• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN MUKA AIR TANAH DAN APLIKASI TERAK BAJATERHADAPSIFAT FISIK GAMBUT KAITANNYA DENGAN EMISI KARBON PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGELOLAAN MUKA AIR TANAH DAN APLIKASI TERAK BAJATERHADAPSIFAT FISIK GAMBUT KAITANNYA DENGAN EMISI KARBON PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TESIS"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN MUKA AIR TANAH DAN APLIKASI TERAK BAJATERHADAPSIFAT FISIK GAMBUT KAITANNYA DENGAN

EMISI KARBON PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

TESIS

Oleh

NANI KITTI SIHALOHO 127001005/MAET

PROGRAM MAGISTER AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(2)

PENGELOLAAN MUKA AIR TANAH DAN APLIKASI TERAK BAJA TERHADAPSIFAT FISIK GAMBUT KAITANNYA DENGAN

EMISI KARBON PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Dalam Program Magister Agroekoteknologi Pada Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NANI KITTI SIHALOHO 127001005/MAET

PROGRAM MAGISTER AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(3)

Judul Tesis :

Nama Mahasiswa : Nani Kitti Sihaloho Nomor Pokok : 127001005

Program Studi : Magister Agroekoteknologi

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof.Dr. Ir. Abdul Rauf, MP Dr.Ir.Witjaksana Darmosarkoro, MS Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan,

Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS

Tanggal lulus : 11 Juni 2015

PENGELOLAAN MUKA AIR TANAH DAN APLIKASI TERAK BAJA TERHADAPSIFAT FISIK GAMBUT KAITANNYA DENGAN EMISI KARBONPADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(4)

Telah diuji pada Tanggal : 11 Juni 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP

Anggota : 1. Dr. Ir. Witjaksana Darmosarkoro, MS 2. Dr. Ir. Edy Sigit Sutarta, MS

3. Dr. Lollie Agustina Putri, M.Si 4. Dr. Ir. Erwin Nyak Akoeb, MS

(5)

PERNYATAAN

“PENGELOLAAN MUKA AIR TANAH DAN APLIKASI TERAK BAJA TERHADAP SIFAT FISIK GAMBUT KAITANNYA DENGAN EMISI

KARBON PERKEBUNAN KELAPA SAWIT”

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Agroekoteknologi pada Program Studi Magister Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juli 2015 Penulis,

Nani Kitti Sihaloho

Materai 6000

(6)

ABSTRAK

Nani Kitti Sihaloho, Pengelolaan Muka Air Tanah dan Aplikasi Terak Baja Terhadap Sifat Fisik Gambut Kaitannya Dengan Emisi Karbon Pada Perkebunan Kelapa Sawit Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP dan Dr. Ir. Witjaksana Darmosarkoro, MS.

Penelitian dilakukan untuk mengkaji pengaruh muka air tanah dan dosis aplikasi terak baja terhadap sifat fisik gambut kaitannya dengan emisi karbon pada perkebunan kelapa sawit. Plot penelitian adalah areal tanaman kelapa sawit umur 6 tahun dan dirancang menggunakan rancangan split plot dengan dua perlakuan yaitu tiga taraf pengelolaan kedalaman muka air tanah (water level management) sebagai main plot dan empat dosis aplikasi terak baja (sub plot).

Sampling tanah dilakukan pada kisaran kedalaman0-2;2-5;5-10;10-50 cm untuk pengamatan kadar air tanah aktual dan pengamatan tanah tidak terganggu pada kisaran0-10;10-20;20-30;30-40 cm. Emisi CO2 diukur metode close chamber technique dan dianalisis konsentrasinya dengan Micro gas Chromatogragph (Micro-GC). Penilaian kering tak balik gambut dilakukan dengan cara menetapkan kadar air tanah aktual dan dibandingkan dengan kadar air kritisnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada plot muka air tanah (>80 cm) dan dosis rendah aplikasi terak baja rentan mengalami kekeringan tak balik pada lapisan 0- 10 cm, bahkan piringan pohon lapisan yang rentan pada kisaran 0-20 cm.

Keberadaan tanaman penutup tanah mampu mencegah terjadinya kekeringan tanah gambut saat musim kering, sehingga terhindar dari terjadinya kekeringan tak balik (irreversible drying). Perbaikan sifat fisik gambut (efek aplikasi terak baja) nyata berdasarkan korelasi pearson 5% dengan berat volum 0,25 g.cm-3 (r = -0,61), kandungan kadar abu 4,69% (r = -0,77) dan C-organik 48,68% (r = 0,77) serta pengelolaan muka air tanah 40-60 cm (r = 0,73) menurunkan fluks CO2 dari lahan gambut perkebunan kelapa sawit.

Kata kunci : Muka air tanah, terak baja, sifat fisik, emisi CO2, tanah gambut

(7)

ABSTRACT

Nani Kitti Sihaloho, Water Level Management and Steel Slag Application on Peat Physical Properties its Relation to Carbon Emmisions of Oil Palm Plantation Supervised by Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP and Dr. Ir Witjaksana Darmosarkoro, MS.

The research was carried out to study the effect of ground water level and steel slag application on peat physical properties its relation to carbon emissions of oil palm plantation. The research plot was designed using split plot design with two treatments,three levels water management as main plot and four dosages of steel slag application as sub plot. Soil sampling was carried at layer of 0-2; 2-5;

5-10 and 10-50 cm at actual water content and 0-10; 10-20; 20-30 and 30-40 cm at soil undisturbed observation. Flux of CO2 was measured using close chamber technique and its concentration analyzed by Micro Gas Chromatograph (Micro- GC). Valution of irreversible drying was determined by comparing actual water content with the critical water content of peat. The result showed that, the ground water (>80 cm) plot and steel slag application low dosages, susceptible to irreversible drying is 0-10 cm layers, even that are palm circle of 0-20 cm. The existence of cover crops could prevent drought peat soil during the dry seasons, so avoid the irreversible drying. Physical properties of peat was improved (effectsteel slag application) significantly at pearson correlation 5% with bulk density 0,25 g.cm-3 (r = -0,61), Ash content 4,69% (r= -0,77) and C-organic 48,68% (r=-0,77) and ground water level management at ranged 40 – 60 cm could reduce CO2 flux from peat on oil palm plantation.

Key words : ground water level, steel slag, physical properties, carbon emissions, peat soil.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Parongil, Sidikalang Sumatera Utara Medan pada 05 April 1990 sebagai anak ke-dua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Japen Sihaloho dan Ibu Asmarina Karosekali S.Pd. Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Silima Pungga-Pungga Parongil pada tahun 2008 dan pada tahun yang sama lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada pendidikan Sarjana Pertanian pada Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara dan lulus pada tahun 2012.

Pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Magister Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara dengan biaya sendiri. Selama pendidikan penulis aktif mengikuti kegiatan seminar internasional dan nasional di kampus untuk mendukung perkuliahan yaitu Acara Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka penyusunan rencana pembangunan model DAS mikro diselenggarakan di Ruang rapat kantor Bupati Kabupaten Samosir, 31 Oktober 2012, Seminar nasional “Peranan Pers dalam Pembangunan Pertanian Berwawasan Lingkungan Mendukung Kedaulatan Pangan Berkelanjutan” di Medan, 21 Februari 2013 dan Seminar internasional “Agricultural Biotechnology : The Technology, Impacts and Benefits” di Fakultas Pertanian USU, 24 Juni 2013.

(9)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, Penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. BapakProf.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H,M.Sc,(CTM),Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr.Ir.Darma Bakti, MS., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof.Dr.Ir.Abdul Rauf, MP., selaku Ketua Program Studi Magister Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof.Dr.Ir.Abdul Rauf, MP., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini.

5. Bapak Dr.Ir.Witjaksana Darmosarkoro, MS., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dan penulisan tesis ini.

6. Bapak Dr.Ir.Winarna, MP., selaku Pembimbing Lapangan yang telah memberikan masukan dalam pelaksanaan penelitian di lapangan dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini.

7. Bapak Dr.Ir.Edy Sigit Sutarta, MS., Ibu Dr. Lollie Agustina Putri, M.Si., dan Bapak Dr.Ir.Erwin Nyak Akoeb MS selaku Komisi Pembanding/Penguji atas saran dan kritik yang diberikan.

8. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan yang memfasilitasi tempat dan biaya penelitian ini.

9. Peneliti dan Staf dari PPKS Bapak M.Arif Yusuf, SP, Ibu Darmayanti, SP., Bapak Borimin, BapakDarmadi, Bapak Gema Wahyudi dan Bapak Zulham yang turut membantu dalam pelaksanaan penelitian ini baik di lapangan maupun di laboratorium.

10. Hadi Wijoyo, SP dan Satria Muharis, SP selaku tim penelitian turut membantu dalam pelaksanaan penelitian di lapangan.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua.Amin.

