Hasil
Karakteristik Tanah dan Iklim Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada di Afdeling IV Kebun Panai Jaya. Lahan ini sudah dibuka untuk perkebunan kelapa sawit selama enam tahun. Kebun Panai Jaya berada di atas lahan gambut dengan
Piringan (1 m)
Menit ke 40 Menit ke 30
Menit ke 20 Menit ke 10
Sampling CO2
Piringan (2m) Gawangan
Ulangan I Ulangan II
ketebalan berkisar 500 – 515 cm, dengan tingkat kematangan gambut pada lokasi penelitian menurut Yulianti (2009) yaitu sangat beragam baik secara vertikal maupun horizontal. Tanah gambut Kebun Panai Jaya dibedakan atas kematangan saprik pada lapisan atas dan hemik lapisan bawah, dengan kadar serat gambut saprik lebih rendah (44%)dibandingkan gambut hemik (68%) (Winarnaet al., 2015b). Kemasaman tanah gambut dalam penelitian ini tergolong sangat masam.
Hasil analisis awal pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Karakteristik tanah gambut lokasi penelitian
Analisis Piringan Gawangan
0-20 cm 20-40 cm 0-20 cm 20-40 cm
Kematangan Gambut Saprik Hemik Saprik Hemik Kadar Air kapasitas
lapang pF 2,54 (%, w/w)
275,63 373,84 293,64 370,48 Titik layu permanen pF
4,2 (%, w/w)
209,93 (76) 277,31 (74) 249,01 (85) 248,05 (67) Keterangan : Angka dalam ( ) adalah persentase kadar air pF 4,2 terhadap kadar air pF 2,54
Berat volum (bobot isi)merupakan sifat gambut penting untuk diketahui karena berbagai sifat gambut yang lain sangat dipengaruhi oleh bobot isi. Bobot isi gambut lapisan atas lebih tinggi dibanding lapisan bawah. Hal ini berbanding lurus dengan kadar abu serta tingkat kematangan gambut yaitu pada lapisan atas adalah saprik dan bawah adalah hemik.Intensitas kultur teknis (termasuk pemupukan) lebih besar terjadi pada lapisan 0 – 20 cm, hal ini berpengaruh pada peningkatan pH, kadar abu dan berat volum tanah gambut. Verry et al. (2011) juga mengemukakan bahwa bobot isi memiliki hubungan yang positif dengan
kadar abu dan tingkat dekomposisi/kematangan tanah gambut.Tanah gambut dengan bobot isi tinggi tersusunatas partikel-partikel padat yang berukuran halus dan membentuk matriks gambut lebih mampat, sehingga ruang-ruang yang terisi air jumlahnya lebih sedikit. Tanah gambut dengan bobot isi tinggi memiliki porositas total tanah lebih rendah, sehingga kemampuan menahan air juga rendah.
Kondisi tingkat kematangan gambut dan kepadatan tanah yang lebih tinggi tersebut berdampak juga pada kemampuan retensi air yang lebih tinggi.
Berdasarkan persentase kadar air pada tekanan 15 bar (pF 4,2) terhadap kadar air pada tekanan 0,33 bar (pF 2,54) atau disebut air teretensi kuat, untuk piringan gambut saprik menunjukkan nilai yang lebih besar (76%) dibandingkan gambut hemik (74%) dan untuk gawangan gambut saprik menunjukkan nilai (85%) sedangkan untuk hemik nilainya (67%). Sifat gambut seperti berat volum, konduktivitas hidrolik jenuh, dan porositas total erat kaitannya dengan kemampuan tanah gambut meretensi air (Kurnain, 2008).
Data curah hujan di lokasi penelitian dari Januari-Desember 2014 disajikan pada Gambar 5. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli dan tergolong sebagai bulan kering (<60 mm/bulan). Kedalaman muka air tanah di lapangan telah diperlakukan sesuai perlakuan, namun kenyataan di lapangan (berdasarkan hasil pengukuran dengan Piezometer) sangat tergantung dari curah hujan dan kondisi lingkungan setempat. Sehingga dilakukan pengamatan muka air tanah (pengamatan sumur pantau) selama penelitian dilaksanakan (Tabel 8).
Gambar 5. Curah hujan Januari – Desember 2014.
