• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumatera memiliki lahan gambut terluas yaitu 6.436.649 ha merupakan alternatif dalam perluasan

• Pembuatan saluran drainase

TIDAK DI KELOLA DENGAN TEPAT

• Terjadinya kering tak balik (irreversible drying)

• Terbentuk pasir semu (pseudosand)

• Penurunan permukaaan (subsiden)

• Penurunan produktivitas gambut melalui perubahan sifat fisik gambut (kadar air tanah rendah)

• Peningkatan emisi CO2 dari lahan

LAHAN GAMBUT LESTARI &

BERKELANJUTAN

Tanah Gambut

Menurut Andriesse (1988), gambut sebagai jaringan tanaman dan organisme mati lainnya yang sebagian terkarbonisasi melalui suatu proses dekomposisi dalam keadaan basah. Sementara petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya.Menurut Noor (2010) gambut secara harfiah diartikan sebagai onggokan sisa tanaman yang tertimbun dalam masa dari ratusan sampai bahkan ribuan tahun.

Dari sudut Epistemologi, gambut adalah material atau bahan organikyang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan atau jenuh air, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sebagian yang yang mengalami perombakan (decomposed). Menurut konsep pedologi, gambut adalah bentuk hamparan daratan yang morfologi dan dan sifat-sifatnya sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik yang dikandungnya, Menurut konsep ekologi, gambut adalah sumber dan rosot (sink) karbon sehingga dapat masuk sebagai sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global.Sagiman (2007) menyebutkan bahwa masyarakat Kalimantan Barat mengenal tanah gambut sebagai tanah sepuk.Tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik pada kondisi anaerob. Menurut Soil Survey Staff (1994) yang dimaksud tanah gambut atau histosol adalah tanah yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik minimal 40 cm dan mempunyai kadar karbon 12-18 % atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik makin lanjut pelapukannya dan disebut sebagai humus.

Menurut Soekardi dan Hidayat (1988) dalam Sagiman (2007) penyebaran gambut di Indonesia meliputi areal seluas 18.480 ribu hektar, tersebar pada pulau-pulau besar Kalimantan, Sumatera, Papua serta beberapa pulau-pulau kecil (Tabel 1.).

Dengan penyebaran seluas sekitar 18 juta ha maka luas lahan gambut Indonesia menempati urutan ke-4 dari luas gambut dunia setelah Kanada; Uni Soviet dan Amerika Serikat. Kalimantan Barat merupakan provinsi yang telah memiliki luas lahan gambut terbesar di Indonesia yaitu seluas 4,61 juta ha, diikuti oleh Kalimantan Tengah, Riau dan Kalimantan Selatan dengan luas masing-masing 2,16 juta hektar, 1,70 juta hektar dan 1,48 juta hektar (Sagiman, 2007).

Tabel 1. Penyebaran dan luas lahan gambut di Indonesia menurut provinsi

No Provinsi Luas

Sumber : Soekardi dan Hidayat (1988) dalam Sagiman (2007)

Proses Pembentukan Gambut

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses

dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.

Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1996).

Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun yang lalu (pada periode Holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun yang lalu (Andriesse, 1988). Proses pembentukan dan perkembangan tanah gambut selanjutnya bahan induk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu;

kelembaban, susunan bahan organik, kemasaman, aktivitas jasad renik dan waktu (Hardjowigeno 1993).

Karakteristik Lahan Gambut pada Perkebunan Kelapa Sawit

Karakteristik lahan gambut di perkebunan kelapa sawit dicirikan oleh kondisi aerobik pada ketebalan 40 sampai 70 cm bagian permukaan lahan. Hal ini terjadi setelah dibangun saluran drainase untuk menyediakan kondisi yang memungkinkan bagi pertumbuhan kelapa sawit (Sabiham dan Sukarman, 2012).

Kondisi oksidatif pada lahan gambut akibat lahan didrainase sangat berpengaruh terhadap proses : (i) pengeringan dan pengerutan/pemadatan bahan gambut, (ii) dekomposisi bahan organik, dan (iii) kehilangan sebagian dari air gambut. Kondisi demikian mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan lahan subsiden atau subsidence. Walaupun penyebabnya sebagian besar karena proses pemadatan gambut. Sabiham dan Sukarman (2012) juga menyatakan bahwa

besaran subsiden ini oleh Hooijer et al. (2011)telah dijadikan dasar untuk menghitung besaran emisi karbon (C) dari lahan gambut. Cara perhitungan tersebut sangat keliru karena hanya proses dekomposisi saja yang menyebabkan terjadinya emisi karbon, sedangkan faktor pemadatan dan hilangnya sebagian air gambut tidak menyebabkan emisi karbon.

