• Tidak ada hasil yang ditemukan

Emisi Karbon Dioksida Dari Tanaman Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut Di Sumatra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Emisi Karbon Dioksida Dari Tanaman Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut Di Sumatra"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

EMISI KARBON DIOKSIDA DARI TANAMAN

KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT DI SUMATERA

FITHRA KAMELA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

FITHRA KAMELA. Emisi Karbon Dioksida Dari Tanaman Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut Di Sumatera

Lahan gambut terbentuk dari tanaman yang terdekomposisi, kondisi vegetasi yang seluruhnya berada dalam kondisi tergenang. Proses pembentukan lahan gambut terjadi saat deposisi karbon melebihi laju kehilangan karbon. Lahan gambut di dunia hanya 3% dari seluruh daratan, tetapi menyimpan 30% dari karbon yang tersimpan pada tanah di dunia. Indonesia diperkirakan memiliki jumlah karbon terbesar pada gambut tropis yaitu 57,4 Gt. Selama 20 tahun terakhir, lahan gambut digunakan sebagai lahan pertanian. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar dikembangkan pada lahan gambut. Pada tahun 1990, luas lahan kelapa sawit pada lahan gambut di Sumatera memiliki luas 17.985 ha, hingga tahun 2010 perluasan kembali terjadi hingga mencapai luas 1.026.922 ha. Pengembangan kelapa sawit dilahan gambut dapat menggangu salah satu fungsi lahan gambut yaitu sebagai penyimpan karbon. Studi pustaka ini bertujuan mengkaji pengaruh drainase terhadap emisi karbon dioksida tanaman kelapa sawit pada lahan gambut di Sumatera. Drainase pada lahan gambut menyebabkan peningkatan emisi karbon dioksida. Pemisahan proses-proses pada emisi karbon dioksida menunjukkan seberapa besar kontribusi dari dekomposisi gambut, respirasi akar, biomassa tanaman serta kebakaran dalam pembersihan lahan. Respirasi autotrofik (respirasi akar) memiliki peran sebesar 27% dari total respirasi tanah dan respirasi heterotrofik (dekomposisi gambut) sebesar 73% dari total respirasi tanah.

Kata Kunci : Emisi Karbon Dioksida, Gambut, Kelapa Sawit, Respirasi Autotrofik, Respirasi Heterotrofik

(3)

ABSTRACT

FITHRA KAMELA. Carbon Dioxide Emissions from Oil Palm Plantation on Peatland in Sumatera. (Supervised by: Daniel Murdiyarso)

Peatlands are formed by decomposed plants residues, with vegetation that are submerged. The process of peat formation occurs when the rate of deposition exceeds the rate of loss of organic materials. Peatlands in the world only 3% of the entire land, but store 30% of the world terrestrial carbon. Indonesia is estimated to have the largest amount of carbon in tropical peat of 57,4 Gt. Over the past 20 years, peatlands have been converted for agriculture. Oil palm plantations in Indonesia are mostly developed on peat soil. In 1990, the area of oil palm on peat land in Sumatra was 17.985 hectares, and substantially increased up to 1.026.922 hectares in 2010. The development of oil palm on peatland involve drainage that can disturb the capacity of peatlands in storing carbon. This literature study aims to assess the effect of drainage on carbon dioxide emissions of oil palm plantations on peatlands in Sumatera. Drainage of peatlands lead to an increase in carbon dioxide emissions. Separation processes in carbon dioxide emissions shows the contribution of peat decomposition, root respiration, plant biomass and fires for land clearing. Heterotrophic respiration (decomposition of peat) contributes 73% of the total soil respiration and the remaining 27% is from autotrophic respiration (root respiration).

(4)

© Hak cipta milik IPB (Institut Pertanian Bogor), tahun 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB.

(5)

EMISI KARBON DIOKSIDA DARI TANAMAN

KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT DI SUMATERA

FITHRA KAMELA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Emisi Karbon Dioksida Dari Tanaman Kelapa Sawit Pada Lahan

Gambut Di Sumatra

Nama

: Fithra Kamela

NRP

: G24080063

Menyetujui,

Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso

NIP. 19550910 197903 1003

Mengetahui,

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.

NIP. 19600305 198703 2 002

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Studi pustaka yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini berjudul Emisi Karbon Dioksida dari Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut di Sumatera sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Studi Meteorologi Terapan. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso selaku pembimbing tugas akhir yang memberikan arahan, motivasi, dan kesempatan belajar dalam penyelesaian tugas akhir, Dosen dan Staf Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB atas bantuan dan kerja sama selama penulis menjalani studi di Departemen, Center For International Forestry Research (CIFOR) yang bersedia memberikan kesempatan penulis untuk memperoleh fasilitas dan informasi untuk keperluan tugas akhir, seluruh teman-teman GFM angkatan 45 beserta Yulia Anggraeni dan Rizki Septiani atas motivasi dan dukungannya selama penyelesain tugas akhir serta persahabatan dan persaudaraannya, Akfia Rizka Kumala atas bantuannya dalam pengeditan tulisan, teman-teman Center For International Forestry Research (CIFOR) yang bekerja bersama, dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini. Dan tulisan ini saya dedikasikan kepada keluarga tercinta, Mama (Jusmaniar), Buya (Risman Muchtar), Kakak (Rahmi Fadhlia, Sayyid Afdhal El Rahimi, Muslimatun Hurriyyah, Ahmad Zacky El Amini), Kakak Ipar (Ira Wati), Keponakan (Alqia Afra Humaira) dan seluruh keluarga atas doa, kasih sayang dan segala dukungannya.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat bagi pembaca dan seluruh pihak terkait.

Bogor, Oktober 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Payakumbuh pada tanggal 19 Desember 1989 dari ayah Risman Muchtar, S.Sos.I dan Ibu Jusmaniar. Penulis merupakan putri kelima dari lima bersaudara. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN Kelapa Gading Timur 01 Pagi Jakarta Utara sejak tahun 1995-2001, melanjutkan ke SMP Negeri 123 Jakarta dan tamat pada tahun 2004 serta menyelesaikan sekolah di SMA Negeri 45 Jakarta pada tahun 2007. Tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis diterima di IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan memilih mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama masa perkuliahan penulis mengikuti Himpunan Profesi Agrometeorologi (Himagreto) tahun 2010 – 2011. Penulis mengikuti kegiatan magang di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung pada tahun 2011.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

1.3 Rumusan Masalah ... 1

1.4 Manfaat Studi Pustaka ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1 Lahan Gambut ... 2

2.2 Pengembangan Tanaman Kelapa Sawit pada Lahan Gambut ... 3

2.3 Sumber Emisi Karbon Dioksida dari Kelapa Sawit di Lahan Gambut ... 3

2.4 Hubungan Drainase dengan Emisi Karbon Dioksida ... 4

III. BAHAN DAN METODE ... 5

3.1 Waktu dan Lokasi Studi ... 5

3.2 Alat dan Bahan ... 5

3.3 Metode ... 5

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 6

4.1 Bulk Density dan Konsentrasi Karbon Lahan Gambut yang ditanam Kelapa Sawit... 6

4.2 Pengaruh Drainase terhadap emisi karbon dioksida ... 7

4.3 Faktor Emisi Karbon Dioksida tanaman Kelapa Sawit pada Lahan Gambut ... 7

4.4 Emisi Karbon Dioksida Total tanaman Kelapa Sawit pada Lahan Gambut di Sumatera ... 12

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 14

5.1 Simpulan ... 14

5.2 Saran ... 14

DAFTAR PUSTAKA ... 14

(10)

x

DAFTAR TABEL

1 Daftar literatur yang digunakan dalam studi ... 6

2 Nilai bulk density dan konsentrasi karbon lahan gambut yang ditanami kelapa sawit pada lapisan kedalaman yang berbeda ... 6

3 Emisi karbon dioksida dari tanaman kelapa sawit pada lahan gambut dari berbagai studi ... 8

4 Pelepasan karbon pada pengolahan kelapa sawit di lahan gambut (Selama 25 tahun) ... 9

5 Karbon Masuk Sebelum konversi Hutan Rawa Gambut menjadi Tanaman kelapa sawit ... 9

6 Karbon keluar sesudah konversi hutan rawa gambut menjadi tanaman kelapa sawit ... 9

7 Biomassa tanaman kelapa sawit (Selama 25 Tahun) ... 9

8 Faktor emisi CO2eq (t ha-1) pada konversi hutan menjadi tanaman kelapa sawit di lahan gambut ... 10

(11)

DAFTAR GAMBAR

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Sebaran Lahan Gambut Sumatera ... 18

2 Perluasan Lahan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Tahun 1990 dan 2000 ... 19

3 Perluasan Lahan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Tahun 2007 dan 2010 ... 20

4 Luas Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut di Sumatera Tahun 1990 – 2010 ... 21

5 Luas Kelapa Sawit pada Lahan Gambut di Sumatera Berdasarkan Kecenderungan Data Historis ... 21

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luas lahan gambut tropis di dunia diperkirakan 441.025 km2 ( 11% dari lahan gambut dunia) seluas 247.778 km2 (56%) berada di Asia Tenggara (Page et al. 201). Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer meningkat dari 280 ppm pada tahun 1750 menjadi 345 ppm pada tahun 1984. Gas CO2 dan gas rumah kaca lainnya yang dihasilkan dari proses industri dan pertanian dapat menyerap radiasi termal yang dipancarkan oleh permukaan bumi. Para peneliti memperkirakan bahwa peningkatan gas-gas di atmosfer akan mengakibatkan perubahan signifikan terhadap iklim (Detwiler dan Hall 1988).