Pada penelitian ini sekat-sekat air ditempatkan di saluran sekunder, mengingat petak-petak penelitian skalanya kecil. Sementara pihak kebun belum melakukan pengelolaan muka air tanah dengan membuat sekat-sekat air baik di saluran primer dan sekunder. Hal ini menyebabkan upaya untuk mempertahankan air tetap berada di saluran atau di petak penelitian yang menjadi cukup berat, terutama pada saat tidak terjadi hujan cukup lama (dry spell) atau pada saat bulan kering. Berdasarkan pencatatan kedalaman muka air tanah di dalam petak penelitian selama pelaksanaan penelitian, fluktuasi kedalaman muka air tanah pada perlakuan W1 paling kecil, diikuti pengelolaan W2 dan fluktuasi muka air tanah paling besar terdapat pada perlakuan W3. Sementara itu, fluktuasi muka air tanah perlakuan W1 dan W2 memiliki perbedaan yang tidak terlalu besar bahkan kadang-kadang berhimpit yaitu fluktuasi muka air tanah pada W1 berkisar 24,86 – 79,14 cm, sedangkan fluktuasi muka air tanah pada W2 berkisar 34,00 – 80,78 cm dan W3 berkisar 53,07 – 94,67 cm (Tabel 8). Secara umum kondisi fluktuasi
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sept Okt Nov Des
Curah hujan (mm)
kedalaman muka air tanah mengikuti pola curah hujan, yaitu muka air tanah dalam terdapat pada bulan Juli dan Mei sedangkan muka air tanah dangkal terdapat pada bulan Januari.
Tabel 8. Data muka air tanah pada waktu penelitian (Januari – Juli 2014).
Bulan Muka Air Tanah Rataan Maximun Minimum
Januari W1 (Muka Air Tanah 35-50 cm) 39,89 64,29 24,86
Kadar Air Kritis Tanah Gambut Lokasi Penelitian
Kadar air tanah mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya kering tak balik (irreversible drying) tanah aktual gambut di lapangan. Kadar air tanah pada taraf tertentu atau dikenal sebagai kadar air kritis akan menyebabkan terjadinya hidrofobik atau kering tak balik. Kadar air kritis tersebut dikenal sebagai zona transisi atau suatu kisaran nilai kadar air (Dekker et al., 2001;
Dekker et al., 2005; Ritsema et al., 2008).
Pada lokasi penelitian dilakukan pengamatan kadar air kritis tanah gambut yaitu untuk hemik dan saprik (Gambar 6). Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambut Panai Jaya untuk kedalaman 5 – 50 cm dominan jenis hemik dan kedalaman 0 – 5 cm untuk jenis saprik memiliki zona kadar air kritis antara lain 308,08 – 317,43% dan 170,00 – 222,76% (Lampiran 2 dan Lampiran 3). Menurut Dariah et al. (2010) gambut dengan kadar air <100% berdasarkan berat umumnya telah mengalami proses kering tidak balik (irreversible drying).
Gambar 6. Kadar air kritis gambut lokasi penelitian
Kondisi kadar air munculnya sifat hidrofobik (kering tak balik) tanah gambut tergantung dari tingkat kematangan tanah gambut (Sabiham, 2000). Pada tanah gambut yang lebih matang (saprik), presentase kadar air munculnya sifat hidrofobik lebih rendah dibandingkan dengan tanah gambut hemik dan fibrik.
Sifat hidrofobik tanah gambut fibrik terjadi pada kadar air yang paling tinggi.
Keadaan ini mengindikasikan bahwa sifat hidrofobik tanah gambut saprik akan
0 1 2
0 50 100 150 200 250
kelas WDPT
Saprik
0 1 2
0 100 200 300 400 500
kelas WDPT
Kadar Air (%, w/w) Hemik
KAK Batas Bawah KAK Batas Atas
muncul lebih belakang, dibandingkan dengan hemik dan fibrik. Jika dilakukan pengeringan, sebaliknya penanganan tanah gambut fibrik harus lebih hati-hati berkaitan dengan kekeringan pada musim kemarau.