Medan, Juli 2015 Penulis,

Nani Kitti Sihaloho

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 5

Tujuan Penelitian ... 6

Hipotesis Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA Tanah Gambut ... 8

Proses Pembentukan Gambut ... 10

Karakteristik Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut ... 10

Sifat Fisik Tanah Gambut ... 11

Pengelolaan Air Lahan Gambut ... 16

Emisi Karbon (CO2) ... 18

Terak Baja ... 19

Kondisi Penutupan Tanah Gambut ... 20

METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

Bahan dan Alat ... 22

Prosedur Penelitian ... 25

Parameter Pengamatan ... 27

Pengamatan Kadar Air Kritis Gambut Panai Jaya ... 26

Pengamatan Pengaruh Kondisi Penutupan tanah Gambut ... 28

Pengamatan sifat fisik gambut ... 29

Pengamatan Emisi Karbon (CO2) ... 30

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 33

Karakteristik Tanah dan Iklim Lokasi Penelitian ... 33

Kadar Air Kritis Tanah Gambut Lokasi Penelitian ... 37

Pengaruh Muka Air Tanah dan Terak Baja Terhadap Kering Tak Balik ... 39

Pengaruh Kondisi Penutupan Tanah Gambut Terhadap Kering Tak Balik ... 42

Pengaruh muka air tanah dan terak baja terhadap sifat fisik gambut... 47

Kadar Air Tanah Aktual ... 47

(11)

Berat Volum ... 49

Kadar Abu ... 51

C-organik ... 53

Porositas ... 54

pH H2O ... 56

Retensi Air (pF) ... 58

Pengaruh muka air tanah dan terak baja terhadap emisi CO2 lahan gambut ... 60

Hubungan karakteristik sifat fisik dengan emisi CO2 gambut kelapa sawit ... 65

Pembahasan ... 73

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 79

Saran ... 80 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

1. Penyebaran dan luas lahan gambut di Indonesia menurut Provinsi ... 9

2. Nilai klasifikasi permeabilitas tanah ... 14

3. Kedalaman permukaan air tanah dan ketebalan bahan organik sebagai pembatas produksi pertanian ... 17

4. Perbandingan stok karbon bagian atas lahan gambut pada hutan gambut dan perkebunan kelapa sawit gambut ... 18

5. Klasifikasi menolak air berdasarkan metode WDPT ... 27

6. Kondisi penutupan tanah gambut pada penelitian ... 29

7. Karakteristik tanah gambut lokasi penelitian ... 33

8. Data muka air tanah pada waktu penelitian (Januari – Juli 2014) ... 36

9. Hubungan kadar air aktual gambut pada beberapa kondisi di bawah tegakan kelapa sawit dengan biomassa cover crop pada kedalaman 0-20 cm... 43

10. Rataan kadar air tanah aktual gambut pada piringan dan gawangan ... 48

11. Rataan berat volum gambut pada piringan dan gawangan ... 50

12. Rataan kadar abu gambut pada piringan dan gawangan ... 52

13. Rataan C-organik gambut pada piringan dan gawangan ... 54

14. Rataan porositas gambut pada piringan dan gawangan ... 55

15. Rataan pH H2O gambut pada piringan dan gawangan ... 57

16. Retensi air gambut pada piringan kelapa sawit lapisan 0-40 cm ... 58

17. Retensi air gambut pada gawangan lapisan 0-40 cm ... 59

18. Fluks CO2 gambut pada piringan dan gawangan kelapa sawit ... 61

19. Korelasi pearson antara karakteristik sifat fisik gambut dengan emisi CO2Lahan gambut perkebunan kelapa sawit ... 65

Halaman

(13)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka penelitian ... 7

2. Reaksi kimia pembentukan khelat dan netralisasi asam fenolat beracun ... 20

3. Kondisi tanaman penutup tanah di bawah tegakan kelapa sawit a. Piringan pohon b. Pakis (N. biserrata) c. Lumut (Brypphyta) dan d. Rumput bulu babi (L. Urceolata) ... 29

4. Diagram pengambilan sampel gas dari percobaan lapangan ... 32

5. Curah hujan januari – desember 2014... 35

6. Kadar air kritis gambut lokasi penelitian ... 37

7. Hubungan kadar air tanah aktual (piringan dan gawangan) dengan kadar air kritis terjadinya kering tak balik (irreversible drying) pada 3 kondisi muka air tanah gambut (W1, W2, W3) dan 4 taraf dosis terak baja (A0, A1, A2 dan A3) pada kedalaman 0-2;2-5;5-10;10-50 cm. ... 41

8. Hubungan biomassa cover crop dengan kadar air gambut lapisan 0 – 20 cm ... 43

9. Profil kadar air tanah gambut aktual pada lapisan 0 – 2; 2 – 5; 5 – 10 dan 10 – 20 cm ... 44

10. Hubungan antara kadar air tanah aktual berbagai kondisi penutupan tanah dibawah tegakan kelapa sawit dengan kadar air kritis terjadinya kering tak balik (irreversible drying) ... 46

11. Pengaruh pemberian terak baja terhadap peningkatan kadar abu gambut ... 52

12. Hubungan kadar abu dengan berat volum gambut ... 53

13. Hubungan porositas dengan berat volum gambut ... 56

14. Kurva pF (0;2;2,54;3 dan 4,2) pada piringan dan gawangan ... 59

15. Pengaruh muka air tanah gambut terhadap fluks CO2 gambut ... 61

16. Hubungan muka air tanah terhadap fluks CO2 gawangan gambut ... 62 17. Perbandingan fluks CO2 lahan gambut piringan dan

Halaman

(14)

gawangan kelapa sawit... 64

18. Hubungan kedalaman muka air tanah dengan emisi karbon ... 67

19. Hubungan berat volum dengan emisi karbon lahan gambut ... 69

20. Hubungan kadar abu dengan emisi karbon lahan gambut ... 70

21. Hubungan C-organik gambut dengan emisi karbon lahan gambut ... 72

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kandungan terak baja yang digunakan pada penelitian ... 87

2. Rataan kadar air kritis gambut lapisan 5 – 50 cm (hemik) pada lokasi penelitian ... 88

3. Rataan kadar air kritis gambut lapisan 0 – 5 cm (saprik) pada lokasi penelitian ... 88

4. Data kadar air aktual gambut pada kedalaman 0-2;2-5;5-10 dan 10-50 cm Pengamatan Juni 2014 ... 89

5. Rataan kadar air tanah aktual pada beberapa kondisi dibawah tegakan kelapa sawit pada kedalaman 0-2;2-5;5-10;dan10-20 cm... 89

6. Rataan kadar air aktual gambut pada piringan dan gawangan pada Juli 2014 ... 90

7. Rataan berat volum pada piringan dan gawangan ... 91

8. Rataan kadar abu gambut pada piringan dan gawangan sebelum transformasi ... 92

9. Rataan kadar abu pada piringan dan gawangan setelah transformasi ... 93

10. Rataan C-organik gambut pada piringan dan gawangan ... 94

11. Rataan porositas gambut pada piringan dan gawangan ... 95

12. Rataan pH H2O gambut pada piringan dan gawangan ... 96

13. Rataan fluks CO2 gambut pada piringan dan gawangan ... 97

14. Peta lokasi penelitian ... 98

15 Flow chart pelaksanaan penelitian ... 99

15 Layout penelitian ... 100

16 Data produksi kelapa sawit kebun panai jaya afdeling IV PTPN IV Tahun 2014/2015 ... 101

Halaman

(16)

ABSTRAK

Nani Kitti Sihaloho, Pengelolaan Muka Air Tanah dan Aplikasi Terak Baja Terhadap Sifat Fisik Gambut Kaitannya Dengan Emisi Karbon Pada Perkebunan Kelapa Sawit Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP dan Dr. Ir. Witjaksana Darmosarkoro, MS.

Penelitian dilakukan untuk mengkaji pengaruh muka air tanah dan dosis aplikasi terak baja terhadap sifat fisik gambut kaitannya dengan emisi karbon pada perkebunan kelapa sawit. Plot penelitian adalah areal tanaman kelapa sawit umur 6 tahun dan dirancang menggunakan rancangan split plot dengan dua perlakuan yaitu tiga taraf pengelolaan kedalaman muka air tanah (water level management) sebagai main plot dan empat dosis aplikasi terak baja (sub plot).

Sampling tanah dilakukan pada kisaran kedalaman0-2;2-5;5-10;10-50 cm untuk pengamatan kadar air tanah aktual dan pengamatan tanah tidak terganggu pada kisaran0-10;10-20;20-30;30-40 cm. Emisi CO2 diukur metode close chamber technique dan dianalisis konsentrasinya dengan Micro gas Chromatogragph (Micro-GC). Penilaian kering tak balik gambut dilakukan dengan cara menetapkan kadar air tanah aktual dan dibandingkan dengan kadar air kritisnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada plot muka air tanah (>80 cm) dan dosis rendah aplikasi terak baja rentan mengalami kekeringan tak balik pada lapisan 0- 10 cm, bahkan piringan pohon lapisan yang rentan pada kisaran 0-20 cm.