Indonesia memiliki area lahan gambut terbesar yaitu 206.950 km2 (47% dari perkiraan total secara global). Area lahan gambut terbesar berikutnya terdapat di Malaysia 25.889 km2 (6%) dan Papua Nugini 10.986 km2 (3%). Negara lain yang memiliki lahan gambut dengan luas area sekitar 1% yaitu Brunei, Myanmar, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Indonesia diperkirakan memiliki cadangan karbon terbesar pada gambut tropis yaitu 57,4 Gt (65% dari total karbon secara global) dan diikuti oleh Malaysia yaitu 9,1 Gt (10%) (Page et al. 2011).

Lahan gambut dikonversi menjadi lahan pertanian. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar dikembangkan pada lahan gambut. Lahan gambut di Sumatera seluas 7.234.069 ha dan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut pada tahun 2010 seluas 1.026.922 ha (ICCT 2012).

Kelapa sawit merupakan komoditi yang saat ini banyak dikembangkan para pengusaha besar maupun petani tradisional disebabkan permintaan akan kelapa sawit meningkat dari berbagai negara. Hal tersebut karena kebutuhan minyak bumi sebagai sumber energi di dunia semakin meningkat. Cadangan minyak bumi semakin menipis dan dunia mulai beralih ke sumber energi alternatif. Minyak sawit dapat dijadikan biodiesel yang merupakan sumber energi alternatif pengganti minyak bumi. Indonesia termasuk negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.

Perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sejak tahun 1990 terus meningkat dari 2.412.612 ha hingga tahun 2011 menjadi 20.114.419 ha (Deptan 2011). Luas

lahan kelapa sawit terbesar di Indonesia berada di Sumatera. Pada tahun 2011 mencapai 5.344.243 ha (Deptan 2011). Lahan gambut terluas di Indonesia juga berada di Sumatera sebesar 7.234.069 ha (ICCT 2012). Kemungkinan tanaman kelapa sawit akan terus dikembangkan pula di lahan gambut.

Pengolahan kelapa sawit pada lahan gambut membutuhkan drainase (Rothwell et al. 1996; Minkkinen dan Laine 1998). Drainase dapat menyebabkan penyusutan dan oksidasi (Couwenberg et al. 2010). Tingkat emisi karbon dioksida ke atmosfer bergantung pada banyak faktor termasuk kondisi iklim, jenis gambut, tingkat dekomposisi, kedalaman muka air, dan suhu tanah selain dari jenis dan intensitas pemanfaatan lahan (Oleszczuk et al. 2008).

Studi pustaka ini mengkaji emisi karbon yang dihasilkan lahan gambut yang dikonversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit untuk wilayah Sumatera, dilihat dari pengaruh drainase terhadap emisi karbon dioksida serta implikasi pemisahan emisi karbon dioksida dalam proses heterotrofik dan autotrofik.

1.2 Tujuan

Studi pustaka ini bertujuan :

1. Mengkaji pengaruh drainase terhadap emisi karbon dioksida tanaman kelapa sawit pada lahan gambut di Sumatera 2. Mengkaji implikasi pemisahan emisi

karbon dioksida dalam proses heterotrofik dan autotrofik

1.3 Rumusan Masalah

Lahan gambut mempunyai fungsi sebagai penyimpan karbon. Lahan gambut mengalami konversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Dalam pengolahan lahan kelapa sawit, karbon yang tersimpan di lahan gambut mengalami pelepasan serta memerlukan drainase. Drainase yang dilakukan di lahan gambut dapat menyebabkan pemadatan pada tanah gambut sehingga terjadi penurunan muka tanah gambut (subsiden) karena terjadi penyusutan dan oksidasi (Couwenberg et al. 2010). Proses oksidasi pada tanah gambut menghasilkan produk yaitu karbon dioksida yang akan dilepaskan dari tanah menuju ke atmosfer.

1.4 Manfaat Studi Pustaka

(14)

2

dioksida serta dampak yang terjadi akibat konversi lahan gambut menjadi lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Studi ini dapat digunakan sebagai masukan dalam membuat kebijakan berbagai pihak yang berwenang, pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan pengembangan kelapa sawit di lahan gambut, khususnya wilayah Sumatera, serta sebagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan Gambut

Lahan gambut merupakan ekosistem yang mempunyai lapisan permukaan dengan ketebalan sekitar 30-40 cm atau lebih. Sebagian gambut terdiri dari tanaman yang terdekomposisi dan terbentuk di suatu tempat, pada umumnya berasal dari dasar yang jenuh atau dekat dengan permukaan. Kondisi yang paling dominan dalam pembentukan gambut yaitu pada kondisi vegetasi yang seluruhnya berada dalam kondisi tergenang air (Rydin dan Jeglum 2006 dalam Frolking et al. 2011).

Proses pembentukan lahan gambut terjadi saat deposisi karbon melebihi, laju kehilangan karbon akibat dekomposisi dan drainase. Hal tersebut terjadi karena kondisi anaerobik yang terdapat dalam rawa gambut (Melling dan Henson 2011). Lahan gambut dikenal sebagai penyimpan karbon global terbesar dan secara signifikan merupakan kontributor terhadap fluks karbon. Indonesia memiliki area lahan gambut terbesar keempat di dunia (Chen et al. 2008). Lahan gambut dunia hanya 3% dari seluruh daratan di dunia, tetapi menyimpan 30% dari karbon yang tersimpan di tanah di dunia (Murdiyarso et al. 2010; Limpens et al. 2008).

Lahan gambut tropis secara global sebesar 24,8 Mha dan hampir sebagian besar lahan gambut tropis berada di Asia Tenggara sebesar 56%, terluas berada di Indonesia dan Malaysia. Rata-rata ketebalan gambut yang terdapat di kedua negara tersebut lebih dari 5 m dan berisikan 77% dari keseluruhan karbon yang berada di lahan gambut tropis. Indonesia merupakan penyimpan karbon terbesar pada lahan gambut tropis sebesar 57,4 Gt atau 65% dari keseluruhan karbon pada lahan gambut tropis di dunia (dengan bulk density pada 0,09 gcm-3 dan konsentrasi karbon pada 56%). Gambut Indonesia diperkirakan mempunyai volume 1.138

Gm3, setara dengan 70% volume gambut tropis secara global (Page et al. 2011).

Karakteristik lahan gambut antara lain konsentrasi karbon tinggi pada keseluruhan kedalaman lahan dan memiliki nilai bulk density yang rendah. Bulk density adalah massa tanah per sample volume (gcm-3). Ketika terjadi pemadatan tanah, bulk density yang didefinisikan sebagai rasio dari berat kering dan volume pada sample gambut meningkat (Minkkinen dan Laine 1998). Untuk mendapatkan nilai bulk density, tidak dilakukan pengukuran di semua tempat yang dikaji karena nilai bulk density tidak akurat khususnya bulk density yang telah terjadi pemadatan, sehingga dalam penentuan bulk density perlu tambahan data dari literatur (IPCC 2003).

Data primer untuk bulk density sangat sulit untuk ditemukan. Nilai bulk density pada literatur hanya terdapat rentang nilainya saja. Beberapa literatur memiliki nilai rata-rata ataupun standar deviasi. Untuk tanah gambut yang dikonversi menjadi lahan pertanian, perubahan nilai bulk density menjadi lebih tinggi pada lapisan di atas hingga 1 m, sehingga pemadatan tanah tersebut tidak mengindikasikan nilai yang jauh lebih rendah secara permanen pada gambut bagian bawah yang masih tergenang air (Page et al. 2011). Peningkatan bulk

density menunjukkan terjadi peningkatan

dekomposisi (Boelter 1968).

Bahan organik tanah adalah fraksi organik tanah dan terdiri dari fraksi yang sebagian besar merupakan subtansi humat dengan dekomposisi tinggi, tanaman segar, dan sebagian sisa tanaman yang terdekomposisi serta sebagian kecil biomassa mikroba tanah yang masih hidup. Bahan organik tanah berisi kurang lebih 58 %C yang disebut juga karbon organik tanah. Bahan organik tanah merupakan hal yang penting dalam lingkungan pada skala global maupun lokal. Karbon organik tanah pada skala global merupakan komponen utama dalam siklus karbon global dan dapat menjadi sumber maupun buangan. Pada skala lokal berhubungan dengan kualitas tanah untuk pertanian (Bruun et al. 2009).

