• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah dan Dosis Terak Baja terhadap Hidrofobisitas Tanah Gambut, Emisi Karbon, dan Produksi Kelapa Sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah dan Dosis Terak Baja terhadap Hidrofobisitas Tanah Gambut, Emisi Karbon, dan Produksi Kelapa Sawit"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

TERAK BAJA TERHADAP HIDROFOBISITAS TANAH

GAMBUT, EMISI KARBON, DAN PRODUKSI

KELAPA SAWIT

WINARNA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ”Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah dan Dosis Terak Baja terhadap Hidrofobisitas Tanah Gambut, Emisi Karbon, dan Produksi Kelapa Sawit” adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2015

(4)

WINARNA. Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah dan Dosis Terak Baja terhadap Hidrofobisitas Tanah Gambut, Emisi Karbon, dan Produksi Kelapa Sawit. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO, SUPIANDI SABIHAM, ATANG SUTANDI, dan EDY SIGIT SUTARTA.

Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut mensyaratkan drainase tanah untuk dengan membuat saluran-saluran guna menurunkan muka air tanah dan menciptakan ruang perakaran yang sesuai untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Drainase yang berlebihan menyebabkan terjadinya kekeringan tanah gambut dan menyebabkan terjadinya hidrofobisitas, sehingga gambut mengalami penurunan dalam kemampuan memegang air, infiltrasi tanah, erosi permukaan, dan membatasi pertumbuhan tanaman yang diusahakan di atasnya. Penelitian ini disusun dalam suatu rangkaian percobaan dengan tujuan untuk: 1) mengkaji hidrofobisitas tanah gambut dari lingkungan perkebunan kelapa sawit, 2) mengkaji pengaruh kedalaman muka air tanah dan dosis amelioran terhadap hidrofobisitas tanah gambut dan perubahan sifat fisik lainnya, 3) mengkaji pengaruh kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja terhadap emisi karbon dari tanah gambut, dan 4) mengkaji pengaruh kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit.

Penelitian tahap pertama menggunakan tanah gambut saprik dan hemik dari kebun Panai Jaya (PAJ) yang berumur 6 tahun dan tanah gambut dari kebun Meranti Paham (MEP) yang berumur > 20 tahun. Sampel tanah gambut terlebih dahulu dipanaskan pada suhu 50o C dengan berbagai interval waktu pemanasan, kemudian diamati hidrofobisitasnya dengan metode Water Drop Penetration Time (WDPT). Analsis sifat-sifat tanah meliputi kadar air tanah, kemasaman total, kadar COOH, dan fenolat-OH. Penentuan kadar air kritis (KAK) menggunakan model hubungan eksponensial antara hidrofobisitas dan kadar air tanah (KAT) pada peluang kejadian 60-80%. Fourier Transform Infra Red (FTIR) digunakan untuk evaluasi hidrofobisitas dengan mengetahui keberadaan gugus-gugus fungsional dalam tanah gambut. Penelitian tahap kedua di laboratorium dengan aplikasi dosis terak baja (0; 7.17; 14.81; dan 22.44 g pot-1) pada dua jenis tanah gambut (saprik dan hemik) dan dua kelembaban tanah yaitu kapasitas lapangan dan kering (hidrofobik). Setelah diinkubasi selama 60 hari, sampel diamati sifat-sifatnya dan wettability dengan metode WDPT dan FTIR.

Penelitian di lapangan dilakukan di blok tanaman kelapa sawit umur 6 tahun di kebun PAJ dengan perlakuan terdiri dari tiga kedalaman muka air tanah (MAT) dan empat dosis terak baja (0; 3.15; 6.51; 9.86 kg pohon-1). Kedalaman muka air tanah (MAT) terdiri dari MAT-1 (30-50 cm), MAT-2 (45-70 cm), dan MAT-3 (70-90 cm). Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok petak terpisah dengan kedalaman muka air tanah sebagai petak utama dan dosis terak baja sebagai anak petak. Pengamatan meliputi kadar air tanah aktual, hidrofobisitas aktual, emisi CO2,

(5)

kemasaman total, kadar karboksilat, dan OH-fenolat. Penurunan kadar air tanah, kemasaman total, kadar karboksilat, dan kadar OH-fenolat akan meningkatkan hidrofobisitas tanah gambut. Penurunan kadar air tanah menyebabkan peningkatan rasio komponen hidrofobik terhadap komponen hidrofilik, dan tanah gambut mengalami hidrofobisitas. Kadar air kritis (KAK) untuk terjadinya hidrofobisitas tanah gambut dari lokasi penelitian yang diperoleh adalah 201 – 223%, 293 – 307%, 118 -126%, dan 184 – 213%, berturut-turut untuk PAJ hemik > PAJ saprik > MEP hemik > MEP saprik. Tanah gambut hemik akan mengalami hidrofobisitas lebih cepat daripada jenis saprik. Tanah gambut PAJ membutuhkan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan tanah gambut MEP agar tanah gambut tetap hidrofilik.

Kedalaman muka air tanah MAT-1 dan MAT-2 (kisaran muka air tanah 30

– 70 cm) mampu menjaga kelembaban tanah gambut aktual sampai pada lapisan atas, sedangkan penurunan kedalaman muka air tanah gambut hingga > 70 cm di bawah permukaan tanah (MAT-3) nyata berpengaruh terhadap penurunan kelembaban tanah ke lapisan atas (0-10 cm). Kedalaman muka air tanah >70 cm berpotensi terjadi hidrofobisitas tanah pada lapisan atas (0-10 cm), terutama pada kondisi bulan kering. Kombinasi kedalaman muka air tanah dan pemberian terak baja tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan kadar air tanah lapisan atas, namun berpengaruh pada peningkatan sifat-sifat tanah gambut seperti pH, kadar abu, dan retensi air tanah gambut.