Waktu rata-rata yang diperlukan sampai terjadinya kering tak balik untuk gambut hemik adalah 90 – 150 menit, dan saprik 75 – 150 menit. Nilai kadar air kritis tersebut digunakan untuk penentuan terjadinya kering tak balik (irreversible drying) gambut pada penelitian ini. Sedangkan menurut hasil penelitian Masganti et al. (2002) menunjukkan bahwa munculnya sifat hidrofobik gambut saprik pada tingkat lengas 54,89% dengan lama pengeringan 7 jam 30 menit. Kering tak balik ini disebabkan menurunnya kemasaman total, gugus karboksil dan kandungan hidroksi-fenolat. Utami et al. (2009) juga menyebutkan bahwa penciri penting gambut hidrofobik adalah sudut singgung lebih dari 900 (105 – 1100), sedangkan gambut hidrofilik sudut singgungnya mendekati 00 (400).
Pengaruh Muka Air Tanah dan Terak Baja Terhadap terjadinya Kering tak balik (irreversible drying) gambut pada petak percobaan
Berdasarkan nilaikadar air kritis lokasi penelitian, maka dapat ditentukan kadar air kritis pada petak percobaan yaitu dengan membandingkan kadar air tanah aktual dengan nilai kadar air kritis tanah. Apabila terjadi penurunan kadar air tanah hingga melewati kadar air kritisnya, maka akan menyebabkan terjadinya
kering tak balik (irreversible drying) gambut (Szajdak dan Szatylowicz 2010;
Ritsema et al. 2008; Dekker et al. 2001).
Gambar 7 menunjukkan hubungan kadar air tanah aktual (piringan dan gawangan) dengan kadar air kritis pada tiga kondisi muka air tanah (W1, W2, W3) dan 4 taraf dosis terak baja (A0, A1, A2, A3) pada kedalaman 0–2; 2-5; 5-10;10-50 cm, dimana titik – titik kadar air aktual dibawah kadar air kritis menunjukkan terjadinya hidrofobik atau kering tak balik tanah gambut di lapangan. Pada penelitian ini nilai kadar air kritis (KAK) yang digunakan yaitu KAK jenis gambut saprik untuk kedalaman 0 – 5 cm dan KAK gambut hemik untuk kedalaman 5 – 50 cm.
Hasil pengamatan kadar air tanah di lapangan, menunjukkan perbedaan kadar air aktual gambut pada beberapa rentang kedalaman khususnya pada lapisan tanah atas akibat adanya fluktuasi muka air tanah dan aplikasi terak baja (Lampiran 4).Lapisan atas yaitu kedalaman 0 – 2 cmrentan mengalami kering tak balik (irreversible drying), untukkondisi muka air tanah (W1, W2 dan W3) dan pada beberapa taraf dosis terak baja baik pada piringan maupun gawangan. Kering tak balik tidak terjadi hanya pada muka air tanah W3 pada gawangan tanpa aplikasi terak baja (A0), sedangkan perlakuan W1 dengan dosis terak baja A2 untuk piringan dan W1 pada taraf terak baja A0, A1, A2, A3; W2 taraf terak baja A0, A2 dan W3 pada terak baja A1untuk gawangan berada pada zona transisi yang artinya pada saat kekeringan berlanjut atau hari kering (dry spell) dapat mengalami irreversible drying permanen. Hal ini sesuai dengan Salmah et al.
(1991) bahwa dalam kurun waktu 8 – 12 hari kering (dry spell) dengan suhu
40oCkadar air tanah akan melewati kadar air kritis dan terjadi hidrofobositas atau keadaan dimana permukaan tanah gambut tidak dapat menahan (memegang air) yang akhirnya terbentuk gambut kering tak balik (irreversible drying).