Keberadaan tanaman penutup tanah mampu mencegah terjadinya kekeringan tanah gambut saat musim kering, sehingga terhindar dari terjadinya kekeringan tak balik (irreversible drying). Perbaikan sifat fisik gambut (efek aplikasi terak baja) nyata berdasarkan korelasi pearson 5% dengan berat volum 0,25 g.cm-3 (r = -0,61), kandungan kadar abu 4,69% (r = -0,77) dan C-organik 48,68% (r = 0,77) serta pengelolaan muka air tanah 40-60 cm (r = 0,73) menurunkan fluks CO2 dari lahan gambut perkebunan kelapa sawit.

Kata kunci : Muka air tanah, terak baja, sifat fisik, emisi CO2, tanah gambut

(17)

ABSTRACT

Nani Kitti Sihaloho, Water Level Management and Steel Slag Application on Peat Physical Properties its Relation to Carbon Emmisions of Oil Palm Plantation Supervised by Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP and Dr. Ir Witjaksana Darmosarkoro, MS.

The research was carried out to study the effect of ground water level and steel slag application on peat physical properties its relation to carbon emissions of oil palm plantation. The research plot was designed using split plot design with two treatments,three levels water management as main plot and four dosages of steel slag application as sub plot. Soil sampling was carried at layer of 0-2; 2-5;

5-10 and 10-50 cm at actual water content and 0-10; 10-20; 20-30 and 30-40 cm at soil undisturbed observation. Flux of CO2 was measured using close chamber technique and its concentration analyzed by Micro Gas Chromatograph (Micro- GC). Valution of irreversible drying was determined by comparing actual water content with the critical water content of peat. The result showed that, the ground water (>80 cm) plot and steel slag application low dosages, susceptible to irreversible drying is 0-10 cm layers, even that are palm circle of 0-20 cm. The existence of cover crops could prevent drought peat soil during the dry seasons, so avoid the irreversible drying. Physical properties of peat was improved (effectsteel slag application) significantly at pearson correlation 5% with bulk density 0,25 g.cm-3 (r = -0,61), Ash content 4,69% (r= -0,77) and C-organic 48,68% (r=-0,77) and ground water level management at ranged 40 – 60 cm could reduce CO2 flux from peat on oil palm plantation.

Key words : ground water level, steel slag, physical properties, carbon emissions, peat soil.

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara ke empat dengan lahan rawa gambut terluas di dunia yaitu sekitar 14,9 juta ha setelah Kanada seluas 170 juta ha, Uni soviet seluas 150 juta ha, dan Amerika Serikat seluas 40 juta ha (Istomo, 2005 dan BBSDLP, 2011). Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa propinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di Provinsi Riau. Ditjen Perkebunan (2013) dan ICCTF (2013) dalam Wahyunto dkk. (2013) juga menyebutkan bahwa pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut di Indonesia hingga tahun 2010 telah mencapai lebih dari 1,7 juta ha.

Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 8,9 juta ha dan 1,25 juta ha berada di lahan gambut.

Tumpuan harapan terhadap potensi lahan gambut sebagai media budidaya telah menyebabkan berbagai permasalahan baik dari segi produktivitas tanaman maupun kualitas lingkungan global. Beberapa permasalahan serius yang harus dihadapi setelah dibangun saluran drainase untuk menyediakan kondisi oksidatif untuk ruang perakaran tanaman kelapa sawit. Sering terjadi drainase yang berlebihan sehingga cenderung mendorong terjadinya kerusakan tanah gambut itu sendiri. Terutama kerusakan sifat fisik tanah gambut. Menurut Sabiham dan Sukarman (2012) kondisi oksidatif pada lahan gambut akibat lahan didrainase sangat berpengaruh terhadap proses (i) pengeringan dan pengerutan/pemadatan

(19)

bahan gambut (ii) dekomposisi bahan organik dan (iii) kehilangan sebagian dari air gambut. Sedangkan menurut Utami (2010) terjadinya kering tak balik (hidrofobisitas) disebabkan karena gugus-gugus fungsional pembawa sifat hidrofobik.Semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi penurunanpermukaan (subsiden) dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan gambut akancepat berkurang dan daya sangganya terhadap air menjadi menurun (Agus dan Subiksa, 2008).

Pemanfaatan lahan gambut selain menyebabkan kerusakan kondisi alami gambut tersebut juga adanya isu terkait dengan emisi CO2 yang dianggap pengaruhnya terhadap lingkungan global sangat signifikan. Hal ini disebabkan gambut memiliki cadangan C yang tinggi, sehingga terjadi sudut pandang berbeda. Beberapa menyatakan kehilangan cadangan C dari lahan gambut sering dikaitkan dengan kegiatan alih fungsi lahan, dengan tuduhan bahwa alih fungsi lahan ke penggunaan untuk pertanian/perkebunan yang terjadi adalah berasal dari hutan. Menurut Sabiham dan Sukarman (2012) bahwa emisi karbon (CO2) yang berasal dari perubahan penggunaan lahan gambut ke usaha pertanian tanaman pangan dan perkebunan lebih banyak berasal dari hutan yang sudah rusak/terbuka (degraded forest). Wibowo et al. (2014) juga menyatakan bahwa lahan gambut yang dibuka untuk budidaya nenas memiliki tingkat emisi CO2 yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan belukar gambut.

Dari sudut pandang yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa besarnya emisi (flux) CO2 dari lahan gambut yang dimanfaatkan untuk budidaya pertanian dan perkebunan dipengaruhi oleh sistem pengelolaan. Hal ini

(20)

berdasarkan beberapa hasil penelitian Melling et al. (2007) menunjukkan bahwa tingkat emisi karbon dari masing-masing ekosistem (hutan, sagu, kelapa sawit) dipengaruhi antara lain oleh kelembaban, suhu dan muka air tanah.

Tinggirendahnya emisi dari lahan yang ditanami kelapa sawit disebabkan oleh kondisi muka air tanah (water table) yang dalam sehingga lapisan permukaan yang terekspose lebih sempit disamping kualitas substrat gambut lebih keras sehingga untuk emisi yang dilepaskan lebih rendah. Oleh sebab itu, perlu melakukan suatu strategi pengelolaan lahan gambut yang dapat menjamin keselarasan antara fungsi gambut sebagai media budidaya untuk menghasilkan produktivitas tanaman secara berkelanjutan sekaligus sebagai agensia penyelamat iklim global, khususnya dalam rangka mitigasi gas CO2.

Penulis mengkaji dengan pengelolaan kedalaman muka air tanah pada beberapa rentang kedalaman muka air tanah serta pemberian amelioran yaitu terak baja yang mengandung kation-kation dapat mencegah degradasi tanah gambut dalam meningkatkan stabilitas gambut melaluiperbaikan sifat fisik gambut.

Beberapa pendapat menyatakan hubungan antara emisi CO2 dengan kedalaman muka air tanah bersifat linier yaitu semakin tinggi kedalaman muka air tanah gambut menyebabkan peningkatan emisi CO2. Hal ini berbeda dengan Comeau et al. (2013) bahwa rendahnya konsentrasi air dalam tanah akan menurunkan aktivitas mikroba karena tekanan osmotik. Oleh karena itu perlu di kaji kembali pola hubungan kedalaman muka air tanah gambut dengan emisi CO2 lahan gambut untuk mengetahui cara pengelolaan muka air tanah gambut yang tepat.

(21)

Berdasarkan hasil analisis kandungan terak baja (Lampiran 1.) yang digunakan pada penelitian ini memiliki kandungan yang merupakan kation-katiom polivalen. Dalam jumlah yang tinggi kation-kation polivalen tersebut mempunyai pengaruh terhadap fotosintesis tanaman (Kabata-Pendias dan Pendias, 2001).

Sutarta dan Winarna (2009) menyebutkan bahwa ambang kritis keracunan Al pada bibit kelapa sawit adalah pada taraf dosis sekitar 300 ppm, sedangkan untuk Fe pada taraf dosis sekitar 600 ppm pada tanah Typic Hapludult dan disisi lain pemberian dosis Al dan Fe pada taraf 250 ppm untuk Al dan 500 ppm untuk Fe meningkatkan serapan hara N, P, K, Ca dan Mg pada bibit kelapa sawit. Hal yang perlu diperhatikan dalam aplikasi terak baja adalah kondisi lahan tersebut. Rauf (2013) dalambahan kuliah juga menyebutkan bahwa pemupukan pada tanah gambut yang ditambah dengan kandungan kation – kation polivalen (Al, Fe, Zn) dapat menekan dekomposisi pada gambut.