(15)

tersebut menentukan jumlah karbon yang tersimpan pada lahan gambut di Sumatera. Pada tahun 1990, kandungan karbon total tanah gambut seluruh Sumatera adalah 22.283 juta ton (Wahyunto et al. 2003).

2.2 Pengembangan Tanaman Kelapa Sawit pada Lahan Gambut

Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) merupakan tanaman tahunan yang banyak ditanam di hutan tanaman dari daerah tropis lembab, untuk menghasilkan produksi minyak sawit. Kelapa sawit digunakan dalam menyajikan makanan, industri oleokimia dan biofuel (Reijnders dan Huijbregts 2006). Perluasan lahan kelapa sawit berkaitan erat dengan konversi dan degradasi lahan gambut (ICCT 2011).

Gambut memiliki karakter seperti spons sehingga diperlukan drainase pada persiapan lahan gambut, agar dapat ditanami kelapa sawit. Manajemen air pada lahan gambut yang dijadikan lahan perkebunan melibatkan drainase tetapi juga menjaga kedalaman muka air agar tetap dekat di permukaan dengan mencegah pengeringan yang berlebihan. Selama musim hujan, sistem manajemen air harus mampu mengakomodasi jumlah air yang mempunyai volume lebih besar dan menjaga agar akar kelapa sawit tetap mendapat ruang udara pada air yang tetap. Selama musim kering, air harus di jaga agar tetap berada tingkat kedalaman air pada 50-80 cm agar tanaman tidak mengalami stress kekeringan serta mencegah gambut kering tak balik. Selain itu proses drainase dilakukan untuk mendorong proses pemadatan lahan gambut yang dimungkinkan sebanyak 1m pada tahun pertama (Mutert et al. 1999).

Pemadatan tanah gambut berguna meningkatkan kapasitas menahan beban pada permukaan tanah sehingga memudahkan operasi di lapangan (Rothwell

et al. 1996) serta untuk memanipulasi

kedalaman muka air. Hal ini disebabkan karena gambut memiliki kapilaritas yang baik dan kapasitas tahan air sehingga meningkatkan pasokan nutrisi, mengurangi resiko kebakaran, resiko terkena hama, serta meningkatkan pertumbuhan agar tandan kelapa sawit menjadi lebih besar (Mutert et al. 1999).

Pengembangan kelapa sawit dilahan gambut mulai berkembang pada awal tahun 1990 hingga sekarang. Pada tahun 1990 luas lahan kelapa sawit yang berada pada lahan gambut di Sumatera memiliki luas 17.985

ha. Perluasan terus terjadi hingga pada tahun 2000 terjadi penambahan luas menjadi 512.341 ha. Kemudian pada tahun 2007 luas tersebut bertambah kembali menjadi 821.949 dan tahun 2010 perluasan kembali terjadi hingga mencapai luas 1.026.922 ha (ICCT 2012). Pengembangan kelapa sawit terus dilakukan akibat keterbatasan lahan yang dapat digunakan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit.

2.3 Sumber Emisi Karbon Dioksida dari Kelapa Sawit di Lahan Gambut

Meskipun kebakaran diperkirakan sebagai penyebab utama deforetasi (93%) dan emisi karbon netto pada 1989-2008, pada tahun 2007-2008 kelapa sawit secara langsung menyebabkan 27% deforestasi secara keseluruhan dan 40% deforestasi pada lahan gambut. Kebutuhan global pada makanan, biofuel, dan sumber alami medorong kapitalis mengembangkan pertanian khususnya untuk tanaman tropis. Konversi hutan dan lahan gambut untuk tanaman pertanian dapat menjadi sumber emisi gas rumah kaca dari perubahan muka lahan yang menghasilkan 10-20% emisi netto gas rumah kaca secara global (Carlson et al. 2012)

Perubahan penggunaan lahan dan degradasi lahan gambut secara langsung ataupun tidak langsung menjadi lahan pertanian dapat menyebabkan emisi dikarenakan karbon yang hilang dari tanah dan biomassa tanaman (Achten dan Verchot 2011; Miettinen dan Liew 2010; Oleszczuk et al 2008). Beberapa studi melakukan estimasi emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari oksidasi gambut itu sendiri tanpa menghitung emisi karbon dari respirasi akar dan pengukuran gas fluks. Upaya dalam penghitungan tersebut dapat diyakinkan karena dalam menghitung besaran bersih emisi yang dihasilkan lahan gambut dari estimasi semua fluks keluar dan ke dalam gambut termasuk dalam perubahan biomassa. Hal ini disebabkan karena keterbatasan data yang tersedia dan ketidakpastian yang terkait dari beberapa komponen (Hooijer et al. 2009).

(16)

4

tanaman (Bond-Lamberty et al. 2004). Respirasi rizhosphere meliputi aktivitas autotrofik akar tanaman serta aktivitas heterotrofik, termasuk dekomposisi eksudat akar serta akar tanaman yang baru mati (Couwenberg et al. 2010).

Gambar 1 Proses keluar masuk karbon pada tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut (Verwer et al. 2008)

Emisi CO2 dari tanah timbul dari respirasi oleh akar tanaman, organisme hidup, serta mineralisasi bahan organik pada tanah tersebut, mikroorganisme yang mati, dan tumbuhan yang mati. Tingkat emisi karbon dioksida ke atmosfer bergantung pula pada banyak faktor, antara lain kondisi iklim, jenis gambut, tingkat dekomposisi, kedalaman muka air dan suhu tanah selain dari jenis dan intensitas pemanfaatan lahan (Oleszczuk et al. 2008).

Beberapa studi melakukan estimasi CO2 netto yang dihasilkan dari oksidasi lahan gambut itu sendiri tanpa menghitung respirasi akar (Hooijer et al. 2012). Baru-baru ini usaha yang dilakukan dalam menghitung perubahan netto karbon yang tersimpan di gambut dari semua perbedaan yang ada diantara estimasi yang masuk serta yang keluar pada lahan gambut termasuk perubahan pada biomassa tanaman (Herghoualc’h dan Verchot 2011).

Kandungan karbon total tanah gambut seluruh Sumatera pada tahun 1990 adalah

22.283 juta ton. Kandungan tertinggi terdapat di Propinsi Riau (16.851 juta ton C atau 75,62% dari total Sumatera), Propinsi Jambi (1851 juta ton), Sumsel (1.799 juta ton), Aceh (562 juta ton), Sumatera Utara (561 juta ton), dan Sumatera Barat (508 juta ton), serta terendah adalah Bengkulu (92 juta ton) dan Lampung (60 juta ton karbon). Sedangkan kondisi pada tahun 2002, kandungan karbon seluruh Sumatera mengalami perubahan yakni berkurang sebesar 3.470 juta ton atau kandungan karbon totalnya hanya berkisar 18.813 juta ton (Wahyunto et al. 2003). Pengurangan ketebalan gambut merupakan salah satu penyebab utama kehilangan karbon dari lahan gambut akibat perubahan penggunaan lahan. Pembukaan hutan gambut menjadi lahan perkebunan kelapa sawit terjadi sejak awal tahun 1990. Pengembangan lahan tersebut pada tahun 1990 mencapai 17.985 ha hingga tahun 2000 menjadi 512.341 ha (ICCT 2012).

2.4 Hubungan Drainase dengan Emisi Karbon Dioksida

Subsiden gambut adalah hasil dari beberapa proses. Pada tingkat awal setelah drainase terjadi subsiden karena kehilangan dukungan dari tekanan pada rongga air. Subsiden awal bergantung pada tipe dan kedalaman gambut serta tingkat drainase yang dilakukan. Hal tersebut bisa mengakibatkan penurunan permukaan secara drastis pada tahun pertama drainase (Couwenberg et al. 2010).

Studi yang dilakukan Wosten et al. (1997), rata-rata subsiden yang terjadi setinggi 2 cm per tahun yang merupakan hasil dari pengurangan volume 200 m3 ha-1 th-1. Bulk density 0,1 g cm-3 dan 60% subsiden mengarah pada dekomposisi gambut sebesar 12 t ha-1 th-1. Asumsi konsentrasi karbon pada gambut yaitu 60% dari total dekomposisi gambut menghasilkan produksi karbon sebesar 7,2 t ha-1 th-1 atau 26,5 t CO2 ha-1 th-1. Ketika bulk density bernilai 0,05 atau 0,15 g cm-3, emisi CO2 menjadi 13.3 dan 39,7 t CO2 ha-1 th-1.

