• Tidak ada hasil yang ditemukan

. Cadangan Karbon Dan Emisi Gas Rumah Kaca Dari Input Budidaya Pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Di Lahan Gambut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan ". Cadangan Karbon Dan Emisi Gas Rumah Kaca Dari Input Budidaya Pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Di Lahan Gambut."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

CADANGAN KARBON DAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI

INPUT BUDIDAYA PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(

Elaeis guineensis

Jacq.) DI LAHAN GAMBUT

GANI CAHYO HANDOYO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca dari Input Budidaya pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Lahan Gambut adalah benar karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Gani Cahyo Handoyo

NIM A252110141

_________________________

(4)
(5)

RINGKASAN

GANI CAHYO HANDOYO. Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca dari Input Budidaya pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Lahan

Gambut. Dibimbing oleh HERDHATA AGUSTA dan ARMANSYAH H. TAMBUNAN.

Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati terbesar di dunia. perluasan lahan yang masif di Indonesia terjadi dari tahun 1986 dari 119 ribu ha menjadi 11 juta ha pada tahun 2015, dimana 1.71 juta hektar ditanam di lahan gambut. Ekosistem gambut merupakan sumber cadangan karbon tertinggi. Lahan gambut di Indonesia sekitar 21 juta hektar dan menyimpan cadangan karbon 37 giga ton, sehingga dalam melakukan budidaya di lahan gambut ini memerlukan perhatian yang lebih serius agar kehilangan karbon dapat ditekan. Alih guna lahan menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan adanya perubahan nilai cadangan karbon, sedangkan input dalam budidaya menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK). Pengukuran cadangan karbon dan emisi GRK dari input budidaya di sebuah perkebunan kelapa sawit menjadi sangat penting untuk mengetahui nilai cadangan karbon dan emisi yang dihasilkan, sehingga dapat dilakukan perbaikan teknik budidaya guna mempertahankan maupun meningkatkan cadangan karbon yang sudah ada serta menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi cadangan karbon di lahan gambut perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta dan perusahaan, serta emisi karbon yang dihasilkan dari input budidaya yang dilakukan. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan September 2013 sampai dengan Maret 2014 Pengukuran cadangan karbon menggunakan rancangan tersarang empat ulangan dengan metode transek yang mengacu pada SNI 7024:2011 tentang metode penghitungan cadangan karbon. Penghitungan emisi dilakukan menggunakan MILCA-JEMAI. Analisis statistik menggunakan uji-T.

(6)

ha-1 tahun-1 dan pelepah dari pemangkasan pemeliharaan menyumbang 2.61 ton C ha-1 tahun-1. Sekuestrasi karbon tanaman kelapa sawit lahan gambut masyarakat umur 12 tahun adalah 7.15 ± 0.09 ton C ha-1 tahun-1, dimana tajuk dan akar kelapa sawit menyumbang 1.45 ± 0.1 ton C ha-1 tahun-1, TBS menyumbang 3.17 ton C ha-1 tahun-1 dan pelepah dari pemangkasan pemeliharaan menyumbang 2.53 ± 0.07 ton C ha-1 tahun-1. Estimasi cadangan karbon total kebun perusahaan hingga kedalaman gambut 437.5 ± 75 cm adalah 4 113 ± 697 ton C ha-1, sedangkan pada kebun masyarakat dengan kedalaman gambut 425.0 ± 29 cm adalah 3 416 ± 227 ton C ha-1.

Emisi CO2-eq dari input budidaya perkebunan kelapa sawit perusahaan berdasarkan data tahun 2012 (922 kg CO2-eq ha-1 tahun-1) lebih tinggi 52.4% dibandingkan pada perkebunan kelapa sawit masyarakat (604.8 ± 238.5 kg CO2-eq ha-1 tahun-1). Emisi dari penambahan pupuk merupakan emisi tertinggi baik pada perkebunan kelapa sawit perusahaan yaitu 584 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 dan perkebunan kelapa sawit masyarakat yaitu 584 ± 245.27 kg CO2-eq ha-1 tahun-1. Emisi dari penggunaan pestisida pada perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah 19.50 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 dan perkebunan kelapa sawit masyarakat adalah 13.78 ± 13.72 kg CO2-eq ha-1 tahun-1. Emisi dari penggunaan bahan bakar pada perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah 319 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 dan perkebunan kelapa sawit masyarakat adalah 6.92 ± 2.56 kg CO2-eq ha-1 tahun-1.

(7)

SUMMARY

GANI CAHYO HANDOYO. Carbon Stock and Greenhouse Gas Emission from Cultivation Input on Peatland Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Plantation.

Supervised by HERDHATA AGUSTA and ARMANSYAH H. TAMBUNAN. Oil palm contributes largest edible oil producer in the world. the massive expansion of oil palm plantation in Indonesia from year 1986 was 119 thousand hectares to 11 million ha in 2015, where 1.71 million hectares planted in peatland. Peat ecosystem is a source of carbon reserves. From 21 million hectares of peat land in Indonesia store carbon reserves 37 giga ton, so that cultivation in peatland requires serious attention to prevent carbon losses. Oil palm plantation on peatland by smallholders or company influences ecological issues, two of them are carbon stock and emissions status. Measurement of carbon stocks and emissions in oil palm plantation became very important to know the value of carbon stocks and emissions generated, so that improvement of cultivation techniques in order to maintain and improve the existing carbon stocks and reduce greenhouse gas emissions generated can be done.

The objective of this study were to determine the carbon stocks in company and smallholders peatland oil palm plantations, as well as carbon emissions resulting from the cultivation input. This research was conducted in Bilah Village, Labuhanbatu District, North Sumatra Province. The first observation was the identification of carbon stocks in company and smallholders peatland oil palm plantations. The second research stage was CO2-eq emission calculation on the input process in the cultivation of company and smallholders oil palm plantations. Carbon stocks calculation were prepared using transect method referring to ISO 7024: 2011 concerning the method of calculating carbon stocks, nested design with four replications. Calculation of emissions is done using MILCA-JEMAI. Statistical analysis using t-test.

(8)

where shoot and root oil palm was contribute 1.45 ± 0.1 ton C ha-1 year-1, FFB was contribute 3.17 ton C ha-1 year-1, and frond from pruning was contribute 2.53 ± 0.07 ton C ha-1 year-1. Estimated total carbon stock value of company oil palm pantation until 437.5 ± 75 cm peat depth was 4 113 ± 697 ton C ha-1and smallholders oil palm plantation until 425.0 ± 29 cm peat depth was 3 418 ± 227 ton C ha-1.

CO2 emissions equivalent from cultivation input of company peatland oil palm plantation based on data in 2012 (922 kg CO2-eq ha-1 year-1) was 52.4% higher than smallholders peatland oil palm plantations (604.8 ± 238.5 kg CO2-eq ha-1 year-1). Emissions from anorganic fertilizer addition was highest emissions in company oil palm plantation (584 kg CO2-eq ha-1 year-1) and smallholders oil palm plantation (584 ± 245.27 kg CO2-eq ha-1 year-1). Emissions from the use of pesticides in company oil palm plantation was 19.50 kg CO2-eq ha-1 year-1 and smallholders oil palm plantation was 13.78 ± 13.72 kg CO2-eq ha-1 year-1. Emissions from fuel use in the company oil palm plantation was 319 kg CO2-eq ha-1 year-1 and smallholders oil palm plantations was 6.92 ± 2.56 kg CO2-eq ha-1 year-1.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

CADANGAN KARBON DAN EMISI GAS RUMAH KACA

DARI INPUT BUDIDAYA PADA PERKEBUNAN KELAPA

SAWIT (

Elaeis guineensis

Jacq.) DI LAHAN GAMBUT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(12)
(13)

Judul Tesis : Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca dari Input Budidaya pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Lahan

Gambut

Nama : Gani Cahyo Handoyo NIM : A252110141

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Herdhata Agusta Ketua

Prof Dr Ir Armansyah H. Tambunan, M. Agr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2013-Maret 2014 ini adalah Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca dari Input Budidaya pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Lahan Gambut. Bagian tesis

ini diajukan untuk diterbitkan di Jurnal Agronomi Indonesia dengan judul Estimasi Cadangan Karbon Perkebunan Kelapa Sawit Lahan Gambut: Studi Kasus Di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr Ir Herdhata Agusta dan Prof Dr Ir Armansyah H. Tambunan, MAgr, selaku komisi pembimbing atas segala kesabarannya memberikan bimbingan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis.

2. Direktorat Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia, yang telah mendanai kuliah penulis melalui program Beasiswa Unggulan Dikti-Diktendik.

3. Dr Ir Suwarto MSi selaku dosen penguji luar komisi.

4. Dr Ir Maya Melati, MS, MSc selaku Ketua Program Studi AGH.

5. Bapak, ibu, kakak, adik, keluarga besar Upoyo serta Riana Murti H atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya yang tulus.

6. SBRC IPB atas bantuan perijinan dan materiil sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar.

7. PT Daya Labuhan Indah (Wilmar Group) atas segala kemudahan dan fasilitas yang diberikan selama penelitian.

8. Petani kelapa sawit desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu.

9. Dr Ir Dwi Guntoro, Ir Megayani Sri Rahayu MS atas segala dukungan moril dan materiil selama studi.

10.Bapak, Ibu dosen pengajar IPB yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis menempuh pendidikan di program S2.