Kebiasaan yang dilakukan oleh beberapa pengusaha/petani kelapa sawit lahan gambut sama seperti pengelolaan kelapa sawit di tanah mineral dengan pemberian kapur. Pemberian kapur pada lahan gambut kurang tepat karena yang menjadi penyebab kemasaman tanah pada lahan gambut adalah asam-asam organik, yang berbeda dengan tanah mineral yaitu Al dan Fe. Dengan demikian dengan pemberian terak baja yang mengandung kation – kation polivalen ditujukan untuk menekan asam-asam organik gambut dari asam monomer (toksik) menjadi asam polimer (non-toksik) dengan reaksi pengkhelatan (Rauf, 2013 dalam bahan kuliah) sehingga tidak bersifat beracun terhadap tanaman dan gambut dalam kondisi stabil terhadap dekomposisi. Ikatankation polivalen dan

(22)

senyawa organik yang membentuk komplek yang stabil dan tahan terhadap proses dekomposisi (Tan, 1993). Kation Fe3+ memiliki afinitas tertinggi dan paling stabil berikatan dengan senyawa-senyawa organik dibanding kation-kation lainnya (Saragih, 1996; Salampak, 1999). Terjadinya proses stabilisasi, maka kehilangan karbon organik gambut sebagai hasil dekomposisi mikroorganisme berupa gas rumah kaca (CO2 dan CH4) dapat ditekan (Sollinset al., 1996). Salampak (1999) menggunakan tanah mineral sebagai amelioran dengan kandungan besi sebesar 22.06% nyata menurunkan dekomposisi gambut dan meningkatkan produktivitas tanah.Mario (2002) melaporkan adanya peningkatan hasil gabah dan penurunan emisi karbon dengan penggunaan terak baja (bahan kaya besi). Nicholas (2002) juga menambahkan bahwa penggunaan amelioran berkadar besi tinggi mampu meningkatkan kadar abu dan daya simpan air.

Rumusan Masalah

Pengelolaan muka airtanah pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit perlu diperhatikan untuk kelestarian sifat tanah gambut, terutama sifat fisik gambut.Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa fluktuasi muka air tanah gambut berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik tanah gambut yaitu hidrofobisitas (Szajdak dan Szatylowicz 2010; Utami 2010), emisi karbon dari tanah (Berglund dan Berglund 2011; Handayani 2009), penurunan permukaan gambut(Wosten et al., 1997). Sifat fisik tanah utama yang dipengaruhi adalah rendahnya bulk density 0,1 – 0,2g.cm-3, juga terhadap produksi kelapa sawit.Lim et al. (2012) melaporkan bahwa produksi kelapa sawit pada tanah gambut tertinggi diperoleh dengan pengelolaan muka air pada kisaran kedalaman 50-75 cm dari permukaan tanah,

(23)

pada pengelolaan muka air tanah pada 43 cm, namun pada tanaman yang lebih tua pada 49 dan 53 cm dari permukaan tanah (Hasnol et al., 2011), pengelolaan muka air pada kisaran kedalaman 50 - 75 cm dari permukaan tanah (Lim et al., 2012).

Dalam penelitian ini, terak baja digunakan untuk meningkatkan stabilitas gambut dan memperbaiki kesuburan tanah serta meningkatkan produktivitas tanaman. Hal ini sesuai dengan penelitian Sabiham (2013), bahwa pengelolaan lahan gambut dengan menambah bahan mineral amelioran yang mengandung Fe2O3 dan adanya understory cover crop (sebagaimana kultur teknis budidaya kelapa sawit gambut Indonesia) dapat menurunkan fluks (emisi) CO2. Hasil penelitian Sabiham(2000) juga menunjukkan bahwa pemberian kation Fe3+ dalam bentuk senyawa FeCl3.6H20 dengan dosis 25 sampai 75 g/kg telah menurunkan pelepasan C sebesar 10 - 27%.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang akan dicapai yaitu:

1. Menentukan zona kadar air kritis gambut pada lokasi penelitian

2. Mengkaji pengaruh pengelolaan muka air tanah dan aplikasi terak baja serta keberadaan tanaman penutup tanah terhadap kejadian kering tak balik (irreversible drying) pada lahan gambut

3. Mengkaji pengaruh kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja terhadap sifat fisik tanah dan emisi CO2 dari lahan gambut

4. Mendapatkan parameter sifat fisik gambut yang mempengaruhi emisi CO2

tanah gambut pada perkebunan kelapa sawit.

Hipotesis Penelitian

(24)

1. Pengelolaan kedalaman muka air tanah dan aplikasi terak baja dapat memperbaiki sifat fisik tanah gambut.

2. Memperbaiki karakteristik sifat fisik gambut dapat bertujuan untuk mitigasi emisi CO2 gambut di perkebunan kelapa sawit.

Gambar 1. Kerangka penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

Sumatera memiliki lahan gambut terluas yaitu 6.436.649 ha merupakan alternatif dalam perluasan perkebunan kelapa sawit

Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan

kelapa sawit

Land clearing

• Pembuatan saluran drainase

TIDAK DI KELOLA DENGAN TEPAT

• Terjadinya kering tak balik (irreversible drying)

• Terbentuk pasir semu (pseudosand)

• Penurunan permukaaan (subsiden)

• Penurunan produktivitas gambut melalui perubahan sifat fisik gambut (kadar air tanah rendah)

• Peningkatan emisi CO2 dari lahan gambut

KELOLA TEPAT KONSEP

PENGELOLAAN

• Pengelolaan muka air tanah yang tepat

• Aplikasi bahan ameliorant

(Terak Baja)

• Penggunaan tanaman penutup tanah

LAHAN GAMBUT LESTARI &

BERKELANJUTAN

(25)

Tanah Gambut

Menurut Andriesse (1988), gambut sebagai jaringan tanaman dan organisme mati lainnya yang sebagian terkarbonisasi melalui suatu proses dekomposisi dalam keadaan basah. Sementara petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya.Menurut Noor (2010) gambut secara harfiah diartikan sebagai onggokan sisa tanaman yang tertimbun dalam masa dari ratusan sampai bahkan ribuan tahun.

Dari sudut Epistemologi, gambut adalah material atau bahan organikyang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan atau jenuh air, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sebagian yang yang mengalami perombakan (decomposed). Menurut konsep pedologi, gambut adalah bentuk hamparan daratan yang morfologi dan dan sifat-sifatnya sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik yang dikandungnya, Menurut konsep ekologi, gambut adalah sumber dan rosot (sink) karbon sehingga dapat masuk sebagai sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global.Sagiman (2007) menyebutkan bahwa masyarakat Kalimantan Barat mengenal tanah gambut sebagai tanah sepuk.Tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik pada kondisi anaerob. Menurut Soil Survey Staff (1994) yang dimaksud tanah gambut atau histosol adalah tanah yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik minimal 40 cm dan mempunyai kadar karbon 12-18 % atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik makin lanjut pelapukannya dan disebut sebagai humus.

(26)

Menurut Soekardi dan Hidayat (1988) dalam Sagiman (2007) penyebaran gambut di Indonesia meliputi areal seluas 18.480 ribu hektar, tersebar pada pulau- pulau besar Kalimantan, Sumatera, Papua serta beberapa pulau kecil (Tabel 1.).

Dengan penyebaran seluas sekitar 18 juta ha maka luas lahan gambut Indonesia menempati urutan ke-4 dari luas gambut dunia setelah Kanada; Uni Soviet dan Amerika Serikat. Kalimantan Barat merupakan provinsi yang telah memiliki luas lahan gambut terbesar di Indonesia yaitu seluas 4,61 juta ha, diikuti oleh Kalimantan Tengah, Riau dan Kalimantan Selatan dengan luas masing-masing 2,16 juta hektar, 1,70 juta hektar dan 1,48 juta hektar (Sagiman, 2007).

Tabel 1. Penyebaran dan luas lahan gambut di Indonesia menurut provinsi

No Provinsi Luas

Ribu hektar Jumlah (%)

1 Jawa Barat 25 <0,1

2 Aceh 270 1,5

3 Sumatera Utara 335 1,8

4 Sumatera Barat 31 <0,1

5 Riau 1.704 9,2

6 Jambi 900 4,9

7 Sumatera Selatan 990 5,4

8 Bengkulu 22 <0,1

9 Lampung 24 <0,1

10 Kalimantan Barat 4.610 24,9

11 Kalimantan Tengah 2.162 11,7

12 Kalimantan Selatan 1.484 8,0

13 Kalimantan Timur 1.053 5,7

14 Sulawesi Tengah 15 <0,1

15 Sulawesi Selatan 1 <0,1

16 Sulawesi Tenggara 18 <0,1

17 Kepulauan Maluku 20 <0,1

18 Irian Jaya 4.600 24,9

Jumlah 18.480 100,0

Sumber : Soekardi dan Hidayat (1988) dalam Sagiman (2007)

Proses Pembentukan Gambut

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses

(27)

dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.

Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1996).

Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun yang lalu (pada periode Holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun yang lalu (Andriesse, 1988). Proses pembentukan dan perkembangan tanah gambut selanjutnya bahan induk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu;

kelembaban, susunan bahan organik, kemasaman, aktivitas jasad renik dan waktu (Hardjowigeno 1993).

Karakteristik Lahan Gambut pada Perkebunan Kelapa Sawit

Karakteristik lahan gambut di perkebunan kelapa sawit dicirikan oleh kondisi aerobik pada ketebalan 40 sampai 70 cm bagian permukaan lahan. Hal ini terjadi setelah dibangun saluran drainase untuk menyediakan kondisi yang memungkinkan bagi pertumbuhan kelapa sawit (Sabiham dan Sukarman, 2012).

Kondisi oksidatif pada lahan gambut akibat lahan didrainase sangat berpengaruh terhadap proses : (i) pengeringan dan pengerutan/pemadatan bahan gambut, (ii) dekomposisi bahan organik, dan (iii) kehilangan sebagian dari air gambut. Kondisi demikian mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan lahan subsiden atau subsidence. Walaupun penyebabnya sebagian besar karena proses pemadatan gambut. Sabiham dan Sukarman (2012) juga menyatakan bahwa

(28)

besaran subsiden ini oleh Hooijer et al. (2011)telah dijadikan dasar untuk menghitung besaran emisi karbon (C) dari lahan gambut. Cara perhitungan tersebut sangat keliru karena hanya proses dekomposisi saja yang menyebabkan terjadinya emisi karbon, sedangkan faktor pemadatan dan hilangnya sebagian air gambut tidak menyebabkan emisi karbon.

Sifat Fisik Tanah Gambut

Sifat- sifat fisik gambut sangat erat kaitannya dengan pengelolaan air gambut. Bahan penyusun gambut terdiri dari empat komponen yaitu bahan organik, bahan mineral, air dan udara. Perubahan kandungan air karena reklamasi gambut akan ikut merubah sifat-sifat fisik lainnya (Andriesse, 1988).

Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk tanaman kelapa sawit meliputi kadar air, berat isi (bulk density), daya menahanbeban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan kekeringan tak balik (irriversible drying) (Nurzakiah dan Jumberi, 2004).

Berat Volum

DalamNyoman (2008) bahwa berat volum didefinisikan sebagai perbandingan antara berat tanah dengan volume tanah total. Berat volum tanah merupakan salah satu indikator kepadatan tanah. Makin padat suatu tanah, maka nilai berat volum tanah semakin besar yang mengakibatkan tanah makin sulit untuk melewatkan air atau ditembus akar tanaman. Hal ini disebabkan oleh ruangan pori yang terdapat di dalam tanah sedikit dan berupa pori mikro.

Menurut Hardjowigeno (1996) sifat-sifat fisik tanahgambut yang penting adalah: tingkat dekomposisi tanah gambut, kerapatan lindak,

(29)

irreversibledryingdan subsiden. Noor (2001) menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan kadar lengas gambut merupakan sifat-sifat fisik yang perlu mendapat perhatian dalam pemanfaatan gambut. Tanah gambut mempunyai berat volum (bulk density) yang sangat rendah yaitu kurang dari 0,1 g.cm-3 untuk gambut kasar, dan sekitar 0,2 g.cm-3 pada gambut halus. Dibanding dengan tanah mineral yang memiliki berat volum 1,2 g.cm-3 maka kerapatan lindak gambut adalah sangat rendah. Rendahnya kerapatan lindak menyebabkan daya dukung gambut (bearing capasity) menjadi sangat rendah, keadaan ini menyebabkan rebahnya tanaman tahunan seperti kelapadan kelapa sawit pada tanah gambut (Sagiman, 2007).

Kadar Air

Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya.Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya.Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho,et al., 1997). Berat volum tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g.cm-3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki berat volum lebih rendah dari 0,1 g.cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki berat volum >0,2 g.cm-3 karena adanya pengaruh tanah mineral.

Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akanmenjadi kering dan kekeringan gambut ini disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah

(30)

mengering tidak akan dapat menyerap air kembali. Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik) karena kekeringan, akibatnya kemampuan menyerap air gambut menurun sehingga gambut sulit diusahakan bagi pertanian. Berkurangnya kemampuan menyerap air menyebabkan volume gambut menjadi menyusut dan permukaan gambut menurun (kempes). Perbaikan drainase akan menyebabkan air keluar dari gambut kemudian oksigenmasuk kedalam bahan organik dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme, akibatnya terjadi dekomposisi bahan organik dan gambut akan mengalami penyusutan sehingga permukaan gambut mengalami penurunan (Sagiman, 2007).

Permeabilitas Tanah

Menurut Dariah et al. (2010) dengan bertambahnya kadar air maka berat isi kering tanah semakin bertambah besar dan koefisien permeabilitas semakin kecil. Pada saat kadar air optimum, berat isi kering tanah mencapai maksimum dan koefisien permeabilitas mencapai minimum. Bila terjadi pertambahan kadar air setelah mencapai optimum, maka berat isi kering tanah menjadi semakin kecil dan koefisien permeabilitas menjadi semakin besar (Buckman dan Brady, 1982dalam Dariah et al., 2010). Nilai klasifikasi permeabilitas tanah menurut Uhland dan O’neal (1951) dalam Nyoman (2008) adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Nilai klasifikasi permeabilitas tanah

Kelas Permeabilitas (cm/jam)

Sangat lambat < 0,125

(31)

Lambat 0,125 – 0,50

Agak lambat 0,50 – 2,00

Sedang 2,00 – 6,25

Agak Cepat 6,25 -12,50

Cepat 12,50 -25,00

Sangat cepat > 25,00

Retensi Air

Gambut memiliki daya menampung air (kapasitas) sangat besar tetapi daya isapnya (retensi) sangat rendah bila sudah mengalami penurunan kadar air.

Dalam kondisi jenuh, kandungan air gambut mencapai 4,5 -30 kali bobot keringnya, namun memiliki isapan matriks yang rendah sehingga apabila permukaan air tanahnya diturunkan pada kedalaman tertentu dalam waktu singkat kandungan airnya menurun secara drastis. Dyal (1960 dalam Andrisse, 1988) melaporkan bahwa retensi air tanah gambut menurut tingkat dekompisisi berbeda pada tekanan yang berbeda.

Kadar Air Tersedia

Air tersedia bagi tanaman didefinisikan sebagi jumlah air yang terkandung dalam tanah antara kapasitas lapang (hisapan matriks pada pF 2,54) atau kadar air pada tekanan 0,33 bar dan titik layu permanen (hisapan matriks pada pF 4,2) atau kadar air pada tekanan 15 bar. Untuk tujuan pengelolaan konsep air tersedia ini perlu dibedakan antara tanah mineral dengan gambut. Hal ini berhubungan dengan kandungan bahan padatan yang dikandungnya. Volum bahan padatan pada tanah organik sangat sedikit, sehingga air yang diretensi pada tekanan yang sangat rendah (jenuh) jumlahnya cukup besar dibanding dengan tanah mineral.

Sedangkan pada tanah mineral jumlah air yang dapat ditahan pada tekanan yang besar masih cukup tinggi tergantung teksturnya (Nicholas, 2002).

(32)

Jumlah air tersedia bagi tanaman pada jenis hemik lebih tinggi daripada fibrik. Pada jenis saprik, meskipun air pada kapasitas lapang tinggi, tetapi kadar air pada titik layu permanen juga tinggi, karena itu banyak tanah gambut saprik yang mempunyai kadar air tersedia lebih rendah daripada gambut hemik. Driessen dan Rochimas (1976) menyebutkan bahwa tanah gambut pada umumnya tidak seragam sifat-sifat fisiknya, sehingga cara mengevaluasi sifat–sifat tanah gambut dengan menggunakan tanah mineral sebagai acuan sering tidak tepat (Wahyuntoet al., 2005). Sesuai dengan Hardjowigeno (1996) meskipun kandungan air gambut tinggi khususnya pada tingkat hemik, air tersedianya rendah karena kandungan air tanah pada titik layu permanen cukup tinggi.

Porositas

Menurut Nyoman (2008) bahwa kedudukan ruang pori tanah sangat penting untuk pertumbuhan tanaman. Proses-proses fisik maupun kimia yang terjadi di dalam tanah terdapat pada dan lewat ruang pori. Pori adalah tempat tersimpan air dan udara, tempat pergerakan air dan unsur hara. Akar tanaman tumbuh dan berkembang lewat pori-pori tanah.Porositas tanah gambut memegang peranan penting dalam pergerakan air tanah. Gambut pada tingkat kematangan fibrik melalui pergerakan air yang tinggi karena memiliki pori besar yang dominan, sedangkan gambut saprik oleh karena pelapukannya yang sudah lanjut menyebabkan berkurangnya ruang pori makro, sehingga laju pergerakan airnya lebih rendah.

