EMISI KARBON DIOKSIDA (CO
2), METANA (CH
4) DAN
DINITROGEN OKSIDA (N
2O) DARI PERKEBUNAN KELAPA
SAWIT PADA LAHAN GAMBUT
TRI TIANA AHMADI PUTRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Emisi Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4) dan Dinitrogen Oksida (N2O) dari Perkebunan Kelapa Sawit
pada Lahan Gambut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
RINGKASAN
TRI TIANA AHMADI PUTRI. Emisi Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4) dan
Dinitrogen Oksida (N2O) dari Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut.
Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan GUSTI ZAKARIA ANSHARI.
Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit merupakan dampak dari meningkatnya kebutuhan perluasan areal kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut ini kemungkinan besar akan melepaskan GRK. Emisi GRK yang paling dominan di lahan gambut adalah emisi CO2, CH4 dan
N2O. Emisi GRK terdiri atas respirasi autorof dan heterotrof. Respirasi autotrof
diasumsikan tidak berpengaruh pada pemanasan global, dan sebaliknya respirasi heterotrof berdampak pada pemanasan global. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik fisik dan kimia tanah pada lahan gambut dangkal bagian rizosfer dan non rizosfer, mengevaluasi besaran emisi CO2, CH4 dan N2O
di rizosfer (respirasi akar dan dekomposisi) dan non rizosfer (dekomposisi)lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan membandingkan metode pengkuran emisi CO2 dengan menggunakan Gas Kromatografi dengan
EGM-4.
Lokasi penelitian terletak di Rasau Jaya Umum, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Umur tanaman kelapa sawit 6 sampai 7 tahun. Emisi CO2, CH4 dan N2O yang diukur dari dua belas sungkup
tertutup dengan menggunakan alat Gas Kromatografi dan analisis gas inframerah (EGM-4). Pengukuran sampel dilakukan satu bulan sekali. Pengambilan sampel tanah untuk analisis sifat fisik dan kimia dilaksanakan bulan Juni dan September 2014. Pengukuran gas metode Gas Kromatografi dilakukan pada bulan Juni sampai September 2014, sedangkan metode EGM-4 dilakukan dari bulan Januari sampai Mei 2015.
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik fisik dan kimia gambut pada perkebunan kelapa sawit di lokasi penelitian tidak berbeda nyata (p > 0.05) antara rizosfer dengan non rizosfer. Emisi CO2 dengan metode Gas Kromatografi di
rizosfer lebih kecil yaitu 0.12 g m-2 jam-1 dibandingkan non rizosfer sebesar 0.16 g m-2 jam-1, tetapi tidak berbeda nyata (p > 0.05). Emisi CH4 dan N2O di rizosfer
masing-masing sebesar 0.00069 g m-2 jam-1 dan0.00004 g m-2 jam-1, sedangkan di non rizosfer masing-masing sebesar 0.00136 g m-2 jam-1 dan 0.00007 g m-2 jam-1, berdasarkan uji t antara rizosfer dengan non rizosfer tidak berbeda nyata (p > 0.05). Emisi CO2 metode EGM-4 lebih tinggi di rizosfer dengan besaran
0.93 g m-2 jam-1 dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) terhadap non rizosfer sebesar 0.44 g m-2 jam-1. Hal ini karena emisi CO2 yang dihasilkan dari respirasi akar dan
juga berasal dari mikrooganisme dan perakaran tanaman. Akar tanaman selain menyumbangkan CO2 dari kegiatan respirasinya, juga mengeluarkan eksudat
berupa ion, enzim-enzim, karbohidrat serta asam amino yang dapat meningkatkan aktivitas respirasi di rizosfer. Hasil pengukuran emisi CO2 menggunakan metode
Gas Kromatografi berbeda sangat nyata (p < 0.01) dengan metode EGM-4, baik di rizosfer maupun non rizosfer. Rendahnya nilai emisi CO2 metode Gas
dan tekanan udara di dalam sungkup akan menyebabkan kebocoran atau difusi gas di dalam tanah. Difusi gas di dalam tanah dapat menurunkan emisi CO2 di dalam
sungkup. Selain dari terjadinya proses difusi gas, kelemahan dari metode Gas Kromatografi adalah terbentuknya uap air (H2O) di dalam sungkup akibat dari
peningkatan suhu yang dalam sungkup. Adanya uap air akan menurunkan emisi CO2 di dalam sungkup. Penggunaan metode EGM-4 yang dilakukan secara
langsung dilapangan lebih disarankan dalam analisis sampel gas, karena dapat mengurangi terjadinya kebocoran gas.
SUMMARY
TRI TIANA AHMADI PUTRI. Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4) and
Nitrous Oxide (N2O) Emissions from Oil Palm Plantation on Peatlands.
Supervised by LAILAN SYAUFINA and GUSTI ZAKARIA ANSHARI.
The use of peat land for oil palm plantation is the impact of the increasing need of oil palm plantation area extension. Oil palm plantation in peat land would likely emit greenhouse gasses (GHGs). The most dominant GHGs emitted from peat land are CO2, CH4 and N2O. GHG emissions consists of autotrophic and
heterotrophic respirations. An autotrophic emission is not considered as negative, and in contrast, a heterotrophic respiration has detrimental impact on global warming. The aim of this study is to: identify the physical and chemical characteristics of soil in the rhizosphere and non-rhizosphere of shallow peat; investigate rates of emissions from rhizosphere (root respiration and decomposition) and non-rhizosphere (decomposition), generated by oil palm (Elaeis guineensis) plantation on shallow peat, and; compare the Gas Chromatography and EGM-4 method in measuring CO2 emission.
The research site was located in Rasau Jaya Umum, Kubu Raya District, West Kalimantan Province, Indonesia. The ages of palms are 6 to 7 years. A total of twelve closed chambers were placed in both rhizospheres and non-rhizospheres. CO2, CH4 and N2O emissions were measured once a month, with
Gas Chromatography and an infrared gas analyzer (EGM-4). Soil sampling for the analysis of physical and chemical properties held in June and September 2014. Gas measurement using Gas Chromatography method were carried out from June to September 2014, while EGM-4 method conducted from January to May 2015.
The results show that there was not any significant difference (p > 0.05) of physical and chemical characteristics between the rhizosphere and non-rhizosphere of peat at oil palm plantation. The rates of CO2 emission, measured
using the Gas Chromatography method, from the rhizosphere (0.12 g m-2 hr-1) were lower than the emission from the non-rhizosphere (0.16 g m-2 hr-1), but were not significantly different (p > 0.05). CH4 and N2O emission from the rhizosphere
each as much as 0.00069 g m-2 hr-1 and0.00004 g m-2 hr-1, while from the non-rhizosphere as much as 0.00136 g m-2 hr-1 and 0.00007 g m-2 hr-1; and the t-test between rhizosphere and non-rhizosphere emission showed no significant difference (p > 0.05). EGM-4 method resulted in higher measure of CO2 emission
from rhizosphere (0.93 g m-2 hr-1) than from non-rhizosphere (0.44 g m-2 hr-1), which showed significant difference (p < 0.01). CO2 emission from rhizosphere
were resulted not only from root respiration, but also from microorganism and plant roots. Plant roots, aside from contributing CO2 from its respiration activity,
it also release exudates in the form of ions, enzymes, carbohydrates, and amino acid, which could increase respiratory in the rhizosphere. Gas Chromatography method resulted in significantly different measurement of CO2 emission from
EGM-4 method (p < 0.01), both in rhizosphere and non-rhizosphere. The low measurement of CO2 emission of Gas Chromatography method was due to the
the soil would decrease the CO2 emission in the chamber. Besides the gas
diffusion process, the weakness of Gas Chromatography method is the formation of water vapor (H2O) in the chamber as a result of temperature increase. Water
vapor would reduce the CO2 emission in the chamber. EGM-4 method, carried out
directly in the field, is recommended for the analysis of gas samples, since it would reduce gas leakage.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
EMISI KARBON DIOKSIDA (CO
2), METANA (CH
4) DAN
DINITROGEN OKSIDA (N
2O) DARI PERKEBUNAN KELAPA
SAWIT PADA LAHAN GAMBUT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Emisi Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4) dan Dinitrogen Oksida
(N2O) dari Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Lailan Syaufina, MSc dan Prof Dr Ir Gusti Zakaria Anshari, MES selaku pembimbing yang telah banyak membantu, mengarahkan dan membimbing dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan koreksi konstruktif. Terima kasih kepada seluruh Staf Dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan lingkungan SPs IPB yang telah memberikan tambahan ilmu kepada penulis.
Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Partnerships for Enchanced Engagement in Research (PEER) Amerika Serikat, Grant No. NSF 1114161 yang telah membantu membiayai penelitian ini. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada pemilik lahan dan para pekerja di perkebunan kelapa sawit di Desa Rasau Jaya Umum. Terima kasih kepada orang tua, adik kakak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2012, terima kasih atas kebersamaannya selama ini, semoga silahturahmi diantara kita tetap terjaga. Terima kasih untuk semua pihak yang membantu hingga tesis ini berhasil diselesaikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida, Metana dan
Dinitrogen Oksida 5
Tanah Gambut dan Emisi Gas Rumah Kaca 6
Kelapa Sawit di Lahan Gambut dan Emisi GRK 8
Peraturan Perundang-undangan terkait Lingkungan dan Perubahan
Iklim 8
Karakteristik Fisik dan Kimia Tanah Gambut 21
Emisi GRK di Rizosfer dan Non Rizosfer 25
Perbandingan Emisi CO2 Metode Gas Kromatografi dengan EGM-4 27
Hubungan Parameter Pendukung dengan Emisi CO2 31
5 SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI 36
Simpulan 36
Saran 36
Rekomendasi 36
DAFTAR PUSTAKA 37
xiv
DAFTAR TABEL
1 Konsentrasi gas rumah kaca utamaa 6
2 Variabel sifat fisik dan kimia gambut yang diamati 14 3 Sifat fisik tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR) 21 4 Sifat kimia tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR) 24 5 Hasil perhitungan emisi CO2, CH4 dan N2O di sekitar rizosfer dan non
rizosfer metode Gas Kromatografi 26
6 Hasil perhitungan emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode
EGM-4 27
7 Perbandingan Emisi CO2 metode Gas Kromatografi dengan metode
EGM-4 28
8 Emisi karbon dioksida dari tanaman kelapa sawit pada lahan gambut dari
berbagai studi 29
9 Kedalaman muka air tanah dan emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non
rizosfer pada bulan Januari sampai Mei 2015 31
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian 3
2 Peta lokasi penelitian 12
3 Denah titik pengamatan Rizosfer dan Non Rizosfer 13 4 Rata-rata curah hujan bulanan dari tahun 2006-2015 (BMKG Supadio
Pontianak 2016) 19
5 Profil suhu tanah 19
6 Profil suhu permukaan tanah 20
7 Profil suhu udara 20
8 Profil kedalaman muka air tanah 21
9 Pola sifat fisik (a) kadar air, (b) bobot isi terhadap kedalaman tanah 22 10Pola sifat fisik (a) bahan organik, (b) kadar abu terhadap kedalaman
tanah 23
11Regresi bobot isi terhadap kadar abu 24
12Hubungan positif antara emisi CO2 dengan muka air tanah 32
13Nilai rata-rata emisi CO2 menurut pengelompokan kedalaman muka air
tanah. Tanda negatif menunjukkan air tanah berada di bawah permukaan
tanah 33
14Regresi suhu tanah gambut terhadap emisi CO2 34
15Regresi suhu permukaan tanah gambut terhadap emisi CO2 34
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta titik pengamatan 45
2 Hasil pengukuran ketebalan gambut 45
3 Hasil pengukuran kedalaman muka air tanah 46
4 Uji t emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode Gas
Kromatografi 46
5 Uji t emisi CH4 pada bagian rizosfer dan non rizosfer 46
6 Uji t emisi N2O pada bagian rizosfer dan non rizosfer 47
7 Uji t emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode EGM-4 47
8 Uji t emisi CO2 di sekitar rizosfer metode Gas Kromatografi dan EGM-4 47
9 Uji t emisi CO2 di sekitar non rizosfer metode Gas Kromatografi dan
Enviromental EGM-4 47
10Analisis ragam emisi CO2 EGM-4 di sekitar rizosfer di beberapa
kedalaman muka air tanah gambut 48
11Analisis ragam emisi CO2 EGM-4 di sekitar non rizosfer di beberapa
kedalaman muka air tanah gambut 48
12BNJ (Tukey) emisi CO2 EGM-4 di sekitar rizosfer di beberapa
kedalaman muka air tanah gambut 48
13Analisis sifat fisik gambut 49
14Analisis sifat kimia gambut 50
15Analisis sifat kimia gambut 51
16Hasil pengukuran suhu tanah bulan Juni-September 2014 52 17Hasil pengukuran suhu tanah bulan Januari-Mei 2015 52 18Hasil pengukuran suhu permukaan tanah bulan Juni-September 2014 53 19Hasil pengukuran suhu permukaan tanah bulan Januari-Mei 2015 53 20Hasil pengukuran suhu udara bulan Juni-September 2014 54 21Hasil pengukuran suhu udara bulan Januari-Mei 2015 54
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem gambut mempunyai peranan yang sangat penting dalam skala global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat karena menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai air, menyimpan karbon, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati dengan berbagai jenis flora dan fauna langka yang hanya ada dijumpai pada ekosistem ini (Dinerstein et al. 2006). Luas lahan gambut dunia hanya sekitar 3% dari luas permukaan bumi yaitu sekitar 400 juta hektar (Global Peatlands Initiative 2002; Hooijer et al. 2006), namun menyimpan karbon yang sangat banyak yakni diperkirakan sebanyak 550 Giga ton, atau setara dengan 75% dari seluruh karbon di atmosfer (Alex dan Joosten 2008; Joosten 2009). Total luas lahan gambut yang ada di Indonesia seluas 14.9 juta ha yang tersebar di Sumatera seluas 6 436 649 ha, Kalimantan seluas 4 778 004 ha dan Papua seluas 3 690 921 ha (Ritung et al. 2011).
Perubahan iklim yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) merupakan permasalahan seluruh dunia yang memerlukan penanganan secara serius dan menjadi isu hangat saat ini. Tanah gambut dapat bertindak sebagai sumber (source) dan penambat/rosot (sink) CO2 atmosfer. CO2 yang diikat
oleh biomassa tanaman selama proses fotosintesis dapat disimpan dalam tanah sebagai karbon organik melalui perubahan residu tanaman menjadi bahan organik tanah setelah residu tersebut dikembalikan ke tanah. Apabila lahan gambut dibuka untuk perkebunan, maka praktek-praktek manajemen seperti drainase dan penambahan unsur hara dapat berakibat pada meningkatnya emisi GRK (Rinnan et al. 2003).
Meningkatnya kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, menyebabkan semakin terbatasnya ketersediaan lahan yang memiliki daya dukung yang tinggi, baik dari faktor tanah maupun iklim untuk usaha budidaya kelapa sawit. Akibatnya, usaha perkebunan kelapa sawit saat ini mengarah pada lahan-lahan yang memiliki faktor pembatas untuk budidaya kelapa sawit. Salah satu lahan yang dimanfaatkan untuk usaha perkebunan kelapa sawit adalah di lahan gambut yang memiliki faktor pembatas tanah secara fisik maupun kimia tidak mendukung untuk budidaya kelapa sawit, di mana saat ini perkebunan kelapa sawit di lahan gambut menjadi isu hangat perhatian dunia karena dianggap dapat menyumbangkan emisi CO2 yang besar. Pada tahun 2013 total luas areal
perkebunan kelapa sawit mencapai luas 9 074 621 Ha (DPDJP 2013) yang mana total luasan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut pada tahun 2010 menurut hasil penelitian Gunarso et al. (2013) seluas 1.709 juta ha yang tersebar di Sumatra seluas 1.4 juta ha, di Kalimantan seluas 307 515 ha dan di Papua seluas 1 727 ha. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut Kalimantan Barat pada tahun 2013 mencapai 265 081 ha (Rehman et al. 2015).
2
perubahan kondisi lingkungan dari anaerob menjadi aerob pada lapisan dekat permukaan gambut, sehingga meningkatkan kehilangan karbon melalui proses dekomposisi gambut (Chimner dan Cooper 2003). Kegiatan pemupukan diperlukan untuk meningkatkan kesuburan tanaman kelapa sawit di lahan gambut. Ketersediaan unsur N dalam tanah mempunyai peranan penting dalam mengendalikan reaksi-reaksi biologi dalam tanah, termasuk mengendalikan mikroorganisme dan akar tanaman yang memproduksi CO2, sehingga aplikasi
pemupukan N mempunyai pengaruh nyata dalam meningkatkan respirasi (Lai et al. 2002; Zhang et al. 2007). Pemupukan urea akan meningkatkan emisi CO2
dengan cara memacu pertumbuhan akar, aktivitas mikrob, dan proses dekomposisi bahan organik. Menurut Silva et al. (2008), dampak dari meningkatnya respirasi dengan penambahan urea adalah peningkatan produksi dan emisi CO2. Proses
yang terlibat dalam dinamika emisi CO2, CH4 dan N2O dari lahan gambut
dikendalikan oleh beberapa faktor, seperti muka air tanah, suhu dan konsentrasi mineral nitrogen (Melling et al. 2007a).
