon dioksida terhadap suhu tanah, kelembaban dan kedalaman air tanah (water table) tersaji secara berturut-turut pada Gambar 7, 8 dan 9.

Suhu tanah pada lokasi tanaman jagung (Tabel 8) mempunyai nilai rata-rata yang lebih tinggi yaitu 32,23C, tetapi tingginya suhu tanah tidak menunjukan hubungan kuadratik yang nyata (Gambar 7D) dengan fluks karbon dioksida, hal ini ditunjukan dengan nilai R yang hanya 0,433. Hubungan kuadratik yang nyata justru terjadi pada lokasi hutan (Gambar 7A) dengan nilai R = 0,545 dan suhu rata-rata tanah sebesar 27,39C.

Kelembaban tanah pada kebun karet (Tabel 9) mempunyai nilai rata-rata yang lebih tinggi yaitu 0,67 m3 m-3, tetapi tingginya kelembaban tanah tidak menunjukan hubungan kuadratik yang nyata (Gambar 8B) dengan fluks karbon dioksida, hal ini ditunjukan dengan nilai R yang hanya 0,328. Hubungan kuadratik yang nyata justru terjadi pada lokasi hutan (Gambar 8D) dengan nilai R = 0,617 dan kelembaban rata-rata tanah sebesar 0,50 m3 m-3 .

Kedalaman air tanah pada lahan bekas kebakaran (Tabel 10) mempunyai nilai rata-rata yang lebih tinggi yaitu 75,14 cm, tetapi tingginya kedalaman air tanah tidak menunjukan hubungan kubik yang nyata (Gambar 9D) dengan fluks karbon dioksida, hal ini ditunjukan dengan nilai R yang hanya 0,440. Hubungan kuadratik yang sangat nyata Gambar 5. Bentuk Hubungan Fluks Karbon

dioksida (CO2 fluks) dan Suhu

Tanah pada A: Hutan, B: Kebun Karet, C: Tanaman Jagung dan D: Lahan Bekas Kebakaran

Gambar 6 Bentuk Hubungan Fluks Karbon dioksida (CO2 fluks)

dan Kelembaban Tanah pada A: Hutan, B: Kebun Karet, C: Tanaman Jagung dan D: Lahan Bekas Kebakaran

(10)

Vol. XI No.1, Juni 2016. Hal. 18-39

No. Kode Sampel Jumlah Mikroorganisme 10-3

1. LBT P (1) LBT P (2) LBT P (3) 30 sel/ml 17 sel/ml = 18 sel/ml 9 sel/ml 2. LBT K (1) LBT K (2) LBT K (3) 66 sel/ml 82 sel/ml = 80 sel/ml 93 sel/ml 3. LK P (1) LK P (2) LK P (3) 45 sel/ml 48 sel/ml = 36 sel/ml 15 sel/ml 4. LK K (1) LK K (2) LK K (3) 178 sel/ml 128 sel/ml = 154 sel/ml 157 sel/ml 5. LJ P (1) LJ P (2) LJ P (3) 59 sel/ml 61 sel/ml = 51 sel/ml 33 sel/ml 6. LJ K (1) LJ K (2) LJ K (3) 195 sel/ml 108 sel/ml = 157 sel/ml 169 sel/ml 7. HG P (1) HG P (2) HG P (3) 61 sel/ml 96 sel/ml = 73 sel/ml 62 sel/ml 8. HT Gr K (1) HT Gr K (2) HT Gr K (3) 131 sel/ml 46 sel/ml = 137 sel/ml 236 sel/ml Keterangan :

1. LBTP = Lahan Bekas Terbakar Pasang Surut (Purwodadi)

2. LBTK = Lahan Bekas Terbakar Pedalaman (Kalampangan)

3. LK P = Lahan Karet Pasang Surut (Purwodadi) 4. LK K = Lahan Karet Pedalaman (Kalampangan) 5. LJ P = Lahan Jagung Pasang Surut (Purwodadi) 6. LJ K = Lahan Jagung Pedalaman (Kalampangan) 7. HG P = Hutan Galam Pasang Surut/Purwodadi

(didominasi jenis galam)

8. HT Gr K = Hutan Geronggang Pedalaman/ Kalampangan (didominasi jenis geronggang)

justru terjadi pada lokasi tanaman jagung (Gambar 8C) dengan nilai R = 0,743 dan kedalaman air tanah rata-rata tanah sebesar 68,96 cm.

Pembahasan

Hasil Pengukuran Fluks Karbon

dioksida (CO2 fluks) di Gambut

Pedalaman (Kalampangan) dan Pasang Surut (Purwodadi)

Berdasarkan data hasil pengukuran fluks karbon dioksida (CO2 fluks) pada ke empat tipe penggunaan lahan, dapat dilihat bahwa fluks karbon dioksida di Pasang Surut secara keseluruhan lebih tinggi dibandingkan dengan di Pedalaman (Grafik 1, 2 dan 3). Lokasi lahan bekas terbakar di Pasang Surut mempunyai nilai rata-rata fluks karbon dioksida yang paling besar yaitu 430,24 ± 13,68 mg C m

-2

jam-1 (0,430 ± 0,014 g C m-2 jam-1), kemudian diikuti pada lokasi Hutan di Gambut Pedalaman yaitu sebesar 292,92 ± 89,76 mg C m-2 jam-1 (0,293 ± 0,090 g C m-2 jam-1) (Tabel 1).