Porositas total dan permeablitas tanah berkurang dengan meningkatnya dekomposisi bahan organik, tentang porositas gambut yang dihitung berdasarkan

(33)

berat volum dan bobot jenis adalah berkisar antara 75-95%. Walaupun demikian, daya menahan air dari gambut bervariasi, karena adanya interaksi yang komplek dari berbagai sifat tanah gambut tersebut (Wahyunto et al., 2005).

Pengelolaan Air Lahan Gambut

Kegiatan awal dari pemanfaatan gambut adalah pembangunan saluran drainase untuk drainase air agar tanah memiliki kondisi rhizosphere yang sesuai bagi tanaman. Pengelolaan air harus disesuaikan dengan kebutuhanperakaran tanaman. Kedalaman permukaan air tanah pada parit kebun diusahakan agar tidak terlalu jauh dari akar tanaman, jika permukaan air terlalu dalam maka oksidasi berlebih akan mempercepat perombakan gambut, sehingga gambut cepat mengalami subsiden. Sebagai acuan kedalaman permukaan air tanah untuk tanaman pertanian menurut Maas (2003) seperti disajikan dalam Tabel 3.

Noor (2010) mengemukakan bahwa pengelolaan air mikro di lahan gambut tetap memerlukan pembuangan air pada musim hujan dan penahanan air pada musim kemarau. Aliran sistem satu arah (one flow system) dapat meningkatkan pelindian (leaching) terhadap asam-asam organik dan logam-logam toksis (Al, Fe) sehingga tanaman budidaya dapat tumbuh lebih baik. Porositas tanah yang tinggi merupakan masalah dalam mempertahankan air pada musim kemarau dan membendung air untuk tidak masuk ke areal pengembangan.Dalam konteks ini, maka pengelolaan secara makro dalam satuan bentang lahan dan hidrologi berbasis daerah aliran (sungai) memegang peranan penting sehingga secara keseluruhan bertanggung jawab dalam pengendalian air.

Tabel 3. Kedalaman permukaan air tanah dan ketebalan bahan organik sebagai pembatas produksi pertanian.

(34)

Tanaman Kedalaman permukaan air tanah (cm)

Ketebalan bahan organik (cm)

Padi sawah Dekat permukaan <100

Padi ladang Dekat permukaan <100

Jagung 60-100 <100

Sorgum 60-100 <100

Sayur-sayuran 30-60 Bukan pembatas

Cabe 30-60 Bukan pembatas

Kedelai 30-60 Bukan pembatas

Jahe 60-100 Bukan pembatas

Kacang tanah 60-100 Bukan pembatas

Ubi jalar 60-100 Bukan pembatas

Ketela pohon 60-100 Bukan pembatas

Pisang 60-100 <100

Tebu 60-100 Bukan pembatas

Nanas 60-100 Bukan pembatas

Cocoa 60-100 Bukan pembatas

Kelapa Sawit 60-100 Bukan pembatas

Kopi 60-100 Bukan pembatas

Durian 60-100 <100

Rambutan 60-100 <200

Kelapa 60-100 <100

Jambu Mente 60-100 Bukan pembatas

Sagu Bukan Pembatas Bukan pembatas

Karet 60-100 <200

Sumber : Maas (2003)

Yulianti (2009) menemukan tiga pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan CO2 yaitu pola pertama yaitu semakin dalam muka air tanah, emisi CO2 semakin meningkat, pola kedua menunjukkan bahwa muka air tanah semakin dalam, emisi CO2 semakin menurun, dan pola ketiga yaitu muka air tanah semakin dalam, tidak menyebabkan perubahan terhadap emisi CO2. Pola kedua ini dapat terjadi pada lahan gambut yang telah lama diusahakan untuk kebun kelapa sawit, yaitu kondisi lahan sudah lebih stabil (subsidence stabil, kematangan tingkat hemik dan saprik). Pola ketiga terjadi pada gambut yang

(35)

didominasi oleh senyawa-senyawa yang telah inert seperti quinon, karena proses dekomposisi sudah berakhir.

Emisi Karbon (CO2)

Hasil pengukuran emisi CO2 dari gambut variasinya tergantung pada waktu dan tempat, kapan lahan mulai dikonversi (tingkat humifikasi), variasi tempat (perbedaan mikroklimat seperti suhu tanah dan suhu udara), status hara dan variasi saat pengukuran (perubahan musim), sehingga musim berpengaruh terhadap hasil pengukuran. Hasil penelitian tentang Emisi CO2 pada musim hujan lebih tinggi daripada emisi CO2 musim kemarau. Hal ini terkait dengan pengaruh kadar air terhadap proses dekomposisi bahan organik pada lahan gambut.

Kandungan air pada musim kemarau diprediksi lebih sedikit daripada musim hujan, sehingga menyebabkan laju proses dekomposisi bahan organik pada musim kemarau lebih lambat, daripada musim hujan, sehingga produksi gas CO2 lebih sedikit (Wibowo et al., 2014). Rendahnya konsentrasi air dalam tanah akan menurunkan aktivitas mikroba karena tekanan osmotik.

Tabel 4. Perbandingan Stok Karbon Bagian Atas Lahan Gambut pada Hutan Gambut dan Perkebunan Kelapa Sawit Gambut.

Land Use Gambut Stok Karbon (ton C/ha)

Hutan gambut primer 81,8

Hutan gambut sekunder 57,3

Kelapa Sawit:

Umur dibawah 6 tahun Umur 9-12 tahun Umur 14-15 tahun

5,8 54,4 73,0

Sumber: Sabiham (2013).

Stok karbon perkebunan kelapa sawit gambut makin meningkat (pada lapisan atas) dengan bertambahnya umur tanaman kelapa sawit.Pada umur 14-15

(36)

tahun ternyata stok karbon tanah justru melampaui stok karbon hutan gambutsekunder bahkan mendekati stok karbon pada hutan gambut primer (Tabel4).

Terak Baja

Terak bajamerupakan hasil samping dari proses pemurniaan besi cair dalam pembuatan baja. Penggunaan terak baja dapat meningkatkan pH tanah, Ca dan Mgdapat dipertukarkan, dan meningkatkan ketersediaan Si dalam tanah. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa terak baja Indonesia mengandung unsur-unsur sebagai berikut :42% Fe2O3; 7,2 % Al2O3; 21,5 % CaO; 11,2 % MgO; 14,6 % SiO2 dan 0,4 % P2O5(Suwarno dan Goto, 1997). Kation yang dominan dalam terak baja adalah Fe, Ca, Mg, Si dan Al. Kandungan kation-kation tersebut dalam terak baja dapat dipakai sebagai alternatif bahan ameliorasi tanah gambut .

Pemakaian terak baja sebagai pupuk telah mulai dicoba sejak tahun 1882/1883 di Jerman, kemudian di Inggris pada tahun 1884/1885 oleh Wrightson, setelah itu berbagai penelitian terak baja telah dilakukan baik sebagai sumber Si maupun sebagai bahan kapur untuk tujuan meningkatkan keefesiensian pemupukan.

Amelioran alami yang mengandung kation polivalen (Fe, Al, Cu, dan Zn)seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai sangat efektifmengurangi dampak buruk asam fenolat (Salampak, 1999; Sabiham et al.,1997). Penambahan kation polivalen seperti Fe dan Al akan menciptakan tapakjerapan bagi ion fosfat sehingga bisa mengurangi kehilangan hara P melaluipencucian (Rachim, 1995). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi

(37)

dapatmeningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Mario, 2002;Salampak, 1999; Suastika, 2004; Subiksa et al., 1997).

Gambar 2. Reaksi kimia pembentukan khelat dan netralisasi asam fenolat beracun Kondisi Pentupan Tanah Gambut

Upaya pencegahan hidrofobisitas tanah gambut dapat dilakukan dengan menjaga kelembapan tanahnya (Muller dan Deuer, 2011). Pengelolaan air di lahan gambut secara benar dengan mempertahankan muka air tanah optimum adalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya hidrofobisitas gambut dengan menjaga kelembapan tanah lapisan atas tetap tinggi (Othman et al., 2010). Selain pengelolaan air, tanaman penutup tanah (cover crops) juga dapat berperan untuk menjaga kelembapan tanah (Dirattanhun, 2007).Tanaman penutup tanah akan berfungsi menutupi permukaan tanah gambut, mengurangi penguapan air tanah terutama selama musim kemarau, melindungi tanah dari erosi, dan mengurangi resiko kebakaran gambut (Othman et al., 2012).

Tumbuhan penutup tanah dapat berfungsi dalam peresapan dan membantu menahan jatuhnya air secara lansung. Tumbuhan penutup tanah dapat berperan dalam menghambat atau mencegah erosi yang berlansung secara cepat, selain itu

(38)

dapat berfungsi dalam mengurangi kecepatan aliran permukaan dan mendorong perkembangan biota tanah.