11.Sahabat-sahabatku, rekan-rekan pascasarjana AGH 2011, rekan-rekan seperjuangan Lab Pindah Panas dan Massa, rekan-rekan Lab Mikologi dan semua pihak yang selalu memberikan semangat dan doa serta bantuannya, sehingga penelitian dan tulisan ini terselesaikan dengan baik.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

1.6 Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Ekologi Kelapa Sawit 5

2.2 Emisi Gas Rumah Kaca 5

2.3 Karbon Dioksida 5

2.4 Metana 6

2.5 Dinitrogen Oksida 8

2.6 Serapan Karbon Kelapa Sawit 8

3 METODE 9

3.1 Waktu dan Tempat 9

3.2 Bahan dan Alat 9

3.3 Prosedur Analisis Data 10

3.4 Pelaksanaan Percobaan 10

4 HASIL 15

4.1 Kondisi umum 15

4.2 Kondisi Pemeliharaan Kebun 16

4.3 Kandungan Karbon dan Bobot Isi Gambut 19

4.4 Kandungan Karbon Biomasa 20

4.5 Biomasa Permukaan 21

4.6 Biomasa Bawah Permukaan 22

4.7 Cadangan Karbon Permukaan 23

4.8 Cadangan Karbon Bawah Permukaan 24

4.9Sekuestrasi Tanaman Kelapa Sawit 26

4.10 Cadangan Karbon Total 27

4.11 Emisi Input Budidaya 27

5 PEMBAHASAN 30

5.1 Biomasa dan Cadangan Karbon Permukaan 30

5.2 Biomasa dan Cadangan Karbon Biomasa Bawah Permukaan 32

(18)

5.4Cadangan Karbon Gambut 34

5.5Cadangan Karbon Total 34

5.6 Emisi dari Input Budidaya 35

5.7Batasan 36

6 SIMPULAN DAN SARAN 36

6.1 Simpulan 36

6.2 Saran 37

DAFTAR PUSTAKA 38

LAMPIRAN 45

(19)

DAFTAR TABEL

1 Koordinat pengambilan contoh 9

2 Kondisi umum perkebunan kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten

Labuhanbatu 15

3 Bobot isi dan kandungan karbon organik gambut pada kedalaman 0-150

cm 20

4 Kandungan karbon organik pada sumber karbon biomasa 21 5 Biomasa permukaan pada agroekosistem kelapa sawit di Desa Bilah,

Kabupaten Labuhanbatu 21

6 Biomasa bawah permukaan pada agroekosistem kelapa sawit di Desa

Bilah, Kabupaten Labuhanbatu 22

7 Cadangan karbon gambut di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu 25 8 Sekuestrasi C pada tanaman kelapa sawit umur 12 tahun di Desa Bilah,

Kabupaten Labuhanbatu 26

9 Emisi CO2-eq hasil input proses budidaya per hektar berdasarkan potensi

pemanasan global 100 tahun (IPCC 1995) 28

10 Emisi gas rumah kaca berdasarkan jenis gas dari penambahan input dalam

proses budidaya 29

11 Emisi berdasarkan jenis input budidaya 30

12 Diameter batang dan tinggi tanaman kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit lahan gambut Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu 31

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan alir kegiatan penelitian 4

2 Sumber cadangan karbon pada agroekosistem kelapa sawit 10 3 Diagram dasar yang digunakan pada penghitungan emisi dari input

budidaya di perkebunan kelapa sawit 14

4 Kondisi kebun kelapa sawit lahan gambut masyarakat di area penelitian 18 5 Kondisi kebun kelapa sawit lahan gambut perusahaan di area penelitian 18 6 Tanda panah pada pelepah kelapa sawit yang patah akibat serangan

Oryctes rhinoceros 19

7 Cadangan karbon biomasa permukaan pada berbagai sumber karbon perkebunan kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu 23 8 Cadangan karbon biomasa bawah permukaan pada perkebunan kelapa

sawit di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu 24

9 Cadangan karbon bawah permukaan gambut hingga kedalaman 150 cm dan cadangan karbon bawah permukaan hingga kedalaman 437.5 ± 75 cm pada perkebunan kelapa sawit perusahaan, kedalaman 425.0 ± 29 cm pada perkebunan kelapa sawit masyarakat di desa Bilah, Kabupaten

Labuhanbatu 25

10 Cadangan karbon total hingga kedalaman 150 cm dan estimasi cadangan karbon total pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut di Desa Bilah,

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Karakteristik kimia tanah yang digunakan dalam penelitian di Desa Bilah,

Kabupaten Labuhanbatu 47

2 Input dalam budidaya tanaman kelapa sawit 48

3 Konversi dan kandungan C-organik dalam beberapa sumber sekuestrasi hasil panen tandan buah segar (TBS) tanaman kelapa sawit 49

(21)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemanasan global dan perubahan iklim menjadi masalah utama lingkungan, sosial dan ekonomi dunia hingga saat ini. Suhu global telah meningkat sebesar 0.3-0.6 °C selama 100 tahun terakhir dan diperkirakan akan meningkat lebih lanjut 1- 3.5 °C hingga 2100, disertai dengan perubahan curah hujan, pola badai, dan frekuensi kekeringan yang semakin sering (Santer et al. 1996; Kattenberg et al. 1996).

Pemanasan global telah dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) antara lain CO2, N2O, CH4, CFC, SF6, HFC, PFC di atmosfer, dapat menyebabkan dampak negatif terhadap ekosistem, peningkatan intensitas dan frekuensi gelombang panas, serta kegagalan panen dan kelangkaan air. Pertanian menyumbang 14% emisi GRK dunia, berdasarkan jenis GRK dunia pertanian menyumbang 10-12% CO2, 60% N2O dan 50% CH4 pada tahun 2005 (Smith et al.

2007). Hingga tahun 2013, konsentrasi CO2 di atmosfir mencapai 400 ppm, peningkatan ini terjadi dari tahun 1950, setelah sebelumnya selama 400 000 tahun tidak pernah melebihi 300 ppm (NASA 2015)

Ekspansi perkebunan kelapa sawit mendorong adanya peningkatan pembukaan hutan dan konversi lahan, khususnya di Indonesia. Limabelas juta hektar ditanami sawit diseluruh dunia dan terus bertambah (Koh dan Ghazoul 2008; Koh dan Wilcove 2008; FAO 2009). Lahan yang ditanami kelapa sawit di Indonesia hingga tahun 2015 mencapai 11 juta hektar dengan kecepatan ekspansi mencapai 400 000 ha tahun-1 (Ditjenbun 2012; Ditjenbun 2014), dimana 1.71 juta hektar ditanam di lahan gambut (Gunarso et al. 2013). Ekosistem gambut merupakan sumber cadangan karbon dan

penyerap karbon tertinggi, dari 21 juta hektar lahan gambut di Indonesia menyimpan cadangan karbon 37 giga ton, sehingga dalam melakukan budidaya di lahan gambut ini memerlukan perhatian yang lebih serius agar kehilangan karbon dapat ditekan. Konversi lahan dan penggunaan lahan untuk budidaya kelapa sawit tentu saja merubah cadangan karbon dan menghasilkan emisi dalam budidaya akibat penggunaan pupuk, pestisida maupun peralatan budidaya dan transportasi. Menurut van Noordwijk et al. (2010) emisi yang dihasilkan oleh kebun milik swasta di tanah

mineral mencapai 25.31 ton CO2 ha-1 tahun-1, sedangkan emisi kebun milik masyarakat 18.81 ton CO2 ha-1 tahun-1 atau 25% lebih rendah dibandingkan kebun milik perusahaan swasta.

Cadangan karbon merupakan jumlah karbon (C) yang terkandung dalam sumber karbon (carbon pool). Cadangan karbon dari perkebunan sawit merupakan

jumlah keseluruhan karbon dari C yang terkandung dari biomassa tanaman sawit, tumbuhan yang hidup dibawah tegakan sawit, nekromassa (bagian batang/pelepah daun kelapa sawit dan batang pohon lain yang mati), serasah (bahan organik yang ada di permukaan tanah selain nekromassa), dan bahan organik yang terkandung di dalam tanah. Alih guna lahan dari hutan menjadi kebun sawit menyebabkan perubahan cadangan karbon. Cadangan karbon pada hutan primer 230-264 t C ha-1 (Samsoedin et al. 2009), sedangkan estimasi rata-rata cadangan karbon diatas

permukaan pertahun di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut selama 25 tahun berdasarkan penelitian van Noordwijk et al. (2010) di Sumatera adalah 36.9-40.5 ton

(22)

tahun-1 sedangkan pada perkebunan plasma milik masyarakat mencapai 2.54 ton C ha-1 tahun-1. Lebih lanjut dalam penelitian Khasanah et al. (2015), estimasi cadangan karbon rata-rata selama 25 tahun pada perkebunan kelapa sawit perusahaan swasta di lahan mineral adalah 42.07 ton C ha-1, pada perkebunan kelapa sawit perusahaan di lahan gambut 40.03 ton C ha-1, pada perkebunan kelapa sawit masyarakat (plasma) di lahan mineral 37.76 ton C ha-1. Cadangan karbon ini tidak merepresentasikan secara umum gambaran cadangan karbon yang ada pada perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia, karena tergantung pada jenis tanah dan manajemen perkebunan ( Perkebunan inti/perusahaan swasta, plasma, dan swadaya). Meskipun secara umum terjadi penurunan cadangan karbon diatas permukaan, namun net fotosintesis masih tinggi dibandingkan hutan tropis. Menurut Henson (1999) dalam Malaysian Palm Oil Board, net fotosintesis perkebunan kelapa sawit mencapai 64.5

t CO2 ha-1 tahun-1 sedangkan pada hutan hujan tropis 42.4 t CO2 ha-1 tahun-1. Lebih lanjut dalam penelitian Hadiwijaya dan Caliman (2012) yang dilakukan di sebuah perkebunan kelapa sawit di propinsi Riau menggunakan NEE (Net Ecosystem Exchange), asimilasi bersih mencapai 10 g C m-2 hari-1 atau setara 142.94 ton CO2

ha-1 tahun-1.