IPCC (2013a) menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca yang paling dominan di lahan gambut adalah emisi CO2, CH4 dan N2O. Data emisi CO2 di
lahan gambut Indonesia saat ini cukup banyak seperti hasil penelitan (Agus et al. 2010, 2013; Hooijer et al. 2006, 2010; Jauhiainen et al. 2012), tetapi masih sedikit sekali tersedianya data emisi CH4 dan N2O di lahan gambut Indonesia padahal
gas-gas tersebut sangat besar potensinya terhadap pemanasan global dibandingkan dengan emisi CO2 (IPCC 2013b). Dengan semakin pesatnya perkembangan
perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dan menjawab isu dunia, maka perlu kajian yang mendalam terhadap emisi CO2, CH4 dan N2O di lahan gambut untuk
perkebunan kelapa sawit, baik dari segi karakteristik lahan, alat atau metode pengukuran emisi, dan daerah pengamatan (rizosfer dan non rizosfer).
Penelitian ini akan menyediakan data dasar emisi CO2, CH4 dan N2O di
lahan gambut Indonesia yang dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit, serta dapat membantu menyediakan data dalam merumuskan rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca, sesuai dengan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) untuk memenuhi komitmen pemerintah RI dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri atau mencapai 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2020. Hal ini juga mendukung dalam rencana aksi daerah penurunan emisi gas rumah kaca (RAD-GRK) Provinsi Kalimantan Barat yang berbasis lahan (BAPPENAS 2014), serta mewujudkan pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2014 tengan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Kerangka Pemikiran
Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik dengan kadar karbon sekitar 50-60% dari berat keringnya (Anshari et al. 2010), sehingga lahan gambut mempunyai potensi besar dalam melepaskan emisi karbon, emisi CO2
terbentuk di kondisi aerob sedangkan emisi CH4 terbentuk di kondisi anaerob.
3 kelapa sawit lahan gambut ini kemungkinan besar akan melepaskan GRK (CO2,
CH4 dan N2O). Pemberian pupuk N di lahan gambut untuk pertumbuhan kelapa
sawit optimal merupakan hal yang harus dilakukan, akan tetapi akan memicu emisi N2O. Sama halnya dengan penurunan muka air tanah merupakan hal yang
wajib dilakukan akan tetapi menyebabkan kondisi gambut teroksidasi sehingga meningkatkan emisi CO2 dan menurunkan emisi CH4. Tetapi permasalahnnya
gambut merupakan tanah yang mengandung kadar air tinggi sekitar 300-1500% atau 3-15 kali daripada berat keringnya (Anshari et al. 2010) sehingga ada kemungkinan CH4 terlepas ke udara akibat kondisi reduksi tanah gambut. Oleh
karena itu dalam pengukuran emisi GRK (CO2, CH4 dan N2O) sangat penting juga
mengetahui karakteristik sifat fisik (kadar air, bobot isi, bahan organik dan kadar abu) dan sifat kimia (pH tanah, potensial redoks, C-organik, N total, N tersedia, P tersedia, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa) lahan gambut. Selain karakteristik lahan, daerah pengamatan emisi GRK dalam hal ini rizosfer dan non rizosfer harus dipisahkan karena dianggap non rizosfer berkontribusi terhadap peningkatan emisi GRK terutama CO2, sedangkan rizosfer tidak berkontribusi
terhadap peningkatan GRK. Secara teknis besar kecilnya emisi GRK tergantung pada metode yang digunakan dalam mengukur emisi GRK, oleh karena itu penting dalam pemilihan metode yang digunakan.
Kerangka pemikiran kajian emisi GRK di lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
4
Perumusan Masalah
Pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan mengharuskan pembuatan drainase dan pemupukan sehingga mengubah karakteristik fisik dan kimia gambut. Penelitian emisi CO2, CH4 dan N2O sebagian besar berdasarkan pada
pengukuran total respirasi tanah tapi tidak dapat membedakan antara respirasi autotrof (akar tanaman) dengan respirasi heterotrof (organisme tanah) (Melling et al. 2007a). Oleh karena itu penelitian ini akan membandingkan data emisi GRK (CO2, CH4 dan N2O) di rizosfer dan non rizosfer yang mana di rizosfer merupakan
total emisi dari respirasi akar dan dekomposisi (aktivitas mikroorganisme), sedangkan di non rizosfer merupakan emisi dari dekomposisi tanah gambut.
Perumusan masalah dalam penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik fisik (kadar air, bobot isi, bahan organik dan kadar abu) dan sifat kimia tanah (pH tanah, potensial redoks, C-organik, N total, N tersedia, P tersedia, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa) pada lahan gambut dangkal di rizosfer dan non rizosfer?
2. Berapa besar emisi CO2, CH4 dan N2O di rizosfer (respirasi akar dan
dekomposisi) dan non rizosfer (dekomposisi) lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit?
3. Apakah ada perbedaan emisi CO2 dengan menggunakan Gas Kromatografi
dengan Enviromental Gas Monitor (EGM-4)?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengidentifikasi karakteristik fisik (kadar air, bobot isi, bahan organik dan kadar abu) dan sifat kimia tanah (pH tanah, potensial redoks, C-organik, N total, N tersedia, P tersedia, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa) pada lahan gambut dangkal di rizosfer dan non rizosfer.
2. Mengevaluasi besaran emisi CO2, CH4 dan N2O di rizosfer (respirasi akar
dan dekomposisi) dan non rizosfer (dekomposisi) lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.
3. Membandingkan metode pengukuran emisi CO2 menggunakan Gas
Kromatografi dengan Enviromental Gas Monitor (EGM-4).
Manfaat Penelitian
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Gambut
Istilah gambut merupakan istilah Indonesia untuk tanah-tanah yang sebagian besar bahan penyusunnya berupa bahan organik. Nama gambut berasal dari nama suatu kecamatan yaitu Kecamatan Gambut, dekat Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan, di kecamatan tersebut usaha pertanian pada lahan gambut dapat berhasil dengan baik untuk pertama kalinya, yaitu pada awal tahun 1930-an. Atas dasar itulah maka para ahli tanah di Indonesia sepakat untuk menggunakan istilah peat sebagai gambut (Sabiham 2006).
Dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk bidang ilmu tanah, gambut dikenal dengan sebutan Histosols. Berdasarkan Soil Survey Staff (1999, 2010, 2014), Histosols adalah tanah yang memiliki lapisan organik berserat setebal 60 cm, dan bobot isi lebih kecil dari 0.1 g cm-3, pada lapisan organik pelapukan awal (fibrik). Pada lapisan organik yang telah mengalami pelapukan tingkat pertengahan sampai lanjut (hemik-saprik), mempunyai ciri ketebalan lapisan organik minimum 40 cm, bobot isi lebih dari 0.1 g cm-3. Dengan kandungan C-organik lebih atau sama dengan 20% (berdasarkan berat) jika tidak pernah mengalami jenuh air lama (<1 bulan), sedangkan jika mengalami jenuh air lama (>1 bulan) maka bahan tanah tersebut harus mengandung C-organik (tidak termasuk akar hidup) berdasarkan berat:
a. ≥18% jika kadar liat lebih atau sama dengan 60%.
b. ≥12% jika kadar liat 0%.
c. ≥(0.1 x persen liat + 12) jika kadar liat kurang dari 60%.
Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida, Metana dan Dinitrogen Oksida
Persoalan pemanasan global menjadi isu lingkungan hidup sejak tahun 1990-an dan merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem bumi. Gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk dapat menyerap radiasai matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat. Jenis GRK yang keberadaanya di atmosfer berpotensi menyebabkan perubahan iklim global adalah CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs, SF6 dan tambahan gas-gas yaitu NF3, SF5, CF3,
C4F9OC2H5, CHF2OCF2OC2F4OCHF2, CHF2OCF2OCHF2 dan senyawa senyawa
halocarbon yang tidak termasuk Protokol Montreal, yaitu CF3I, CH2Br2, CHCl3,
CH3Cl, CH2Cl2. Dari semua jenis gas tersebut, GRK utama ialah CO2, CH4, dan
N2O (IPCC 2006a). Gas CO2, CH4 dan N2O di atmosfer memiliki sifat seperti
kaca yakni meneruskan radiasi gelombang pendek dari cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas. Karakteristik gas CO2, CH4 dan N2O
6
Tabel 1 Konsentrasi gas rumah kaca utamaa
Tahun CO2 CH4 N2O untuk menjaga kehangatan suhu permukaan bumi dan kenyamanan bagi kehidupan. Namun apabila jumlah GRK tersebut berlebihan dan cenderung meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan global. Pemanasan global ini tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-angsur. Pada Tabel 1 terlihat bahwa pada tahun 1750-an ketika revolusi industri baru dimulai, emisi CO2 di atmosfer
baru 278 (276-280) ppm, pada tahun 2011 telah mencapai 390.5 (390.3-390.7)
Sedangkan N2O termasuk gas yang berbahaya karena memiliki 298 kali pengaruh
yang lebih kuat per satuan berat daripada CO2 dalam rentang waktu 100 tahun.
Tanah Gambut dan Emisi Gas Rumah Kaca
Indonesia diperkirakan memiliki cadangan karbon terbesar pada gambut tropis yaitu 57.4 Gt atau setara 65% dari total karbon gambut tropis (Page et al. 2011). Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar ke atmosfer melalui dua cara yaitu: (1) pembakaran lahan gambut dan (2) oksidasi lahan gambut akibat turunnya muka air tanah gambut yang disebabkan pembuatan saluran drainase (Hooijer et al. 2006), selain karena faktor pembuatan saluran oksidasi gambut tergantung juga pada faktor lama musim kemarau-hujan, kuantitas dan kualitas bahan organik gambut, temperatur dan kelembaban tanah (Hirano et al. 2007).
Hasil penelitian Agus et al. (2010) yang mengukur emisi CO2 di lahan
gambut untuk penggunaan kelapa sawit menyatakan bahwa emisi CO2 di non
rizosfer (dekomposisi) adalah sekitar 62% dari emisi CO2 yang berada di rizosfer
(sekitar perakaran). Respirasi akar tidak berkontribusi dalam emisi CO2 yang
seimbang dengan serapan CO2 selama proses fotosintesis. Data non rizosfer lebih
dapat digunakan untuk menggambarkan dekomposisi gambut dalam penelitian gas rumah kaca (Agus et al. 2010).
Metana merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang diemisikan oleh tanah akibat metabolisme bakteri metanogen. Metana terbentuk dari senyawa karbon organik atau gas karbon pada kondisi anaerob oleh bakteri metanogen (lapisan gambut anaerob). Pada lapisan atas (aerob) bakteri metanotropik mengoksidasi bagian dari CH4, menyebar ke atas sebagai CO2 (Schrier-Uijl et al.
2013). Tanah gambut merupakan salah satu sumber potensial emisi CH4 karena
7 Diyakini bahwa emisi CH4 dari lahan gambut tropis hanya memberikan kontribusi
kecil untuk emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan emisi CO2, tetapi karena
metana mempunyai kemampuan menyerap sinar infra merah yang dipancarkan oleh permukaan bumi sebesar 34 kali lebih tinggi dibandingkan dengan CO2
(IPCC 2013b), dengan demikian maka CH4 dapat memainkan peranan dalam
keseimbangan karbon.
Emisi CH4 tergantung dari lapisan air tanah, seperti hasil penelitian Roulet
et al. (1995) menyatakan bahawa emisi CH4 menurun dengan meningkatnya
kedalaman muka air tanah, hal ini diperkuat lagi dari hasil penelitian Couwenberg et al. (2009), emisi CH4 terjadi apabila permukaan air tanah lebih dangkal dari 20
cm, dan sebaliknya hampir tidak ada emisi apabila permukaan air tanah lebih dalam dari 20 cm. Melling et al. (2005) melaporkan emisi CH4 pada ekosistem
hutan gambut berkisar dari -4.53 sampai 8.40 μg C m-2 jam-1, pada ekosistem kelapa sawit berkisar dari -32.78 sampai 4.17 μg C m-2 jam-1, dan pada ekosistem sagu berkisar dari -7.44 sampai 102.06 μg C m-2 jam-1. Dengan pendekatan analisis regresi diperoleh hasil bahwa fluks CH4 pada masing-masing ekosistem
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berbeda yakni kelembaban udara untuk ekosistem hutan, muka air tanah untuk ekosistem kelapa sawit dan ekosistem sagu. Ekosistem hutan dan sagu merupakan sumber CH4 dengan emisi 18.34 mg
C m-2 jam-1 untuk hutan dan 180 mg C m-2 jam-1 untuk sagu, sedangkan ekosistem kelapa sawit merupakan penyimpan CH4 sebesar -15.14 mg C m-2 jam-1.
Kelembaban udara merupakan faktor penting yang mempengaruhi emisi CH4
dengan batas kritis 90.55%. Emisi CH4 tertinggi sebesar 9.23 μg C m-2 jam-1
terjadi pada kelembaban udara 90.55% dan muka air tanah lebih dari 49 cm. Pada ekosistem sagu meningkatnya suhu akan meningkatkan emisi CH4 akibat
tingginya difusi gas, tetapi pada ekosistem kelapa sawit yang memiliki lapisan aerobik lebih tebal, meningkatnya suhu memungkinkan meningkatkan oksidasi CH4, sehingga CH4 semakin besar.
Emisi dinitrogen oksida (N2O) merupakan produk sampingan dari nitrifikasi
dan denitrifikasi di lahan pertanian maupun ekosistem alami. Dinitrogen oksida (N2O) diproduksi secara alami dalam tanah melalui proses nitrifikasi dan
denitrifikasi. Proses nitrifikasi yaitu oksidasi amonia menjadi nitrat pada kondisi aerobik, dan denitrifikasi yaitu pengurangan mikroba nitrat menjadi gas nitrogen pada kondisi anaerobik. Salah satu faktor pengendali utama dalam reaksi ini adalah ketersediaan nitrogen dalam tanah. Emisi N2O disebabkan oleh
penambahan unsur N pada tanah berupa pupuk anorganik maupun organik yang semuanya mengandung bentuk nitrogen (IPCC 2006b).
Penggunaan pupuk nitrogen, merupakan faktor yang menentukan sebagian besar emisi N2O, yang tergantung pada penggunaan lahan seperti hasil penelitian
Takakai et al. (2006) menyatakan bahwa lahan pertanian yang diberi pupuk sebanyak 65-1278 kg N ha-1 tahun-1, menghasilkan emisi N2O sekitar 21-259 kg N
ha-1 tahun-1, nilai emisi N2O yang sangat besar signifikannya terhadap lahan hutan
alami 0.62-4.4 kg N ha-1 tahun-1, hutan baru 0.40-4.0 kg N ha-1 tahun-1 dan hutan terbakar 0.97-1.5 kg N ha-1 tahun-1. Emisi N2O dapat dikurangi dengan
8
Kelapa Sawit di Lahan Gambut dan Emisi GRK
Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan karbon pada ekosistem gambut. Pembuatan drainase pada lahan gambut digunakan untuk menurunkan muka air tanah agar pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit baik. Sejak dimulainya drainase, wilayah gambut telah menjadi sumber CO2 sebagai akibat meningkatnya oksidasi gambut. Dilain pihak
peningkatan muka air tanah dapat merubah area gambut menjadi sumber CH4
yang lebih efektif sebagai gas rumah kaca daripada CO2 (Hendriks et al. 2007).
Ikkonen dan Kurets (2002) menyatakan bahwa drainase lahan gambut selama 10 tahun akan menurunkan muka air dari 10 menjadi 30 cm dan emisi CO2 dari tanah
meningkat 1.5 kali. Sebelum drainase sekitar 70% produksi CO2 dari gambut
sphagnum merupakan hasil dari mineralisasi bahan organik, namun setelah drainase respirasi akar menyumbangkan 40% dari total respirasi tanah. Intensitas maksimum dari emisi CO2 dihasilkan dari respirasi akar dan mikroorganisme pada
kelembaban gambut 70-75%. Klemedtsson et al. (1997) melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan gambut yang tidak didrainase, tindakan drainase pada tanah organik untuk lahan pertanian akan meningkatkan emisi GRK sekitar 1 t CO2 ha-1
tahun-1.