(17)

erosi, pencemaran bahan organik terlarut, dan api memberikan kontribusi pada hilangnya materi dan ketinggian gambut. Selama fase subsiden kedua, penyusutan dan oksidasi merupakan proses yang dominan dan ditunjukkan dengan linear dependensi pada kedalaman drainase. Ketika Parit tidak dipelihara dan diperdalam secara berkala untuk mempertahankan tingkat air yang diinginkan, hal tersebut dapat menyebabkan lapisan aerobik hilang sehingga tingkat penurunan berkurang (Couwenberg et al. 2010).

Proses oksidasi dengan mudah menghilangkan material yang dapat terdekomposisi. Oleh karena itu kehilangan oksidasi menurun seiring dengan waktu. Pengolahan tanah, pemupukan, eksudat akar, dan hal-hal yang mengakibatkan kehilangan oksidasi yang tinggi, tetap berlanjut pada pengaturan pertanian di lahan gambut (Couwenberg et al. 2010).

Hubungan drainase dengan emisi dapat dilihat berdasarkan hasil dua jenis studi emisi yang dilakukan Hooijer et al. (2009). Jenis studi emisi tersebut antara lain pemantauan emisi yang berkaitan dengan kedalaman air dan studi jangka panjang pemantauan subsidensi di lahan gambut yang dikeringkan serta dikombinasikan dengan kandungan karbon gambut dan analisis bulk density. Untuk faktor luar, kontribusi dari tingkat total subsiden dan sisanya adalah sifat emisi CO2 (Hooijer et al. 2009). Hasil analisis menunjukkan hubungan :

Kedalaman air tanah (Groudwater Depth ) adalah kedalaman rata-rata di bawah permukaan gambut. Hubungan linier antara

CO2 emission dan Groudwater Depth

menunjukkan bahwa setiap 10 cm kedalaman drainase akan mengemisikan CO2 sekitar 9,1 ton CO2 ha-1 th-1 (Hooijer et al. 2009).

Berdasarkan hasil penelitian Furukawa et al. (2005) setiap 10 cm penurunan muka air tanah akan menghasilkan peningkatan sebesar 50% emisi CO2. Pada pengembangan lahan kelapa sawit tersebut dilakukan drainase pada tingkat kedalaman 50-80 cm. Pengembangan kelapa sawit di lahan gambut yang telah dilakukan pada wilayah Sumatera sejak tahun 1990 hingga

tahun 2010 seluas 1.026.922 ha (ICCT 2012) sehingga seluruh luas tersebut telah mengalami drainase pada proses pengelolaan lahan kelapa sawit.

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Lokasi Studi

Waktu pelaksanaan studi dilakukan pada bulan Februari–Juli 2012. Studi ini di laksanakan di Laboratorium Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB dan di Center

For International Forestry Research

(CIFOR).

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam studi pustaka ini adalah :

a. Seperangkat komputer dengan program

MS Word dan Ms Excel

b. Artikel yang berkaitan dengan emisi karbon dioksida pada lahan gambut c. Artikel yang berkaitan dengan tanaman

kelapa sawit di lahan gambut

d. Artikel yang terdapat nilai emisi karbon pustaka ini adalah :

a. Mengumpulkan tulisan yang berhubungan dengan emisi karbon dioksida dari konversi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit wilayah Sumatera.

b. Mengumpulkan nilai-nilai emisi karbon dioksida dari tanaman kelapa sawit pada lahan gambut berdasarkan berbagai studi.

c. Melakukan kajian pada faktor penentu emisi dari tanah gambut

d. Melakukan kajian pengaruh drainase terhadap emisi yang terjadi pada lahan gambut berdasarkan seberapa besar tingkat drainase yang ditemukan pada beberapa studi.

(18)

6

Tabel 1 Daftar literatur yang digunakan dalam studi No Literatur Jumlah Penulis

1 Lahan gambut 4 Boelter (1968), Bruun et al. (2009), Chen et al. (2008), Rydin dan Jeglum (2006)

2 Kandungan

12 Achten dan Verchot (2011), Bond-Lamberty et al. (2004), Carlson et al. (2012), Couwenberg et al. (2010), Detwiler dan Hall (1988), IPCC (2003), IPCC (2006), Limpens et al. (2008), Melling dan Henson (2011), Miettinen dan ICCT (2011), Melling et al. (2005), Murayama dan Bakar (1996), Murdiyarso et al. (2010), Reijnders dan Huijbregts (2008), Rieley dan Page (2008)

f. kelapa sawit pada lahan gambut berdasarkan berbagai studi.

g. Melakukan kajian nilai emisi karbon dioksida dari tanaman kelapa sawit pada lahan gambut wilayah Sumatera tahun 1990-2010.

h. Melakukan kajian nilai emisi karbon dioksida dari tanaman kelapa sawit pada lahan gambut wilayah Sumatera dengan kecenderungan dari data historis tahun 1990-2030.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Bulk Density dan Konsentrasi Karbon Lahan Gambut yang ditanam Kelapa Sawit

Nilai bulk density serta konsentrasi karbon merupakan parameter yang digunakan dalam melakukan penghitungan untuk mendapatkan nilai emisi karbon tanah lahan gambut. Nilai tersebut dapat berbeda-beda akibat pengaruh dari tanaman yang ada di atas tanah dan dari proses yang terjadi dalam pengelolaan lahan gambut tersebut.

Kehilangan karbon dari tanah gambut dapat dihitung dengan mengetahui perubahan pada total karbon stok pada awal pengukuran dan akhir pengukuran dengan cara [(VxBDx%C)t1] - [(VxBDx%C)t2] dimana V adalah volume (m3), BD adalah rata-rata bulk density (g cm-3), dan %C merupakan persentase karbon yang berada di tanah gambut, t1 pada saat pengukuran awal dan t2 pada saat pengukuran akhir (Melling dan Henson 2011). Jika emisi karbon

dioksida dihitung dengan mengasumsikan nilai bulk density (g cm-3) dan konsentrasi karbon (%) yang sama pada pengukuran awal dan pengukuran akhir, tetapi terjadi perubahan volume menjadi lebih kecil dari sebelumnya, menunjukkan terjadinya pelepasan karbon.

Tabel 2 Nilai bulk density dan konsentrasi karbon lahan gambut yang ditanami kelapa sawit pada lapisan kedalaman yang berbeda

Sumber : Murayama dan Bakar (1996)

(19)

tingkat dekomposisi (Boelter 1968), pada lapisan atas (0-5 cm) memiliki nilai bulk density yang tinggi sehingga menunjukkan lapisan atas yang lebih banyak terdekomposisi.

Bulk density dan konsentrasi karbon pada lapisan kedalaman yang berbeda memiliki nilai yang berbeda (Tabel 1).

4.2 Pengaruh Drainase terhadap emisi karbon dioksida

Pengaruh drainase terhadap emisi karbon dioksida dapat terlihat dari nilai emisi beberapa studi. Nilai emisi pada studi terdapat dalam studi Furukawa et al. (2005) (Gambar 2).

Gambar 2 Hubungan tingkat muka air tanah dengan fluks CO2 (Furukawa et al. 2005)

Studi yang dilakukan Hooijer et al. (2012) untuk pengembangan tanaman kelapa sawit di lahan gambut rata-rata melakukan drainase pada kedalaman 73 cm dengan kisaran nilai emisi yang dihasilkan 78-119 t CO2 ha-1 th-1.

Studi yang dilakukan Rieley dan Page (2008) tanaman kelapa sawit tidak dapat tumbuh dalam air yang tergenang, sehingga drainase yang dilakukan pada pengolahan kelapa sawit berada pada kisaran 60-80 cm di bawah permukaan tanah dengan estimasi besaran emisi 146,4 t CO2 ha-1 th-1.

Dilihat dari kedalaman drainase pada beberapa studi tersebut, semakin dalam drainase yang dilakukan emisi yang dihasilkan semakin besar pula. Hal tersebut terjadi akibat adanya pengeringan lahan yang mengakibatkan proses oksidasi pada tanah gambut yang tidak tergenang air terjadi. Jadi semakin bertambah kedalaman drainase, volume tanah gambut yang mengalami oksidasi pun semakin besar sehingga emisi yang dihasilkan pun memiliki nilai yang semakin besar. Setiap penurunan muka air tanah pada lahan gambut searah dengan peningkatan emisi karbon dioksida dari tanah ke atmosfer.