Penanaman biomassa termasuk kelapa sawit merupakan sumber penyerapan CO2 karena adanya proses fotosintesis dan respirasi. Pengembangan kebun kelapa sawit dengan pola tanpa bakar (zero burning) dapat menghasilkan O2, menyerap CO2 (diprakirakan sekitar 22,470 ton CO2/ha) dan menghasilkan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Satu hektar kebun sawit yang sudah berproduksi dapat menghasilkan biomassa berupa batang, pelepah dan tandan sawit sebesar 36 ton per tahun. Jumlah biomassa sebanyak ini dapat menyerap emisi CO2 sebanyak 25 ton per tahun dan mengubahnya menjadi udara bersih berupa O2 sebanyak 18 ton per tahun (Sabiham, 2013). Potensi ini dapat ditransaksikan melalui mekanisme pembangunan bersih (Clean Develompment Mechanism-CDM).

METODOLOGI PENELITIAN

(39)

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada areal tanamam kelapa sawit menghasilkan (umur 6 tahun) Kebun Panai Jaya, PT Perkebunan Nusantara IV, Panai Tengah, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Lokasi penelitian terletak pada posisi geografi 2o22’25” – 2o22’50” N dan 100o16’0” – 100o17’10” E. Kegiatan analisis tanah dilaksanakan di Laboratorium Fisika Tanah, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Penelitian dilakukan oleh pihak PPKS Oktober 2013 dan hasil penelitian yang disampaikan dalam laporan ini dimulai dari Maret – Oktober 2014.

Bahan dan Alat

Jenis tanah pada areal percobaan adalah tanah gambut tebal dengan kedalaman 5,00 - 5,15 meter dengan tingkat kematangan umumnya saprik-hemik.

Blok tanaman kelapa sawit yang digunakan pada percobaan lapangan ini dilengkapi dengan sarana tata air yang terdiri dari saluran utama dan saluran sekunder, serta sekat-sekat air untuk mempertahankan kedalaman muka air.

Pemupukan tanaman kelapa sawit dilakukan oleh pihak kebun dengan jenis dan dosis pupuk yang telah ditentukan pada setiap tahunnya dan diaplikasikan sebanyak 2 kali dalam setahun, yaitu setiap semester.

Bahan amelioran yang digunakan dalam penelitian adalah bahan yang memiliki kandungan kation polivalen tinggi, yaitu terak baja (Electric Furnace Slag) yang merupakan limbah industri pengolahan baja, di daerah Cilegon Banten.

Rancangan percobaan Lapangan

(40)

Percobaan lapangan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Petak Terpisah. Petak utama adalah kedalaman muka air tanah terdiri dari 3 taraf, yaitu:

1. W1 = Kedalaman muka air tanah 35-50 cm dari permukaan tanah gambut.

2. W2 = Kedalaman muka air tanah 60-70 cm dari permukaan tanah gambut 3. W3 = Kedalama muka air tanah 80-95 cm dari permukaan tanah gambut.

Karena adanya faktor bulan kering dan bulan basah yang cukup ekstrim selama pelaksanaan penelitian dan dukungan sarana tata air kawasan yang masih terbatas, menyebabkan perlakuan pengelolaan kedalaman muka air tanah pada penelitian ini tidak dapat diperoleh sesuai kisaran kedalaman muka air yang diinginkan. Ketiga pengelolaan muka air tanah tersebut menghasilkan fluktuasi muka air tanah yang berbeda selama pelaksanaan penelitian. Fluktuasi muka air tanah tersebut selanjutnya yang menggambarkan kondisi ketiga perlakuan pengelolaan muka air tanah dalam penelitian ini.

Anak petak adalah dosis terak baja yang terdiri dari 4 taraf, yaitu:

1. A0 = Terak baja 0,00 kg/pohon

2. A1 = Terak baja 3,15 kg/pohon untuk KB naik ke 20%

3. A2 = Terak baja 6,51 kg/pohon untuk KB naik ke 30%

4. A3 = Terak baja 9,86 kg/pohon untuk KB naik ke 40%

Menurut Gomez (1995) model linier yang diasumsikan dalam Rancangan Acak Kelompok Petak Terpisah adalah:

(41)

Yijk = µ + Wi + Aj + (WA)ij + εijk Dimana:

Yijk = nilai pengamatan pada taraf ke i faktor W, taraf ke j faktor A, pada ulangan ke-k

µ = nilai tengah umum

Wi = pengaruh taraf ke-i dari faktor W Aj = pengaruh taraf ke-j dari faktor A

(WA)ij = pengaruh interaksi taraf ke i faktor W dengan taraf ke -j faktor A εijk = pengaruh acak untuk anak petak.

 Faktor Kedalaman muka air tanah (W) sebagai petak utama diacak dalam kelompok (untuk W1, W2 dam W3), jumlah petak utama 3 x 3 = 9.

 Faktor Amelioran terak baja (A) sebagai anak petak dengan taraf A0, A1, A2 dan A3 di acak dalam petak utama. Jumlah petak keseluruhan : 9 x 4 = 36 anak petak/plot.

 Setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga terdapat 36 plot kombinasi perlakuan. Satu plot perlakuan terdapat 36 pohon yang terdiri dari 16 pohon pengamatan dan dan 20 pohon pagar.

Untuk mengetahui perbedaan pengaruh perlakuan dilakukan analisis ragam, sedangkan perbedaan masing-masing perlakuan dan interaksinya dilakukan Uji Jarak Berganda Tukey. Analisis statistik pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SAS 9.1.3, Mc. Excel dan Minitab 16.

Prosedur Penelitian

Mengontrol Kedalaman Muka Air tanah

(42)

Kedalaman muka air tanah dalam saluran dan di dalam blok percobaan dipertahankan keseragamannya pada kisaran kedalaman muka air yang telah ditentukan. Kedalaman muka air dalam saluran dikontrol dengan memasang meteran piezometer. Meteran pengontrol muka air dalam saluran dipasang pada beberapa titik dalam setiap blok tanaman percobaan dengan interval setiap 50 meter dimulai dari pinggir saluran tegak lurus ke arah dalam blok. Piezometer dipasang dengan cara dibenamkan secara vertikal ke dalam tanah gambut hingga mencapai kedalaman sekitar 20 cm dibawah muka air tanah, sedangkan ujung atas piezometer berada sekitar 10 cm diatas permukaan tanah. Untuk menjaga piezometer bagian dalam tetap bersih dan tidak terisi oleh tanah atau serasah, maka bagian piezometer yang berada di atas permukaan tanah ditutup dengan penutup paralon.

Untuk menentukan kedalaman muka air baik di saluran maupun didalam blok, maka perlu satu titik referensi permukaan tanah yang sama. Titik referensi permukaan tanah pada saluran dilakukan dengan menggunakan slang plastik berisi air dengan prinsip bejana berhubungan. Tinggi permukaan tanah pada saluran ditentukan dengan cara membandingkan permukaan air dalam slang yang dihubungkan dengan beberapa titik pengamatan pada permukaan tanah di dalam blok. Setelah diperoleh tinggi permukaan tanah pada saluran yang sama dengan tinggi permukaan tanah dalam blok, kemudian ditandai dan digunakan sebagai titik nol pada meteran pengontrol dalam saluran maupun pada piezometer. Titik nol tersebut ditandai dengan patok kayu.

(43)

Kedalaman muka air tanah pada piezometer diamati dengan cara memasukkan tongkat kayu ke dalam piezometer sampai mencapai permukaan air tanah (ditandai dengan basahnya bagian tongkat yang tercelup ke dalam air).

Kemudian bagian tongkat kayu yang sejajar dengan permukaan tanah diberi tanda. Kedalaman muka air tanah ditentukan dengan cara mengukur panjang bagian tongkat yang kering diatas bagian yang basah sampai bagian tongkat yang sejajar dengan permukaan tanah.

Aplikasi Terak Baja

Aplikasi terak baja dilakukan dengan cara menabur rata pada permukaan tanah gambut daerah piringan pohon tanaman kelapa sawit. Aplikasi amelioran dilakukan 2x yaitu pada bulan Desember 2013 dan April 2014. Untuk keperluan pengamatan dan pengambilan sampel dari luar piringan pohon, maka aplikasi juga dilakukan daerah gawangan antar pohon.

Analisis Tanah

Analisis tanah gambut dilakukan dengan metode yang dikembangkan Radjagukguk et al. (2000) yaitu meliputi kadar abu (loss of ignition), bobot isi, retensi air (pF2,54, dan 4,2), porositas total, konduktikvitas hidrolik jenuh, pH H2O dan C-organik. Tingkat kematangan gambut ditentukan dengan menggunakan metode Von Post. Analisis kadar air tanah aktual di lapangan dilakukan secara gravimetri, penimbangan sampel tanah dilakukan lansung di lapangan. Pengeringan sampel dan penentuan kadar air tanah serta penimbangan biomassa dilakukan di laboratorium.