Semakin tinggi rentang kedalaman gambut maka akan semakin jarang terjadi kekeringan tak balik (irreversible drying) pada gambut. Kekeringan tak balik hanya terjadi pada piringan untuk kedalaman 2 – 5 cm yaitu pada muka air tanah W3 tanpa aplikasi terak baja dan muka air tanah W2 dengan aplikasi terak baja A1 (3,15 kg/pohon).Hal ini didukung juga bahwa pada muka air tanah W3 tanpa aplikasi terak baja memiliki berat volum yang lebih rendah (0,19 g.cm-3) dan kadar abu yang rendah juga (2,78 %)dibanding perlakuan yang lain. Hal ini sesuai Andriesse (1988)bahwa proses kering tidak balik dapat dihubungkan dengan berat volum tanah (bulk density). Kering tidak balik dapat terjadi pada gambut dengan berat volum yang rendah, sedangkan gambut dengan berat volum yang tinggi relatif mudah menyerap air kembali. Hal serupa juga terjadi pada kedalaman 5 – 10 cm, kekeringan tak balik hanya terjadi pada piringan yaitu pada muka air tanah W3 tanpa aplikasi terak baja dan muka air tanah W2 dengan aplikasi terak baja 3,15 dan 6,51 kg/pohon. Sedangkan untuk kedalaman 10 – 50 cm, tidak terjadi kering tak balik, dimana kadar air gambut tergolong tinggi.
0 50 100 150 200 250
A0 A1 A2 A3
0 - 2 cm
Gambar 7. Hubungan kadar air tanah aktual (piringan dan gawangan) dengan kadar air kritis terjadinya kering tak balik (irreversible drying) pada 3 kondisi muka air tanah gambut (W1, W2, W3) dan 4 taraf dosis terak baja (A0, A1, A2 dan A3) pada kedalaman 0 – 2; 2 – 5; 5 – 10; 10 – 50 cm.
PengaruhKondisi Penutupan Tanah Terhadap Kering Tak Balik (irreversible drying)pada Lahan Gambut Perkebunan Kelapa Sawit
Untuk mendukung permasalahan kejadian kering tak balik (irreversible drying) di lahan gambut, dilakukan juga pengamatan lapangan pada beberapa kondisi di bawah tegakan kelapa sawit lahan gambut di luar perlakuan kondisi muka air tanah dan tanpa aplikasi terak baja. Kedalaman muka air gambut berkisar antara 65 – 80 cm pada saat pengamatan (Juli 2014) (Lampiran 5).
100
A0 A1Dosis Terak Baja (kg/phn)A2 A3
10 - 50 cm
W1-Piringan W2-Piringan W3-Piringan
W1-Gawangan W2-Gawangan W3-Gawangan
Peranan tanaman penutup tanah pada lahan gambut mampu meningkatkan kadar air tanah di bawahnya, dimana kadar air di bawah tanaman penutup tanah lebih besar dibandingkan pada areal tanpa tanaman penutup tanah (Tabel 9).
Kadar air tanah gambut aktual di piringan pohon kelapa sawit adalah terendah dibandingkan dengan beberapa kondisi penutupan tanah lainnya di bawah tegakan tanaman kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena piringan pohon selalu dibersihkan dari tanaman penutup tanah (secara khemis maupun manual) sehingga akan mengalami kekeringan yang lebih cepat baik karena evaporasi maupun serapan akar, dan akan lebih cepat kehilangan kandungan air pada musim kering.
Kadar air tanah aktual tertinggi ditunjukkan pada tanah gambut di bawah tanaman lumut, diikuti oleh tanaman pakis, dan rumput bulu babi.
Besarnya kadar air tanah yang dapat disimpan di bawah tanaman penutup tanah erat kaitannya dengan besarnya biomassa tanaman penutup tanah tersebut.
Gambar 8 menunjukkan hubungan linier (Ŷ = 212,3 + 0,249x) antara kadar air tanah dengan biomassa tanaman penutup tanah, dimana biomassa tanaman penutup tanah nyata (P< 0,05; r = 0,84) meningkatkan kadar air tanah yang dapat disimpan di bawah tanaman tersebut.
Tabel 9. Hubungan kadar air aktual gambut pada beberapa kondisi di bawah tegakan kelapa sawit dengan biomassa cover crop pada kedalaman 0 – 20 cm. Areal non Kelapa Sawit + tanpa cover crop 207,01 0,00
Non cover crop (Gawangan) 222,14 0,00
Cover crop pakis (Nephrolepis biserrata) 289,91 252,50
Cover crop lumut (Brypphyta) 326,43 522,98
Cover crop rumput bulu babi (Leptaspis urceolata) 286,46 100,16
Piringan pohon tanpa cover crop 160,68 0,00
Gambar 8. Hubungan biomassa cover crop dengan kadar air gambut lapisan 0 – 20 cm
Gambar 9. menunjukkan profil kelembaban tanah gambut pada lapisan 0 – 20 cm. Peran keberadaan tanaman penutup tanahdi perkebunan kelapa sawit lahan gambut sangat jelas terlihat terhadap kelembaban tanah pada lapian atas tanah.