4.3 Faktor Emisi Karbon Dioksida tanaman Kelapa Sawit pada Lahan Gambut

Perbedaan besaran emisi yang dihasilkan memiliki jarak yang cukup signifikan apabila nanti nilai-nilai tersebut digunakan dalam menghitung besaran emisi di wilayah tertentu. Berdasarkan estimasi emisi karbon Murdiyarso et al. (2010), emisi yang dihasilkan tersebut diatur dalam proses biofisik yang komplek yang dipengaruhi oleh praktek manajemen dalam mengelola lahan gambut untuk pertanian. Dekomposisi gambut, pemadatan tanah gambut, keberadaan nutrien, kadar air tanah, dan kedalaman muka air merupakan proses-proses yang mempengaruhi emisi karbon dari lahan gambut dan tanaman yang berada di atas lahan gambut. Emisi karbon dioksida tersebut dipisahkan menjadi beberapa proses (Tabel 3). Estimasi total karbon dioksida yang hilang dari konversi hutan rawa gambut menjadi tanaman kelapa sawit bernilai 59,4 + 10,2 t CO2 ha-1 th-1 atau 1.486 + 183 t CO2 ha-1 pada 25 tahun pertama setelah dilakukan perubahan lahan. Sebesar 61,6% emisi berasal dari tanah gambut yaitu termasuk dalam proses akumulasi tanah gambut yang terhenti, pembakaran lahan, dan karbon tanah gambut yang hilang saat ditanami kelapa sawit.

(20)

8

Tabel 3 Emisi karbon dioksida dari tanaman kelapa sawit pada lahan gambut dari berbagai studi

Referensi

Faktor Emisi Karbon Dioksida (t CO2

ha-1 th-1)

Kelapa Sawit di Lahan

Gambut Metode

Murdiyarso et

al. 2010 59,4 + 10,2

Konversi hutan rawa gambut menjadi tanaman kelapa sawit, pada 25 tahun pertama setelah perubahan penggunaan lahan

Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari pembakaran, perubahan karbon stok biomassa, karbon tanah gambut, respirasi heterotrofik, dan respirasi autotrofik.

Hergoualc’h

Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari karbon tanah gambut, dan perubahan stok biomassa, respirasi heterotrofik, dan respirasi autotrofik.

Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari dekomposisi gambut, fiksasi biomassa, dan pembakaran

Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari dekomposisi gambut dan pembakaran

Melling et al.

2005 60,5 + 46

Pengolahan kelapa sawit pada lahan gambut komersil yang sudah berdiri sejak 1997

Pengukuran fluks CO2 dari tanah menuju atmosfer sebagai emisi dari repirasi tanah menggunakan closed-chamber method

Fargione et al.

2008 55 + 15

Lahan kelapa sawit pada lahan gambut yang telah didrainase selama 50 tahun

Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari dilakukan pada kelapa sawit dewasa

Karbon yang hilang dihitung dari ketebalan gambut yang

Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari respirasi heterotrofik

Keterangan : Nilai (rata-rata + Standard Error)

emisi yang dihasilkan berasal dari kebakaran yang terjadi pada lahan gambut tersebut. Perubahan karbon stok pada biomassa didapat dari jumlah biomassa pada hutan rawa gambut sebesar 179,7 t C ha-1 th-1 yang hilang digantikan dengan tanaman kelapa sawit yang memiliki jumlah biomassa 24,2 t C ha-1 th-1. Respirasi tanah merupakan total

(21)

Tabel 4 Pelepasan karbon pada pengolahan kelapa sawit di lahan gambut (Selama 25 tahun)

Proses Karbon Hilang

(t C ha-1) berdasarkan perhitungan dari data-data berbagai proses yang dikumpulkan dari beberapa literatur sehingga didapatkan besaran nilai emisi karbon dioksida hutan rawa gambut yang dikonversi menjadi lahan kelapa sawit pada 25 tahun pertama yaitu 62,7 + 13,2 t CO2 ha-1 th-1. Emisi karbon dioksida pada studi ini dinilai dapat digunakan dalam melakukan perhitungan emisi karbon pada suatu wilayah yang ditanamani kelapa sawit pada lahan gambut untuk seluruh Indonesia.Total karbon yang hilang merupakan karbon dari biomassa tanaman dan tanah gambut dengan drainase pada tingkat kedalaman muka air -60 + 5 cm. Tanah gambut memiliki kontribusi sebesar 63% dari total emisi tersebut yaitu

Sumber : Hergoualc’h dan Verchot 2011 Ket : Nilai (rata-rata + standard error (n))

Karbon yang masuk berasal dari kematian akar dan serasah yang di tinjau dari beberapa studi. Karena studi untuk nilai

karbon yang berasal dari kematian akar dan serasah sangat kurang, studi ini mengasumsikan bahwa nilai kematian akar dan serasah tanaman kelapa sawit yang berada di tanah mineral sama dengan yang berada di tanah gambut.

Tabel 6 Karbon keluar sesudah konversi

Sumber : Hergoualc’h dan Verchot 2011 Ket : Nilai (rata-rata + standard error (n))

Karbon yang hilang dari tanah dihitung berdasarkan keseimbangan antara karbon yang masuk (Tabel 5) dan karbon yang keluar sebelum dan setelah dilakukan konversi hutan rawa gambut menjadi tanaman kelapa sawit (Tabel 6).

Karbon yang hilang merupakan hasil dari respirasi heterotrofik sebesar 9,3 + 2,7 t C ha-1 th-1 (31,4 + 10 t CO2 ha-1 th-1) atau sebesar 73% dari total respirasi tanah. Fluks CH4 hanya berpengaruh sangat kecil dibanding dengan proses lain. Kontribusi lain pada karbon keluar yaitu dari proses kebakaran sebesar 4,5 + 0,037 t C ha-1 th-1 (16,5 + 0,11 t CO2 ha-1 th-1 ) serta dari dissolved organic carbon dan particulat organic carbon. Total karbon keluar dari resprasi tanah sebesar 12,7 + 2,7 t C ha-1 th-1 sehingga pendugaan karbon yang dikeluarkan pada respirasi akar sebesar 3,4 + 0,4 t C ha-1 th-1 atau sebesar 27% dari total

Sumber : Hergoualc’h dan Verchot 2011 Ket : Nilai (rata-rata + standard error (n))

(22)

10

karbon stok pada tanaman kelapa sawit (Tabel 7).

Karbon yang hilang akibat perubahan muka vegetasi hutan rawa gambut termasuk karbon yang tersimpan pada biomassa di atas tanah. Pendekatan yang digunakan dalam mengestimasi keseluruhan karbon yang hilang yaitu dengan mengombinasikan ―stock” dan ― flux approaches‖.

Studi yang dilakukan oleh Germer dan Sauerborn (2007) menetapkan emisi karbon yang dihasilkan pada setiap ha lahan gambut yang masih dalam kondisi hutan dikonversi menjadi kelapa sawit dengan nilai sebesar 1.300 t CO2 selama siklus hidup ekonomi tanaman kelapa sawit selama 25 tahun dihasilkan dari tinjauan beberapa studi.

Tabel 8 Faktor emisi CO2eq (t ha-1) pada konversi hutan menjadi tanaman kelapa sawit di lahan gambut Kondisi / Sumber : Germer dan Sauerborn 2007 Ket : Nilai (rata-rata + standard error)

Emisi dari proses pembukaan lahan yang dimaksud dalam studi Germer dan Sauerborn (2007) menunjukkan bahwa emisi yang dihasilkan dari dekomposisi biomassa saat konversi hutan. Setiap pemotongan 1 t biomassa yang mengalami dekomposisi akibat konversi menghasilkan emisi 1,8 t CO2. Jadi, hasil emisi dari dekomposisi biomassa pada konversi hutan yaitu sebesar 627 + 326 t CO2 ha-1. Apabila dilakukan pembakaran pada proses pembukaan lahan tersebut emisi yang dihasilkan sebesar 648 + 337 t CO2 ha-1. Sehingga emisi yang dihasilkan dari proses pembakaran terjadi peningkatan sebesar 21 t CO2 ha-1.

Emisi gas rumah kaca dari dekomposisi lahan gambut sebesar 816 + 393 t CO2 ha-1 merupakan total potensial emisi dari CO2 dan N2O dari dekomposisi dan penyerapan CH4 pada drainase lahan gambut. Emisi CO2 yang termasuk dalam dekomposisi gambut ditinjau dari nilai emisi pada studi Melling et

al. (2005) yaitu sebesar 785 + 353 t CO2 ha-1 atau 31,4 + 14,1 t CO2 ha-1 th-1. Jadi dalam dekomposisi gambut, yang dilepaskan N2O memiliki kontribusi yang sangat kecil dibandingkan dengan emisi CO2 dalam emisi gas rumah kaca. Hal ini nenberikan kontribusi respirasi heterotrofik dalam pelepasan karbon sebesar 31,4 + 14,1 t CO2 ha-1 th-1.

Fiksasi pada biomassa tanaman yang dilakukan tanaman kelapa sawit mempengaruhi nilai total emisi karbon dioksida akibat konversi lahan. Emisi yang dihasilkan berkurang akibat karbon yang diserap tanaman kelapa sawit tersebut. Tanaman kelapa sawit memiliki kemampuan yang cukup berpengaruh dalam mengurangi emisi karbon.