Emisi CO2 pada kondisi kedalaman muka air tanah MAT-3 > MAT-2 >

MAT-1, yaitu berturut-turut 50.23, 37.92, dan 28.33 ton ha-1 tahun-1. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin dalam muka air tanah menyebabkan peningkatan emisi CO2. Aplikasi terak baja tidak berpengaruh nyata terhadap menurunkan

emisi CO2. Pada penelitian ini diperoleh hubungan antara emisi CO2 dan kadar

air tanah gambut pada kisaran kadar air yang lebar (kering – basah). Pada kondisi tanah gambut hidrofilik, emisi CO2 tanah gambut menurun dengan meningkatnya

kelembaban tanah lebih besar kadar air tanah (KAT) kapasitas lapang. KAT yang berlebihan menurunkan ketersediaan oksigen dalam tanah dan menghambat aktivitas mikroba perombak, sehingga menurunkan emisi CO2. Emisi CO2

tertinggi dicapai pada kondisi KAT berkisar antara KAK hingga KAT kapasitas lapang. Pada kondisi tanah gambut mengalami hidrofobisitas terjadi penurunan gugus-gugus fungsional aktif (karboksil, hidroksil), pengeringan bahan gambut, proses dekomposisi menurun dan emisi CO2 menurun.

Perlakuan pengelolaan muka air tanah berpengaruh nyata terhadap produksi TBS (umur 6 tahun), dimana produksi TBS pada MAT-1 > MAT-2 > MAT-3. Penurunan kedalaman muka air tanah > 70 cm di bawah permukaan tanah nyata menurunkan produksi TBS hingga 8-11% terhadap perlakuan pengelolaan muka air tanah pada kisaran 30 – 70 cm (MAT-1 dan MAT-2). Aplikasi berbagai dosis terak baja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi TBS pada tahun pertama penelitian. namun demikian, aplikasi berbagai dosis terak baja dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah gambut Panai Jaya. Implikasi dari penelitian ini bahwa penerapan kedalaman muka air tanah pada kisaran 30 – 70 cm untuk perkebunan kelapa sawit di Panai Jaya mampu menjaga kelembaban tanah lapisan atas tanah gambut, mencegah terjadinya hidrofobisitas, menurunkan emisi CO2, serta meningkatkan

produksi kelapa sawit.

(6)

WINARNA. Effect of Ground Water Table Depth and Steel Slag Dosage on Peat Soil Hydrophobicity, Carbon Emission, and Oil Palm Production. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO, SUPIANDI SABIHAM, ATANG SUTANDI, and EDY SIGIT SUTARTA.

Development of oil palm plantation requires drainage to support growth and production of the oil palm. The excessive drainage would cause the peat dryness of as well as hydrophobicity and thus decreasing its capacity to retent water, soil infiltration, surface erossion. It can limit oil palm growth. The application of water management and soil amandment must be performed to avoid the decrease of peat soil quality and to improve the productivity of oil palm. This series research was designed to: 1) evaluate the peat soil hydrophobicity under oil palm plantation area, 2) study the effect of the ground water level depth and stell slag dose on the peat soil hydrophobicity and other soil physical changes, 3) study the effect of the ground water level depth and the steel slag dose on CO2 emission from peat soil,

and 4) study the effect of ground water level depth and steel slag dose on the growth and production of oil palm.

The first study has utilized sapric and hemic peat soil samples taken from the 6-year Panai Jaya Oil Palm Plantation (PAJ) and the 20-year Meranti Paham Oil Palm Plantation (MEP). Peat soil samples were heated at a temperature of 50°C with a time interval and the effects on hydrophobicity were recorded. Hydrophobicity of the peat soil was evaluated by Water Drop Penetration Time (WDPT) method. After the hydrophobicity of all peat soil samples had been observed, a number of soil properties, including soil water content (SWC), total acidity, carboxylic content (COOH) and phenolic-OH were then analyzed. Critical water content (CWC) of the peat soil. The point at which hydrophobicity occurred, was determined using exponential relationship between soil water content and the probability of the occurrence of soil hydrophobicity, the point at which the probability of the occurrence of hydrophobicity was between 60% and 80%. Fourier Transform Infra Red (FTIR) spectrometer was used to evaluate peat soil hydrophobicity by knowing the functional groups in peat soil. The second experiment was carried out in laboratory by application of various steel slag level (0; 7.17; 14.81; dan 22.44 g pot-1) on two peat type (sapric dan hemic) with two soil moisture conditions including wet and dry (hydrophobic).Peat soil samples that has been added with steel slag incubation for 60 days and observation of soil properties, FTIR analysis, and wettability by WDPT method.

(7)

hydrophobicity, oil palm growth and production, subsidence, and accumulation of heavy metals in fruit.

The results shown that hydrophobicity of peat soil in this study was negatively related to soil water content (SWC), total acidity, content of carboxylic and phenolic-OH. The decrease in SWC, total acidity, carboxylic content, and phenolic-OH content will increase the hydrophobicity. SWC leads to an increase in the ratio of hydrophobic component on the hydrophilic component, and peat soil experiences hydrophobicity. Based on the exponential model between hydrophobicity and soil water content, critical water content (CWC) of peat soil hydrophobicity is obtained. CWC of PAJ hemic> PAJ sapric> hemic MEP> MEP sapric, is 201-223%, 293-307%, 118 -126%, and 184 – 213%, respectively. Hemic will experience hydrophobicity faster than sapric. Likewise PAJ peat will require higher water content than MEP peat to keep the peat soils still hydrophilic.