Berdasarkan profil kelembaban tanah, lapisan tanah 0-2 cm memiliki kadar air tanah yang lebih rendah dibandingkan lapisan di bawahnya. Piringan pohon rentan memiliki kadar air paling rendah pada setiap rentang kedalaman, diikuti oleh kondisi tanpa penutup tanah pada areal non kelapa sawit dan gawangan.
Keberadaan tanaman penutup tanah di bawah tegakan kelapa sawit akan menghambat penguapan air yang tinggi dari lahan gambut, sehingga kelembaban tanah dapat dipertahankan (khususnya pada saat musim kering).
Ŷ= 212,3 + 0,249x r = 0,84
0 50 100 150 200 250 300 350 400
0 100 200 300 400 500 600
Kadar Air (%, w/w)
Biomassa (g.m-2)
Gambar 9. Profil kadar air tanah gambut aktual pada lapisan 0 – 2 cm, 2 – 5 cm, 5 – 10 cm dan 10 – 20 cm
Gambar 10 menunjukkan hubungan kadar air tanah aktual pada beberapa kondisi di bawah tegakan kelapa sawit dengan kadar air kritis terjadinya kering tak balik pada perlakuan NKS = areal non kelapa sawit + tanpa cover crop, NCC
= Gawangan (non cover crop), CCP = Cover crop Pakis (Nephrolepis biserrata), CCL = Cover crop Lumut (Brypphyta), CCBB = Cover crop rumput bulu babi (Leptaspis urceolata) dan P = Piringan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman penutup tanah berpengaruh cukup besar tidak terjadinya kering tak balik tanah gambut di lapangan. Tanaman penutup tanah memiliki peranan menyimpan air pada lapisan tanah di bawahnya lebih besar dibandingkan pada areal tanpa penutup tanah. Peningkatan kadar air tanah di bawah tanaman penutup tanah mencegah terjadinya kering tak balik tanah gambut, sedangkan tanpa penutup
0
5
10
15
20
25
0 100 200 300 400 500
Kedalaman (cm)
Kadar Air (%, w/w)
NKS NCC CCP
CCL CCBB P
tanah menyebabkan kadar air tanah gambut menurun hingga lebih rendah dari KAK dan menyebabkan kering tak balik pada gambut.
Lapisan atas yaitu kedalaman 0 – 2 cm rentan mengalami kering tak balik (irreversible drying), perlakuan NKS, NCC dan P berada di bawah zona kadar air kritis artinya pada perlakuan tersebut telah mengalami kering tak balik (irreversible drying). Sedangkan perlakuan CCP, CCLdan CCBBberada pada zona transisi yang artinya pada saat kekeringan atau hari kering (dry spell) maka terjadiirreversible drying permanen.
Pada kedalaman 2-5 cm, perlakuan P berada di bawah zona kadar air kritis, sedangkan perlakuan NKS dan NCC berada dalam zona kadar air kritis, untuk perlakuan CCP, CCL dan CCBB berada diatas zona kadar air kritis dan tidak mengalami kering tak balik. Kedalaman 5- 10 cm , perlakuan NKS, NCC dan P berada di bawah zona kadar air kritis, sedangkan perlakuan CCBB berada dalam zona kadar air kritis, dan perlakuan CCP dan CCL berada diatas zona kadar air kritis, artinya tidak mengalami kering tak balik.Othman et al. (2012) menyatakan bahwa penutup tanah pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit berperan dalam ketersediaan air tanah, mencegah irreversible drying pada gambut dan mengurangi resiko kebakaran gambut.
0
Gambar 10. Hubungan antara kadar air tanah aktual berbagai kondisi penutupan tanah di bawah tegakan kelapa sawit dengan kadar air kritis terjadinya kering tak balik (irreversible drying).
Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah Dan Pemberian Terak Baja Terhadap Sifat Fisik Gambut
Kadar Air Tanah Aktual
0 100 200 300 400 500 600 700
NKS NCC CCP CCL CCBB P
Jenis Penutup Tanah
10 - 20 cm
KAK Batas Bawah KAK Batas Atas
Kadar Air Tanah (%, w/w)
Pengamatan kadar air tanah aktual di lapangan dilakukan pada Juli 2014.