Pengelolaan kebun kelapa sawit pada tahun 2010 oleh pihak perusahaan swasta sebesar 52.1%, masyarakat 40.4% dalam bentuk plasma dan swadaya, dan 7.5% oleh perusahaan Negara (Ditjenbun 2012). Hingga tahun 2015, peningkatan perluasan lahan kebun kelapa sawit terbesar oleh pihak perusahaan swasta dan masyarakat yaitu masing-masing mengalami peningkatan 1 juta hektar, sedangkan perusahaan negara hanya mengalami peningkatan 100 000 hektar. Hal ini mendorong perlunya informasi cadangan karbon dan emisi akibat budidaya kelapa sawit pada perusahaan swasta dan masyarakat. Perkebunan perusahaan swasta mengacu pada perkebunan yang dikelola oleh perusahaan besar dimana pengelolaannya dilakukan secara profesional, memiliki modal besar, memiliki manajemen budidaya yang baik. Perkebunan plasma merupakan merupakan perkebunan di sekeliling kebun inti milik perusahaan yang dikelola oleh perusahaan pada saat awal penanamannya, biasanya 4-5 tahun hingga tanaman menghasilkan (TM1), kemudian petani plasma wajib memberikan 25% dari hasil panen kepada perusahaan untuk membayar cicilan pinjaman modal selama pembukaan lahan hingga tanaman menghasilkan. Perkebunan rakyat swadaya mengacu pada perkebunan yang dimiliki dan dikelola sendiri oleh masyarakat dengan modal sendiri (Khasanah et al. 2015).

(23)

1.2 Perumusan Masalah

Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak terbesar di dunia, perluasan lahan yang masif dari tahun 1986 dari 119 ribu ha menjadi 11 juta ha pada tahun 2015, dimana 1.71 juta hektar ditanam di lahan gambut. Ekosistem gambut merupakan sumber cadangan karbon dan penyerap karbon tertinggi dimana dari 21 juta hektar di Indonesia menyimpan cadangan karbon 37 juta ton, sehingga dalam melakukan budidaya di lahan gambut ini memerlukan perhatian yang lebih serius agar kehilangan karbon dapat ditekan. Alih guna lahan ini menyebabkan adanya perubahan nilai cadangan karbon dan emisi yang disebabkan oleh proses budidaya. Pengukuran cadangan karbon dan emisi di sebuah perkebunan kelapa sawit menjadi sangat penting untuk mengetahui nilai cadangan karbon dan emisi yang dihasilkan, sehingga dapat dilakukan perbaikan teknik budidaya guna mempertahankan maupun meningkatkan cadangan karbon yang sudah ada serta menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan, sehingga paradigma perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dapat diwujudkan di masa depan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan kajian pengukuran cadangan karbon agroekosistem kelapa sawit di lahan gambut dan penghitungan emisi dari input budidaya hingga menghasilkan tandan buah segar (TBS).

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan membandingkan cadangan karbon dan emisi gas rumah kaca dari input budidaya pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut sebagai salah satu bahan baku bioenergi.

1.4 Hipotesis

Terdapat perbedaan cadangan karbon dan emisi dari input budidaya antara perkebunan kelapa sawit lahan gambut perusahaan dibandingkan pada perkebunan rakyat. Cadangan karbon pada perkebunan kelapa sawit perusahaan lebih tinggi dibandingkan perkebunan kelapa sawit rakyat, sedangkan emisi input budidaya pada perkebunan kelapa sawit perusahaan 25% lebih tinggi dibandingkan perkebunan rakyat.

1.5 Manfaat Penelitian

(24)

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama yang dilaksanakan mulai bulan September sampai November 2013. Bagian ke dua dilaksanakan pada bulan Januari 2014 sampai Maret 2014. Lingkup percobaan terdapat pada Gambar 1.1

Gambar 1. 1 Bagan alir kegiatan penelitian Penghitungan cadangan karbon di

perkebunan kelapa sawit lahan gambut perusahaan dan masyarakat.

Penghitungan emisi CO2-eq dari

input budidaya di perkebunan kelapa sawit lahan gambut perusahaan dan masyarakat

1. Cadangan karbon di atas permukaan yang berasal dari tumbuhan bawah, tajuk kelapa sawit, serasah, kayu mati, nekromasa.

2. Cadangan karbon di bawah permukaan yang berasal dari akar tumbuhan bawah, akar dan pangkal batang kelapa sawit, serta gambut hingga kedalaman 150 cm.

Emisi pada proses budidaya termasuk pupuk, pestisida, herbisida dan bahan bakar untuk transportasi. Input dat pada software MILCA

versi 1.1.6 dengan database IDEA

1.2.6

Kondisi cadangan karbon dan emisi karbon di perkebunan kelapa sawit lahan gambut

(25)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekologi Kelapa Sawit

Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang umumnya dapat tumbuh di daerah antara 12 oLintang Utara 12 oLintang Selatan. Curah hujan optimal yang dikehendaki antara 2 000-2 500 mm per tahun dengan pembagian yang merata sepanjang tahun. Penyinaran matahari yang optimum antara 5-7 jam per hari dan suhu optimum berkisar 24-38 oC. Elevasi yang optimum berkisar 0-500 m diatas permukaan laut (Lubis 1992).

Evapotranspirasi pada tanaman kelapa sawit lahan mineral di Jambi dengan menggunakan pengukuran berdasarkan eddy covariance padatanaman kelapa sawit

umur 2 tahun adalah 2.8mm hari-1, sedangkan pada umur kelapa sawit 12 tahun di PTPN adalah 4.7 mm hari-1. Pengukuran penggunaan air oleh tanaman kelapa sawit menggunakan metode sap flux didapatkan bahwa tingkat penggunaan air per daun

dan per tanaman meningkat lima kali lipat dari umur 2 tahun hingga 10 tahun, kemudian konstan. Tren yang sama ditunjukkan pada transpirasi tanaman kelapa sawit, dari 0.2 mm hari-1 tanaman-1 pada tanaman kelapa sawit umur 2 tahun, kemudian konstan 1.6 ± 0.4 mm hari-1 tanaman-1 mulai umur 6 tahun hingga 25 tahun. Transpirasi pada tanaman kelapa sawit umur 2 tahun menyumbang 8% evapotranspirasi, sedangkan pada umur 6 hingga 25 tahun menyumbang 53% dari total evapotranspirasi (Röll et al. 2015).

2.2 Emisi Gas Rumah Kaca

Penggunaan bahan bakar secara tidak disadari memiliki dampak negatif yaitu dapat menimbulkan polusi yang mengarah ke pemanasan global. Pemanasan global diakibatkan oleh terganggunya komposisi gas udara terutama karbondioksida (CO2), metan (CH4), dinitro-oksida (N2O), sulfur heksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCS) dan hidroflorokarbon (HFCs).

Selain dari transportasi dan penerangan, bidang pertanian juga penyumbang emisi GRK. Irmansyah (2004) menyatakan bahwa sektor pertanian merupakan penyumbang emisi gas metan (CH4) terbesar yang dihasilkan dari lahan padi, peternakan, pembakaran residu pertanian dan padang sabana. Selain CH4, bidang pertanian juga menyumbang emisi CO2. Dinitro-oksida atau nitrous oksida (N2O) juga merupakan emisi gas yang dihasilkan dari lahan pertanian khususnya saat aplikasi pupuk nitrogen yang berlebih.

2.3 Karbon Dioksida

(26)

Pada skala global, pengeluaran CO2 dari tanah lebih besar dibandingkan pengeluaran CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil dan alih fungsi lahan. Emisi CO2 dari tanah biasa dikenal sebagai respirasi tanah. Respirasi tanah adalah total CO2 yang diproduksi dari proses metabolisme tanah terutama dekomposisi oleh mikroba tanah terhadap bahan organik tanah dan respirasi akar. Tingkat respirasi tanah sangat sensitif terhadap temperatur dan perubahan iklim (Schlesinger 1991; Jenkinson et al.

1991; Townsend et al. 1992; Gates 1993).

Sektor pertanian berperan dalam menghasilkan gas CO2. Emisi yang disebabkan oleh oksidasi gambut pada perkebunan kelapa sawit adalah sekitar 0.37-0.51 ton CO2 ha-1 tahun-1 setiap penurunan tinggi muka air 1 cm (Nurzakia 2014, Mazwar 2011), Hooijer (2010) melaporkan angka yang lebih tinggi yaitu 0.91 t CO2 ha-1 tahun-1. Emisi CO2 hasil respirasi akar dan mikroorganisme pada perkebunan kelapa sawit menyumbang ± 29%-30% dari total emisi atau rata-rata 12.6 ton CO2 ha-1 tahun-1 di perkebunan kelapa sawit umur 10 tahun di lahan gambut (Melling et

al. 2005; Handayani 2009; Yuniastuti 2011).

Emisi CO2-eq dari input budidaya pada perkebunan kelapa sawit yang digunakan oleh RSPO berkisar antara 1000-1500 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 yang merupakan data dari Ninkander (2008), sedangkan di Brazil 1494.8 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 (de Souza et al. 2010), di Malaysia 2159.8 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 (Youseff dan Hansen 2007), di Indonesia 1298 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 (Siregar 2013) pada lahan mineral. Emisi CO2 dapat dikurangi dengan cara meningkatkan daya serap tanaman (carbon stock) dengan meningkatkan efisiensi fotosintesis dan menanami

lahan gundul serta meningkatkan hasil produksi (IPCC 2001).

2.4 Metana

Kadar metana (CH4) global saat ini telah mencapai konsentrasi 1780 ppbv, lebih tinggi dua kali dibandingkan kadarnya pada masa sebelum industri sebesar 800 ppbv. Laju peningkatan kandungan CH4 relatif lambat dari sekitar 15 ppbv per tahun pada tahun 1980-an hingga mendekati nol pada 1999 (Dlugokencky 2001). Semenjak 1990, rataan tahunan CH4 di atmosfer bervariasi antara kurang dari nol (turun) dan meningkat hingga 15 ppbv (Rudolph 1994).

Proses pembentukan metana melibatkan organisme metanogen. Metanogen adalah organisme uniseluler anaerobik yang awalnya digolongkan sebagai bakteri namun saat ini digolongkan sebagai archea (Garcia 1990; Woese et al. 1990).