Sifat Fisik Tanah Gambut

Sifat- sifat fisik gambut sangat erat kaitannya dengan pengelolaan air gambut. Bahan penyusun gambut terdiri dari empat komponen yaitu bahan organik, bahan mineral, air dan udara. Perubahan kandungan air karena reklamasi gambut akan ikut merubah sifat-sifat fisik lainnya (Andriesse, 1988).

Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk tanaman kelapa sawit meliputi kadar air, berat isi (bulk density), daya menahanbeban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan kekeringan tak balik (irriversible drying) (Nurzakiah dan Jumberi, 2004).

Berat Volum

DalamNyoman (2008) bahwa berat volum didefinisikan sebagai perbandingan antara berat tanah dengan volume tanah total. Berat volum tanah merupakan salah satu indikator kepadatan tanah. Makin padat suatu tanah, maka nilai berat volum tanah semakin besar yang mengakibatkan tanah makin sulit untuk melewatkan air atau ditembus akar tanaman. Hal ini disebabkan oleh ruangan pori yang terdapat di dalam tanah sedikit dan berupa pori mikro.

Menurut Hardjowigeno (1996) sifat-sifat fisik tanahgambut yang penting adalah: tingkat dekomposisi tanah gambut, kerapatan lindak,

irreversibledryingdan subsiden. Noor (2001) menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan kadar lengas gambut merupakan sifat-sifat fisik yang perlu mendapat perhatian dalam pemanfaatan gambut. Tanah gambut mempunyai berat volum (bulk density) yang sangat rendah yaitu kurang dari 0,1 g.cm-3 untuk gambut kasar, dan sekitar 0,2 g.cm-3 pada gambut halus. Dibanding dengan tanah mineral yang memiliki berat volum 1,2 g.cm-3 maka kerapatan lindak gambut adalah sangat rendah. Rendahnya kerapatan lindak menyebabkan daya dukung gambut (bearing capasity) menjadi sangat rendah, keadaan ini menyebabkan rebahnya tanaman tahunan seperti kelapadan kelapa sawit pada tanah gambut (Sagiman, 2007).

Kadar Air

Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya.Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya.Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho,et al., 1997). Berat volum tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g.cm-3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki berat volum lebih rendah dari 0,1 g.cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki berat volum >0,2 g.cm-3 karena adanya pengaruh tanah mineral.

Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akanmenjadi kering dan kekeringan gambut ini disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah

mengering tidak akan dapat menyerap air kembali. Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik) karena kekeringan, akibatnya kemampuan menyerap air gambut menurun sehingga gambut sulit diusahakan bagi pertanian. Berkurangnya kemampuan menyerap air menyebabkan volume gambut menjadi menyusut dan permukaan gambut menurun (kempes). Perbaikan drainase akan menyebabkan air keluar dari gambut kemudian oksigenmasuk kedalam bahan organik dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme, akibatnya terjadi dekomposisi bahan organik dan gambut akan mengalami penyusutan sehingga permukaan gambut mengalami penurunan (Sagiman, 2007).

Permeabilitas Tanah

Menurut Dariah et al. (2010) dengan bertambahnya kadar air maka berat isi kering tanah semakin bertambah besar dan koefisien permeabilitas semakin kecil. Pada saat kadar air optimum, berat isi kering tanah mencapai maksimum dan koefisien permeabilitas mencapai minimum. Bila terjadi pertambahan kadar air setelah mencapai optimum, maka berat isi kering tanah menjadi semakin kecil dan koefisien permeabilitas menjadi semakin besar (Buckman dan Brady, 1982dalam Dariah et al., 2010). Nilai klasifikasi permeabilitas tanah menurut Uhland dan O’neal (1951) dalam Nyoman (2008) adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Nilai klasifikasi permeabilitas tanah

Kelas Permeabilitas (cm/jam)

Sangat lambat < 0,125

Lambat 0,125 – 0,50

Agak lambat 0,50 – 2,00

Sedang 2,00 – 6,25

Agak Cepat 6,25 -12,50

Cepat 12,50 -25,00

Sangat cepat > 25,00

Retensi Air

Gambut memiliki daya menampung air (kapasitas) sangat besar tetapi daya isapnya (retensi) sangat rendah bila sudah mengalami penurunan kadar air.