Parameter Pengamatan

(44)

Pengamatan Percobaan Penetapan Kadar Air Kritis Gambut

Analisis ini menggunakan contoh gambut yang terganggu meliputi tahapan sebagai berikut :

1. Contoh tanah gambut ditimbang dan dioven pada suhu 500C dengan lama 0, 15, 30, 45, 60, 75, 90, 105, 120, 150, 180 menit,

2. Kemudian diamati sifat kering tak balik menggunakan metode Water Drop Penetration Time (WDPT) yang diadopsi oleh Bisdom et al. (1993) yaitu dengan meneteskan 3 tetes aquades (diameter 6 mm) ke atas bahan gambut (Tabel 5).

3. Berikutnya mengamati sudut kontak antara air dengan permukaan bahan gambut dan waktu terjadinya penetrasi. Bila sudut kontak >90

0

dengan waktu penetrasi >5 detik, maka bahan gambut tidak dapat menyerap air kembali.

Sebaliknya bila sudut kontak >900 dengan waktu penetrasi <5 detik, maka bahan gambut dapat menyerap air. Klasifikasi bahan menolak air disajikan pada Tabel5.

Tabel 5. Klasifikasi menolak air berdasarkan metode WDPT WDPT (detik) Klasifikasi Bahan

< 5 Bahan dapat menyerap air kembali

5-60 Bahan menolak air lemah

60-600 Bahan menolak air kuat

600-3600 Bahan menolak air sangat kuat

>3600 Bahan menolak air ekstrim kuat

Pengamatan Pengaruh Kondisi Penutupan Tanah Terhadap Kering Tak Balik (irreversible drying) pada lahan gambut Perkebunan Kelapa Sawit

Sampel tanah terganggu dilakukan pada beberapa rentang kedalaman tanah yaitu 0 – 2; 2 – 5; 5 – 10 dan 10 – 20 cm, lahan gambut areal kelapa sawit

(45)

kedalaman muka air tanah 65 – 80 cm. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Juli 2014 (musim kering). Pengambilan sampel tanah untuk penetapan kadar air aktual dilakukan pada saat terjadi dry spell (hari tidak hujan berurutan) sekitar 10 hari dan pengambilannya dilakukan setelah pukul 12.00 dengan harapan telah terjadi proses evapotranspirasi.

Pengambilan sampel biomassa dilakukan pada lima kondisi penutupan tanah dibawah tegakan kelapa sawit dan satu kontrol pada area non kelapa sawit tanpa penutup tanah. Tabel 6 menyajikan kondisi penutupan tanah gambut yang diamati pada penelitian ini. Gambar 3 menunjukkan kondisi penutupan tanah di bawah tegakan kelapa sawit. Pengambilan sampel biomassa dilakukan dengan membuat plot berukuran 1m x 1m di lapangan. Biomassa tanaman penutup tanah dalam plot tersebut dipotong dan dikeringkan dalam oven pada suhu 700c untuk menghilangkan kadar airnya. Selanjutnya ditimbang berat kering biomassa tersebut. Pengamatan kadar air tanah di lakukan langsung di lapangan secara gravimetri bersamaan dengan pengambilan sampel biomassa. Pengeringan sampel tanah kadar air dan penimbangan berat keringnya dilakukan di laboratorium.

Pengamatan pada setiap kondisi penutupan tanah diulang sebanyak 10 kali.

Tabel 6. Kondisi penutupan tanah gambut pada penelitian Kode Perlakuan

NKS Areal non kelapa sawit + tanpa penutup tanah NCC Gawangan tanpa penutup tanah

CCP Penutup tanahpakis (Nephrolepis biserrata) CCL Penutup tanah lumut (Brypphyta)

b a

(46)

Gambar 3. Kondisi tanaman penutup tanah di bawah tegakan kelapa sawit a.

Piringan pohon b. Pakis (Nephrolepis biserrata) c. Lumut (Brypphyta), dan d.

Rumput bulu babi (Leptaspis urceolata) Pengamatan sifat fisik gambut

Pengambilan sampel tanah terganggu untuk kadar air dilakukan pada beberapa kedalaman tanah yaitu 0 – 2; 2 -5; 5 – 10; 10 – 50 cm pada piringan dan gawangan pohon. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Juni 2014 dan sampel tanah tidak terganggu diambil pada 4 (empat) rentang kedalaman yaitu 0 – 10; 10 – 20; 20 – 30 dan 30 – 40 cm pada piringan dan gawangan.

Pengamatan Emisi Karbon (CO2)

Pengamatan emisi karbon hanya dilakukan terhadap gas CO2 sedangkan gas CH4 tidak dilakukan karena mengacu pada hasil penelitian Handayani (2009), bahwa emisi CH4 tidak dilakukan pada perkebunan kelapa sawit teramati pada muka air tanah sampai 18 cm dan tidak terdeteksi pada kedalaman muka air tanah lebih dari 34 cm dari pemukaan gambut.

CCBB Penutup tanah rumput bulu babi (Leptaspis urceolata) P Piringan pohon tanpa penutup tanah

d

C

d c

c

(47)

Emisi CO2 diukur dari tanah gambut pada setiap blok perlakuan dengan metode close chamber technique yang diadopsi dari Setyanto et al. (2010).

Pengambilan sampel gas dilakukan secara manual dilapangan menggunakan sungkup atau chamber yang terbuat dari pipa paralon. Sungkup (chamber) berukuran panjang x tinggi yaitu 30 cm x 10 cm. Sungkup dilengkapi dengan fanatau kipas yang dijalankan dengan baterai kering. Kipas berfungsi untuk menghomogenkan konsentrasi gas dalam sungkup. Jarum suntik syringe dengan volume 10 ml digunakan untuk mengambil sampel gas. Sebelum digunakan untuk mengambil sampel gas, jarum suntik dibungkus dengan aluminium foil yang berfungsi mengurangi pengaruh radiasi matahari terhadap jarum suntik.Dalam satu kali pengamatan dilakukan pengambilan 4 sampel gas dengan interval waktu 10, 20, 30 dan 40 menit. Pengambilan sampel gas akan dilakukan pada pukul 06.00-07.00 pagi dan 13.00-14.00 siang.

Sampel gas dalam jarum suntik 10 ml yang sudah terkumpul kemudiaan dianalisis konsentrasinnya dengan micro Gas Chromatogragph (micro-GC) yang dapat secara lansung dioperasikan di lapangan.Micro-GC CP 4900 menggunakan detektor TCD (thermal conductivity detector). Gas pembawa (carrier gas) yang digunakan dalam operasional micro GC adalah helium dengan kategori UHP (Ultra High Purity) dengan kemurniaan gas 99,999%.

Konsentrasi gas CO2 diperoleh berdasarkan nilai area dari satu standar gas dari area dari sampel gas yang akan dihitung konsentrasinya dengan menggunakan persamaan dibawah. Csp adalah nilai konsentrasi gas dari satu sampel (ppm). Sedangkan Cstd adalah konsentrasi dari gas standar (bersertifikat)

Gambar

Gambar 1. Kerangka penelitian
Gambar 2. Reaksi kimia pembentukan khelat dan netralisasi asam fenolat beracun  Kondisi Pentupan Tanah Gambut
Tabel 6. Kondisi penutupan tanah gambut pada penelitian  Kode  Perlakuan
Gambar 3.  Kondisi tanaman penutup  tanah di bawah tegakan kelapa sawit  a.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Angka kuman dan bahan kimia makanan jadi memenuhi persyaratan yang ditentukan.. Makanan jadi kemasan tidak ada tanda- tanda kerusakan dan terdaftar pada

Komitmen siswa dalam mengikuti pembelajaran sangatlah penting sehingga siswa fokus akan ketercapaian tujuan dari pada pembelajaran tersebut. Berdasarkan hasil

Teknik Selektif Breeding pada Calon Induk Ikan Nila Pandu dan Kunti (Oreochromis niloticus) di Satuan Kerja Perbenihan dan Budidaya Ikan Air Tawar Janti,

[r]

Oleh karena itu, penulis mencoba membuat suatu aplikasi program pembayaran pada rental Pras Comp dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang tersedia pada Microsoft Visual Basic

Dengan adanya pemutusan orang tua angkat dengan anak angkatnya karena anak angkat tersebut, sudah tidak lagi berkedudukan sebagai anak kandung sehingga segala

Meskipun dokumen ini telah dipersiapkan dengan seksama, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia tidak bertanggung jawab atas segala konsekuensi hukum dan keuangan

Dari dulu Neko sama sekali nggak takut UAN, soalnya dulu di program Bahasa kami tidak harus menghadapi pelajaran momok yang satu itu agar bisa lulus?. Mata pelajaran yang