Metanogen menggunakan NH4+ sebagai sumber nitrogen, meskipun kemampuan untuk menangkap molekul nitrogen dan gen nif terdapat pada ketiga ordo metanogen

(Methanobacteriales, Methanococcales and Methano-microbiales). Dengan semakin

tingginya amonium, penghambatan dalam proses oksidasi CH4 semakin tinggi sehingga emisi CH4 makin tinggi. Kemampuan bakteri nitrifikasi untuk mengoksidasi CH4 berkurang pada konsentrasi amonium ≥15 ppm. Aplikasi pupuk urea mampu meningkatkan flux CH4 yang kemungkinan disebabkan oleh peningkatan pH yang mengikuti hidrolisis urea dan penurunan potensial redoks, yang menstimulasi aktivitas metanogenik. Nilai potensial redoks pada kisaran -100 mV hingga +200 mV seharusnya dapat mengurangi tingkat emisi CH4 dikarenakan kisaran ini terlalu tinggi bagi produksi CH4.

(27)

CO2 + 8 H+ + 8 e-→ CH4 + 2 H2O

Proses ini melibatkan enzim methyl-coenzyme M reductase (Jones dan Morita, 1983;

Wang et al. 1993; Palmer dan Reeve 1993; Scheutz dan Kjeldsen 2004).

Tanah adalah salah satu faktor kunci yang berperan penting dalam produksi dan emisi CH4. Tanah memiliki kapasitas baik sebagai produsen maupun penyerap CH4. Jenis mikroorganisme tanah khusus, metanogen bertanggung jawab dalam produksi metana. Sedangkan jenis yang lain yaitu methanotrop berperan dalam mengkonsumsi CH4. Saat ini diperkirakan emisi CH4 dari tanah di seluruh dunia berkisar antara 150 hingga 250 Tg CH4 tahun-1 (IPCC 2001). Sebanyak 1/3 dan 1/4 (kira-kira 65 Tg CH4 tahun-1) diemisikan dari lahan basah pada lintang tinggi (Walter

et al. 2001). Diperkirakan konsumsi CH4 oleh mikroba tanah berkisar antara 10

hingga 30 Tg CH4 tahun-1 (IPCC 2001).

Emisi CH4 memiliki nilai yang rendah pada lahan kering karena CH4 dapat dikonsumsi oleh metanotrop tanah. Tingkat flux CH4 pada lahan kering lebih dominan dipengaruhi oleh suhu, sedangkan peningkatan kelembaban tanah pada lahan kering menyebabkan terjadinya peningkatan flux CH4 (McLain dan Martens 2006; Wu et al. 2010; Silva et al. 2011).

Emisi CH4 dari lahan pertanian tropis menyumbangkan porsi yang signifikan terhadap emisi global tahunan CH4. Lahan sawah, pembakaran biomassa, dan fermentasi dipandang sebagai kontributor utama (Mosier et al. 2004). Sektor

pertanian merupakan penyumbang emisi gas metan terbesar yang dihasilkan dari lahan padi, peternakan, pembakaran residu pertanian dan padang sabana (Irmansyah 2004). Kontribusi seekor sapi dewasa dalam mengemisikan metan yaitu sebesar 80-110 kg tahun-1 (Thalib 2008). Hasil penelitian Puah (2009), emisi CH4 tertinggi berasal dari limbah sludge dari produksi Crude Palm Oil (CPO), emisi yang

dihasilkan dari kolam pengolahan limbah sludge mencapai 50% lebih dari total emisi

yang dihasilkan untuk memproduksi 1 ton biodiesel di Malaysia yaitu dari 1 711 kg CO2-eq menjadi 835 kg CO2-eq per ton biodiesel, berkurang 876 kg CO2-eq setara 41.71 kg CH4. Lebih lanjut berdasarkan penelitian Reijnders dan Huijbregts (2006), emisi CH4 dari kolam limbah akibat kondisi anaerobik yang membuat bakteri metanogen memproduksi gas metan adalah 0.16-0.24 ton CO2-eq per ton CPO atau setara 7.62-11.43 kg CH4. Emisi CH4 rata-rata pada 3 tempat yaitu dibawah naungan kelapa sawit, diantara tanaman kelapa sawit dan di ujung kanopi kelapa sawit yang diambil pada jam 06.00-07.00 dan 12.00-13.00 pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut di Labuhanbatu, Sumatera Utara berdasarkan penelitian Yuniastuti (2011) tertinggi pada umur kelapa sawit 16 tahun sebesar 7.70 ton ha-1 tahun-1, kemudian pada TBM 5.72 ton ha-1 tahun-1, kelapa sawit umur 10 tahun 5.59 ton ha-1 tahun-1, dan terendah sebesar 5.50 ton ha-1 tahun-1 pada umur kelapa sawit 22 tahun. Emisi CH4 menurun dengan semakin dalam muka air tanah. Metan dapat diturunkan dengan pemberian sulfur, karena mampu mempertahankan potensial redoks relatif lebih tinggi sehingga menghambat CO2 tereduksi menjadi CH4, sehingga mengganti penggunaan urea dengan ZA mampu menurunkan emisi CH4.

(28)

2.5 Dinitrogen Oksida

Saat ini, konsentrasi N2O diatmosfer berkisar pada 317 ppbv, yang meningkat dari 200 ppbv pada tahun 2001. Kebanyakan dari peningkatan ini terjadi selama 50 tahun terakhir dengan pola peningkatan yang linier sebesar 0.7 ppbv per tahun (CMDL 2001). Peningkatan antara 0.2-0.3 % pada konsentasi atmosfer akan berkontribusi sebesar 5% terhadap pemanasan akibat gas rumah kaca (Cicerone dan Oremland 1988). Satu molekul N2O memiliki kemampuan menyerap panas 310 kali dibandingkan CO2 (IPPC 2001)

Sumber utama N2O adalah mikroba denitrifikasi tanah yang memproduksi N2 dan N2O dalam jumlah yang sangat besar. Berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi faksi mol N2O, diantaranya kelembaban tanah, konsentrasi nitrat dan nitrit, pH, aerasi, temperatur, ketersediaan karbon, aktivitas relatif NO2- dan N2O reduktase (Colourn dan Dowdell 1984; Sahrawat dan Keeney 1986; Tiedje 1988; Aulakh et al. 1992; Robertson 1999).

Kadar NH4+ dan NO3- yang tinggi mampu meningkatkan emisi gas N2O. Kadar NO3- berperan penting dalam meningkatkan emisi dikarenakan mampu mendukung proses denitrifikasi. Ketersediaan NO3- menjadi sangat penting dalam proses denitrifikasi yang berperan dalam menghasilkan emisi gas N2O. Proses denitrifikasi melibatkan bakteri fakultatif anaerob yang mampu menggunakan NO3- sebagai aksepor elektron proses respirasi pada kondisi oksigen yang rendah atau kondisi anaerob. (Bing et al. 2006; Woodward et al. 2009)

Pada konsentrasi O2 yang lebih tinggi, metabolisme aerobik dari denitrifier akan terpacu dan terjadi penghambatan nitrogen oksida reduktase sehingga proses reduksi NO3- tidak dapat terjadi. Banyaknya N2O yang diemisikan akan lebih tinggi bila pH rendah. Hal ini dikarenakan N2O reduktase akan terhambat pada pH rendah. Produksi N2O secara signifikan terjadi pada potensial redoks diatas +250 mV, sedangkan dibawah +200 mV tidak signifikan. (Wrage et al. 2001)

Lahan pertanian dianggap sebagai sumber utama gas N2O atmosfer (IPCC 1995). Dinitro-oksida atau nitrous oksida (N2O) merupakan emisi gas yang dihasilkan dari lahan pertanian khususnya saat aplikasi pupuk nitrogen yang berlebih. Seperti yang dilaporkan oleh Wahyuni dan Wihardjaka (2007) bahwa sekitar 94% emisi gas dinitro-oksida (N2O) berasal dari bidang pertanian yang bersumber dari pembakaran sisa- sisa tanaman (41%) dan pupuk nitrogen anorganik (18%). Emisi N2O pada perkebunan kelapa sawit akibat penggunaan pupuk nitrogen berdasarkan penelitian Ninkander (2008) adalah 616 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 (40-60% dari total emisi penggunaan pupuk anorganik). de Souza et al. (2010) menggunakan angka

18.6 kg CO2-eq per kg N pupuk dari Ecoinvent Inventory Database sebagai emisi

N2O yang dihasilkan dari penggunaan pupuk N di tanah.

2.6 Serapan Karbon Kelapa Sawit

Berdasarkan hasil penelitian Hassan et al. (2011), dalam setiap ton biodiesel

(29)

dan mencapai 84.6 Mg C/ha pada umur 30 tahun. Lamade dan Setiyo (2012) menambahkan bahwa kelapa sawit umur 9 tahun fase vegetatif memiliki cadangan karbon 25.4 ton C ha-1, sedangkan fase generatif mampu menghasilkan 6.2 ton C ha-1. Lebih lanjut pada penelitian van Noordwijk et al. (2010) sawit memiliki serapan karbon rata-rata 2.09 ton C ha-1 tahun-1, sedangkan berdasarkan data penelitian Yulianti (2009), sekuestrasi tajuk tanaman dari kelapa sawit umur 17 tahun di lahan gambut adalah 0.97 ton C ha-1 tahun-1.

3

METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2013 sampai dengan Maret 2014. Penelitian dilaksanakan di kebun milik perusahaan swasta dan masyarakat yang ada di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara. Pengujian kandungan C organik tanaman dilakukan di Laboratorium Pascapanen, Departemen Agronomi dan Hortikultura-IPB. Penghitungan emisi dilakukan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Departemen Teknik Mesin dan Biosistem-IPB.