Dalam kondisi jenuh, kandungan air gambut mencapai 4,5 -30 kali bobot keringnya, namun memiliki isapan matriks yang rendah sehingga apabila permukaan air tanahnya diturunkan pada kedalaman tertentu dalam waktu singkat kandungan airnya menurun secara drastis. Dyal (1960 dalam Andrisse, 1988) melaporkan bahwa retensi air tanah gambut menurut tingkat dekompisisi berbeda pada tekanan yang berbeda.

Kadar Air Tersedia

Air tersedia bagi tanaman didefinisikan sebagi jumlah air yang terkandung dalam tanah antara kapasitas lapang (hisapan matriks pada pF 2,54) atau kadar air pada tekanan 0,33 bar dan titik layu permanen (hisapan matriks pada pF 4,2) atau kadar air pada tekanan 15 bar. Untuk tujuan pengelolaan konsep air tersedia ini perlu dibedakan antara tanah mineral dengan gambut. Hal ini berhubungan dengan kandungan bahan padatan yang dikandungnya. Volum bahan padatan pada tanah organik sangat sedikit, sehingga air yang diretensi pada tekanan yang sangat rendah (jenuh) jumlahnya cukup besar dibanding dengan tanah mineral.

Sedangkan pada tanah mineral jumlah air yang dapat ditahan pada tekanan yang besar masih cukup tinggi tergantung teksturnya (Nicholas, 2002).

Jumlah air tersedia bagi tanaman pada jenis hemik lebih tinggi daripada fibrik. Pada jenis saprik, meskipun air pada kapasitas lapang tinggi, tetapi kadar air pada titik layu permanen juga tinggi, karena itu banyak tanah gambut saprik yang mempunyai kadar air tersedia lebih rendah daripada gambut hemik. Driessen dan Rochimas (1976) menyebutkan bahwa tanah gambut pada umumnya tidak seragam sifat-sifat fisiknya, sehingga cara mengevaluasi sifat–sifat tanah gambut dengan menggunakan tanah mineral sebagai acuan sering tidak tepat (Wahyuntoet al., 2005). Sesuai dengan Hardjowigeno (1996) meskipun kandungan air gambut tinggi khususnya pada tingkat hemik, air tersedianya rendah karena kandungan air tanah pada titik layu permanen cukup tinggi.

Porositas

Menurut Nyoman (2008) bahwa kedudukan ruang pori tanah sangat penting untuk pertumbuhan tanaman. Proses-proses fisik maupun kimia yang terjadi di dalam tanah terdapat pada dan lewat ruang pori. Pori adalah tempat tersimpan air dan udara, tempat pergerakan air dan unsur hara. Akar tanaman tumbuh dan berkembang lewat pori-pori tanah.Porositas tanah gambut memegang peranan penting dalam pergerakan air tanah. Gambut pada tingkat kematangan fibrik melalui pergerakan air yang tinggi karena memiliki pori besar yang dominan, sedangkan gambut saprik oleh karena pelapukannya yang sudah lanjut menyebabkan berkurangnya ruang pori makro, sehingga laju pergerakan airnya lebih rendah.

Porositas total dan permeablitas tanah berkurang dengan meningkatnya dekomposisi bahan organik, tentang porositas gambut yang dihitung berdasarkan

berat volum dan bobot jenis adalah berkisar antara 75-95%. Walaupun demikian, daya menahan air dari gambut bervariasi, karena adanya interaksi yang komplek dari berbagai sifat tanah gambut tersebut (Wahyunto et al., 2005).

Pengelolaan Air Lahan Gambut

Kegiatan awal dari pemanfaatan gambut adalah pembangunan saluran drainase untuk drainase air agar tanah memiliki kondisi rhizosphere yang sesuai bagi tanaman. Pengelolaan air harus disesuaikan dengan kebutuhanperakaran tanaman. Kedalaman permukaan air tanah pada parit kebun diusahakan agar tidak terlalu jauh dari akar tanaman, jika permukaan air terlalu dalam maka oksidasi berlebih akan mempercepat perombakan gambut, sehingga gambut cepat mengalami subsiden. Sebagai acuan kedalaman permukaan air tanah untuk tanaman pertanian menurut Maas (2003) seperti disajikan dalam Tabel 3.