Gambar 7. Bentuk Hubungan Fluks Karbondioksida (CO2 fluks) dan

Kedalaman Air Tanah (water

table) pada A: Hutan, B: Kebun

Karet, C: Tanaman Jagung dan D: Lahan Bekas Kebakaran

Tabel 2. Data Hasil Jumlah Mikroorganisme dalam 10 gr Tanah yang terdapat pada masing-masing penggunaan lahan di Gambut Pedalaman dan Pasang Surut

(11)

Kusin dan Ermiasi (2010) mengatakan bahwa pembuatan drainase untuk kegiatan pertanian akan menyebabkan perubahan ekosistem gambut terutama air tanah, suhu dan kelembaban sehingga akan meningkatkan aktifitas mikroorganisme untuk melepaskan gas ke udara seperti CO2 dan CH4.

Penyebab tingginya fluks karbon dioksida di Gambut Pasang Surut diduga disebabkan oleh perbedaan porositas tanahnya, jenis tanah atau tingkat kematangan gambutnya dan kandungan pirit (FeS2) serta jenis mikroorganismenya. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh kandungan pirit pada kedua lokasi ini. Kalampangan adalah daerah yang mempunyai kedalaman gambut beragam antara 3 – 7 m dengan bahan dasar yang bermacam-macam seperti pasir, granit dan tanah liat, sedangkan Purwodadi adalah daerah yang mempunyai kedalaman gambut antara 1,5 – 2,5 m dengan bahan dibawah gambut didominasi oleh tanah liat dengan kandungan pirit (FeS2) yang cukup tinggi.

Ueda et al., (2000) dan Jali (2004) mengatakan bahwa kondisi air tanah selama musim kering akan meningkatkan ketersediaan bahan organik aerobik untuk berdekomposisi. Kondisi racun dan peningkatan potensi redoks disebabkan oleh drainase yang kurang baik, diketahui mendukung aktivitas mikroba dan mineralisasi nitrogen.

Menurut Melling et al., (2005) menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji statistik tidak ada perbedaan yang nyata emisi CO2 pada tiga Penggunaan lahan (hutan, sagu dan kelapa sawit), namun demikian nampak ada trend (kecenderungan) yang kuat bahwa

perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan atau perbedaan emisi CO2.

Suhu Tanah dan Fluks Karbon

dioksida (CO2 fluks) di Gambut

Pedalaman

Berdasarkan hasil analisis dari empat penggunaan lahan, hubungan suhu tanah dan fluks CO2 yang paling berpengaruh nyata dengan nilai R = 0,856 yaitu pada areal bekas kebakaran dengan berpola kuadratik terhadap perubahan suhu tanah (Gambar 4D). Suhu tanah rata-rata 28,89 °C, sedangkan intensitas cahaya yang masuk pada yang terbuka 0 menit = 03,92 mV dan 6 menit = 04,26 mV, pada yang ada naungan 0 menit = 00, 38 mV dan 6 menit = 00, 44 mV (Tabel 2). Hal ini disebabkan areal lahan bekas kebakaran masih sangat terbuka sehingga lebih banyak menyerap cahaya. Tumbuhan yang ada disekitarnya juga relatif kecil dengan tutupan tajuk yang sangat terbatas sehingga intensitas cahaya yang masuk cukup tinggi.

Pada saat kenaikan suhu aktivitas mikroorganisme semakin meningkat, sehingga proses dekomposisi akan berlangsung sangat cepat. Kemudian yang berpengaruh nyata kedua pada lahan jagung berpola kuadratik (Gambar 4C) dengan nilai R = 0,653 dan suhu tanah rata-rata 28,78 °C, sedangkan intensitas cahaya yang masuk pada yang terbuka 0 menit = 04,32 mV dan 6 menit = 04,46 mV, pada yang ada naungan 0 menit = 00, 27 mV dan 6 menit = 00, 33 mV (Tabel 2). Hal ini disebabkan pada lahan budidaya jagung selain terbuka sehingga banyak menyerap cahaya dan juga pengaruh dari pemupukan dari kompos kotoran sapi dan ayam sehingga mikroorganismenya tinggi yaitu 157

(12)

Vol. XI No.1, Juni 2016. Hal. 18-39

sel/ml sehingga sangat mempengaruhi emisi karbon dioksida. Hirano et al., (2009) mengatakan lamanya penyinaran matahari dan kondisi tutupan lahan akan mempengaruhi suhu tanah. Lafleur et al., (2015); Minkkinen et al., (2007); Makiranta et al., (2009) dalam Juahiainen

et al., (2012) juga mengatakan bahwa laju

dekomposisi bahan organik dilahan gambut meningkat positif dengan peningkatan suhu. Ditambahkan juga bahwa di daerah tropis, fluktuasi suhu harian dan tahunan relatif sederhana dibandingkan dengan lahan gambut non tropis. Kenaikan suhu umumnya setelah deforestasi dan juga peningkatan fluktuasi suhu harian dipermukaan gambut akibat tingkat dekomposisi gambut.