Manajemen di perkebunan kelapa sawit lahan gambut menghasilkan emisi CO2 sekitar 55-73 ton ha-1 tahun-1 (Couwenberg dan Hooijer 2013). Emisi CO2
dari setiap 10 cm kedalaman drainase menghasilkan 9 ton ha-1 tahun-1 (Couwenberg et al. 2010). Kedalaman muka air tanah perkebunan kelapa sawit sekitar 50-80 cm (Mutert et al. 1999). Berbeda halnya dengan emisi CH4 karena
dengan menurunnya kedalaman muka air tanah untuk perkebunan kelapa sawit berarti terjadi penurunan emisi CH4 karena hasil penelitian Furukawa et al. (2005)
menyatakan bahwa dengan menurunnya kedalaman muka air tanah 20-30 cm menyebabkan emisi CH4 mengalami penurunan sebesar 25%. Menurut Mutert et
al. (1999) di perkebunan kelapa sawit, aplikasi pupuk nitrogen di lahan gambut sebesar 0.6 kg N pohon-1 tahun-1 akan mempengaruhi besaran emisi N2O, seperti
hasil penelitian Melling et al. (2007) adalah sebesar 1.2 kg N2O ha-1 tahun-1.
Peraturan Perundang-undangan terkait Lingkungan dan Perubahan Iklim
9 Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat dengan UUPPLH.
UUPPLH juga merupakan “payung” pengelolaan lingkungan hidup, maka
undang-undang sektoral bidang lingkungan yang diantaranya kehutanan, perkebunan, ekosistem gambut dan lain-lain, harus memenuhi beberapa kondisi. Antara lain, pertama UU tersebut tersebut harus taat pada UUPPLH. Kedua, pelaksanaan UU sektoral bidang lingkungan hidup tidak boleh bertentangan dengan UUPPLH. Ketiga, segala penegakan hukum yang berkaitan dengan lingkungan hidup harus berpedoman kepada UUPPLH.
Salah satu undang-undang sektoral bidang lingkungan mengenai lahan gambut adalah Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2014 tengan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Lahan Gambut. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut ini mengatur mengenai perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, serta sanksi administratif. Perencanaan meliputi inventarisasi Ekosistem Gambut, penetapan Ekosistem Gambut, serta penyusunan dan penetapan rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pemanfaatan Gambut ditentukan berdasarkan rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pengendalian kerusakan Ekosistem Gambut dilakukan dengan penetapan kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut dan penerapan instrumen izin lingkungan bagi usaha dan/atau kegiatan yang memanfaatkan Ekosistem Gambut yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan dan upaya pengelolaan lingkungan, upaya pemantauan lingkungan. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut disertai dengan pemeliharaan Gambut, penerapan sanksi administratif, dan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap Peraturan Pemerintah ini dan izin lingkungan.
Perkembangan hukum lingkungan telah memperoleh dorongan yang kuat karena adanya Stockholm Declaration ini, baik pada taraf nasional, regional maupun internasional. Keuntungan yang tidak sedikit adalah mulai tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasa di antara para ahli hukum dengan menggunakan Stockholm Declaration sebagai referensi bersama (Hardjasoemantri 1999). Berbagai forum internasional terus digelar untuk membahas tindakan nyata mengatasi perubahan iklim yang antara lain diselenggarakan di Copenhagen, Denmark, tanggal 7-12 Desember 2009. Perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih) (IPCC 2001).
10
swasta dan pelaku bisnis serta seluruh masyarakat luas. Sejak tahun 1995, para pihak telah bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties/COP) guna menerapkan dan mengimplementasikan kerangka kerja tersebut.
Protokol Kyoto yang terbentuk pada saat Conference of Parties 3 pada tanggal 12 Desember 1997 merupakan amandemen terhadap UNFCCC. Protokol ini dirancang sebagai penguatan mekanisme pengurangan emisi GRK bagi para peserta penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim, sehingga tidak menggangu sistem iklim bumi. Dalam berbagai laporan dijelaskan, guna mengakomodasi kepentingan antara blok negara-negara maju dan negara-negara berkembang, Protokol Kyoto dijadikan kesepakatan internasional untuk meletakan komitmen bersama dalam mengurangi emisi GRK dengan cara mengatur soal pengurangannya secara lebih tegas dan terikat hukum. Walaupun Protokol Kyoto mengatur ketentuan pengurangan emisi GRK hanya selama periode pertama dari tahun 2008 hingga 2012, namun target jangka panjangnya adalah adanya pengurangan rata-rata cuaca global antara 0.02°C dan 0.28°C pada tahun 2050.
Beberapa peraturan yang berkaitan langsung dengan lingkungan dan perubahan iklim.
1. Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNFCCC
2. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
4. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran hutan dan atau Lahan
5. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tengan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Lahan Gambut. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
6. Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim
7. Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
8. Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional
9. Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan ReDD+
10. Keputusan Presiden No. 5 Tahun 2013 tentang perubahan atas keputusan Presiden No 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (ReDD+) 11. Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
12. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 35 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Komite Nasional Perubahan Iklim dan Lingkungan
11 14. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 206 Tahun 2005
tentang Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih
15. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 03 Tahun 2006 tentang Program Menuju Indonesia Hijau
16. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 15 Tahun 2013 tentang Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim 17. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.14 Tahun 2004 tentang Tata Cara
Aforestasi dan Reforestrasi Dalam Rangka Mekanisme Pembangunan Bersih
18. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
19. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung
20. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (ReDD)
21. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.20 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan
12
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian di perkebunan kelapa sawit milik perseorangan di Desa Rasau Jaya Umum, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat, pada koordinat
00°12’40.7” LS 109°22’27.4” BT. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan dari bulan Juni 2014 sampai bulan Mei 2015. Pengambilan sampel gas dengan metode Gas Kromatografi dilakukan dari bulan Juni sampai bulan September 2014. Pengukuran emisi CO2 dengan metode
EGM-4 dilakukan dari bulan Januari sampai bulan Mei 2015.
Penetapan Titik Pengamatan
13 drainase tersier sekitar 100 m dan jarak titik pengamatan pertama dengan saluran cacing sekitar 12 m (Lampiran 1). Pada setiap titik pengamatan dipasang dua buah sungkup untuk pengambilan sampel gas rizosfer (respirasi akar kelapa sawit dan dekomposisi gambut) dan non rizosfer (dekomposisi gambut).
Transek yang dibuat pada penelitian ini terdapat dua transek yaitu: a) transek ke-1; tiga pasang titik pengamatan (rizosfer dan non rizosfer) dan b) transek ke-2; tiga pasang titik pengamatan (rizosfer dan non rizosfer). Setelah pembuatan transek, dilakukan pemasangan sungkup permanen rizosfer dan non rizosfer pada masing-masing titik pengamatan. Hasil penelitian Fauzi et al. (2006) mengatakan bahwa respirasi akar terjadi pada akar tersier dan kuarter yang banyak ditumbuhi bulu-bulu halus akar yang jarak penyebaran akar tersebut tergantung pada umur kelapa sawit. Sungkup untuk mengukur emisi rizosfer ditempatkan di
atas “piringan” perakaran, dengan jarak 100 cm dari batang tanaman. Metode
yang serupa telah dilakukan oleh Agus et al. (2010) yang memasang sungkup berada 1 meter dari batang tanaman untuk tanaman sawit yang berusia 5 tahun. Lebih lanjut dijelaskan oleh Marwanto et al. (2013), bahwa emisi CO2 terbesar
adalah pada jarak 1 meter dari batang kelapa sawit, di mana pada jarak tersebut kerapatan akar tersier dan kuarter sangat tinggi, oleh karena itu jarak 1 meter merupakan jarak yang ideal untuk pengamatan emisi CO2 rizosfer.
Sungkup untuk mengukur emisi non rizosfer ditempatkan di atas gambut yang telah dibersihkan dari akar-akar hidup tanaman. Sebelum sungkup dipasang, dilakukan pemotongan akar dan kemudian dipasang lapisan pembatas berupa terpal sedalam satu meter, dan lebar 0.5 meter. Tujuan pemasangan terpal supaya tidak terjadi penetrasi akar. Pemasangan terpal dilakukan 1 minggu sebelum pengukuran CO2. Jarak sungkup untuk pengukuran emisi non rizosfer sejauh 4.5
meter dari batang tanaman Hasil penelitian Marwanto et al. (2013) menunjukkan bahwa pada jarak 4.5 meter kerapatan akar tanaman kelapa sawit sangat jarang, dan tidak berpengaruh nyata karena kecilnya emisi autotrof pada radius 4.5 meter dari batang tanaman kelapa sawit. Penetapan titik pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.