Noor (2010) mengemukakan bahwa pengelolaan air mikro di lahan gambut tetap memerlukan pembuangan air pada musim hujan dan penahanan air pada musim kemarau. Aliran sistem satu arah (one flow system) dapat meningkatkan pelindian (leaching) terhadap asam-asam organik dan logam-logam toksis (Al, Fe) sehingga tanaman budidaya dapat tumbuh lebih baik. Porositas tanah yang tinggi merupakan masalah dalam mempertahankan air pada musim kemarau dan membendung air untuk tidak masuk ke areal pengembangan.Dalam konteks ini, maka pengelolaan secara makro dalam satuan bentang lahan dan hidrologi berbasis daerah aliran (sungai) memegang peranan penting sehingga secara keseluruhan bertanggung jawab dalam pengendalian air.

Tabel 3. Kedalaman permukaan air tanah dan ketebalan bahan organik sebagai pembatas produksi pertanian.

Tanaman Kedalaman permukaan air tanah (cm)

Ketebalan bahan organik (cm)

Padi sawah Dekat permukaan <100

Padi ladang Dekat permukaan <100

Jagung 60-100 <100

Sorgum 60-100 <100

Sayur-sayuran 30-60 Bukan pembatas

Cabe 30-60 Bukan pembatas

Kedelai 30-60 Bukan pembatas

Jahe 60-100 Bukan pembatas

Kacang tanah 60-100 Bukan pembatas

Ubi jalar 60-100 Bukan pembatas

Ketela pohon 60-100 Bukan pembatas

Pisang 60-100 <100

Tebu 60-100 Bukan pembatas

Nanas 60-100 Bukan pembatas

Cocoa 60-100 Bukan pembatas

Kelapa Sawit 60-100 Bukan pembatas

Kopi 60-100 Bukan pembatas

Durian 60-100 <100

Rambutan 60-100 <200

Kelapa 60-100 <100

Jambu Mente 60-100 Bukan pembatas

Sagu Bukan Pembatas Bukan pembatas

Karet 60-100 <200

Sumber : Maas (2003)

Yulianti (2009) menemukan tiga pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan CO2 yaitu pola pertama yaitu semakin dalam muka air tanah, emisi CO2 semakin meningkat, pola kedua menunjukkan bahwa muka air tanah semakin dalam, emisi CO2 semakin menurun, dan pola ketiga yaitu muka air tanah semakin dalam, tidak menyebabkan perubahan terhadap emisi CO2. Pola kedua ini dapat terjadi pada lahan gambut yang telah lama diusahakan untuk kebun kelapa sawit, yaitu kondisi lahan sudah lebih stabil (subsidence stabil, kematangan tingkat hemik dan saprik). Pola ketiga terjadi pada gambut yang

didominasi oleh senyawa-senyawa yang telah inert seperti quinon, karena proses dekomposisi sudah berakhir.

Emisi Karbon (CO2)

Hasil pengukuran emisi CO2 dari gambut variasinya tergantung pada waktu dan tempat, kapan lahan mulai dikonversi (tingkat humifikasi), variasi tempat (perbedaan mikroklimat seperti suhu tanah dan suhu udara), status hara dan variasi saat pengukuran (perubahan musim), sehingga musim berpengaruh terhadap hasil pengukuran. Hasil penelitian tentang Emisi CO2 pada musim hujan lebih tinggi daripada emisi CO2 musim kemarau. Hal ini terkait dengan pengaruh kadar air terhadap proses dekomposisi bahan organik pada lahan gambut.

Kandungan air pada musim kemarau diprediksi lebih sedikit daripada musim hujan, sehingga menyebabkan laju proses dekomposisi bahan organik pada musim kemarau lebih lambat, daripada musim hujan, sehingga produksi gas CO2 lebih sedikit (Wibowo et al., 2014). Rendahnya konsentrasi air dalam tanah akan menurunkan aktivitas mikroba karena tekanan osmotik.

Tabel 4. Perbandingan Stok Karbon Bagian Atas Lahan Gambut pada Hutan Gambut dan Perkebunan Kelapa Sawit Gambut.

Land Use Gambut Stok Karbon (ton C/ha)

Hutan gambut primer 81,8

Hutan gambut sekunder 57,3

Kelapa Sawit:

Sumber: Sabiham (2013).