Gambar 8. Hubungan fluks karbon dioksida dengan suhu tanah di Gambut Pedalaman

Hilangnya permukaan gambut pada areal bekas kebakaran mungkin mengurangi aliran karbon dibandingkan dengan di lahan gambut tidak terbakar, tetapi kebakaran mengubah sifat gambut secara kimiawi, fisik dan mikrobiologis. Sebagai hasil dari kebakaran, karbon organik dan total nitrogen akan mengalami penurunan pada gambut yang tersisa, sedangkan nutrisi mineral, pH dan

bulk density menjadi naik (Dikici & Yilmaz, 2006; Smith et al., 2001). Kenaikan pH dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan berpotensi meningkatkan dekomposisi gambut (Moilanen et al., 2012). Namun, dengan penambahan abu hasil pembakaran akan meningkatkan pH gambut, efeknya pada aliran karbon adalah kompleks, termasuk positif (Moilanen et al., 2012), negatif Klemedtsson et al., 2010) dan bernilai (Hogg et al., 1992).

Kelembaban Tanah dan Fluks Karbon

dioksida (CO2 fluks) di Gambut

Pedalaman

Hasil analisis dari empat penggunaan lahan, bahwa hubungan kelembaban tanah dan fluks CO2 yang paling berpengaruh nyata dengan nilai R = 0,640 adalah pada lahan kebun karet dengan pola kuadratik terhadap perubahan kelembaban tanah (Gambar 5B). Dimana kelembaban tanah rata-rata 0,61 m3 m-3, sedangkan intensitas cahaya yang masuk pada yang terbuka 0 menit = 00,68 mV dan 6 menit = 00,76 mV, pada yang ada naungan 0 menit = 00, 25 mV dan 6 menit = 00, 25 mV (Tabel 2).

Hal ini disebabkan karena areal kebun karet tidak terlalu jauh dengan canal (±30 m), sehingga tanahnya cepat mengering karena air tanah mengalir ke arah kanal tersebut. Kelembaban tanah mempunyai hubungan yang kuat dengan kedalaman air tanah dan suhu. Selain itu juga kebun karet tersebut mempunyai tajuk yang agak terbuka sehingga intensitas cahaya yang masuk kepermukaan tanah cukup banyak. Kemudian yang berpengaruh nyata kedua yaitu pada areal hutan dengan berpola kuadratik terhadap kelembaban tanah

(13)

dengan nilai R = 0,632 (Gambar 5A). Dimana kelembaban tanah rata-rata 0,51 m3 m-3, sedangkan intensitas cahaya yang masuk pada yang terbuka 0 menit = 00,24 mV dan 6 menit = 01,42 mV, pada yang ada naungan 0 menit = 00, 18 mV dan 6 menit = 00, 18 mV (Tabel 2). Hal ini karena pada lahan hutan kelembabannya tinggi karena cahaya tidak dapat menembus ketanah karena terlindung oleh strata tajuk pohon dan anakan pohon dibawahnya. Menurut Sulistiyanto (2004) kelembaban tanah dan saturasi air terutama di permukaan gambut mengontrol aktivitas dan kecepatan pelapukan oleh mikroorganisme. Populasi dan aktivitas mikroorganisme meningkat pada kondisi tanah lembab dan aerob, selanjutnya dekomposisi menurun bahkan melambat pada kondisi anaerob.

Gambar 9. Hubungan Fluks karbon dioksida dengan kelembaban tanah di Gambut Pedalaman

Liyama dan Osawa (2010) dalam Jauhiainen, et al., (2012) juga mengatakan, ketika mengukur hubungan antara emisi CO2 dan kedalaman air tanah, harus diingat bahwa kedalaman air tanah tidak mengontrol oksidasi gambut. Sebaliknya, digunakan untuk mengukur

kelembaban dari lahan gambut di atas air tanah, yang memiliki efek langsung terhadap oksidasi gambut dengan mempengaruhi ketersediaan oksigen dalam ruang yang berpori. Ditambahkan juga bahwa pada lahan gambut yang mempunyai kedalaman air tanah yang tinggi dan tidak ada kontrol drainase yang baik, mempunyai hubungan yang kuat dengan kelembaban tanah.

Kedalaman Air Tanah (Water Table) dan Fluks Karbon dioksida (CO2 fluks) di Gambut Pedalaman

Hasil analisis fluks CO2 pada empat penggunaan lahan dalam hubungannya dengan perubahan kedalaman air tanah (water table), menunjukan hubungan dengan pola kuadratik dan berpengaruh nyata adalah pada kebun karet dengan nilai R = 0,872 (Gambar 6B). Dimana rata-rata kedalaman air tanahnya 83,74 cm dari permukaan tanah, intensitas cahaya yang masuk pada lokasi terbuka 0 menit = 00,68 mV dan 6 menit = 00,76 mV, ada naungan 0 menit = 00, 25 mV dan 6 menit = 00, 25 mV (Tabel 2), dengan semakin dalam air tanah menunjukkan bahwa tingkat emisi karbon dioksida semakin meningkat seiring dengan penurunan permukaan tanah, namun pada kedalaman air tanah tertentu emisi karbon dioksida akan menurun membentuk pola kuadratik. Menurut Hirano et al., (2012) mengemukakan bahwa hubungan air tanah dan emisi karbon adalah hubungan yang linier. Setiap penurunan air tanah sebesar 0,1 m akan mengeluarkan aliran karbon dioksida sebesar 0,27 µmol m-2 detik-1. Fluks karbon dioksida sangat ditentukan oleh kedalaman air tanah, memberikan petunjuk bahwa pemanfaatan gambut untuk pertanian atau perkebunan harus

(14)

Vol. XI No.1, Juni 2016. Hal. 18-39

hati-hati, karena menurut Limin et al., (2005) jika lahan gambut dibuka untuk pertanian atau perkebunan pasti diikuti dengan pembuatan saluran pengering agar zona perakaran tanaman bebas dari jenuh air. Penurunan air tanah ini, akan menyebabkan lapisan gambut dipermukaan kering dan sangat mudah terbakar.