Tabel 3. 1 Koordinat pengambilan contoh Kebun Ulangan Latitude Longitude Perusahaan 1 2.163945 100.166306 Perusahaan 2 2.164056 100.163002 Perusahaan 3 2.161833 100.162949 Perusahaan 4 2.162111 100.166443 Masyarakat 1 2.169417 100.133308 Masyarakat 2 2.168445 100.143890 Masyarakat 3 2.167833 100.142334 Masyarakat 4 2.169250 100.148636

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah tanaman kelapa sawit dan tumbuhan bawah (tumbuhan yang hidup di bawah tegakan kelapa sawit), serasah (bahan organik dari tumbuhan bawah), nekromassa ( bagian tanaman kelapa sawit yang mati), kayu mati dan tanah. Alat yang digunakan adalah bor gambut, phi-band, laser distance

(30)

3.3 Prosedur Analisis Data

Percobaan menggunakan Rancangan Tersarang, dimana faktornya adalah kepemilikan kebun yaitu milik perusahaan (swasta) dan milik masyarakat. Setiap perlakuan diulang empat kali sehingga terdapat 16 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 100 tanaman kelapa sawit. Percobaan identifikasi cadangan karbon kebun kelapa sawit menggunakan metode destruktif dan non destruktif. Emisi secara tidak langsung dihitung menggunakan software Multiple Interface Life Cycle

Assessment (MILCA) dari Japan Environmental Management Association for

Industry (JEMAI) versi 1.1.6 dengan database IDEA 1.2.6. Data dianalisis

menggunakan Uji-T.

3.4 Pelaksanaan Percobaan Penghitungan cadangan karbon

Plot yang digunakan untuk pengambilan contoh biomassa, plot 2 m x 2 m untuk pengambilan contoh nekromassa dan tumbuhan lain diameter < 5 cm, plot 20 m x 20 m digunakan untuk pengambilan contoh tumbuhan diameter > 50 cm (SNI 7722:2011). Setiap ulangan dibuat 5 plot.

Penghitungan cadangan karbon di lahan perkebunan milik perusahaan swasta adalah dilakukan pada 4 blok dengan tanaman kelapa sawit berumur 12 tahun. Sedangkan lahan perkebunan milik masyarakat, pengamatan dilakukan pada 4 kebun yang berbeda dengan umur tanaman kelapa sawit 10-12 tahun.

Biomassa tajuk dan akar tanaman kelapa sawit dihitung dengan metode non destruktif menggunakan persamaan alometrik. Pengambilan data contoh tanah, biomassa tumbuhan bawah, serasah, kayu mati dan nekromassa menggunakan data primer. Perhitungan cadangan karbon mengacu pada SNI 7722:2011.

(31)

Pengamatan cadangan karbon dibagi menjadi 4 bagian yaitu: 1. Kandungan C tanaman kelapa sawit.

a. Biomassa tajuk tanaman kelapa sawit lahan gambut dihitung dengan metode non destruktif menggunakan persamaan alometrikyang dikembangkan oleh Yulianti (2009) dari persamaan Chave et al. (2005) :

y = 2.45 × 10−4 × D2.31 × H0.6 (1)

Keterangan:

y = biomassa diatas tanah (kg tanaman-1)

D = diameter batang pada ketinggian 1.3 m (cm) H = tinggi tanaman bebas daun (cm)

b. Biomassa akar kelapa sawit menggunakan rasio biomasa tajuk:akar dalam penelitian sebelumnya. Rasio tajuk:akar kelapa sawit umur 12 tahun yang ditanam pada tanah gambut yaitu 0.49 (Kiyono et al. 2015).

c. Kandungan karbon dihitung menggunakan metode Walkley dan Black (1934) dalam ISRIC (2002) yang dimodifikasi yaitu:

Contoh yang telah lolos saringan 0.5 mm ditimbang sebanyak 0.5 gram, kemudian ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 1N dan ditambahkan 20 ml H2SO4 pekat, dikocok perlahan, lalu dibiarkan hingga dingin. Larutan diencerkan sampai 250 ml dengan air bebas ion/aquades, kemudian larutan dimasukkan ke dalam spektrofotometer dengan panjang gelombang 561 nm. Konsentrasi yang didapatkan dimasukkan ke dalam persamaan berikut:

%C−org = ppm kurva × mlekstrak 1000ml ×

100mg

mgcontoh × fk (2)

Keterangan:

ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko 100 = konversi ke %

fk = faktor koreksi: 100/(100- % kadar air contoh)

d. Kandungan C kelapa sawit pada tajuk atau akar dapat diperoleh dengan persamaan matematika :

Densitas = jumlah tanaman kelapa sawit per hektar

%C-orgts = nilai konversi kandungan C dari biomasa kelapa sawit hasil analisis laboratorium.

(32)

2. Kandungan C pada tumbuhan bawah, serasah, nekromassa dan kayu mati

a. Lima contoh diambil dengan ukuran plot 2 m x 2 m, contoh ditimbang bobot basah, diambil 200 g dioven suhu 80 oC selama 48 jam atau hingga bobotnya stabil, kemudian ditimbang.

b. Kandungan karbon dihitung menggunakan metode Walkley dan Black c. Kandungan C total tanaman bawah diperoleh dengan persamaan matematika :

Cttb = % C−orgttb × KAttb x BBttb plot × 1ha

% C-orgttb = persentase C hasil analisis tajuk tumbuhan bawah (%) % C-orgatb = persentase C hasil analisis akar tumbuhan bawah (%) % C-orgs = persentase C hasil analisis serasah (%)

% C-orgn = persentase C hasil analisis nekromasa (%) % C-orgkm = persentase C hasil analisis kayu mati (%)

a. Contoh tanah diambil menggunakan bor dengan kedalaman 0-15 cm, 15-30 cm, 15-30-45 cm, 45-60 cm, 60-75 cm, 75-90 cm, 90-120 cm, 120-150 cm dalam satu plot besar masing-masing 200 g.

(33)

Perhitungan total kandungan C tanah :

Perhitungan cadangan karbon menggunakan rumus:

C total= (Cbap + Cbbp + Cs + Cn + Ct+ Ckm) (11) Keterangan:

Ctotal = total cadangan C per hektar (ton ha-1)

Cbap = total cadangan C biomassa atas permukaan per hektar (Cts + Cttb) (ton ha-1)

Cbbp = total cadangan C biomassa bawah permukaan per hektar (Cas + Catb) (ton ha-1)

Penghitungan sekuestrasi tanaman kelapa sawit hingga tanaman umur 12 tahun menggunakan asumsi sebagai berikut:

1. Akar mati tanaman kelapa sawit tidak dihitung

2. Tandan buah segar (TBS) hasil panen dimasukkan dalam penghitungan sekuestrasi, dimana hasil panen tanaman kelapa sawit umur 5-12 tahun dianggap sama dan menggunakan hasil panen TBS tahun 2012.

3. Biomasa dan kandungan C-organik TBS dipilah berdasarkan Department of Environtment (1999), Mahlia et al. (2001), Yaser et al. (2007), Pereira et al.

(2012) dan Sahad et al. (2004), dengan asumsi kadar air sama yaitu 44.8%

(Lampiran 3).

4. Pelepah yang dipangkas masuk dalam perhitungan sekuestrasi, dengan asumsi bahwa tanaman kelapa sawit dipangkas saat mulai panen yaitu umur 5 tahun, sedangkan pelepah yang dipangkas hingga umur tanaman 4 tahun tidak diperhitungkan. Tanaman kelapa sawit dalam setahun menghasilkan 30 pelepah, biomasa C dari 30 pelepah berdasarkan data yang diolah dari Yulianti (2009) dengan perhitungan nilai tengah antara umur 5 hingga 12 tahun adalah senilai 27.4 kg C.

Sekuestrasi dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :

Sekuestrasi =A+(t ×B)+t×(C+D+E+F+G+H+I)

(34)

Keterangan :

A = Cadangan karbon tajuk dan akar tanaman kelapa sawit (ton C ha-1) B = Cadangan karbon pelepah yang dipangkas (ton C ha-1)

C = Cadangan karbon CPO (ton C ha-1) D = Cadangan karbon PKO (ton C ha-1) E = Cadangan karbon TBS (ton C ha-1) F = Cadangan karbon POME (ton C ha-1) G = Cadangan karbon serat/fibre (ton C ha-1)

H = Cadangan karbon cangkang (ton C ha-1)

I = Cadangan karbon palm kernel cake (PKC) (ton C ha-1)

t = Jumlah tahun dari tanaman mulai menghasilkan hingga penghitungan sekuestrasi dilakukan.

Penghitungan emisi menggunakan software MILCA.

a. Pembuatan model dengan membuat diagram alir dan menentukan input proses yang digunakan dalam perkebunan seperti jenis dan dosis pupuk, jenis dan dosis pestisida, jenis dan jumlah bahan bakar yang digunakan.

b. Mengumpulkan data yang diperlukan. c. Penyesuaian model dengan data yang ada. d. Input data ke dalam model.

e. Analisis

Asumsi yang digunakan dalam penggunaan MILCA JEMAI adalah sebagai berikut: 1. Seluruh pupuk maupun amelioran yang tidak tersedia dalam basis data

MILCA-JEMAI, maka dilakukan konversi ke unsur pupuk tersebut.

2. Seluruh fungisida, insektisida maupun herbisida yang bahan aktifnya tidak terdapat pada basis data, maka akan disatukan dan dimasukkan dalam input pestisida.

3. Bahan bakar yang dipakai dalam perkebunan termasuk generator, pompa dan lain sebagainya yang berkaitan dengan proses budidaya di dalam kebun akan dihitung. Bahan bakar solar dianggap emisi dari mesin diesel.