The GWL in the peat soil of this study indicated that the treatment of MAT-1 and MAT-2 (30-70 cm) was able to keep the actual SWC in the top layer, while the decrease of GWL depth up to >70 cm below the soil surface (MAT-3) significantly influenced the decrease of SWC to the top layer (0-10 cm). The GWL that is too deep (>70 cm) could potentially cause the hydrophobicity in the upper layers of soil (0-10 cm), especially in dry season. Combination of steel slag application has not shown any significant effect on the increase of the water content in the soil, but it affects the improvement of soil properties such as soil pH, ash content, and water retention.

The measurement of CO2 emission was 28.33, 37.92, and 50.23 ton ha-1

year-1 respectively to the conditions on of MAT-1, MAT-2, and MAT-3. The decrease of GWL up to >70 cm could significant increase the CO2 emissions. The

application of steel slag had not significantly reduced the CO2 emissions. This

research obtained a relationship between CO2 flux and peat soil water content

ranges from dry to wet, which is a peat soil ranged hydrophilic to hydrophobic. In the hydrophilic, the CO2 emissions of peat soil decreased with the increase of soil

moisture. The highest CO2 emission could be achieved on the conditions of soil

moisture content ranging from CWC to field capacity. The hydrophobic condition caused a decline in active functional groups (carboxylic, hydroxyl), a decrease in biochemical processes; moreover, drying peat material occured so that the decomposition of peat and producing CO2 emissions would decline.

The GWL treatment significantly affected fresh fruit bunches (FFB) production (6 years old). The FFB production of GWL of MAT-1 > MAT-2 > MAT-3. The decrease of GWL depth that was deeper than 70 cm significantly reduced the production of FFB up to 8-11% on the treatment of GWL in the range of 30-70 cm. The application of various level of steel slag had not significantly influenced the FFB production in the first year of the study. The application of various level of steel slag could improve the physical and chemical properties of peat soil of Panai Jaya. The implication of this research was that the application of good water management on the peat soil in the oil palm plantations by regulating the ground water level in the range of 30-70 cm that was adequate of keeping the soil moist until the top layer of peat soil could prevent hydrophobicity, reduce CO2

emissions, and improve the growth and production of oil palm.

(8)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah,dan pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

TERAK BAJA TERHADAP HIDROFOBISITAS TANAH

GAMBUT, EMISI KARBON, DAN PRODUKSI

KELAPA SAWIT

WINARNA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Syaiful Anwar, MSc 2. Dr Ir Hariyadi, MS

(11)

Baja terhadap Hidrofobisitas Tanah Gambut, Emisi Karbon, dan Produksi Kelapa Sawit

Nama : Winarna

NRP : A161110021

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS Ketua

Prof Dr Ir Supiandi Sabiham, MAgr Dr Ir Atang Sutandi, MSi Anggota Anggota

Dr Ir Edy Sigit Sutarta, MS Anggota

Diketahui oleh

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

Ketua Program Studi Ilmu Tanah

Dr Ir Atang Sutandi, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

(12)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan pertolongan-Nya, sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Judul disertasi ini adalah Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah dan Dosis Terak Baja terhadap Hidrofobisitas Tanah Gambut, Emisi Karbon, dan Produksi Kelapa Sawit.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS selaku ketua komisi pembimbing, Prof Dr Ir Supiandi Sabiham, MAgr, Dr Ir Atang Sutandi, MSi, dan Dr Ir Edy Sigit Sutarta, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan berharga dalam penyusunan disertasi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan yang telah memberikan kesempatan tugas belajar, beasiswa dan fasilitas penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktur PT. Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV) atas pemberian ijin lokasi penelitian. Disamping itu, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Staf Peneliti dan Teknisi Kelti Tanah dan Agronomi PPKS Medan, Karyawan Pimpinan dan Pelaksana Kebun Panai Jaya PTPN IV, dan rekan-rekan Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data dan diskusi selama pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, istri dan anak-anak atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2015 Penulis

(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

Kebaruan Penelitian ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Pengertian Tanah Gambut ... 6

Pembentukan Tanah Gambut ... 7

Klasifikasi Tanah Gambut ... 7

Karakteristik Tanah Gambut ... 8

Aplikasi Fourier Transform Infrared (FTIR) Spektroskopi ... 13

Pengelolaan Air dan Emisi Karbon di Perkebunan Kelapa Sawit ... 16

Ameliorasi Tanah Gambut ... 18

Keragaan Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut ... 19

3 KARAKTERISASI TANAH GAMBUT DAN TERAK BAJA ... 20

Rasional ... 20

Bahan dan Metode ... 21

Pengambilan Sampel Tanah dan Terak Baja ... 21

Analisis Tanah dan Terak Baja ... 21

Hasil dan Pembahasan ... 22

Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut Lokasi Penelitian ... 22

Gugus-Gugus Fungsional Tanah Gambut ... 25

Sifat Kimia dan Penentuan Dosis Terak Baja ... 26

Simpulan ... 28

4 HIDROFOBISITAS DAN PENENTUAN KADAR AIR KRITIS TANAH GAMBUT DARI LINGKUNGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT ... 29