Gambar 10.

Hubungan Fluks karbon dioksida dengan kedalaman air tanah di Gambut Pedalaman

Jauhiainen et al., (2005, 2008, 2012) mengatakan bahwa total fluks CO2 dari lahan gambut tropis basah sangat rendah pada kondisi jenuh air pada musim penghujan dan meningkat naik saat air tanah turun pada saat musim kemarau. Ditambahkan juga jika air tanah berada dekat dengan permukaan untuk waktu yang lama, maka akan terjadi emisi karbon secara heterotropik yang begitu cepat seiring dengan perubahan kedalaman air tanah. Pada saat ini juga akan terjadi hubungan yang non linier antara air tanah dan kelembaban. Hirano

et al., (2012) juga mengatakan, peningkatan emisi karbon atau dekomposisi gambut oksidatif pada

kondisi air tanah rendah adalah karena penebalan zona tanah tak jenuh dan hasil dari peningkatan aerasi.

Mikroorganisme dan Fluks Karbon

dioksida (CO2 fluks) di Gambut

Pedalaman

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, menunjukkan bahwa hubungan antara besarnya rata-rata emisi CO2 yang dilepas ke permukaan tanah dari keempat tipe penggunaan lahan di Gambut Pedalaman, menunjukkan semakin banyak jumlah populasi mikroorganisme tanah maka semakin tinggi pula fluks CO2 yang dihasilkan dan sebaliknya semakin sedikit jumlah populasi mikroorganisme tanah yang dihasilkan maka semakin rendah pula fluks CO2 yang dihasilkan.

Gambar 11.

Hubungan Fluks karbon dioksida terhadap Populasi mikroorganisme tanah di Gambut Pedalaman

Hal tersebut dilihat pada lahan bekas terbakar jumlahnya lebih kecil diduga karena pada tutupan lahan yang

(15)

masih terbuka dengan suhu tanah yang tinggi dan dengan kelembaban tanah yang rendah maka mikroorganisme tidak dapat berkembang biak dengan baik. Begitu juga dengan kondisi tanahnya dimana porositas tanah sudah kurang baik pasca kebakaran sehingga CO2 mudah terlepas ke udara.

Suhu Tanah dan Fluks Karbon

dioksida (CO2 fluks) di Gambut Pasang Surut

Dari hasil analisis, hubungan suhu tanah dan fluks karbon dioksida di Gambut Pasang Surut berpola kubik pada areal hutan dengan nilai R = 0,545 (Gambar 7A). Dimana rata-rata suhu tanahnya 27,39 °C, sedangkan intensitas cahaya yang masuk pada daerah yang terbuka 0 menit = 00,40 mV dan 6 menit = 00,73 mV dan pada daerah yang ada naungan 0 menit = 00,15 mV dan 6 menit = 00,31 mV (Tabel 2). Suhu tanah lebih rendah pada lokasi hutan dibandingkan dengan lokasi yang lain.

Gambar 12.

Hubungan Fluks karbon dioksida dengan suhu tanah di Gambut Pasang Surut

Hal ini diduga karena pada lokasi hutan didominasi oleh pohon galam dengan tajuk yang cukup rapat sedangkan dipermukaan tanah didominasi oleh tumbuhan pakis-pakisan serta lapisan serasah yang cukup tebal. Selain itu perbedaan jenis tumbuhan yang tumbuh pada masing-masing lokasi juga berpengaruh terhadap kemampuan tanah menyerap dan menyimpan air sehingga menjaga suhu tanah tetap stabil.

Tetapi pada kondisi suhu tanah yang rendah masih memberikan pengaruh yang cukup besar dalam peningkatan fluks karbon dioksida. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya

jumlah mikroorganisme pada lokasi hutan dibandingkan dengan lokasi penggunaan lain, sehingga fluks karbon dioksida juga cukup tinggi. Brady (1997)

dalam Hirano et al., (2012) mengatakan

bahwa tingkat emisi CO2 dari sampel inkubasi permukaan gambut tropis Sumatera juga ditemukan dua kali lipat pada suhu antara 25 oC dan 35 oC.

Kelembaban Tanah dan Fluks Karbon dioksida (CO2 fluks) di Gambut Pasang

Surut

Berdasarkan hasil analisis, hubungan kelembaban tanah dan fluks karbon dioksida di Gambut Pasang Surut menunjukkan bahwa kelembaban tanah pada lahan bekas kebakaran menunjukan hubungan kuadratik nyata dengan nilai R = 0,617 (Gambar 8D). Kelembaban rata-rata tanahnya yaitu 0,50 m3 m-3, sedangkan intensitas cahaya yang masuk pada daerah yang terbuka 0 menit = 00,47 mV dan 6 menit = 00,58 mV dan pada daerah yang ada Naungan 0 menit = 00,16 mV dan 6 menit = 00,21 mV (Tabel 2). Pada lokasi lahan bekas kebakaran tumbuh beberapa pohon akasia yang

(16)

Vol. XI No.1, Juni 2016. Hal. 18-39

cukup besar, yang diameter pohonnya ± 20 cm dan pada bagian permukaan tanahnya tumbuh alang-alang serta beberapa jenis rumput-rumputan. Kelembaban sangat rendah dan sangat mendukung fluks karbon dioksida yang cukup besar.