4. Emisi yang dihasilkan dari manusia dalam proses budidaya kelapa sawit tidak dihitung.

(35)

4

HASIL

4.1 Kondisi umum

Tanaman kelapa sawit yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman yang berumur 12 tahun pada perkebunan kelapa sawit perusahaan dan tanaman kelapa sawit berumur 10-12 tahun pada perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya. Kebun milik masyarakat yang digunakan dalam penelitian ini memiliki luas 2-10 hektar yang berada di sekitar kebun perusahaan. Jumlah tanaman kelapa sawit per hektar pada perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah 143 tanaman per hektar, sedangkan pada perkebunan rakyat swadaya di Desa Bilah adalah 135-143 tanaman per hektar.

Tabel 4. 1 Kondisi umum perkebunan kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu

Indikator Kebun perusahaan Kebun masyarakat

Curah hujan tahunan (mm) 2 009

Suhu rata-rata harian (oC) 26.3

Kelembaban rata-rata harian (%) 90

pH (H2O) 3.7-4.8 3.3-3.9

Kemiringan lahan (%) < 3

Ketinggian tempat (mdpl) ± 12

Tinggi muka air parit tersier (cm) 30-45 10-40 Kedalaman gambut (cm) 437.5 ± 75.0 425.0 ± 29.0

Umur tanaman (tahun) 12 10-12

Kadar abu 0-20 cm (%) 8.92 ± 3.08 11.72 ± 4.21 Kandungan air gambut (%) 238.4-905.1 343.2-920.4

Kondisi mikro di lokasi penanaman seperti suhu udara, sinar matahari, kelembaban udara dan angin berpengaruh terhadap proses pertumbuhan tanaman. Tabel 4.1 mengindikasikan bahwa kondisi iklim di perkebunan kelapa sawit perusahaan maupun masyarakat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman kelapa sawit. Lahan di kebun milik perusahaan dan masyarakat memiliki pH yang rendah dari persyaratan tumbuh tanaman kelapa sawit yaitu pH 5-5.5 (Lubis 1999). pH yang sangat masam diduga akibat dari dekomposisi bahan organik yang menghasilkan asam-asam organik.

Lahan gambut merupakan gambut dataran rendah dan kemiringan lahan masuk kategori datar yaitu kurang dari 5% dan merupakan gambut dalam (> 3 m) dengan tingkat kematangan saprik. Kadar abu yang cukup tinggi dalam penelitian ini yaitu 8.9% pada lahan gambut perusahaan dan 11.7% pada lahan gambut masyarakat mengindikasikan mineral yang cukup tinggi dibandingkan kadar abu pada penelitian Polak (1949) dalam Najiyati et al. 2005) yaitu < 5% di pusat (dome) gambut, maupun

(36)

pada lapisan atas. Penelitian Khalid et al. (1999) menunjukkan kandungan mineral

yang cukup tinggi dari daun dan akar tanaman kelapa sawit.

Kadar air gambut kedalaman 0-150 cm berkisar antara 238.4-905.1% pada lahan gambut perusahaan dan lahan gambut masyarakat 343.2-920.4% basis kering. Tinggi muka air (TMA) pada lahan penelitian terlalu tinggi, dimana tinggi muka air yang optimal berdasarkan metode budidaya lahan gambut dalam ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) adalah 60-70 cm. Kehilangan hara akibat pencucian oleh air tanah akan semakin tinggi dengan semakin tingginya TMA pada parit.

4.2 Kondisi Pemeliharaan Kebun Pemupukan

Pupuk yang diberikan pada tanaman pada kebun kelapa sawit milik perusahaan adalah berdasarkan hasil analisis hara pada daun pada tiap blok dan pengamatan visual di lapangan pada tahun sebelumnya, sehingga pupuk yang diberikan sesuai dosis dengan kebutuhan tanaman pada setiap blok. Pemberiannya sesuai waktu yang telah dijadwalkan, pupuk untuk kebutuhan selama satu tahun telah berada di gudang penyimpanan pupuk, sehingga tidak akan ada keterlambatan aplikasi pupuk. Dosis pupuk pada tanaman kelapa sawit umur 12 tahun adalah NPK super (13-8-27) 2.5 kg tanaman-1 pada rotasi pertama dan 2.75-3 kg tanaman-1 pada rotasi kedua, CuSO4 0.15 kg tanaman-1, urea 0.75 kg tanaman-1, borat 0.12 kg tanaman-1, MOP 1.25-1.5 kg tanaman-1, bunch ash sebanyak 2 kg tanaman-1 (setara 0.75 kg MOP).

Pupuk yang diberikan pada tanaman kelapa sawit lahan gambut milik rakyat, tidak berdasarkan hasil analisis hara daun, karena petani swadaya rata-rata tidak memiliki dana yang besar. Pemberian pupuk terkadang berlebihan, yang terpenting adalah daun terlihat hijau dan hasil panen tinggi. Secara umum petani menggunakan dosis pupuk sebagai berikut: untuk urea 1-3 kg tanaman-1, rock phospate 2 kg tanaman-1, MOP 0.05-2 kg tanaman-1, NPK (16-16-16) 2 kg tanaman-1, NPK (15-15-15) 1-3 kg tanaman-1, dolomit 1.8-2 kg tanaman-1, pupuk organik cair 0.4 kg ha-1, CuSO4 0.05-0.1 kg tanaman-1, borat 0.1 kg tanaman-1. Masing-masing petani tidak menggunakan seluruh jenis pupuk tersebut, namun hanya sebagian, tergantung pada kemampuan petani, dosis pupuk berdasarkan unsur hara secara lengkap pada masing-masing petani disajikan pada lampiran 2. Pemberian pupuk pada perkebunan rakyat dilakukan jika petani memiliki uang untuk membeli pupuk, dari hasil wawancara hanya dua petani (masyarakat 1-2) memupuk secara rutin setiap tahun, namun tiga petani (masyarakat 3-5) memupuk saat ada dana untuk pembelian pupuk, masyarakat 3 memupuk setelah 2 tahun tidak dipupuk, masyarakat 4 memupuk setelah 5 tahun tidak dipupuk, sedangkan masyarakat 5 melakukan pemupukan setelah 3 tahun tidak dipupuk.

(37)

perlu ditambahkan dolomit untuk meningkatkan pH tanah di sekitar piringan, agar serapan hara meningkat. Menurut Abat et al. (2012) pemberian kapur pertanian di

sekitar piringan mampu meningkatkan serapan hara Cu dan Zn, Marwanto et al.

(2012) menambahkan pemberian pupuk dan amelioran seperti dolomit dengan ditebar di piringan meningkatkan serapan hara pada kedalaman 0-15 cm. Hal ini berhubungan dengan sebaran akar tersier dan kuarter yang berada pada lapisan tanah 0-15 cm di sekitar piringan lebih tinggi dibandingkan di luar piringan, dimana pupuk lebih sering diaplikasikan.

Penyiangan

Pengendalian gulma dilakukan penyiangan baik secara manual pada pembibitan maupun kimia pada TBM (tanaman belum menghasilkan) dan TM (tanaman menghasilkan). Herbisida yang digunakan merupakan herbisida yang memiliki kandungan bahan aktif yang tidak dilarang penggunaannya oleh peraturan menteri pertanian No 01/Permentan/OT.140/1/2007 tentang daftar bahan aktif pestisida yang dilarang dan pestisida terbatas. Paraquat sudah tidak lagi digunakan di perkebunan kelapa sawit milik perusahaan, karena paraquat termasuk dalam daftar pestisida terbatas. Herbisida yang digunakan dalam dosis sesuai dengan dosis yang dianjurkan, pada perkebunan milik perusahaan ini digunakan herbisida sistemik seperti glifosat (spektrum luas) dosis 0.7 L ha-1 tahun, metil metsulfuron (spektrum luas dan selektif) 0.052 kg ha-1 tahun-1,triclopyr butoxy ethyl ester (spektrum luas dan selektif) 0.03 L ha-1 tahun-1. Herbisida kontak seperti glufosinate ammonium (spektrum luas non selektif) 0.22-0.32 L ha-1 tahun-1. Penyemprotan hanya pada piringan dan jalan panen saja dengan volume semprot 36 L ha-1. Pemilihan herbisida disesuaikan dengan jenis gulma yang mendominasi lahan perkebunan. Kebun kelapa sawit milik perusahaan didominasi gulma Nephrolepis yang tumbuh di sekeliling

gawangan hidup dan gawangan mati dengan ketinggian hampir 1 meter. Untuk mengendalikan Nephrolepis digunakan pestisida berbahan aktif glufosinate

amonium dicampur dengan metil metsulfuron. Sedangkan gulma lain menggunakan glifosat dan triclopyr butoxy ethyl ester.

Pemeliharaan tanaman kelapa sawit pada kebun milik masyarakat di Desa Bilah memiliki pemikiran bahwa kebun kelapa sawit yang bagus adalah kebun yang bersih dari gulma. Herbisida sistemik seperti glifosat dengan dosis 1.6-5 liter ha-1 tahun-1, maupun paraquat (herbisida kontak spektrum luas) dengan dosis 0.9-4 liter ha-1 tahun-1 dan metil metsulfuron 0.03 kg ha-1 tahun-1. Volume semprot yang digunakan adalah 200-250 L ha-1. Aplikasi blanket dilakukan 2 kali setahun dengan dosis 2-2.5 L ha-1. Hal ini menyebabkan kebun milik masyarakat lebih bersih dibandingkan kebun perusahaan, hanya gawangan mati yang ditumbuhi gulma

Nephrolepis, gawangan hidup ditumbuhi Spaghnum dan Fimbristylis sehingga

(38)

Gambar 4. 1 Kondisi kebun kelapa sawit lahan gambut masyarakat di area penelitian

Gambar 4. 2 Kondisi kebun kelapa sawit lahan gambut perusahaan di area penelitian

Pengendalian hama dan penyakit

Hama kumbang badak (Oryctes rhinoceros) merupakan hama primer di

perkebunan lahan gambut, sedangkan hama babi sudah tidak lagi menjadi masalah di daerah tersebut. Pengendalian hama secara manual pada perkebunan milik perusahaan salah satunya adalah dengan adanya penerapan pherotrap untuk

mengendalikan hama kumbang tanduk. Pherotrap adalah perangkap yang terdiri dari

sex pheromone untuk menarik kumbang tanduk, seng, ember sebagai wadah

perangkap dan kayu sebagai penyangga. Setelah kumbang terperangkap dalam wadah, maka selanjutnya dapat dilakukan pengutipan kumbang yang dilakukan secara manual. Kumbang dikumpulkan dan kemudian dimusnahkan dengan cara dibakar pada tempat yang sudah disediakan. Penggunaan insektisida berbahan aktif sipermetrin ataupun deltametrin digunakan untuk mengendalikan hama ulat pada pembibitan. Pengendalian hama kumbang badak pada kebun masyarakat dilakukan dengan pemberian garam dapur 2 kg per tanaman, belum jelas pengaruh garam pada kumbang badak secara ilmiah, namun beberapa petani mengaku dengan pemberian garam pada pucuk tanaman, serangan kumbang badak berkurang.