Tabel 10 dapat dilihat bahwa kadar air tanah aktual gambut pada daerah penelitian (lapisan 0 – 40 cm) pada kondisi basah/lembab untuk piringan pohon berkisar antara 208,84 -561,66% dan gawangan 374,11 - 603,29% (Lampiran 6).
Aplikasi terak baja (electric furnace slag) dengan dosis 0;3,15;6,51 dan 9,86 kg/pohon berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar air tanah aktual gambut untuk piringan. Sedangkan perbedaan kedalaman muka air tanah pada tiga pengelolaan muka air tanah tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar air tanah gambut. Hal ini sesuai dengan Nicholas (2002) bahwa penggunaan amelioran berkadar besi tinggi mampu meningkatkan kadar abu dan daya simpan air. Hal ini didukung juga oleh tingkat kematangan gambut dari nilai berat volum gambut yang mengindikasikan penambahan terak baja meningkatkan berat volum hingga 0,25 g cm-3pada pemberian dosis terak baja maksimal (9,86 kg/pohon) yang tergolong tingkat kematangan gambut saprik. Dariah et al. (2010) menyebutkan pada kondisi gambut yang lebih matang, air tersimpan pada tingkat jerapan yang lebih tinggi, karena pori mikro dan meso mulai terbentuk. Gaya gravitasi tidak cukup untuk mengalirkan air yang tersimpan dalam pori mikro atau meso, sehingga kemampuan gambut menahan air semakin tinggi.
Tabel 10. Rataan kadar air tanah aktual gambut pada piringan dan gawangan
Dosis Terak Baja (kg/phn)
Muka Air Tanah (cm) Rataan W1 (35-50) W2 (60-70) W3 (80-95)
Piringan --- % ---
A0 (0,00) 411,78 410,78 441,02 421,19ab
A1 (3,15) 262,22 366,18 379,11 335,84b
A2 (6,51) 389,38 365,29 355,93 370,20ab
A3 (9,86) 460,33 412,07 449,80 440,73a
Rataan 380,93 388,58 406,47
Gawangan --- % ---
A0 (0,00) 492,94 455,06 480,01 476,00
A1 (0,14) 491,29 474,03 490,66 485,33
A2 (0,29) 483,27 467,08 470,18 473,51
A3 (0,44) 496,33 416,05 500,49 470,96
Rataan 490,96 453,06 485,34
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji tukey.
Dari hasil penelitian kadar air gambut untuk piringan untuk pengelolaan muka air tanah W3 memiliki kadar air lebih tinggi dari W1 dan W2 sedangkan data muka air tanah W3 jauh lebih dalam. Hal ini bertentangan dengan Kurnain et al.(2006) menyatakan bahwa semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi penurunan permukaan (subsiden) dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan gambut akan cepat berkurang dan daya sangganya terhadap air menurun. Hal ini disebabkan bahwa pada pengelolaan muka air tanah W1 dan W2 pertumbuhan kelapa sawit jauh lebih jagur sehingga perakaran kelapa sawit lebih banyak menyerap air untuk kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, yaitu Winarna et al. (2015b) menyebutkan produksi kelapa sawit pada plot penelitian W1 dan W2 (21,91 dan 20,03 ton TBS/ha, sedangkan pada plot penelitian W3 hanya 15,61 ton TBS/ha (Lampiran 15) yaitu bahwa produksi kelapa sawit pada lokasi penelitian untuk muka air tanah (W1) jauh lebih tinggi dibanding pada muka air tanah (W3) untuk tahun pertama setelah aplikasi terak baja.
Hasil uji lanjut pengaruh dosis terak baja terhadap kadar air tanah gambut pada kedalaman 0 – 40 cm pada piringan dengan selang kepercayaan 95%, menyatakan bahwa perlakuan A1 (Terak baja 3,15 kg/phn) berbeda nyata dengan A3 (Terak baja 9,86 kg/phn), tetapi tidak berbeda nyata dengan A0 (Terak baja 0 kg/phn) dan A2 (Terak baja 6,51 kg/phn) (Lampiran 5).