Stok karbon perkebunan kelapa sawit gambut makin meningkat (pada lapisan atas) dengan bertambahnya umur tanaman kelapa sawit.Pada umur 14-15

tahun ternyata stok karbon tanah justru melampaui stok karbon hutan gambutsekunder bahkan mendekati stok karbon pada hutan gambut primer (Tabel4).

Terak Baja

Terak bajamerupakan hasil samping dari proses pemurniaan besi cair dalam pembuatan baja. Penggunaan terak baja dapat meningkatkan pH tanah, Ca dan Mgdapat dipertukarkan, dan meningkatkan ketersediaan Si dalam tanah. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa terak baja Indonesia mengandung unsur-unsur sebagai berikut :42% Fe2O3; 7,2 % Al2O3; 21,5 % CaO; 11,2 % MgO; 14,6 % SiO2 dan 0,4 % P2O5(Suwarno dan Goto, 1997). Kation yang dominan dalam terak baja adalah Fe, Ca, Mg, Si dan Al. Kandungan kation-kation tersebut dalam terak baja dapat dipakai sebagai alternatif bahan ameliorasi tanah gambut .

Pemakaian terak baja sebagai pupuk telah mulai dicoba sejak tahun 1882/1883 di Jerman, kemudian di Inggris pada tahun 1884/1885 oleh Wrightson, setelah itu berbagai penelitian terak baja telah dilakukan baik sebagai sumber Si maupun sebagai bahan kapur untuk tujuan meningkatkan keefesiensian pemupukan.

Amelioran alami yang mengandung kation polivalen (Fe, Al, Cu, dan Zn)seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai sangat efektifmengurangi dampak buruk asam fenolat (Salampak, 1999; Sabiham et al.,1997). Penambahan kation polivalen seperti Fe dan Al akan menciptakan tapakjerapan bagi ion fosfat sehingga bisa mengurangi kehilangan hara P melaluipencucian (Rachim, 1995). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi

dapatmeningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Mario, 2002;Salampak, 1999; Suastika, 2004; Subiksa et al., 1997).

Gambar 2. Reaksi kimia pembentukan khelat dan netralisasi asam fenolat beracun Kondisi Pentupan Tanah Gambut

Upaya pencegahan hidrofobisitas tanah gambut dapat dilakukan dengan menjaga kelembapan tanahnya (Muller dan Deuer, 2011). Pengelolaan air di lahan gambut secara benar dengan mempertahankan muka air tanah optimum adalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya hidrofobisitas gambut dengan menjaga kelembapan tanah lapisan atas tetap tinggi (Othman et al., 2010). Selain pengelolaan air, tanaman penutup tanah (cover crops) juga dapat berperan untuk menjaga kelembapan tanah (Dirattanhun, 2007).Tanaman penutup tanah akan berfungsi menutupi permukaan tanah gambut, mengurangi penguapan air tanah terutama selama musim kemarau, melindungi tanah dari erosi, dan mengurangi resiko kebakaran gambut (Othman et al., 2012).

Tumbuhan penutup tanah dapat berfungsi dalam peresapan dan membantu menahan jatuhnya air secara lansung. Tumbuhan penutup tanah dapat berperan dalam menghambat atau mencegah erosi yang berlansung secara cepat, selain itu

dapat berfungsi dalam mengurangi kecepatan aliran permukaan dan mendorong perkembangan biota tanah.

Penanaman biomassa termasuk kelapa sawit merupakan sumber penyerapan CO2 karena adanya proses fotosintesis dan respirasi. Pengembangan kebun kelapa sawit dengan pola tanpa bakar (zero burning) dapat menghasilkan O2, menyerap CO2 (diprakirakan sekitar 22,470 ton CO2/ha) dan menghasilkan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Satu hektar kebun sawit yang sudah berproduksi dapat menghasilkan biomassa berupa batang, pelepah dan tandan sawit sebesar 36 ton per tahun. Jumlah biomassa sebanyak ini dapat menyerap emisi CO2 sebanyak 25 ton per tahun dan mengubahnya menjadi udara bersih berupa O2 sebanyak 18 ton per tahun (Sabiham, 2013). Potensi ini dapat ditransaksikan melalui mekanisme pembangunan bersih (Clean Develompment Mechanism-CDM).

Dokumen terkait