Rasional ... 29

Bahan dan Metode ... 30

Bahan dan Alat ... 30

Pengambilan dan Perlakuan Sampel Tanah Gambut ... 30

Pengamatan Hidrofobisitas ... 31

Penentuan Kadar Air Kritis ... 31

Analisis FTIR Spektroskopi ... 32

Hasil dan Pembahasan ... 32

Hidrofobisitas Tanah Gambut ... 32

Kadar Air Kritis Tanah Gambut ... 36

Evaluasi Hidrofobisitas Tanah Gambut dengan FTIR Spektroskopi ... 37

(14)

5 PENGARUH APLIKASI TERAK BAJA TERHADAP SIFAT-SIFAT

DAN HIDROFOBISITAS TANAH GAMBUT ... 45

Rasional ... 45

Bahan dan Metode ... 45

Bahan dan Alat ... 45

Rancangan Percobaan ... 46

Hasil dan Pembahasan ... 47

Sifat-sifat Tanah Gambut ... 47

Komposisi Gugus Fungsional ... 48

Kemampuan Tanah Gambut Menyerap Air (Wettability) ... 50

Simpulan ... 51

6 PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR TANAH DAN DOSIS TERAK BAJA TERHADAP HIDROFOBISITAS AKTUAL TANAH GAMBUT, EMISI KARBON DAN PRODUKSI KELAPA SAWIT ... 52

Rasional ... 52

Bahan dan Metode ... 53

Lokasi Penelitian ... 53

Rancangan Percobaan ... 53

Pengamatan Hidrofobisitas Aktual Tanah Gambut ... 55

Pengamatan Emisi Karbon Dioksida (CO2) ... 55

Pengamatan Pertumbuhan dan Produksi Kelapa Sawit ... 57

Pengelolaan dan Pengukuran Kedalaman Muka Air Tanah ... 57

Pengukuran Subsiden Permukaan Tanah Gambut ... 59

Pengamatan Sifat-Sifat Tanah Gambut Setelah Perlakuan ... 60

Hasil dan Pembahasan ... 60

Kondisi Curah Hujan dan Fluktuasi Muka Air Tanah ... 60

Distribusi Kelembaban Aktual Tanah Gambut ... 62

Hidrofobisitas Aktual Tanah Gambut ... 65

Emisi Karbon Dioksida (CO2) ... 68

Pertumbuhan Tanaman Kelapa Sawit ... 74

Produksi Tandan Buah Segar ... 75

Kandungan Logam Berat dalam Buah ... 77

Simpulan ... 78

7 PEMBAHASAN UMUM ... 79

8 SIMPULAN DAN SARAN ... 86

Simpulan ... 86

Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Koefisien korelasi antara hidrofobisitas tanah gambut (WDPT) dan

sifat-sifat tanah ... 11 2. Bilangan gelombang utama Infrared Spektogram sampel tanah

gambut ... 15 3. Sifat fisik dan kimia tanah gambut dari kebun Panai Jaya dan

Meranti Paham ... 24 4. Komposisi gugus-gugus fungsional, peak area, persentase, dan

rasionya pada tanah gambut Panai Jaya dan Meranti Paham ... 27 5. Sifat kimia terak baja ... 28 6. Dosis terak baja yang digunakan pada penelitian tahap laboratorium

dan lapangan ... 28 7. Koefisien korelasi Pearson hubungan antara peluang hidrofobisitas

tanah gambut dengan sifat-sifat tanah gambut Panai Jaya (PAJ) ... 33 8. Koefisien korelasi Pearson hubungan antara peluang hidrofobisitas

tanah gambut dengan sifat-sifat tanah gambut Meranti Paham (MEP) ... 34 9. Fungsi eksponensial, koefisien regresi dan kadar air kritis terjadinya

hidrofobisitas tanah gambut dari lokasi penelitian ... 37 10. Peak area (unit) gugus-gugus fungsional komponen hidrofobik dan

komponen hidrofilik pada berbagai interval waktu pemanasan ... 40 11. Rasio komponen hidrofobik dengan komponen hidrofilik pada

berbagai interval waktu pemanasan ... 41 12. Fungsi eksponensial, koefisien regresi dan rasio komponen

hidrofobik/hidrofilik dari tanah gambut hidrofobik ... 43 13. Susunan kombinasi perlakuan percobaan pemberian terak baja

terhadap hidrofobisitas tanah gambut ... 46 14. Pengaruh perlakuan tingkat kelembaban tanah dan terak baja

terhadap sifat-sifat tanah gambut ... 47 15. Komponen hidrofilik dan hidrofobik serta rasionya akibat perlakuan

tingkat kelembaban tanah dan pemberian terak baja pada tanah

gambut ... 49 16. Koefisien korelasi Pearson antara waktu (detik) penetrasi air ke

dalam tanah gambut dengan sifat-sifat tanah gambut ... 51 17. Pengamatan sifat-sifat tanah gambut setelah aplikasi terak baja ... 65 18. Pengaruh pengelolaan muka air tanah dan dosis terak baja terhadap

emisi karbon dioksida (CO2) ... 68

19. Penurunan permukaan (subsiden) tanah gambut (cm) selama 12

bulan ... 72 20. Pengaruh kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja terhadap

pertumbuhan tanaman kelapa sawit umur 6 tahun ... 75 21. Pengaruh pengelolaan kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja

terhadap produksi TBS kelapa sawit umur 6 tahun ... 76 22. Pengaruh pengelolaan kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja

terhadap rerata berat tandan (RBT) kelapa sawit umur 6 tahun ... 77 23. Hasil analisis kadungan logam berat dalam buah kelapa sawit

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian ... 4 2. Spektra FTIR secara umum tanah gambut dari lokasi penelitian

(Winarna et al. 2014a) ... 16 3. Beberapa kemungkinan reaksi antara logam dengan senyawa organik