Studi yang dilakukan Rieley dan Page (2008) untuk mendapatkan estimasi nilai emisi karbon kelapa sawit dilahan gambut yaitu 146,4 t CO2 ha-1 th-1. Untuk mengestimasi nilai emisi karbon digunakan data primer dan data sekunder selama 25 tahun. Periode 25 tahun merupakan siklus pertama yang merupakan siklus ekonomi tanaman kelapa sawit karena produksi kelapa sawit saat mencapai umur tersebut sudah menurun.

Skenario pada studi yang dilakukan Rieley dan Page (2008), hutan rawa gambut direpresentasikan dalam kondisi alami pada daerah tropis dataran rendah di Asia tenggara. Gambut yang dikonversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit termasuk penghilangan hutan dan penyiapan lahan termasuk drainase dan kebakaran yang terjadi saat pembukaan lahan. Tanaman kelapa sawit tidak dapat tumbuh dalam air yang tergenang, sehingga drainase yang dilakukan pada pengolahan kelapa sawit berada pada kisaran 60-80 cm dibawah permukaan tanah.

Pada tanaman kelapa sawit, siklus pemanenan dimulai sekitar 5-8 tahun setelah tanam dan berlanjut sampai kelapa sawit berumur 25 tahun. Ketika tumbuhan kelapa sawit tersebut semakin besar, produktivitas kelapa sawit menurun sehingga tanaman yang lama digantikan dengan tanaman baru. Penanaman ulang pun dilakukan sehingga kemudian dilakukan kembali penyiapan lahan dengan menebang dan membuang tanaman kelapa sawit yang lama.

(23)

yang dihasilkan dari penurunan muka tanah gambut selama 25 tahun yaitu sebesar 862,5 t C ha-1 atau 34,5 t C ha-1 th-1. Emisi yang dilihat dari penurunan muka lahan gambut tersebut merupakan emisi yang bersumber dari proses heterotrofik atau akibat dari dekomposisi gambut yang menyebabkan terjadi subsiden dan emisi yang dihasilkan sebesar 126,6 t CO2 ha-1 th-1. Emisi karbon yang dihasilkan dari pembakaran lahan gambut sebesar 135 t C ha-1 (5,4 t C ha-1 th -mendapatkan nilai fluks CO2 tanah (respirasi tanah) pada tanaman kelapa sawit, pengukuran dilakukan setiap bulan lebih dari satu tahun. Kondisi iklim daerah kajian tersebut dengan rata-rata curah hujan tahunan: 2.471 mm, kedalaman gambut: 5,55 m, bulk density: 0,20 + 0.007 g/cm3, total karbon 44,69 + 1,09 %, pada tipe gambut fibrik. Studi dilakukan pada ekosistem kelapa sawit yang berlokasi di tanaman kelapa sawit komersil sekitar 4000 ha lahan gambut yang didrainase yang didirikan sejak tahun 1997. Drainase telah dilakukan pada kedalaman muka air antara 50-70 cm. Studi kelapa sawit ini dimulai umur tanaman 4 tahun dan hampir semua kanopi menutupi lahan gambut. Sawit tersebut memiliki tinggi sekitar 5.5 m dan kerapatan kelapa sawit yaitu 160 sawit per ha. Sebanyak 103 kg N ha-1 dalam bentuk urea digunakan secara tahunan di bulan November 2002 dan Mei 2003. Pada sawit yang masih muda tidak terdapat serasah dan lantai permukaan lahan gambut tersebut bersih dari perakaran. Fluks karbon tanah pada kelapa sawit yaitu 45,7 to 334,5 mg C m−2 h−1 atau 4-29 t C ha-1 th-1.

Pelepasan karbon tersebut dihitung berdasarkan pengukuran karakteristik utama tanah gambut yang ditanami kelapa sawit yaitu sebesar 14,68-106,43 t CO2 ha-1 th-1. Berdasarkan studi yang dilakukan Murdiyarso et al. (2010) dan studi yang dilakukan Hergoualc’h dan Verchot (2011). Respirasi heterotrofik memiliki kontribusi 73% dari total respirasi tanah dan respirasi akar dari tanaman kelapa sawit memiliki kontribusi sebesar 23%. Sehingga estimasi dari total respirasi tanah yang dilakukan pada studi Melling et al. 2005, respirasi heterotrofik sebesar 3,9-28,7 t CO2 ha-1 th-1

dan respirasi akar (autotrofik) sebesar 10,6-77,7 t CO2 ha-1 th-1.

Estimasi karbon dioksida yang hilang dari tanaman kelapa sawit di lahan gambut pada studi yang dilakukan Fargione et al. (2008) sebesar 55 + 15 t CO2 ha-1 th-1. Estimasi yang dilakukan Fargione et al. (2008) mengasumsikan emisi yang terjadi yaitu pada lahan gambut yang telah didrainase lebih dari 50 tahun. Respirasi heterotrofik pada studi tersebut sebesar 40,15 + 10,95 t CO2 ha-1 th-1 dan respirasi akar (autotrofik) sebesar 14,85 + 4,05 t CO2 ha-1 th-1. Estimasi karbon dioksida pada studi Fargione et al. (2008) dihitung berdasarakan beberapa studi yaitu IPCC (2006) dengan nilai emisi sebesar 73,3 t CO2 ha-1 th-1, Murayama dan Bakar (1996) 54,3 t CO2 ha-1 th-1, Melling et al. (2005) 36,6 t CO2 ha-1 th -1

dan Germer dan Sauerborn (2007) 56,5 t CO2 ha-1 th-1.

Studi yang dilakukan Hooijer et al. (2012) menetapkan emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari oksidasi pada lahan gambut 0–18 tahun setelah drainase sebesar 119 t ha-1 th-1, sebanyak 92% dijelaskan oleh subsiden lebih dari 18 tahun dengan rata-rata subsiden 5 cm/tahun. Rata-rata dari keseluruhan nilai yang didapat yaitu 100 + 9 t CO2 ha-1 th-1, nilai emisi tersebut berasal dari pelepasan karbon pada tanah saja. Respirasi heterotrofik pada studi tersebut sebesar 27 + 2,43 t CO2 ha-1 th-1 dan respirasi akar (autotrofik) sebesar 73 + 6,57 t CO2 ha -1

th-1.

Studi yang dilakukan Hooijer et al. (2012) dilakukan pada daerah jambi dengan tanaman kelapa sawit yang sudah dewasa. Dengan kondisi iklim daerah tersebut yaitu memiliki rata-rata curah hujan tahunan sekitar 2500 mm dan rata-rata suhu udara 30 o

C ke bawah. Studi tersebut dilakukan selama periode 2007-2010. Pada saat periode tersebut, di tahun 2007, 2008, 2010 mengalami musim kering dengan rata-rata curah hujan 100 mm/bulan. Pada lokasi penelitian tersebut dari saat dimulainya pengukuran subsiden di tahun 2009, kondisi lahan gambut telah didrainase antara14-19 tahun dengan rata-rata 18 tahun.

(24)

12

pengukuran tinggi muka air dilakukan pada Juni 2009 sampai Juli 2010 dengan interval pengukuran selama dua minggu. Untuk hasil nilai subsiden yaitu nilai rata-rata tahunan. Ketebalan dan tipe gambut ditentukan saat waktu pembuatan lubang menggunakan kayu dan interpretasi secara visual. Bulk

density sebanyak 1201 sampel gambut yang

dikeringkan pada suhu 105oC selama 96 jam (4 hari) untuk menghilangkan kelembaban dari tanah tersebut. Karbon yang hilang dihitung dari ketebalan gambut yang hilang dari proses oksidasi dengan menerapkan BD pada gambut yang berada di bawah muka air. Berdasarkan hasil pengukuran, rata-rata nilai subsiden yaitu 5,4 + 1,1 cm th-1 (18 tahun setelah drainase), pada dasarnya rata-rata tahunan penurunan muka tanah (subsiden) yaitu 5cm/tahun. Untuk kedalaman muka air rata-rata pada 0,73 m dan berkisar antara 0,33-1,03 m. Ketebalan lahan gambut pada lahan kelapa sawit yaitu 5,6-10,7 m dengan rata-rata 7,7 + 1,4 m. Pada bagian atas kedalaman 0,3-0,5 m secara umum merupakan gambut hemik, dan beberapa gambut fibrik dan gambut saprik.

Studi yang dilakukan Reijnder dan Huijbregs (2008), mengasumsikan nilai emisi karbon dioksida tanaman kelapa sawit yang dikelola di lahan gambut dengan parameter Cbelow yaitu sebesar 10-15 t C ha-1 th-1. Cbelow merupakan emisi karbon yang berhubungan dengan pengurangan biomassa dibawah permukaan tanah. Kehilangan karbon tersebut di estimasi dari beberapa studi, hanya dari proses heterotrofik untuk kehilangan karbon dari tanah sebesar 46 + 9,2 t CO2 ha-1th-1. Perhitungan nilai tersebut didapat berdasarkan beberapa studi.