Jalan Panen

Gawangan hidup

(39)

Gambar 4. 3 Tanda panah pada pelepah kelapa sawit yang patah akibat serangan

Oryctes rhinoceros

Pemangkasan daun

Pemangkasan pemeliharaan biasanya dilakukan sekaligus saat pemanenan baik pada perkebunan rakyat maupun pada perkebunan perusahaan (pemangkasan progresif). Pemangkasan ini dilakukan untuk membuang daun-daun songgo satu atau songgo dua, total daun yang dipertahankan antara 40-46 helai.

4.3 Kandungan Karbon dan Bobot Isi Gambut

Bobot isi dari lahan gambut perkebunan kelapa sawit perusahaan kedalaman 0-150 cm berkisar antara 0.092-0.256 g cm-3, rata-rata 0.162 g cm-3 dengan standar deviasi (SD) 0.048 g cm-3 (Tabel 4.2). Lahan gambut perkebunan rakyat memiliki bobot isi antara 0.092-0.175 g cm-3, dengan rata-rata ± SD adalah 0.143 ± 0.031 g cm-3 (Tabel 4.2). Rata-rata bobot isi tidak berbeda antara lahan gambut perusahaan dibandingkan dengan lahan gambut masyarakat, akan tetapi bobot isi pada lahan gambut perusahaan 0.056 g cm-3 lebih tinggi pada kedalaman 10-20 cm dan 0.035 g cm-3 lebih tinggi pada kedalaman 75-90 cm dibandingkan lahan gambut rakyat. Bobot isi pada penelitian ini masih dalam kisaran bobot isi penelitian gambut di Indonesia yaitu di Sumatera 0.100 g cm-3 (Solichin 2011) (rawa gambut Merang, Sumatera Utara), Lahan gambut perkebunan kelapa sawit di Sumatera 0.12-0.25 g cm-3 (Wahyunto

et al. 2010), Kalimantan Tengah 0.13 g cm-3 (Page et al. 2004),

(40)

Tabel 4. 2 Bobot isi dan kandungan karbon organik gambut pada kedalaman 0-150 cm

Kedalaman gambut (cm)

Kebun perusahaan Kebun masyarakat

Bobot isi (g cm-3) C-org (%) Bobot isi (g cm-3) C-org (%)

Rataan ± SD

0-10 0.256 ± 0.047 54.0 ± 4.0 0.169 ± 0.058 56.3 ± 0.3

10-20 0.178 ± 0.032* 53.5 ± 2.9 0.122 ± 0.031* 58.3 ± 5.7

20-30 0.134 ± 0.045 55.2 ± 1.6 0.175 ± 0.025 55.3 ± 4.9

30-45 0.137 ± 0.034 54.9 ± 2.5 0.160 ± 0.017 57.8 ± 3.9

45-60 0.183 ± 0.027 56.5 ± 3.7 0.146 ± 0.036 55.8 ± 5.0

60-75 0.167 ± 0.012 52.7 ± 2.5 0.167 ± 0.013 56.2 ± 4.1

75-90 0.193 ± 0.009* 55.1 ± 2.2 0.158 ± 0.025* 58.0 ± 4.5

90-120 0.092 ± 0.012 55.4 ± 5.1 0.092 ± 0.012 57.7 ± 3.6

120-150 0.121 ± 0.074 57.8 ± 3.6 0.103 ± 0.013 60.9 ± 0.7

Rataan 0.162 ± 0.048 55.0 ± 3.1 0.143 ± 0.031 57.4 ± 3.6

Keterangan: Analisis dilakukan di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB *Berbeda nyata pada Uji-T taraf 5%

Kandungan karbon organik (C-org) gambut di perkebunan perusahaan berkisar antara 52.7-57.8%, dengan rata-rata 55.1 ± 1.1%, sedangkan kandungan C-org gambut di perkebunan rakyat antara 55.3-60.9%, dengan rata-rata 57.4 ± 1.7% (Tabel 4.2). Kandungan C-org pada penelitian ini sama dengan penelitian Wahyunto et al.

(2010) di Sumatera (kematangan Saprik) 52.5%, Neuzil (1997) di Sumatera dan Kalimantan Barat yaitu 57 ± 3% dan Page et al. (2004) yaitu 56 ± 3% di Kalimantan

Tengah.

4.4 Kandungan Karbon Biomasa

(41)

Tabel 4. 3 Kandungan karbon organik pada sumber karbon biomasa

Sumber karbon Kebun perusahaan Kebun masyarakat Rataan ± SD (%)

Tajuk tumbuhan bawah 47.6 ± 1.4 48.6 ± 3.0

Akar tumbuhan bawah 50.6 ± 3.9 51.4 ± 4.1

Serasah 53.0 ± 5.6 52.2 ± 3.5

Kayu mati 56.8 ± 4.4 57.4 ± 4.0

Nekromasa kelapa sawit dan biomassa kelapa sawit

53.7 ± 4.4 53.6 ± 3.5 Keterangan: Analisis dilakukan di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB

4.5 Biomasa Permukaan

Biomasa merupakan bahan organik hasil fotosintesis tumbuhan. Hasil pengukuran biomasa agroekosistem kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu menunjukkan bahwa secara umum biomasa permukaan (Bap) tidak berbeda. Total biomasa permukaan pada agroekosistem kelapa sawit perusahaan adalah 69.5 ± 21.2 ton ha-1, sedangkan pada agroekosistem kelapa sawit rakyat adalah 117.9 ± 54.7 ton ha-1 (Tabel 4.4)

Tabel 4. 4 Biomasa permukaan pada agroekosistem kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu

Sumber karbon Agroekosistem kelapa sawit

Perusahaan Kontribusi Masyarakat Kontribusi

ton ha-1 % ton ha-1 %

Tajuk tumbuhan bawah 4.5 ± 4.0 6.4 4.2 ± 0.8 3.9 Tajuk kelapa sawit 22.8 ± 1.7 32.8 21.8 ± 1.7 19.9 Serasah 14.7 ± 18.0 18.6 7.0 ± 8.7 6.4 Nekromasa 3.7 ± 2.0 5.3 5.1 ± 2.4 4.6 Kayu mati 25.6 ± 17.1 36.8 71.6 ± 77.4 65.3

Total 69.5 ± 21.2 109.7 ± 54.7

Keterangan: *Berbeda pada Uji T taraf 5%

(42)

biomasa tumbuhan bawah dan nekromasa memiliki kontribusi yang rendah, namun sangat berperan penting dalam mengurangi erosi dan aliran permukaan pada permukaan gambut, serta mampu meningkatkan kandungan C dalam tanah, maupun aktivitas biologis dalam tanah lainnya.

4.6 Biomasa Bawah Permukaan

Biomasa bawah permukaan (Bbp) merupakan gabungan dari biomasa akar tumbuhan bawah dan biomasa akar dan pangkal batang kelapa sawit. Biomasa akar tumbuhan bawah dan biomasa akar dan pangkal batang kelapa sawit tidak berbeda antara agroekosistem kelapa sawit lahan gambut perusahaan dengan agroekosistem kelapa sawit lahan gambut masyarakat. Pada agroekosistem kelapa sawit perusahaan, akar dan pangkal batang kelapa sawit menyumbang 65.9% dari biomasa bawah permukaan yaitu 11.2 ± 1.7 ton ha-1, sedangkan tumbuhan bawah menyumbang 34.1% atau 5.8 ± 3.4 ton ha-1. Pada agroekosistem kelapa sawit masyarakat, akar dan pangkal batang kelapa sawit menyumbang 10.7 ± 0.8 ton ha-1, sedangkan tumbuhan bawah menyumbang 2.2 ± 2.7 ton ha-1. Total biomasa bawah permukaan agroekosistem kelapa sawit perusahaan (17.0 ± 3.9 ton ha-1) lebih tinggi 33% dibandingkan agroekosistem kelapa sawit masyarakat (12.8 ± 2.1 ton ha-1) (Tabel 4.5).

Kontribusi biomasa akar tumbuhan bawah agroekosistem kelapa sawit perusahaan adalah 34.1%, sedangkan pada agroekosistem kelapa sawit masyarakat adalah 16.9%. Kontribusi akar dan pangkal batang kelapa sawit baik pada kebun perusahaan 65.9%, sedangkan pada kebun masyarakat 83.1%. Meskipun memiliki kontribusi yang lebih rendah dibandingkan akar dan pangkal batang kelapa sawit, namun akar tumbuhan bawah berperan penting dalam mencegah erosi pada permukaan gambut, sehingga mampu mengurangi subsiden. Berdasarkan penelitian Sudaryanto (2015), gawangan mati yang ditumbuhi gulma mampu menurunkan aliran permukaan 3 kali lebih baik dibandingkan lahan tanpa gulma.