(Senesi 1994 dalam Salampak 1999) ... 19 4. Spektra FTIR tanah gambut saprik dan hemik dari Panai Jaya dan

Meranti Paham ... 25 5. Sudut kontak antara air dengan permukaan bahan gambut, a) gambut

hidrofilik dan b) gambut hidrofobik ... 31 6. Metode penentuan peak area menggunakan fasilitas peak integration

pada software OPUS ... 32 7. Hubungan antara peluang hidrofobisitas dan kadar air tanah gambut

Panai Jaya (PAJ) dan Meranti Paham (MEP), (n = 11; P<0.05) ... 34 8. Hubungan antara hidrofobisitas dengan kadar COOH pada semua

tanah gambut yang diteliti. Koefisien determinasi adalah 0.542, 0.452, 0.481, dan 0.631 berturut-turut untuk PAJ-saprik, PAJ-hemik,

MEP-saprik, dan MEP-hemik (n = 11; P<0.05) ... 35 9. Hubungan antara kadar air tanah dengan kadar COOH pada semua

tanah gambut yang diteliti. Koefisien determinasi adalah 0.631, 0.400, 0.516, dan 0.388 berturut-turut untuk PAJ-saprik, PAJ-hemik,

MEP-saprik, dan MEP-hemik (n = 11; P<0.05) ... 36 10. Spektra FTIR tanah gambut Panai Jaya sebelum dan setelah

mengalami hidrofobisitas ... 38 11. Spektra FTIR tanah gambut Meranti Paham sebelum dan setelah

mengalami hidrofobisitas ... 39 12. Hubungan komponen hidrofilik dengan gugus karboksil pada tanah

gambut dari lokasi penelitian ... 40 13. Hubungan antara waktu pemanasan dan rasio hidrofobik/hidrofilik.

R2 untuk PAJ-saprik, PAJ-hemik, MEP-saprik, dan MEP-hemik berturut-turut adalah 0.828, 0.587, 0.759, dan 0.762. (n = 11;

P<0.05) ... 41 14. Hubungan antara hidrofobisitas tanah gambut dengan rasio komponen

hidrofobik/hidrofilik. R2 untuk PAJ-saprik, PAJ-hemik, MEP-saprik, dan MEP-hemik berturut-turut adalah 0.649, 0.542, 0.328, dan 0.937.

(n = 11; P<0.05) ... 42 15. Hubungan kadar air tanah dengan rasio komponen

hidrofobik/hidrofilik tanah gambut Panai Jaya (PAJ) dan Meranti

Paham (MEP) ... 43 16. Pengaruh penambahan dosis terak baja terhadap waktu (detik; metode

WDPT) yang diperlukan oleh air untuk penetrasi ke dalam tanah gambut hidrofobik, bar diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda

(17)

19. Sekat air yang terbuat dari susunan karung berisi tanah mineral dan

dilapisi plastik terpal ... 58 20. Pengukuran permukaan tanah gambut referensi ... 58 21. Pemasangan piezometer dalam petak penelitian ... 59 22. Patok subsiden yang dilengkapi dengan pagar pengaman (A) dan

batang besi sebagai tanda permanen serta cara pengukurannya di

beberapa titik pada batang besi (B) ... 60 23. Fluktuasi kedalaman muka air tanah dalam petak penelitian periode

Desember 2013 – Desember 2014. MAT = muka air tanah, MAT-1 berkisar 30-50 cm (September – Desember), MAT-2 berkisar 45-70 cm (Januari – April), dan MAT-3 berkisar 70-90 cm (Mei – Agustus)

dan curah hujan tahun 2014 lokasi penelitian ... 61 24. Kadar air tanah aktual dan distribusinya pada profil tanah lapisan

atas di piringan dan gawangan pada kondisi muka air tanah (MAT) berbeda pada periode pengamatan Februari – November 2014. MAT-1 berkisar 30-50 cm, MAT-2 berkisar 45-70 cm, dan MAT-3 berkisar 70-90 cm. Waktu pengamatan : 1 = Oktober 2014; 2 = November 2014; 3 = Februari 2014; 4 = Maret 2014; 5 = Juni 2014; 6 = Juli 2014. Bar yang diikuti huruf yang sama pada piringan atau gawangan

adalah tidak berbeda nyata pada taraf α =5% ... 63 25. Pengaruh kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja terhadap

kadar air aktual tanah lapisan olah pada daerah piringan pohon dan gawangan. MAT = muka air tanah, MAT-1 berkisar 30-50 cm,

MAT-2 berkisar 45-70 cm, dan MAT-3 berkisar 70-90 cm ... 64 26. Hubungan kadar air tanah aktual pada piringan pohon dengan kadar

air kritis tanah gambut pada lapisan 0 – 2.5, 2.5 – 5, 5 – 10 dan 10 – 40 cm pada tiga pengelolaan kedalaman muka air tanah periode Februari – November 2014, garis putus-putus adalah kisaran KAK (kadar air kritis), MAT = muka air tanah, MAT-1 berkisar 30-50 cm, MAT-2 berkisar 45-70 cm, dan MAT-3 berkisar 70-90 cm. Waktu pengamatan : 1 = Oktober 2014; 2 = November 2014; 3 = Februari

2014; 4 = Maret 2014; 5 = Juni 2014; 6 = Juli 2014 ... 66 27. Hubungan antara fluks CO2 dan kedalaman muka air tanah gambut,