14
Penetapan Sampel
Sifat Fisik dan Kimia Gambut
Pada setiap titik pengamatan di rizosfer dan non rizosfer, dilakukan pengambilan sampel tanah dengan menggunakan bor gambut pada kedalaman 5-15, 15-25 dan 25-35 cm untuk pengamatan sifat fisik gambut. Pengambilan sampel tanah untuk analisa sifat kimia gambut secara komposit pada kedalaman 0-30 cm dari setiap titik pengamatan. Analisis sifat fisik kimia gambut dilakukan pada Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB dan Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Beberapa sifat fisik dan kimia gambut yang dianalisis dan metode analisis yang digunakan terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2 Variabel sifat fisik dan kimia gambut yang diamati
No Variabel Pengamatan Metode
1. Kadar air Gravimetri
Pengukuran sampel emisi CO2, CH4, dan N2O menggunakan teknik sungkup
tertutup (closed chamber) yang di adopsi dari IAEA (1993). Analisis sampel gas menggunakan dua metode yang berbeda yaitu dengan analisis Gas Kromatografi dan analisis gas infra merah EGM-4 (Environmental Gas Monitor). Sampel gas dianalisis dengan menggunakan alat Gas Kromatografi Shimadzu GC-14A. Gas kromatografi Shimadzu GC-14A series yang digunakan untuk pengukuran emisi CO2 dengan menggunakan Thermal Conductivity Detector (TCD), selain itu juga
15 Electron Capture Detector (ECD) untuk analisis gas N2O. Sampel gas dengan
metode Gas Kromatografi diambil pada sungkup berupa paralon silinder berdiameter 30 cm dan tinggi 30 cm dengan sebuah tutup sungkup yang telah dilengkapi dengan septum untuk tempat jarum syringe. Pengambilan sampel gas dilakukan 1 minggu setelah pemasangan sungkup (aklimatisasi sungkup). Sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 40 ml dan dimasukan ke dalam botol kaca yang telah divakum, dengan interval waktu pengambilan sampel gas 0, 10, 20, 30 dan 40 menit setelah tutup sungkup dipasang. Pengambilan gas dilakukan secara bergantian pada pukul 08.00-12.00 WIB. Sampel gas yang diambil dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Analisis emisi CO2, CH4,
dan N2O dikerjakan di Laboratorium Terpadu Balai Penelitian Lingkungan
Pertanian (Balingtan) yang berlokasi di Jakenan-Pati Jawa Tengah.
Khusus emisi CO2 selain dianalisis di laboratorium menggunakan Gas
Kromatografi, juga di analisis secara langsung di lapangan dengan menggunakan alat EGM-4 (Environmental Gas Monitor) yang bertujuan untuk membandingkan hasil pengukuran Gas Kromatografi dengan EGM-4. EGM-4 adalah infrared gas analyzer (IRGA) yang banyak tersedia. Alat ini terdiri atas sungkup atau soil respiration chamber (SRC-1) yang tingginya 15 cm dan diameter 10 cm terbuat dari material PVC dan stainless steel, termometer atau soil temperature probe (STP-1), dan IRGA. EGM-4 mudah dioperasikan karena ringan (berat 1.9 kg), dan menggunakan baterai kering dengan kapasitas 12V 2.0 Ah yang tahan sampai 4-5 jam dengan pemakaian terus menerus. Sungkup dilengkapi dengan kipas dengan kapasitas 12V DC untuk menghilangkan gas-gas yang terakumulasi dalam sungkup (PP System 2009).
Hal pertama yang dilakukan adalah pemanasan dan penyetelan IRGA serta mengosongkan gas-gas yang tersisa dalam sungkup (auto zero). Permukaan tanah di mana sungkup diletakkan dikipas untuk mengurangi konsentrasi gas CO2.
Kemudian, sungkup diletakan di atas permukaan tanah gambut sedalam 1-2 cm sampai tidak ada rongga udara yang akan menyebabkan gas keluar dari sungkup. Untuk mendapatkan nilai fluks yang linear, besaran emisi CO2 pada awal
pengukuran diusahkan kurang dari 500 ppm. Apabila konsentrasi awal lebih dari 500 ppm, pengukuran diulang kembali, dan artinya pengipasan permukaan tanah belum baik karena konsentrasi gas masih tinggi, dan perlu dilakukan pengipasan lebih merata. Selama pengukuran, konsentrasi CO2 akan meningkat, dan apabila
terjadi penurunan konsentrasi CO2, berarti terjadi kebocoran. Akibatnya,
pengukuran harus diulangi. Pengukuran dilakukan selama 124 detik per titik pengamatan, dan setiap 4 detik data konsentrasi direkam dan disimpan dalam EGM-4. Data-data tersebut kemudian diunduh, dan dihitung fluksnya.
Perhitungan Emisi CO2, CH4, dan N2O
Perhitungan emisi CO2, CH4, dan N2O menurut Sano et al. (2010), dengan
16
Keterangan :
F = Fluks CO2, CH4, atau N2O (µmol m-2 s-1)
V = Volume sungkup/chamber (m3) A = Luas dasar sungkup/chamber (m2)
22.4 = Volume molar gas pada kondisi stp (standard temperature and Pressure) yaitu 22.4 liter mol-1 atau 0.0224 m3 mol-1 pada 0ᵒC (273 k) dan tekanan 1 atm
dc/dt = Perubahan emisi CO2, CH4-C atau N2O antar waktu (ppm s-1)
T = Rata-rata suhu dalam sungkup (ᵒ C)
Hasil perhitungan fluks dikonversi dalam satuan jam dan kemudian dikalikan dengan berat molekul untuk masing-masing senyawa gas (IAEA 1993). Data emisi yang telah didapat dalam satuan gram per meter persegi per jam dikonversi untuk memperkirakan emisi tahunan (365 hari).
Emisi CO2 rizosfer merupakan hasil dari respirasi akar dan dekomposisi,
sedangkan pada daearah non rizosfer merupakan hasil dari proses dekomposisi. Emisi CO2 rizosfer dikurangkan dengan emisi CO2 non rizosfer menghasilkan
emisi CO2 yang berasal dari respirasi akar (autotrof), asumsi ini beranggapan
bahwa emisi dari proses dekomposisi di rizosfer sama dengan pada non rizosfer.
Pengukuran Parameter Pendukung
Parameter lain yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini adalah kematangan gambut, ketebalan gambut, kedalaman muka air tanah, curah hujan dan suhu. Identifikasi kematangan gambut di lapangan berdasarkan metode Von Post yaitu berupa data kualitatif (Andriese 1988). Pengukuran ketebalan gambut menggunakan eijkelkamp peat sampler. Kedalaman muka air tanah ditentukan dengan cara memasang peizometer terbuat dari PVC dengan panjang 2 meter. Peizometer dimasukkan ke dalam tanah yang telah dibor terlebih dahulu sampai kedalaman 1.7 meter dan sisanya 30 cm di atas permukaan tanah. Peizometer dipasang sebanyak 5 titik pada 1 transek saja, dengan posisi tegak lurus terhadap saluran drainase sekunder. Suhu yang diukur meliputi suhu udara, suhu tanah dan suhu di dalam sungkup menggunakan termometer digital. Suhu udara yang diukur adalah suhu udara pada ketinggian 1.5 meter di atas sungkup dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Suhu tanah diketahui dengan cara memasukkan termometer ke dalam tanah pada kedalaman 5-10 cm, sedangkan suhu di dalam sungkup dilakukan di dalam sungkup sebelum pemasangan tutup sungkup dan setelah pengambilan gas dilakukan. Pembacaan suhu dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali dengan interval waktu 1 menit. Seluruh pengukuran suhu tersebut dilakukan bersamaan dengan pengukuran emisi CO2, CH4, dan N2O. Pengukuran ketebalan
17
Analisis Data
Perbandingan emisi CO2, CH4 dan N2O di rizosfer dan non rizosfer
menggunakan analisis perbandingan rata-rata dengan uji t. Hubungan antara emisi CO2 dengan kedalaman muka air tanah dan suhu diuji dengan korelasi Pearson
dan regresi linier sederhana. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan besaran emisi CO2 tiap kelompok kedalaman muka air tanah menggunakan
18
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Lokasi Penelitian
Pembukaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit ini dimulai sejak tahun 2008-an sehingga umur kelapa sawit di lokasi penelitian sekitar 6 sampai 7 tahun. Pada perkebunan kelapa sawit terdapat saluran drainase yang mengelilingi blok. Saluran drainase sekunder mempunyai lebar 12 meter, lebar saluran tersier 4 meter dan saluran cacing 50 cm. Jarak antar saluran tersier 200 meter dan jarak antar saluran cacing 50 meter.