Berat Volum
Berat isi (bulk density/BD) atau sering disebut juga dengan istilah berat volum merupakan sifat fisik tanah yang menunjukkan berat massa padatan dalam
suatu volume tertentu. Berat isi atau BD umumnya dinyatakan dalam satuan g.cm-3 atau kg.dm-3. Dari hasil pengukuran berat volum gambut pada piringan dan
gawangan bahwa pengelolaan muka air tanah dan dosis terak baja serta interaksinyatidakberpengaruh nyata dalam peningkatan berat volum gambut lokasi penelitian (Tabel 11) (Lampiran 7). Hal ini disebabkan berat volum (bobot isi) sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor di lapangan termasuk intensitas pemadatan (dampak pengelolaan gambut), komposisi bahan asal, taraf dekomposisi.
Hasil pengamatan menunjukkan terjadi peningkatan nilai berat volumgambut dengan perlakuan terak baja walaupun secara statistik tidak berpengaruh nyata, namunsemakin tinggi dosis terak baja yang diberikan berat volum gambut juga semakin meningkat. Berat volum menunjukkan bahwa gambut pada lokasi penelitian tergolong pada sub ordo saprik. Hal ini sesuai dengan Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), bahwa tanah gambut atau histosols diklasifikasikan kedalam 4 (empat) sub-ordo berdasarkan tingkat
dekomposisinya yaitu: Folists-bahan organik belum terdekomposisi di atasnya batu-batuan, Fibrists-sebagian besar bahan organik belum melapuk (fibrik) dengan berat volum <0,1 g.cm-3, Hemists-bahan organik sebagian telah melapuk (hemi-separuh) dengan berat volum 0,1 – 0,2 g.cm-3 dan Saprists – hampir seluruh bahan organik telah melapuk (saprik) dengan berat volum >0,2 g cm-3. Dariah et a. (2010) juga menyebutkan semakin matang gambut, rata – rata berat volum gambut menjadi lebih tinggi.
Tabel 11. Rataaan berat volumgambut pada piringan dan gawangan
Dosis Terak Baja
Bahwa hasil analisis kematangan gambut yang diteliti di lapangan dengan menggunakan metode “by feeling” dengan cara mengambil segenggam gambut, kemudian diperas dengan telapak tangan. Bahwa pada muka air tanah W3 dominan memiliki tingkat kematangan hemik lapisan >10 cm di banding pada muka air tanah W1 dan W2 sub ordo hemik terdapat pada kedalaman >25 cm.
Hasil didapatkan setelah gambut diremas dengan telapak tangan yang tertinggal di
tangan atau yang lolos sekitar 50%. Hal ini terjadi bahwa gambut yang terdapat di permukaan (lapisan atas) umumnya relatif lebih matang, akibat laju dekomposisi yang lebih cepat.Yulianti (2009) juga menyebutkan bahwa gambut Panai Jaya memiliki kematangan gambut sangat beragam baik secara vertikal maupun horizontal.
Kadar Abu
Kadar abu tanah gambut mencerminkan volum bahan mineral yang dikandung oleh bahan gambut kering yang ditetapkan dengan metode pengabuan (lost of ignation) pada suhu 5500C selama 6 jam. Sukarman et al. (2012) menyebutkan kadar abu dari tanah gambut menunjukkan tingkat dekomposisi gambut tersebut dan kandungan bahan tanah mineral yang tercampur didalamnya.
Semakin tinggi kadar abu, semakin lanjut tingkat dekomposisinya atau semakin tinggi campuran tanah mineralnya.
Secara statistik pengelolaan muka air tanah dan dosis terak baja serta interaksinya tidak berpengaruh dalam peningkatan berat volum gambut (Tabel 12) (Lampiran 8), akan tetapi terjadi peningkatan nilai kandungan kadar abu gambut dengan perlakuan terak baja dan disajikan pada Gambar 11. Besarnya
Secara statistik pengelolaan muka air tanah dan dosis terak baja serta interaksinya tidak berpengaruh dalam peningkatan berat volum gambut (Tabel 12) (Lampiran 8), akan tetapi terjadi peningkatan nilai kandungan kadar abu gambut dengan perlakuan terak baja dan disajikan pada Gambar 11. Besarnya