Liyama dan Osawa (2010) dalam Jauhiainen, et al., (2012) mengatakan, ketika mengukur hubungan antara fluks CO2 dan kedalaman air tanah, harus diingat bahwa kedalaman air tanah tidak mengontrol oksidasi gambut. Sebaliknya, digunakan untuk mengukur kelembaban dari lahan gambut di atas air tanah, yang memiliki efek langsung terhadap oksidasi gambut dengan mempengaruhi ketersediaan oksigen dalam ruang yang berpori. Ditambahkan juga bahwa pada lahan gambut yang mempunyai kedalaman air tanah yang tinggi dan tidak ada kontrol drainase yang baik, mempunyai hubungan yang kuat dengan kelembaban tanah.

Gambar 13.

Hubungan Fluks karbon dioksida terhadap Kelembaban tanah di Gambut Pasang Surut

Menurut Toyota dan Okazaki (2004), berkaitan dengan neraca karbon, emisi sangat bergantung pada kelembaban

tanah. Perbedaan kelembaban tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi lahan, kedalaman muka air tanah, curah hujan dan distribusi cahaya matahari tertutup atau tidak oleh tajuk tanaman. Jika tanah dalam keadaan anaerob, maka aktivitas mikroorganisme aerob menurun, maka berdampak baik pada penurunan laju pelepasan CO2 ke permukaan tanah.

Kedalaman Air Tanah (water table) dan Fluks Karbon dioksida (CO2 fluks) di

Gambut Pasang Surut

Berdasarkan hasil analisis, hubungan kedalaman air tanah dan fluks karbon dioksida di Gambut Pasang Surut menunjukkan bahwa kedalaman air tanah pada lahan kebun jagung berpengaruh nyata dengan nilai R = 0,743 dengan pola kuadratik terhadap kedalaman air tanah (Gambar 9C). Dimana kedalaman air tanah rata-rata 68,96 cm, sedangkan intensitas cahaya yang masuk pada daerah yang terbuka 0 menit = 04,50 mV dan 6 menit = 04,53 mV dan pada daerah yang ada naungan 0 menit = 00,53 mV dan 6 menit = 00,61 mV (Tabel 2).

Gambar 14. Hubungan Fluks karbon dioksida dengan kedalaman air tanah di Gambut Pasang Surut

(17)

Mikroorganismenya sangat kecil dibandingkan dengan lokasi yang lain, tetapi aktivitasnya akan meningkat yang mendukung terjadinya fluks karbon dioksida yang cukup besar. Ueda et al., (2000) dan Jali (2004) mengatakan bahwa kondisi air tanah selama musim kering akan meningkatkan ketersediaan bahan organik aerobik untuk berdekomposisi. Kondisi racun dan peningkatan potensi redoks disebabkan oleh drainase yang kurang baik, diketahui mendukung aktivitas mikroorganisme dan mineralisasi nitrogen.

Rumbang (2009) menyatakan bahwa semakin jauh air tanah turun dari permukaan tanah maka emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut semakin besar. Perubahan kondisi anaerob menjadi aerob akibat menurunnya permukaan air tanah memicu meningkatnya emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut.

Mikroorganisme dan Fluks Karbon dioksida (CO2 fluks) di Gambut Pasang Surut

Berdasarkan hasil analisis di laboratorium, menunjukkan bahwa jumlah mikroorganisme pada berbagai tipe penggunaan lahan di Gambut Pasang Surut jumlahnya jauh lebih kecil dari jumlah berbagai tipe penggunaan lahan di Gambut Pedalaman, berdasarkan data sampel lapangan yang dianalisis di laboratorium jumlah mikroorganismenya sedikit tetapi fluks karbon dioksidanya lebih tinggi, hal ini diduga karena pengaruh dari pirit (FeS2) yang teroksidasi mengandung sulfat masam untuk menghambat aktivitas mikroorganismenya dalam mempercepat dekomposisi gambut. Hal ini sesuai dengan pendapat Madjid (2009), menyatakan bahwa akibat

terjadinya oksidasi senyawa pirit (FeS2) yang menghasilkan asam sulfat, membuat pH tanah sangat masam, kemasaman tersebut berdampak negatif terhadap sifat kimia tanah dan aktivitas mikroorganisme tanah. Sebagai informasi tambahan di Gambut Pasang Surut, khususnya kebun karet dan dan tanaman jagung masyarakatnya jarang menggunakan pupuk organik maupun anorganik, hal tersebut juga diduga akan mengurangi mikroorganisme yang ada di permukaan tanah.

Gambar 15. Hubungan Fluks karbon dioksida dengan populasi mikroorganisme di Gambut Pasang Surut

Faktor lain yang Berpengaruh terhadap Fluks Karbon dioksida (CO2

fluks)

Intensitas Cahaya

Cahaya matahari sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk dapat melakukan fotosintesis, cahaya juga berperan dalam respirasi dan peningkatan suhu. Fotosintesis pada tanaman tergantung oleh adanya cahaya, air dan karbon dioksida tidak dapat langsung

(18)

Vol. XI No.1, Juni 2016. Hal. 18-39

dapat menjadi zat gula (glukosa) tanpa adanya bantuan cahaya.