Lokasi penelitian memiliki pola curah hujan ekuatorial (Aldrian dan Susanto 2003). Pola ekuatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat matahari berada dekat ekuator. Wilayah Indonesia disepanjang garis khatulistiwa sebagian besar mempunyai pola hujan ekuatorial. Lokasi penelitian memiliki dua periode curah hujan yang rendah. Periode curah hujan yang rendah pertama terjadi pada bulan Pebruari dan dapat berlangsung hingga Maret. Periode kedua berlangsung lebih lama, biasanya dimulai dari bulan Juni sampai September. Curah hujan terendah biasanya terjadi pada bulan Agustus. Menurut data curah hujan dari tahun 2006-2015, curah hujan bulanan berkisar 180-380 mm (Gambar 4). Curah hujan tahunan antara 2 500 sampai 3 700 mm. Hasil pengukuran suhu yang dilakukan pada bulan Juni 2014 sampai bulan Mei 2015, untuk suhu tanah di lokasi penelitian berkisar antara 25 sampai 29 °C, suhu permukaan tanah 28-35 °C dan suhu udara berkisar antara 27-32 °C (Gambar 5, 6 dan 7).
19
Gambar 4 Rata-rata curah hujan bulanan dari tahun 2006-2015 (BMKG Supadio Pontianak 2016)
20
Gambar 6 Profil suhu permukaan tanah
Gambar 7 Profil suhu udara
21 dangkal. Kematangan gambut di lokasi penelitian beragam secara vertikal yaitu saprik dan hemik, tetapi secara horizontal gambut bagian permukaan memiliki kematangan saprik. Kedalaman muka air yang diamati dari bulan Juni 2014 hingga Mei 2015 berkisar 24-101 cm di bawah permukaan tanah. Kedalaman muka air tanah yang paling dalam terjadi pada bulan Agustus (Gambar 8 dan Lampiran 3).
Gambar 8 Profil kedalaman muka air tanah
Karakteristik Fisik dan Kimia Tanah Gambut
Secara statistik deskriptif bobot isi di rizosfer relatif sama dengan non rizosfer, sedangkan kadar air dan bahan organik di rizosfer relatif besar dibandingkan non rizosfer, tetapi kadar abu di rizosfer lebih kecil. Pada Tabel 3 menunjukkan secara statistik deskriptif berbeda, tetapi secara statistik inferensia sifat fisik tanah gambut di rizosfer dan non rizosfer tidak berbeda nyata (p > 0.05). Tabel 3 Sifat fisik tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR)
Perlakuan Kadar Air Bobot Isi Bahan Organik Kadar Abu
(%) (g cm-3) (%) (%)
Rata-rataa SD
Rata-rataa SD
Rata-rataa SD
Rata-rataa SD
R 281.19a 67.32 0.27a 0.06 60.72a 12.35 39.28a 12.35
NR 256.58a 64.58 0.28a 0.06 55.57a 11.86 44.43a 11.86
a
Angka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5%
22
mana kisaran kedalaman muka air pada saat pengamatan sifat fisik dan kimia sekitar 32-50 cm. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan (Syaufina et al. 2004) yang menyatakan bahwa semakin dalam lapisan tanah, kadar air semakin tinggi. Disamping itu, bobot isi semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman tanah. Hal ini disebabkan oleh faktor semakin meningkatnya kadar abu atau mineral dengan semakin dalamnya tanah gambut di lokasi penelitian yang mendekati lapisan mineral (substratum) sehingga bahan organik pun menjadi berkurang, dengan ketebalan gambut berkisar 50-90 cm. Bobot isi memiliki hubungan positif yang sangat nyata terhadap kadar abu dengan koefisien determinan (R2) sebesar 0.611 (Gambar 11).
(a)
(b)
23
(a)
(b)
24
Gambar 11 Regresi bobot isi terhadap kadar abu
Secara deskriptif sebagian besar sifat kimia di rizosfer memiliki konsentrasi yang lebih besar dibandingkan dengan non rizosfer (Tabel 4), tetapi secara statistik inferensia tidak berbeda nyata (p > 0.05).
Tabel 4 Sifat kimia tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR)
Variabel Rizosfer Non Rizosfer
Rata-rataa SD Rata-rataa SD
pH H2O 3.99 a 0.16 3.80a 0.22
pH CaCl2 3.32a 0.14 3.23a 0.14
Eh (mv) 447.47a 16.66 453.57a 13.96
C (%) 30.52a 8.57 27.83a 4.73
N (%) 1.07a 0.20 1.01a 0.06
C/N (%) 28.14a 2.91 27.42a 3.65
NO3- (ppm) 1 763.67a 808.63 1 196.93a 752.21
NH4+ (ppm) 78.39a 49.74 72.70a 40.83
P Bray I (ppm) 31.56a 8.66 38.50a 13.03
KTK (me 100 g-1) 95.84a 11.41 83.07a 16.08
KB (%) 14.40a 4.22 11.66a 2.65
a
Angka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5%
25 hasil penelitian Anshari et al. (2010) pada lapisan aerobik (acrotelm) dari tutupan lahan hutan, sawit, HTI dan pertanian di Kalimantan Barat yaitu sebesar 30.
Tanah gambut di lokasi penelitian telah mengalami mineralisasi yang intensif, dan ditandai dengan penurunan fraksi bahan organik atau peningkatan kadar abu, dengan bahan organik > 55% atau kadar abu sebesar > 45% (Tabel 3). Menurut Andriesse (1988), fraksi bahan organik pada gambut tropis lebih dari 65%, namun fraksi bahan organik pada gambut lokasi penelitian lebih rendah dari 65%. Hal ini tidak menyebabkan perubahan ordo Histosols menjadi tanah mineral bergambut karena kadar elemen C lebih tinggi dari 18% (Tabel 4) karena menurut Soil Survey Staff (1999, 2010, 2014), kadar elemen C minimum pada Ordo Histosols sebesar 12% apabila banyak mengandung liat atau telah terjadi mineralisasi yang intensif. Hardjowigeno (2010) juga menyampaikan bahwa tanah gambut adalah tanah yang mengandung bahan organik > 20% (untuk tanah pasir) atau > 30% (untuk tanah liat) dengan tebal > 40 cm.
Berdasarkan hasil ini menunjukan bahwa semua sifat fisik dan kimia yang diamati pada rizosfer tidak berbeda nyata (p > 0.05) terhadap sifat fisik dan kimia pada non rizosfer, jadi sifat fisik dan kimia tanah tidak menyebababkan perbedaan besaran emisi CO2 antara rizosfer dan non rizosfer.
Emisi GRK di Rizosfer dan Non Rizosfer
Metode Gas Kromatografi dekomposisi sedangkan non rizosfer hanya dari dekomposisi.
Emisi CH4 bagian rizosfer lebih kecil dibandingkan non rizosfer, dengan
rata-rata pada rizosfer sebesar 0.00069 g m-2 jam-1, sedangkan pada non rizosfer rata-rata sebesar 0.00136 g m-2 jam-1. Berdasarkan analisis uji t menunjukkan bahwa emisi CH4 pada bagian rizosfer tidak berbeda nyata (p > 0.05) terhadap
non rizosfer (Tabel 5 dan Lampiran 5). Emisi CH4 jauh lebih kecil dibandingkan
emisi CO2 meskipun dikalikan nilai potensi pemansan global CH4 sebesar 34 kali
CO2, hal ini disebabkan karena emisi CH4 dapat terjadi secara optimal dalam
kondisi anaerob sedangkan tanah gambut lokasi penelitian memiliki redoks > 400 mv yang berarti tanah gambut dalam kondisi aerob.