Pemisahan respirasi tanah pada lahan gambut yang ditanami kelapa sawit dikaji dari beberapa studi, proses respirasi autotrofik memiliki peran sebesar 27% dari total respirasi tanah dan heterotrofik sebesar 73% dari total respirasi tanah. Kontribusi respirasi heterotrofik lebih besar sehingga dalam pengelolaan lahan gambut perlu dilakukan pemantauan secara berkala terhadap penurunan muka tanah dan muka air pada lahan gambut yang ditanami kelapa sawit. Dekomposisi gambut yang terjadi di atas batas kedalaman muka air merupakan komponen dalam penurunan muka tanah

gambut yang menghasilkan karbon dioksida yang dilepas menuju ke atmosfer (Hooijer 2012).

4.4 Emisi Karbon Dioksida Total tanaman Kelapa Sawit pada Lahan Gambut di Sumatera

Perluasan lahan kelapa sawit mengalami peningkatan sejak tahun 1990 hingga tahun 2010. Pada tahun 2010 luasan kelapa sawit telah mencapai 5.285.306 ha di wilayah Sumatera dengan luasan yang terdapat dilahan gambut sebesar 1.026.922 ha. Peningkatan tersebut terjadinya akibat terus permintaan kelapa sawit bertambah, karena kelapa sawit dapat digunakan sebagai energi alternatif sebagai pengganti minyak bumi. Pengelolaan lahan perkebunan kelapa sawit dilahan gambut mulai banyak dikembangkan mulai tahun 1990 diakibatkan juga kurang ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk perluasan lahan kelapa sawit tersebut. Pada awal tahun 1990 luas lahan kelapa sawit yang berada pada lahan gambut di Sumatera sebesar 17.985 ha, di tahun 2000 terjadi penambahan luas menjadi 512.341 ha, kemudian di tahun 2007 luas tersebut bertambah menjadi 821.949 dan hingga tahun 2010 perluasan kembali terjadi hingga mencapai luas 1.026.922 ha (ICCT 2012). Perkebunan kelapa sawit akan terus dikembangkan di lahan gambut dilihat dari perluasan lahan yang terjadi hingga tahun 2010. Berdasarkan beberapa faktor emisi dari beberapa studi (gambar 3), perluasan lahan kelapa sawit di lahan gambut di wilayah Sumatera, menyebabkan terus meningkatnya emisi karbon dioksida di wilayah tersebut. Berdasarkan faktor emisi yang diestimasi pada studi yang dilakukan Murdiyarso et al. (2010), emisi yang dihasilkan pada tahun 1990 sebesar 1.068.309 t CO2 ha-1 th-1, tahun 2000 sebesar 30.433.055 t CO2 ha-1 th-1, tahun 2007 sebesar 48.823.771 t CO2 ha-1 th-1, dan tahun 2010 sebesar 60.999.167 t CO2 ha-1 th-1. Emisi yang diestimasi pada beberapa studi jika digunakan dalam penghitungan emisi total karbon dioksida untuk seluruh Sumatera akan menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan. Sebagai contoh pada tahun 2010, emisi yang dihasilkan berkisar antara 47–150 Mt CO2 ha-1

(25)

tingkat akumulasi gambut, pembakaran, perubahan biomassa dan karbon yang hilang dari tanah gambut. Pada studi yang dilakukan Hergoualc’h dan Verchot (2011) emisi diperhitungkan dari perubahan biomassa serta emisi yang masuk dan keluar dari tanah gambut. Pada studi yang dilakukan Germer dan Sauerborn (2007) emisi diperhitungkan dari pembukaan lahan atau hilangnya biomassa hutan saat konversi termasuk pembakaran, karbon yang hilang akibat dekomposisi serta pengurangan emisi akibat fiksasi yang dilakukan tanaman kelapa sawit. Pada studi yang dilakukan Rieley dan Page (2008), emisi dilihat dari penurunan muka tanah serta gambut yang hilang dari proses pembakaran. Pada studi yang dilakukan Melling et al. (2005) berdasarkan dari pelepasan karbon dari respirasi tanah. Pada studi yang dilakukan Fargione et al. (2008), melakukan perhitungan dari beberapa nilai estimasi akhir emisi. Pada studi yang dilakukan

Hooijer et al. (2012), melihat dari pengaruh drainase sehingga emisi yang dihasilkan hanya dari kehilangan karbon tanah gambut. Pada studi yang dilakukan Reijnder dan Huijbregs (2008), hanya memperlihatkan nilai emisi yang dihasilkan dari proses heterotrofik pada tanah gambut.

Diperkirakan hingga tahun 2030 perluasan lahan kelapa sawit di lahan gambut akan terus dikembangkan. Perkiraan tersebut dibuat berdasarkan kecenderungan data perluasan lahan yang terjadi dari tahun 1990-2010. Proyeksi dibuat ICCT (2012) hingga tahun 2030. Proyeksi tersebut menunjukkan akan terjadi penambahan luas kelapa sawit dilahan gambut. Pendugaan perluasan lahan kelapa sawit pada tahun 2020 seluas 1.742.236 ha dan pada tahun 2030 menjadi seluas 2.431.722 ha (ICCT 2012). Perluasan lahan tersebut diasumsikan merupakan siklus pertama tanaman kelapa sawit (selama 25 tahun).

Gambar 3 Emisi Total Karbon Dioksida tanaman kelapa sawit pada Lahan Gambut Wilayah Sumatera tahun 1990-2010 dari berbagai Faktor Emisi

0

Murdiyarso et al. 2010 Hergoualc’h dan Verchot 2011

Germer dan Sauerborn 2008 Rieley dan Page 2008

Melling et al. 2005 Fargione et al. 2008

(26)

14

Tabel 9 Pendugaan Emisi Total Karbon Dioksida tanaman kelapa sawit pada lahan gambut wilayah sumatera tahun 2020 dan 2030

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang dari tahun 1990 hingga sekarang. Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut menyebabkan pelepasan karbon dioksida dari kebakaran, respirasi tanah dan biomassa tanaman. Pada pengolahan lahan gambut dibutuhkan drainase, semakin dalam tingkat drainase emisi yang dihasilkan semakin besar. Dari pemisahan proses yang terjadi pada emisi karbon dioksida, terlihat besar kontribusi emisi CO2 dari dekomposisi gambut, respirasi akar, biomassa tanaman, dan kebakaran dalam pembersihan lahan. Pemisahan respirasi tanah pada lahan gambut yang ditanami kelapa sawit dikaji dari beberapa literatur, proses respirasi autotrofik memiliki peran sebesar 27% dari total respirasi tanah dan heterotrofik sebesar 73% dari total respirasi tanah. Kontribusi respirasi heterotrofik lebih besar sehingga dalam pengelolaan lahan gambut perlu dilakukan pemantauan secara berkala terhadap penurunan muka tanah dan muka

air pada lahan gambut yang ditanami kelapa sawit.

5.2 Saran

Perubahan lahan gambut menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, memerlukan manajemen pengelolaan drainase yang baik sehingga dapat mengurangi pelepasan karbon dioksida dari tanah. Tidak dilakukan pembukaan lahan pada lahan gambut yang masih terdapat tegakan hutan. Perluasan tanaman kelapa sawit pada lahan gambut merupakan kepentingan ekonomi, tetapi dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Dibutuhkan solusi yang dapat menguntungkan kepentingan ekonomi tetapi mengurangi perusakan terhadap lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Achten W.M.J., Verchot L.V. 2011. Implications of Biodiesel-Induced Land-Use Changes for CO2 Emissions: Case Studies in Tropical America, Africa, and Southeast Asia: J. Ecology and Society, 16.

Boelter D.H. 1968. Important physical

properties of peat

materials. Proceedings of the 3rd

International Peat Congress,

Quebec: 150-156.

Bond-Lamberty B., Wang C., Gower S. T. 2004. A global relationship between the heterotrophic and autotrophic components of soil respiration?. J. Global Change Biology 10: 1756–1766.

Bruun T.B., Neergaard A.d., Lawrence D., Ziegler A.D. 2009. Environmental Consequences of the Demise in Swidden Cultivation in Southeast Asia Carbon Storage and Soil Quality. J.

Hum Ecol 37: 375-388.

Carlson K.M., Currana L.M., Ratnasarie D., Pittmana A.M., Soares-Filhof B.S., Asnerg G.P., Triggh S.N., Gaveaub D.A., Lawrencei D., Rodriguesf H.O. 2012. Committed carbon emissions, deforestation, and community land conversion from oil palm plantation expansion in West Kalimantan, Indonesia. PNAS 10 : 1073.