Dalam kaitannya dengan fluks karbon dioksida Intensitas cahaya dan lamanya sinar matahari masuk ke permukaan tanah sangat mempengaruhi suhu tanah dan ketika suhu tanah naik maka kelembaban menjadi turun sehingga berpengaruh juga terhadap aktivitas mikroorganisme tanah dan mempercepat proses dekomposisi tanah. Dengan masuknya intensitas cahaya kepermukaan tanah maka akan mengubah suhu dan kelembaban tanah. Ma’shum et al., (2003) mengatakan, kondisi lingkungan yang berubah – ubah akan membawa dampak pada laju pertumbuhan bakteri yang berperan dalam proses dekomposisi.

pH Tanah

Tanah gambut di Indonesia umumnya masam dengan pH berkisar antara 3-5. Kemasaman tanah gambut disebabkan oleh kandungan asam-asam organik yang terdapat pada koloid gambut. Dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob menyebabkan terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat membuat kemasaman gambut menjadi tinggi dan dapat meracuni tanaman pertanian (Triutomo dkk., 1993). pH tanah kaitannya dengan fluks karbon dioksida berkaitan juga dengan elektric cunductivity yang berhubungan dengan proses oksidasi dan reduksi, yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam proses dekomposisi (pelapukan) pada tanah gambut.

KESIMPULAN

1. Fluks karbon dioksida (CO2 fluks) pada ke empat tipe penggunaan lahan di lapangan, di Gambut Pasang Surut (Purwodadi) secara keseluruhan lebih

tinggi dibandingkan dengan di Gambut Pedalaman (Kalampangan), namun pada hutan alami lebih tinggi di Gambut Pedalaman (Kalampang an).

2. Di Lahan Gambut Pasang Surut, faktor kedalaman air tanah berpengaruh nyata pada nilai fluks karbon dioksida di lahan jagung dengan pola kuadratik, faktor kelembaban tanah berpengaruh nyata pada nilai fluks karbon dioksida di lahan bekas terbakar dengan pola kuadratik dan faktor suhu tanah berpengaruh nyata pada nilai fluks karbon dioksida di lahan hutan dengan pola kubik. Sedangkan Di Lahan Gambut Pedalaman, faktor kedalaman air tanah berpengaruh nyata pada nilai fluks karbon dioksida di kebun karet dengan pola kuadratik, faktor kelembaban tanah berpengaruh nyata pada nilai fluks karbon dioksida di kebun karet dengan pola kuadratik dan faktor suhu tanah berpengaruh nyata pada nilai fluks karbon dioksida di lahan bekas terbakar dengan pola kuadratik.

3. Jumlah mikroorganisme di gambut pasang surut, di lahan hutan 73 sel/ml, kebun jagung berjumlah 51 sel/ml, kebun karet berjumlah 36 sel/ml, dan dilahan bekas kebakaran berjumlah 18 sel/ml. Sedangkan di gambut pedalaman mikroorganisme rata – rata lebih tinggi yaitu pada kebun jagung berjumlah 157 sel/ml, kebun karet berjumlah 154 sel/ml, lahan hutan berjumlah 137 sel/ml dan dilahan bekas kebakaran berjumlah 80 sel/ml. 4. Di Lahan Gambut Pasang Surut, suhu

tanah, kelembaban tanah, kedalaman air tanah berpengaruh terhadap fluks karbon dioksida dan mikroorgnisme pengaruhnya kecil. Sedangkan di di

(19)

Lahan Gambut Pedalaman, suhu tanah, kelembaban tanah, kedalaman air tanah dan mikroorganisme tanah berpengaruh terhadap fluks karbon dioksida.

DAFTAR PUSTAKA

Buckman, H.O., dan N.C. Brady. 1982.

Ilmu Tanah terjemahan Soegiman.

Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Dikici H, CH. Yilmaz. 2006. Peat Fire effects on Some Properties of an Artificially drained Peatland. Journal of Environment Quality, 35 - 866.

Foth, H.D. 1991. Dasar-dasar Ilmu Tanah Edisi Ketujuh. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Haneda. 2004. Hubungan Efek Rumah

Kaca, Pemanasan global dan Perubahan Iklim.

http://climatechange. menlh.go.id Hirano, T., J. Jauhiainen., T. Inoue., H.

Takahashi. 2009. Controls On Carbon balance of Tropical Peatlands. Ecosystem 12 : 873 – 887.

Hirano, T., K. Kusin., S. Limin., M. Osaki. 2012. Carbon dioxide Emissions Through Oxidative Peat Decomposition on a Burnt Tropical Peatland. Global Change Biology : 130 – 121.

Hooijer, A., M. Silvius., H. Wosten., and S. Page. 2006. PEATCO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Report Q3943. Delft Hydraulics, Delft, The Netherlands.

Hogg EH., VJ. Lieffers., RW. Wein. 1992. Potential Carbon Losses from Peat Profiles : Effects of Temperature, Drought Cycles, and Fire. Ecological Applications, 2, 298 – 306.

Hu, R., K., Kanako, and R., Hatano. 2001.

Soil Respiration and Methane Flux in Adjacent Forest, Grassland and Cornfield Soils in Hokkaido Japan.

Short Paper (Soil Science Plant Nutrient., 47(3). Hokkaido University. Sapparo Japan. 621 – 627.

Isroi, 2008. Bioteknologi Mikroba untuk Pertanian Organik. Biogen online.

http://biogen litbang

deptan.go.id/berita artikel/artikel 2006 bioteknologi mikroba.php (13 Juli 2008)

Jali, D. 2004. Nitrogen mineralization in the tropical peat swamp. J. Paivanen, (ed.). Wise use of peatlands. Proceedings of the 12th International Peat Congress, 6-11 June 2004 Tampere. International Peat Society, Jyvaskyla, Finland. Pages 644-652.