(P<0.05; N = 72) ... 69 28. Hubungan emisi CO2 dengan kadar air tanah (KAT) gambut pada

kisaran kondisi tanah gambut hidrofilik (KAT < KAK) hingga tanah

gambut hidrofobik (KAT > KAK). KAK = kadar air kritis ... 71 29. Hubungan fluks CO2, jarak titik pengamatan dari pohon, dan

biomassa akar pada kedalaman 0-30 cm ... 73 30. Hubungan linier antara fluks CO2 dan kerapatan akar tanaman kelapa

sawit pada kedalaman 0-30 cm ... 73 31. Hubungan zone kadar air kritis (KAK) tanah gambut dengan

hidrofobisitas berbagai tanah gambut di lokasi penelitian ... 81 32. Hubungan emisi CO2 dengan kadar air tanah dan kaitannya dengan

hidrofobisitas tanah gambut, KAT = kadar air tanah, KAK = kadar air kritis tanah gambut, TBS = tandan buah segar kelapa sawit (umur

(18)

33. Hubungan antara perlakuan pengelolaan kedalaman muka air tanah dan aplikasi terak baja dengan produksi TBS dan emisi CO2 tanah

gambut kebun Panai Jaya (umur 6 tahun) ... 85

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham ... 94

2. Diskripsi profil tanah lokasi penelitian... 95

3. Perhitungan dosis terak baja pada percobaan laboratorium dan lapangan ... 96

4. Penetapan hidrofobisitas tanah gambut dengan metode Water Drop Penetration Time (Bisdom et al. 1993) ... 97

5. Dosis pemupukan kebun Panai Jaya tahun 2013 dan 2014 ... 97

6. Analisis keragaman pengaruh kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja terhadap emisi CO2 ... 98

7. Analisis keragaman pengaruh kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit ... 98

8. Kadar air, peluang hidrofobisitas, kemasaman total (KT), kadar karboksilat (COOH), dan OH-fenolat pada berbagai interval waktu pemanasan ... 100

9. Peak area (unit) kurva gugus-gugus fungsional yang ditemukan pada berbagai waktu pemanasan ... 103

10. Rerata kedalaman muka air tanah bulanan pada petak penelitian Desember 2013 - Desember 2014 ... 105

11. Konsentrasi dan area pengukuran gas CO2 bulan Maret 2014 ... 109

12. Konsentrasi dan area pengukuran gas CO2 bulan Juli 2014 ... 115

13. Konsentrasi dan area pengukuran gas CO2 bulan November 2014 ... 121

(19)

Latar Belakang

Tanaman kelapa sawit saat ini menjadi salah satu sumber minyak nabati utama dunia dan merupakan komoditas utama perkebunan di Indonesia. Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia hingga tahun 2014 terus meningkat secara pesat. Direktorat Jenderal Perkebunan (2014) melaporkan bahwa luas perkebunan kelapa sawit sampai dengan 2014 mencapai 10.9 juta ha dan diperkirakan tahun 2015 meningkat menjadi 11.4 juta ha. Pengembangan komoditas ini telah dilakukan pada berbagai lahan di Indonesia, baik tanah mineral maupun tanah gambut. Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut di Indonesia telah mencapai lebih dari 1.7 juta ha (Tropenbos International Indonesia 2012) dari total luas lahan gambut Indonesia sebesar 14.9 juta ha (Ritung et al. 2011). Pengembangan kelapa sawit di lahan gambut tersebar utamanya di pulau Sumatera sekitar 1.4 juta ha dan di Kalimantan sekitar 307 ribu ha.

Pengembangan lahan gambut untuk budi daya kelapa sawit dilakukan drainase dengan membuat saluran-saluran untuk menurunkan muka air tanah dan menciptakan ruang perakaran yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit, sehingga dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik (Hasnol et al. 2010; Lim et al. 2012). Namun di sisi lain, upaya drainase yang berlebihan (over drainage) cenderung mendorong terjadinya kekeringan tanah gambut dan menyebabkan terjadinya hidrofobisitas (munculnya sifat kering tak balik).

Hidrofobisitas terjadi dikarenakan gugus-gugus fungsional dalam tanah gambut yang bersifat polar (seperti karboksilat dan hidroksil) akan saling berasosiasi dan berinteraksi melalui ikatan hidrogen yang menyebabkan gugus-gugus non polar (seperti etil, metil dan senyawa aromatik) terorientasi pada permukaan koloid organik dan gambut bersifat hidrofobik (Valat et al. 1991; Hallett 2008). Hal tersebut menyebabkan menurunnya kemampuan gambut dalam menyerap air (Sabiham 2000). Utami (2010) menambahkan bahwa hidrofobisitas tanah gambut terjadi karena menurunnya keberadaan gugus-gugus fungsional pembawa sifat hidrofilik dalam gambut dan didominasi oleh gugus-gugus fungsional pembawa sifat hidrofobik. Pada kondisi hidrofobik, tanah gambut menunjukkan sifat-sifat negatif meliputi menurunnya kemampuan memegang air (Brandyk et al. 2002; Szajdak dan Szatylowicz 2010), infiltrasi tanah menurun, dan membatasi pertumbuhan tanaman yang diusahakan di atasnya (Dekker dan Ritsema 1995; Szajdak dan Szatylowicz 2010). Yulianti (2009) mengungkapkan bahwa kekeringan yang terjadi pada agroekosistem kelapa sawit telah menyebabkan terbentuknya pasir semu (pseudosand) pada permukaan tanah (kedalaman 0-2 cm) berkisar antara 3.09% sampai 11.35%. Pasir semu yang terbentuk mudah untuk tererosi melalui angin dan/atau aliran air permukaan.

Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa fluktuasi muka air tanah gambut selain berpengaruh terhadap hidrofobisitas, juga berpengaruh pada emisi CO2 tanah (Berglund dan Berglund 2011; Handayani 2009), penurunan

(20)

pada muka air tanah pada 43 cm, sedangkan pada tanaman yang lebih tua diperoleh produksi tertinggi pada kedalaman muka air tanah berkisar 49-53 cm di bawah permukaan tanah.

Pengembangan sistem tata air dengan mempertahankan muka air tanah pada kedalaman tertentu sudah banyak dilakukan, namun kaitannya dengan distribusi kelembaban tanah (melalui gaya kapiler) sampai ke permukaan tanah dan potensi terjadinya hidrofobisitas tanah gambut belum banyak diketahui. Kedalaman muka air tanah juga harus dikaitkan dengan upaya menekan emisi karbon dari lahan gambut dan adanya peningkatan produksi tanaman. Dalam kerangka pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan pada lahan gambut, pengelolaan lahan seharusnya tidak lagi hanya menekankan pada aktivitas untuk meningkatkan produksi tanpa memperhatikan kelestarian sifat-sifat tanah gambut, tetapi harus ditekankan terhadap keduanya (Hasnol et al. 2011).

Selain pengelolaan air, untuk mencegah degradasi tanah gambut dilakukan ameliorasi untuk meningkatkan stabilitas gambut dan memperbaiki kesuburan tanah serta meningkatkan produktivitas tanaman (Salampak 1999). Dalam proses stabilisasi, kehilangan karbon organik gambut sebagai hasil dekomposisi mikroorganisme berupa gas rumah kaca (CO2 dan CH4) dapat

ditekan (Sollins et al. 1996). Ikatan kation polivalen dan senyawa organik akan membentuk komplek yang stabil dan tahan terhadap proses dekomposisi (Tan 1993). Kation Fe3+ memiliki afinitas tertinggi dan paling stabil berikatan dengan senyawa-senyawa organik dibanding kation-kation lainnya (Saragih 1996). Salampak (1999) menggunakan tanah mineral sebagai amelioran dengan kandungan besi sebesar 22.06%, nyata menurunkan dekomposisi gambut dan meningkatkan produktivitas tanah. Mario (2002) melaporkan adanya peningkatan hasil gabah dan penurunan emisi karbon dengan penggunaan terak baja (bahan kaya besi). Nicholas (2002) juga menambahkan bahwa penggunaan amelioran berkadar besi tinggi mampu meningkatkan kadar abu dan daya simpan air.

Penetapan muka air tanah yang dikombinasi dengan pemberian bahan amelioran yang dapat menjamin kelembaban tanah dapat terdistribusi sampai ke permukaan tanah (untuk mencegah terjadinya hidrofobisitas tanah gambut) belum banyak diketahui, di samping adanya penurunan emisi karbon dan peningkatan produksi tanaman kelapa sawit. Berlatar belakang permasalahan di atas, penelitian ini disusun dalam suatu rangkaian percobaan untuk mengkaji kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja kaitannya dengan hidrofobisitas tanah gambut, emisi karbon dan produksi kelapa sawit.

Perumusan Masalah

(21)

Hidrofobisitas tanah gambut terjadi karena gugus-gugus fungsional dalam tanah gambut yang bersifat polar (seperti karboksil dan hidroksil) akan saling berikatan melalui ikatan hidrogen dan gugus-gugus non polar (seperti etil, metil dan senyawa aromatik) terorientasi pada permukaan koloid organik dan gambut bersifat hidrofobik (Valat et al. 1991; Hallett 2008). Utami (2010) menambahkan bahwa hidrofobisitas tanah gambut terjadi karena menurunnya keberadaan gugus-gugus fungsional pembawa sifat hidrofilik dalam gambut dan didominasi oleh gugus-gugus fungsional pembawa sifat hidrofobik. Hidrofobisitas tanah gambut menyebabkan menurunnya kemampuan gambut dalam menyerap air (Sabiham 2000; Brandyk et al. 2002; Szajdak dan Szatylowicz 2010), infiltrasi tanah menurun, dan membatasi pertumbuhan tanaman (Dekker dan Ritsema 1995; Szajdak dan Szatylowicz 2010).

Tindakan pencegahan dan perbaikan terhadap terjadinya hidrofobisitas tanah gambut dapat dilakukan dengan tetap menjaga kondisi kelembaban tanah sesuai dengan kapasitasnya. Pengelolaan air dengan mempertahankan kedalaman muka air tanah pada tingkat tertentu diharapkan dapat menjaga kondisi kelembaban tanah tetap tinggi dan hidrofobisitas dapat dicegah, selain itu juga dapat dikombinasikan dengan aplikasi amelioran untuk tujuan stabilisasi gambut. Stabilisasi gambut dapat dicapai dengan menambahkan kation-kation polivalen untuk membentuk ikatan kompleks organik-logam yang stabil. Kation Fe3+ memiliki afinitas tertinggi dan paling stabil untuk berikatan dengan senyawa-senyawa organik (Saragih 1996). Bahan amelioran kaya besi yang banyak digunakan pada tanah gambut adalah tanah mineral dan terak baja (Salampak 1999; Mario 2002). Penggunaan terak baja dinilai lebih efisien dibandingkan penggunaan tanah mineral karena memiliki kandungan besi lebih tinggi.