Tabel 4. 5 Biomasa bawah permukaan pada agroekosistem kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu

Sumber karbon Perusahaan Agroekosistem kelapa sawit Kontribusi Masyarakat Kontribusi

ton ha-1 % ton ha-1 %

Akar tumbuhan bawah 5.8 ± 3.4 34.1 2.2 ± 2.7 16.9 Akar dan pangkal

batang kelapa sawit 11.2 ± 1.7 65.9 10.7 ± 0.8 83.1

Total 17.0 ± 3.9* 12.8 ± 2.1*

Keterangan: *Berbeda pada Uji T taraf 5%

Biomasa akar dan pangkal batang kelapa sawit pada penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Yulianti (2009) pada umur kelapa sawit 13 tahun yaitu 11.3 ton ha-1 berdasarkan rasio akar:tajuk dari penelitian Kiyono

et al. (2015),

(43)

tahun di Sarawak, Malaysia yaitu 28.3 ton ha-1, diduga lahan tempat pengambilan contoh berada pada lahan gambut dangkal dengan tingkat kematangan saprik.

4.7 Cadangan Karbon Permukaan

Cadangan karbon permukaan (Cap) merupakan cadangan karbon dari sumber karbon yang berada pada permukaan tanah. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa Cap pada lahan gambut tidak berbeda nyata pada seluruh parameter baik tajuk tumbuhan bawah, tajuk kelapa sawit, serasah, nekromasa, kayu mati dan total Cap. Pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut perusahaan, tajuk tumbuhan bawah menyumbang 2.1 ± 1.2 ton C ha-1 (5.6%), serasah menyumbang 6.8 ± 2.2 ton C ha-1 (18.1%), nekromasa menyumbang 2.0 ± 1.1 ton C ha-1 (5.3%), kayu mati menyumbang 14.5 ± 9.7 ton C ha-1 (38.5%), tajuk kelapa sawit menyumbang 12.3 ± 0.9 ton C ha-1 (32.5%), dengan Cap 37.7 ± 11.8 ton C ha-1. Pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut rakyat, tajuk tumbuhan bawah menyumbang 2.1 ± 0.9 ton C ha-1 (3.4%), serasah menyumbang 3.6 ± 4.5 ton C ha-1 (5.9%), nekromasa menyumbang 2.7 ± 1.3 ton C ha-1 (4.4%), kayu mati menyumbang 41.1 ± 39.2 ton C ha-1 (67.2%), tajuk kelapa sawit menyumbang 11.7 ± 0.9 ton C ha-1 (19.1%), dengan Cap kebun rakyat 61.1 ± 36.5 ton C ha-1. Cadangan karbon permukaan penelitian ini relatif sama dengan penelitian van Noordwijk et al. (2005), yaitu berkisar antara

36.9-40.5 ton C ha-1. Cadangan karbon permukaan tanpa kayu mati pada kebun kelapa sawit perusahaan adalah 23.2 ± 2.1 ton C ha-1, sedangkan pada perkebunan kelapa sawit rakyat adalah 20.1 ± 4.2 ton C ha-1.

(44)

4.8 Cadangan Karbon Bawah Permukaan Cadangan Karbon Biomasa Bawah Permukaan

Cadangan karbon bawah permukaan (Cbbp) merupakan gabungan antara cadangan karbon biomasa bawah permukaan berupa akar tumbuhan bawah dan akar kelapa sawit dengan cadangan karbon tanah. Akar tumbuhan bawah perkebunan kelapa sawit lahan gambut perusahaan menyumbang 2.9 ± 1.8 ton C ha-1 dan cadangan karbon akar dan pangkal batang kelapa sawit perusahaan menyumbang 6.0 ± 0.5 ton C ha-1. Akar tumbuhan bawah perkebunan kelapa sawit lahan gambut masyarakat menyumbang 1.1 ± 1.4 ton C ha-1. dan cadangan karbon akar dan pangkal batang kelapa sawit masyarakat menyumbang 5.7 ± 0.4 ton C ha-1. Nilai cadangan karbon akar dan pangkal batang kelapa sawit pada penelitian ini sama dengan penelitian Yulianti (2009), hal ini diduga karena iklim dan karakteristik gambut yang mirip dengan dengan tempat penelitian ini dilakukan. Cadangan karbon biomasa bawah permukaan perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah 8.9 ± 1.7 ton C ha-1 dan perkebunan kelapa sawit rakyat adalah 6.8 ± 1.1 ton C ha-1 (Gambar 4.5).

Gambar 4. 5 Cadangan karbon biomasa bawah permukaan pada perkebunan kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu

Cadangan Karbon Gambut

Cadangan karbon gambut pada kebun perusahaan hingga kedalaman 150 cm adalah 1 229 ± 187 ton C ha-1, sedangkan cadangan karbon gambut pada kebun masyarakat 1 148 ± 28 ton C ha-1. Berdasarkan kedalaman gambutnya, kebun perusahaan dengan kedalaman 437.5 ± 75 cm, memiliki cadangan karbon gambut 4 066 ± 697 ton C ha-1. Kebun masyarakat dengan kedalaman gambut 425.0 ± 29.0 cm, memiliki cadangan karbon 3 348 ± 227 ton C ha-1 (Tabel 4.6). Cadangan karbon gambut pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian yang dilakukan sebelumnya yaitu kedalaman gambut 146 cm = 2 050 ton C ha-1 di Dumai (Safitri 2010), kedalaman gambut 362 cm = 6 394 ton C ha-1 di Rokan Ilir, Riau (Yuono 2009). Nilai cadangan karbon gambut dalam penelitian ini relatif sama dengan

(45)

penelitian Yulianti (2009) yaitu kedalaman gambut 127.42 cm = 799 ton C ha-1 di Ajamu, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Menurut Yulianti (2009), cadangan karbon gambut dipengaruhi oleh ketebalan gambut, bobot isi dan kandungan C-org. Semakin tebal gambut, semakin besar bobot isi dan semakin tinggi kandungan C-org dengan semakin matangnya gambut maka semakin tinggi pula cadangan karbon gambut.

Tabel 4. 6 Cadangan karbon gambut di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu Kedalaman gambut (cm) Cadangan karbon (ton C ha-1)

Kebun perusahaan Kebun masyarakat Rataan ± SD

0-150 1 229 ± 187 1 148 ± 29 437.5 ± 75 vs 425.0 ± 29 4 066 ± 697 3 348 ± 227 Keterangan: *Berbeda nyata pada Uji T 5%

Cadangan karbon bawah permukaan

Nilai cadangan karbon bawah permukaan (Cbp) hasil penelitian menunjukkan bahwa Cbp perkebunan kelapa sawit perusahaan tidak berbeda dengan Cbp perkebunan kelapa sawit rakyat. Cbp pada kedalaman 150 cm di perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah 1238 ± 187 ton C ha-1, sedangkan pada perkebunan kelapa sawit masyarakat adalah 1155 ± 28 ton C ha-1. Cbp hingga kedalaman 437.5 ± 75 cm pada perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah 4075 ± 697 ton C ha-1, sedangkan perkebunan kelapa sawit masyarakat pada kedalaman 425.0 ± 29 cm adalah 3355 ± 227 ton C ha-1 (Gambar 4.6).

Gambar 4. 6 Cadangan karbon bawah permukaan gambut hingga kedalaman 150 cm dan cadangan karbon bawah permukaan hingga kedalaman 437.5 ± 75 cm pada perkebunan kelapa sawit perusahaan, kedalaman 425.0 ± 29 cm pada perkebunan kelapa sawit masyarakat di desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu

Cadangan karbon (ton C ha-1)

(46)

4.9Sekuestrasi Tanaman Kelapa Sawit

Sekuestrasi karbon merupakan proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup (biomasa). Pengukuran sekuestrasi C biomasa tanaman pada suatu lahan akan menggambarkan jumlah CO2 yang diserap tanaman dari atmosfer dalam suatu satuan waktu. Pada penelitian ini, penghitungan sekuestrasi tidak termasuk akar tanaman kelapa sawit yang mati, serasah, tumbuhan bawah, dan nekromasa. Akan tetapi memasukkan TBS, pelepah yang dipangkas saat pemangkasan pemeliharaan, akar dan tajuk kelapa sawit. Persentase biomasa pada TBS dan kandungan karbonnya berdasarkan Lampiran 3.

Tabel 4. 7 Sekuestrasi C pada tanaman kelapa sawit umur 12 tahun di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu

Gambar

Gambar 1. 1 Bagan alir kegiatan penelitian
Tabel 3. 1 Koordinat pengambilan contoh
Gambar 3. 1 Sumber cadangan karbon pada agroekosistem kelapa sawit
Gambar 4. 1 Kondisi kebun kelapa sawit lahan gambut masyarakat di area
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini uji statistik yang digunakan adalah rumus korelasi Chi Square yaitu untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan harga diri

In the third step the predicted models from the Coarse Classification including the ratings and the new found edges from Image Based Verification are used together to do a

KNP mencerminkan bagian atas laba rugi dan aset neto dari Entitas Anak yang tidak dapat diatribusikan secara langsung maupun tidak langsung pada entitas induk, yang

Membawa : Laptop, Kabel Roll, Modem dan Flasdisk Acara : Kualitas Data Sekolah. Demikian atas perhatian dan kehadirannya disampaikan

Sesuai dengan Berita Acara Evaluasi Penawaran Nomor : 105/PANNllll2O12 tanggal 24 Agustus 241?-, Beritia Acara Hasil Evaluasi Pelelangan Nomor :122 /PANll)fJZAlz tanggal

- Pengadaan Peralatan Kantor PBJ 1 Paket Bandar Lampung 200.000.000 APBD-P Oktober 2012 Oktober - Desember 2012 Pengadaan Langsung - Pengadaan Perlengkapan Kantor PBJ 1 Paket

[r]

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat kepadatan kultur Daphnia carinata King dan fotoperiode yang berbeda terhadap produksi efipium.. Hasil