Jauhiainen, J., J. Heikkinen., P.J. Martikainen., and H. Vasander., 2001. CO2 and CH4 fluxes in pristine and peatland converted to agriculture in Central Kalimantan, Indonesia. International Peat Journal, 11, pp.43-49.

Jauhiainen, J., H. Takahashi., J. E. P. Heikkinen., P. J. Martikainen., and H. Vasander. 2005. Carbon fluxes from a tropical peat swamp forest floor. Global Change Biology 11: 1788 - 1797.

(20)

Vol. XI No.1, Juni 2016. Hal. 18-39

Jauhiainen, J., S. Limin, S. Silvennoinen, H. Vasander. 2008. Carbon dioxide and methane in drained tropical peat before and after hydrological restoration. Ecology, 89 (12): 3503 – 3514.

Jauhiainen, J, A. Hooijer., S.E. Page. 2012. Carbon dioxide Emission from an Acaciaplantation on peatland in Sumatra, Indonesia. Biogeosciences, 9 : 617 – 630. Kawahigashi, M., and H. Sumida. 2006.

Humus Composition and Physico-Chemical Propeties Humic : Acids and Tropical Peat Soil Under Sago Palm Plantation. Soil Science &

Plant Nutrition 52 (2) : 153-161. Kementerian Kehutanan. 2008.

Consolidation report. Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation in Indonesia. Kementerian Kehutanan, Jakarta, Indonesia dalam D. Murdiyarso, S. Dewi, D. Lawrence, F. Seymour. Moratorium Hutan Indonesia Batu Loncatan Untuk Memperbaiki Tata Kelola Hutan? working paper. 2011. CIFOR, Indonesia.

Klemedtsson, L., M. Ernfors., R G. Bjork., P. Weslien., T. Rutting., P. Crill., U. Sikjstrom. 2010. Reduction of Greenhouse Gas Emission by Application to a Picea abies (L). Karst. Forest on Drained Organic Soil. European Journal of Soil Science, 61, 734 – 744.

Kusin, K., Y. Ermiasi. 2010. Carbon Emission from Degradated Peatland in Mega rice project Central Kalimantan (preliminary result). International Workshop on ”Ecology and Management of Peat Swamp Forest in Central Kalimantan. Ehime University, Japan, January 24 – 27, 2010.

Kusin, K. 2013. Aliran Karbondioksida pada Gambut Terdegradasi di Kalampangan Zone Blok C eks PLG. Tesis Program Pascasarjana. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Universitas Palangka Raya.

Limin, S.H., T.N. Saman ., A. Jaya., S. Alim. 2005. Giving full Responsibility for Local Community as one way for Fire Management in Central Kalimantan : The TSA concept. Proceeding of The International Symposium and Workshop on Tropical Peatland “Restoration and Wise Use of Tropical Peatland : Problem of Biodiversity, Fire, Poverty and Water Management. Palangka Raya, 20 – 2 September 2005.

Madjid, A. 2009. Pengelolaan Kesuburan Tanah Sulfat Masam (Bagian 4 E). Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Palembang.

Ma’shum, M.S., Joendoro, dan L.E. Susilowati. 2003. Biologi Tanah. Dikti. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Melling L., R. Hatano., KJ. Goh. 2005a: Soil CO2 flux from three ecosystems in thropical peatland of Sarawak, Malaysia. Tellus, 57B, 1-11.

Moilanen, M., Hytonen J., Leppala M. 2012. Application of Wood ash Accelerates Soil Respiration and Tree Growth on Drained Peatland. European Journal of Soil Sciences, 63, 461 467 – 475.

Mudiyarso, D., M. van Noordwijk., dan L.V. Verchot. 2010. Opportunities for reducing greenhouse gas emissions in tropical peatlands. Proceedings of the National Academy of Sciences USA 107:19655-19660 dalam D.

(21)

Murdiyarso, S. Dewi, D. Lawrence, F. Seymour. Moratorium Hutan Indonesia Batu Loncatan Untuk Memperbaiki Tata Kelola Hutan? working paper. 2011. CIFOR, Indonesia.

Noor, M. 2004. Lahan Rawa. Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Numberi, F. 2009. Perubahan Iklim,

Implikasinya Terhadap Kehidupan di Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Fortuna Prima Makmur.

Jakarta.

Page, S. 2004. The Biodiversity of Peat Swamp Forest Habitats in S.E. Asia ; Impacts of land-Use and Environmental Change ; Implications for Sustainable

Ecosystem Management.

STRAPEAT Project.

Rachdie. 2006. Teknik Dasar Analisa

Mikroba 2.

http://www.rachdie.blogsome.com/2 006/11/02/teknik-dasar-analisa-mikrobiologi-2/

Rieley J. 2010. Carbopeat Technical Report Series. Extent and Significance of Tropical Peat Carbon Pools. University Of Leicester and CARBOPEAT Partners.

Rumbang N. B. Rajaguguk., and D. Prajitno. 2008. Emission of CO2 from Tropical Peat Soil Under Different Land Use Tipes. In Farrel and Feehan (eds). After Wise Use – the Future of Peatland-Proceedings of the 13th International Peat Congress, 8 – 13 June 2008. Tullamore. Vol. 2. International Peat Society, Jyvaskyla, PP. 113 – 116. Sabiham S. 2007. Pengembangan Lahan

Secara Berkelanjutan Sebagai Dasar

dalam Pengelolaan Gambut Indonesia. Makalah Utama disimpulkan pada Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa di Kapuas, 3 – 4 Juli 2007.