(27)

Peatlands of Muaro Jambi, Indonesia,

[Deptan] Departemen Pertanian. 2011. Buku Statistik Perkebunan. Jakarta : Direktorat Jenderal Perkebunan

Detwiler R.P., Hall C.A.S. 1988. Tropical forests and the global carbon cycle. J. Science 239: 42-47.

Fargione J., Hill J.K., Tilman D., Polasky S., Hawthorne P. 2008. Land Clearing and the Biofuel Carbon Debt, Science in China Series C-Life Sciences 319.

Furukawa Y., Inubushi K., Ali M., Itang A.M., Tsuruta H. 2005. Effect of changing groundwater levels caused by land-use changes on greenhouse gas fluxes from tropical peat lands. J. Nutrient Cycling in Agroecosystems 71 : 81-91.

Germer J., Sauerborn J. 2008. Estimation of the impact of oil palm plantation establishment on greenhouse gas balance. J. Environ Dev Sustain 10 :

Hooijer A., Page S.E., Canadell J.G., Silvius M., Kwadijk J., Wo¨sten H., Jauhiainen J. 2009. Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. J. Biogeosciences 7 : 1505–1514.

Hooijer A., Page S.E., Jauhiainen J., Lee W.A., Lu X.X., Idris A., Anshari G. 2012. Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands. J. Biogeosciences 9 : 1053-1071.

ICCT. 2011. Review Of Peat Surface Greenhouse Gas Emissions From Oil Palm Plantations In Southeast Asia. J.The International Council on Clean Transportation

ICCT. 2012. Historical Analysis and Projection of Oil Palm Plantation

Expansion on Peatland in Southeast Asia. J.The International Council on Clean Transportation

IPCC. 2003. Good Practice Guidance for Land use, Land use change and Forestry. IGES. Japan.

IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES. Japan.

Limpens J., Berendse F., Blodau C., Biogeosciences 5(5): 1475–1491.

Melling L., R. Hatano, dan K. J. Goh. 2005. Soil CO2 flux from three ecosystems in tropical peatland of Sarawak, Malaysia. Tellus Ser. B 57 : 1–11.

Melling L., dan Henson I.E. 2011. Greenhouse Gas Exchange of Tropical Peatlands - a Review. Journal of Oil

Palm Research 23 : 1087-1095.

Miettinen J. dan Liew S.C. 2010. Degradation and development of peatlands in Peninsular malaysia and in the Islands of Sumatera and Borneo since 1990. J. Land Degrad. Dev 21: 285 – 296.

Minkkinen K. dan Laine J. 1998. Effect of forest drainage on the peat bulk density of pine mires in Finland. Can. J. Forest Res. 28 : 178–186.

Murayama S. dan Bakar Z.A. 1996. Decomposition kinetics of organic matter of peat soils: Japan Agricultural Research Quarterly 30 : 145-151.

Murdiyarso D., Hergoualc’h K., Verchot L.V. 2010. Opportunities for reducing greenhouse gas emissions in tropical peatlands. PNAS 107 : 19655-19660.

Mutert E., Fairhurst T.H., Uexküll H.R.V. 1999 Agronomic Management of Oil Palms on Deep Peat: Better Crops International 13 : 22-27.

(28)

16

change, International Peat Society 70-97.

Page S.E., Rieley J.O., Banks C.J. 2011. Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. J. Global Change Biology Bioenergy 17 : 798-818.

Reijnders L., dan Huijbregts M.A.J. 2008. Palm oil and the emission of carbon-based greenhouse gases. Journal of Cleaner Production 16 : 477-482.

Rieley J. O., dan S. E. Page. 2008. Carbon budgets under different land uses on tropical peatlands, Future of Tropical Peatlands in Southeast Asia as Carbon Pools and Sink. Papers Presented at the Special Session of Tropical Peatlands at the 13th International Peat Congress, Tullamore, Ireland June 2008. edited by Rieley J.O., Banks C.J., Page S.E. 27– 32, CARBOPEAT partnership, Int. Peat Soc., Univ. of Leicester, Leicester, U. K.

Wahyunto, Ritung S., Subagjo H. 2003 Maps of Area of Peatland Distribution and Carbon Content in Sumatra, 1990-2002. Wetlands Int-Indonesia Programm and Wildl Habitat Canada, Bogor, Indonesia.

Rothwell R. L., Silins U., Hillman G. R. 1996. The effect of drainage on substrate water content at several forested Alberta peatlands. Can, J, Forest Res 26 : 53–62.

Rydin H., Jeglum J. 2006. The Biology of Peatlands. Oxford University Press, UK dalam Frolking S., Talbot J., Jones M., Treat C.C., Kauffman J.B., Tuittila E.S., Roulet N.T. 2011. Peatlands in the Earth’s 21st century climate system, Environmental Reviews, 19 : 371-296.

(29)
(30)

18

Lampiran 1 Peta Sebaran Lahan Gambut Sumatera

(31)

Lampiran 2 Perluasan Lahan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Tahun 1990 dan 2000

1990

2000

Legenda :

(32)

20

Lampiran 3 Perluasan Lahan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Tahun 2007 dan 2010

2007

2010

Legenda :

(33)

Lampiran 4 Luas Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut di Sumatera Tahun 1990 – 2010

Wilayah Luas Gambut /

Tahun

Luas Kelapa Sawit di Lahan Gambut

1990 2000 2007 2010

Sumatera 7.234.069 17.985 512.341 821.949 1.026.922

Sumber : ICCT 2012

Lampiran 5 Luas Kelapa Sawit pada Lahan Gambut di Sumatera Berdasarkan Kecenderungan Data Historis

Wilayah

Luas Gambut /

Tahun

Luas Kelapa Sawit di Lahan Gambut

1990 2000 2007 2010 2020 2030

Sumatera

Barat 211.152 4.982 50.685 84.513 100.327 153.042 205.756

Aceh 277.296 199 22.793 34.748 49.208 97.410 145.612

Sumatera

Utara 347.560 7641 142.878 185.082 213.520 308.313 403.106

Jambi 716.760 0 9.877 64.020 74.851 110.956 147.061

Sumatera

Selatan 1.449.689 0 18.922 50.382 120.400 353.791 587.183

Riau 4.014.076 6134 264.656 408.480 475.764 700.045 924.325

Provinsi lain 217.536 0 18.664 18.679 18.679 18.679 18.679

Total

Sumatera 7.234.069 18.956 528.475 845.904 1.052.749 1.742.236 2.431.722

(34)

22

Lampiran 6 Emisi Total Karbon Dioksida berdasarkan luas Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut (t CO2)

Referensi / Tahun

Emisi Karbon Dioksida (t CO2)

1990 2000 2007 2010

Murdiyarso et al. 2010 1.068.309 30.433.055 48.823.771 60.999.167

Hergoualc’h dan Verchot

2011 1.127.660 32.123.781 51.536.202 64.388.009

Germer dan Sauerborn

2008 935.220 26.641.732 42.741.348 53.399.944

Rieley dan Page 2008 2.633.004 75.006.722 120.333.334 150.341.381

Melling et al. 2005 1.088.093 30.996.631 49.727.915 62.128.781

Fargione et al. 2008 989.175 28.178.755 45.207.195 56.480.710

Hooijer et al. 2012 1.798.500 51.234.100 82.194.900 102.692.200

Reijnders dan Huijbregts

Gambar

Gambar 1   Proses keluar masuk karbon
Tabel 1  Daftar literatur yang digunakan dalam studi
Tabel 3  Emisi karbon dioksida dari tanaman kelapa sawit pada lahan gambut dari berbagai studi
Tabel 6  Karbon keluar sesudah konversi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menghindarkan hal seperti di atas, pada waktu musim hujan pengeringan dapat dilakukan dengan memakai alat pengering dengan suhu rendah tidak lebih dari

Teknik Selektif Breeding pada Calon Induk Ikan Nila Pandu dan Kunti (Oreochromis niloticus) di Satuan Kerja Perbenihan dan Budidaya Ikan Air Tawar Janti,

Komitmen siswa dalam mengikuti pembelajaran sangatlah penting sehingga siswa fokus akan ketercapaian tujuan dari pada pembelajaran tersebut. Berdasarkan hasil

Syukur kepada yang Kuasa atas segala limpahan kasih dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan II yang

Buy on Weakness : Harga berpotensi menguat namun diperkirakan akan terkoreksi untuk sementara Trading Buy : Harga diperkirakan bergerak fluktuatif dengan

Angka kuman dan bahan kimia makanan jadi memenuhi persyaratan yang ditentukan.. Makanan jadi kemasan tidak ada tanda- tanda kerusakan dan terdaftar pada

Peubah yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang, umur berbunga, jumlah polong per tanaman, jumlah polong per plot, bobot polong per tanaman, bobot polong

Sidang Kelayakan Landasan Program Perencanaan dan Perancangan Arsitektur ( LP3A ) dengan judul Semarang International Convention and Exhibition Center ini dimulai pukul 08.30 WIB