Emisi N2O pada bagian rizosfer rata-rata sebesar 0.00004 g m-2 jam-1,
sedangkan di non rizosfer rata-rata sebesar 0.00007 g m-2 jam-1. Hasil ini menunjukkan bahwa emisi N2O pada bagian rizosfer lebih kecil dibandingkan non
rizosfer, tetapi tidak berbeda nyata (p > 0.05) (Tabel 5 dan Lampiran 6). Emisi N2O sangat kecil dibandingkan emisi CO2 dan CH4 meskipun dikalikan nilai
potensi pemanasan global N2O, karena emisi N2O umumnya terjadi pada lahan
26
Rata-rata 0.12333a 0.00069a 0.00004a
SD 0.01909 0.00051 0.00002
Rata-rata 0.16510a 0.00136a 0.00007a
SD 0.06433 0.00201 0.00005
aAngka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5%
Emisi CH4 selama setahun di rizosfer sebesar 0.0608 ton m-2 tahun-1,
sedangkan pada non rizosfer rata-rata sebesar 0.1188 ton m-2 tahun-1, hasil penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Jauhiainen et al. (2005) di hutan gambut Kalimantan Tengah dengan emisi CH4 sebesar 0.0136 ton
m-2 tahun-1. Emisi N2O pada bagian rizosfer rata-rata sebesar 0.0034 ton ha-1
tahun-1, sedangkan di non rizosfer rata-rata sebesar 0.0065 ton ha-1 tahun-1. Hasil ini lebih kecil dari hasil penelitian Jauhiainen et al. (2012) mengenai besarnya emisi N2O di lahan gambut Kalimantan Tengah sangat bervariasi di berbagai tipe
penggunaan lahan. Di hutan berdrainase 0.112 mg m-2 jam-1 (0.0098 ton m-2 tahun
27
Tabel 6 Hasil perhitungan emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode
EGM-4
aAngka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5%
Hasil penelitian menunjukkan bahwa emisi CO2 pada rizosfer lebih besar
dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) dibandingkan non rizosfer berdasarkan uji t. Hal ini karena emisi CO2 yang dihasilkan dari respirasi akar dan juga berasal dari
mikrooganisme (Paterson 2003). Menurut Hanson (2000) total respirasi tanah sebagian besar dipengaruhi oleh perakaran tanaman, bervariasi dari 10% hingga 90%. Akar tanaman selain menyumbangkan CO2 dari kegiatan respirasinya, juga
mengeluarkan eksudat berupa ion, enzim-enzim, karbohidrat serta asam amino (Kuzyakov et al. 2000;Subke et al.2004; Hamer dan Marschner 2005; Bais et al. 2006) yang dapat meningkatkan aktivitas respirasi di rizosfer. Dengan meningkatnya jumlah populasi dan aktivitas mikroorganisme di rizosfer menyebabkan respirasi mikroorganisme meningkat dan produksi CO2 di rizosfer
lebih besar daripada di non rizosfer.
Emisi CO2 di non rizosfer (heterotrof) sebesar 47% dibandingkan di rizosfer
(autotrof dan heterotrof), hasil ini lebih kecil dibandingkan hasil penelitian sebelumnya seperti Agus et al. (2010) yang memperoleh hasil 62% dan hasil penelitian Dariah et al. (2014) sebesar 86%. Emisi dari respirasi akar (autotrof) berkontribusi sekitar 35-45% dari total emisi CO2 pada lahan gambut boreal
(Nykänen et al. 1995; Silvola et al. 1996). Penelitian Jauhiainen et al. (2012) menujukkan bahwa lahan gambut yang ditanami akasia memiliki rata-rata respirasi autotrof 21% dari total emisi CO2. Kontribusi respirasi autotrof pada
penelitian ini 53% dari total emisi CO2 mempunyai emisi yang lebih tinggi dari
penelitian sebelumnya yang dilakukan di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut, yang berkisar 46% (Melling et al. 2007b), 36% (Murdiyarso et al. 2010) dan 29% (Hergoualc'h dan Verchot 2011).
Perbandingan Emisi CO2 Metode Gas Kromatografi dengan EGM-4
Emisi CO2 di sekitar rizosfer dengan pengukuran secara Gas Kromatografi
28
menggunakan EGM-4 lebih besar dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) dibandingkan dengan pengukuran secara Gas Kromatografi (Lampiran 8).
Tabel 7 Perbandingan Emisi CO2 metode Gas Kromatografi dengan metode
aAngka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5%
Emisi CO2 di sekitar non rizosfer berdasarkan metode Gas Kromatografi
menunjukkan hasil rata-rata sebesar 0.16 g m-2 jam-1. sedangkan metode EGM-4 memiliki hasil rata-rata sebesar 0.44 g m-2 jam-1 (Tabel 7) yang lebih besar dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) dibandingkan metode Gas Kromatografi (Lampiran 9). Pengkuran metode Gas Kromatografi dilakukan lebih lama daripada metode EGM-4, yaitu selama 40 menit sehingga terjadinya peningkatan suhu dan tekanan. Peningkatan tekanan udara di dalam sungkup akan menyebabkan difusi gas di dalam tanah. Difusi gas di dalam tanah dapat menurunkan emisi CO2 di dalam sungkup (Freijer dan Bouten 1991; Healy et al.
1996). Menurut Walezak et al. (2002), pergerakan gas dalam tanah secara langsung tergantung pada koefisien difusi, bobot isi, porositas, dan distribusi pori tanah dan jumlah air tanah. Selain dari terjadinya proses difusi gas, kelemahan dari metode Gas Kromatografi adalah terbentuknya uap air (H2O) di dalam
sungkup akibat dari peningkatan suhu yang dalam sungkup. Adanya uap air akan menurunkan emisi CO2 di dalam sungkup.
29 dengan waktu. Pertama, adanya kebocoran gas yang keluar melalui bagian tepi sungkup. Besarnya efek ini dapat terjadi karena difusi gas di dalam tanah, ukuran sungkup (diameter, tinggi), porositas dan kedalaman sungkup yang dimasukkan di dalam tanah. Kedua, adanya perubahan suhu tanah dan tingkat produksi gas dalam tanah yang tidak konstan (Li et al. 2000). Kejadian ini karena pengukuran emisi yang lebih lama pada metode Gas Kromatografi yaitu selama 40 menit, sedangkan metode EGM-4 pengukuran dilakukan selama 2 menit. Lebih lanjut dijelaskan oleh Davidson et al. (2002), pengukuran gas yang lebih cepat akan meminimalkan efek non-linear konsentrasi gas di dalam sungkup.
Hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, emisi CO2 di
perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut mempunyai kisaran emisi CO2
11-146 ton ha-1 -tahun-1 (Melling et al. 2005; Rieley et al. 2008; Reijnders dan Huijbregts 2008; Fargione et al. 2008; Germer dan Sauerborn 2008; Murdiyarso et a. 2010; Hooijer et al. 2012; Hergoualc'h dan Verchot 2011; Husnain et al. 2014; IPCC 2014; MoEF 2015) (Tabel 8).
31
Berdasarkan metode Gas Kromatografi diperkirakan emisi CO2 selama
setahun di sekitar rizosfer sebesar 11±2 ton ha-1 tahun-1 dan di non rizosfer sebesar 14±6 ton ha-1 tahun-1, prakiraan emisi CO2 dengan metode ini berbeda dengan
hasil-hasil penelitian sebelumnya. Data rata-rata emisi CO2 dengan metode
EGM-4 di rizosfer sebesar 81±21 ton ha-1 tahun-1, sedangkan di sekitar non rizosfer sebesar 39±14 ton ha-1 tahun-1. Hasil ini lebih besar dibandingkan hasil penelitian Agus et al. (2010), di mana pada rizosfer berkisar 29-39 ton ha-1 tahun-1 sedangkan pada non rizosfer berkisar 18-24 ton ha-1 tahun-1. Hasil penelitian Dariah et al. (2014) pada lahan gambut yang ditanam kelapa sawit usia 6 tahun menghasilkan emisi CO2 sebesar 44.7±11.2 ton ha-1 tahun-1 di rizosfer lebih kecil
dibandingkan hasil penelitian ini, sedangkan di non rizosfer sebesar 38.2±9.5 ton ha-1 tahun-1 relatif sama dengan penelitian ini. Penelitian Hooijer et al. (2006) di sekitar non rizosfer memperoleh emisi CO2 sebesar 54 ton ha-1 tahun-1.
Hubungan Parameter Pendukung dengan Emisi CO2
Kedalaman Muka Air Tanah
rizosfer pada bulan Januari sampai Mei 2015 Bulan
(cm) Rizosfer Non Rizosfer
Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3
Hubungan kedalaman air tanah gambut terhadap emisi CO2 metode