Smith SM., S. Newman., PB. Garret., JA. Leeds. 2001. Differential Effects of Surface and Peat Fire on Soil constituents in a Degraded Wetland of Northern Florida Everglades. Journal of Environment Quality, 30, 1998 – 2005.

Subagyo H. 1997. Potensi Pengembangan dan Tata Ruang Lahan Rawa untuk Pertanian. Hlm 17-55 dalam A.S Karama. (penyunting). Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Makalah Utama. Jakarta, 25 – 27 Juni 1997.

Sulistiyanto Y. 2004. Disertation. Nutrient Dynamic in Different Sub-Type of Peat Swamp Forest in Central Kalimantan, Indonesia. The University of Nottingham – United Kingdom.

Takakai, F., D. Salampak ., U. Darung., T. Morishita., S.H. Limin., and R. Hatano. 2004. The effects of forest fire and agriculture on CO2 emission from tropical peatland central kalimantan indonesia. Hokkaido university, sapporo. Japan.

Toyota, K. and Okazaki. (2004). Effect of Moisture Condition and Vegetation Tipes on Microbial Community of Tropical Peat Soils. Field Science Center for Northern Biosphere. Hokkaido University Sapporo. Japan. P. 30 – 41.

Triutomo, S., B. Setiadi, B. Nurachman, D. Mulyono, E. Nursahid, dan. Kasiran. . 1993. Perombakan Bahan Organik oleh Mikroorganisme Anaerob. Proceedings Seminar

(22)

Vol. XI No.1, Juni 2016. Hal. 18-39

Nasional Gambut II. Jakarta. 14 -15 Januari 1993.

Ueda, S., C.S. Go, T. Yoshioka., N. Yoshida., E. Wada., T. Miyajima., A. Sugimoto., N. Boontanon., P. Vijarnsorn., and S. Boonprakub. 2000. Dynamics of Dissolved O2, CO2, CH4, and N2O in a tropical coastal swamp in southern Thailand. Biogeochemistry 49 : 191 – 215. Wahyunto, S. Ritung., Suparto., H.

Subagjo. 2005. “ Sebaran Gambut

dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan”. Proyek

Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor. Wibisono I.T.C. 2005. Panduan

Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Bogor.

Wildensyah, I. 2002. Sisi Lain dari Ozon

dan Efek Rumah Kaca. Pikiran

rakyat Cyber Media.

http://www.pikiran-rakyat.com Wetlands International. 2006. Peta luas

Sebaran gambut dan Kandungan karbon di Pulau Kalimantan.

Widjaja Adhi. 1992. Sumberdaya Lahan Rawa : Potensi, Keterbatasan, dan Pemnafaatan. Dalam Sutjipto P. Dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3 – 4 Maret 1992. Hlm 19-38.

White, 1947. dalam Pengkajian Endapan Gambut Bersistim di Daerah Pakbiban – Bekuyu Kecamatan Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Wijaya T 2000. http:www. dim.esdm.go.id/

kolokium/202000/Bayuku.pdf. (13 Juli 2008).

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Tabel 1.   Rata-Rata  fluks  CO 2 ,  suhu  tanah,  kelembaban  tanah,  kedalaman  air  tanah,  jumlah  mikroorganisme  tanah  dan  pH  tanah  pada  berbagai  tipe  lahan  di  Gambut  Pedalaman dan Pasang Surut
Gambar 4.    Bentuk  Hubungan  Fluks  Karbon  dioksidsa  (CO 2 fluks)  dan  Kedalaman  Air  Tanah  pada  :  A:
Gambar 6   Bentuk  Hubungan  Fluks  Karbon  dioksida  (CO 2   fluks)  dan Kelembaban Tanah pada A:
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kajian ini mengindikasikan bahwa untuk menekan kehilangan karbon atau emisi CO2 pada usaha tanaman tahunan di lahan gambut sebaiknya kedalaman muka air tanah maksimum ≤ 52

Hasil percobaan pengelolaan air sistem tabat dengan mengkonservasi air hujan untuk pertanaman padi varietas IR66 pada musim hujan dengan pola padi- padi di lahan pasang surut

Pengelolaan lahan pasang surut terdapat kendala yaitu kondisi permukaan air yang selalu berubah dan kedalaman lapisan sulfidik atau pirit dalam tanah.Untuk

Untuk mempelajari perubahan karakteristik tanah pasang surut ditutupi bahan organik (gambut) setelah direklamasi, maka dilakukan penelitian di Delta Berbak dengan

pasang. Tidak ada pengaruh pasang surut pada air tanah Muka lahan Lahan terluapi minimum 4-5 kali per siklus pasang purnama hanya musim hujan hujan.. Kondisi

Berat biomassa atas (batang dan daun), biomassa akar, total biomassa, dan fluks CH 4 dari empat varietas padi pasang surut yang diukur pada tiga usia tumbuh.

Pemodelan fluktuasi muka air tanah pada lahan rawa pasang surut tipe B/C dilakukan di blok tersier, yaitu pada petak lahan di antara dua saluran tersier yang sejajar seperti

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa Kelapa Dalam yang ditanam pada lahan gambut dan lahan pasang surut menunjukkan perbedaan ukuran