Berdasarkan permasalahan terkait drainase tanah gambut untuk budidaya kelapa sawit, maka pengelolaan tanah gambut secara benar harus menjadi perhatian dalam penggunaan lahan tersebut. Pengelolaan drainase tanah gambut untuk kelapa sawit tidak hanya fokus pada peningkatan produksi semata tanpa memperhatikan faktor-faktor kelestarian tanah gambut, tetapi harus ditekankan terhadap keduanya (Hasnol et al. 2011). Untuk itu, maka perlu kajian lebih mendalam mengenai tata air tanah gambut terkait pengelolaan kedalaman muka air tanah yang tepat dan adanya kombinasi dengan aplikasi bahan amelioran yang dapat menstabilkan tanah gambut.

Pengelolaan kedalaman muka air tanah gambut yang tepat untuk pengembangan kelapa sawit harus dapat menjamin kelembaban tanah dapat terdistribusi sampai ke permukaan tanah, sehingga hidrofobisitas tanah gambut dapat dicegah. Disamping itu, pengelolaan kedalaman muka air tanah tersebut dapat menurunkan emisi karbon dioksida, menekan subsiden tanah gambut, dan meningkatkan produksi kelapa sawit. Aplikasi bahan amelioran kaya kation polivalen seperti terak baja dapat dikombinasikan untuk meningkatkan stabilitas (dari proses dekomposisi), menekan emisi CO2, dan memperbaiki kesuburan

(22)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang akan dicapai, yaitu:

1. Menentukan hidrofobisitas dan kadar air kritis tanah gambut dari lingkungan perkebunan kelapa sawit.

2. Mengkaji pengaruh kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja terhadap hidrofobisitas tanah gambut dan perubahan sifat fisik lainnya.

3. Mengkaji pengaruh kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja terhadap emisi karbon dari tanah gambut.

4. Mengkaji pengaruh kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit.

Hipotesis Penelitian

1. Hidrofobisitas tanah gambut dipengaruhi oleh kadar air tanah gambut dan sifat-sifat gambut lainnya.

Pemanfaatan lahan gambut untuk kelapa sawit yang ramah lingkungan

Teknik pemecahan masalah:

1. Mempertahankan kadar air tanah lapisan atas 2. Mencegah hidrofobisitas tanah gambut lapisan atas 3. Memperbaiki sifat-sifat fisik tanah

4. Menurunkan emisi karbon

5. Meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman

Permasalahan pemanfaatan lahan gambut untuk kelapa sawit: 1. Drainase tanah berlebihan (over drainage)

2. Kadar air tanah lapisan atas menurun dan mengalami kekeringan

3. Terjadi kering tak balik pada lapisan atas (hidrofobisitas) 4. Produksi kelapa sawit menurun

5. Emisi CO2 dan subsiden tanah gambut meningkat

Konsep pengelolaan dengan mempertahankan muka air tanah dan stabilisasi tanah gambut:

(23)

2. Kedalaman muka air tanah yang terlalu dalam dari permukaan tanah gambut akan menurunkan kadar air tanah lapisan atas dan menyebabkan hidrofobisitas tanah gambut, sedangkan pemberian terak baja meningkatkan kadar air tanah gambut lapisan atas.

3. Kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja optimum akan menurunkan emisi karbon pada tanah gambut.

4. Kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja optimum akan berpengaruh pada peningkatan produksi tanaman kelapa sawit.

Kebaruan Penelitian

1. Hubungan antara emisi CO2 dengan kadar air tanah gambut dan kaitannya

dengan hidrofobisitasnya.

(24)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Tanah Gambut

Tanah gambut dibatasi sebagai area yang ditutupi endapan bahan organik dengan ketebalan >50 cm yang sebagian besar belum terlapuk secara sempurna dan tertimbun dalam waktu lama serta mempunyai kandungan C-organik >18%. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara (Agus dan Subiksa 2008). Menurut Soil Survey Staff (2003) dalam Soil Taxonomy, tanah gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan organik yang dikelompokkan ke dalam ordo Histosol (Histos dari bahasa Yunani yang berarti jaringan). Tanah Histosol tersebut harus memenuhi salah satu syarat berikut: 1. Jenuh air kurang dari 30 hari (kumulatif) dan mengandung C-organik sebesar

20% atau lebih, atau

2. Jenuh air selama 30 hari atau lebih per tahun (kumulatif) dan mengandung C-organik (tidak termasuk akar-akar hidup) sebesar:

a. 18% atau lebih (setara dengan 30% bahan organik atau lebih) bila fraksi tanah mineral mengandung liat 60% atau lebih, atau

b. 12% atau lebih (setara dengan 20% bahan organik atau lebih) bila fraksi tanah mineral tanpa mengandung liat, atau

c. 12% ditambah (persen liat dikalikan 0.1) bila fraksi tanah mineral mengandung kurang dari 60% liat.

Tanah gambut digolongkan ke dalam tanah organik atau histosol dengan sifat-sifat sebagai berikut (Soil Survey Staff 2003):

1. Tidak mempunyai sifat-sifat tanah andik pada 60% atau lebih ketebalan di antara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm, atau di antara permukaan tanah hingga ke kontak densik, litik, atau paralitik atau duripan, apabila lebih dangkal; dan

2. Mempunyai bahan tanah organik yang tebalnya sebagai berikut:

a. Pada tanah berkerikil atau berbatu (bersinder, fragmental, berbatu apung) dan ada kontak litik atau paralitik di bawahnya; tebal bahan organik tidak disyaratkan asalkan di sela-sela kerikil/batu tersebut terisi oleh bahan tanah organik; atau

b. Pada tanah berkerikil atau berbatu tetapi tidak ada kontak litik atau paralitik dibawahnya, tebal lapisan tanah organik ditambah dengan tebal lapisan berkerikil atau berbatu yang sela-selanya terisi bahan tanah organik 40 cm atau lebih (dihitung dari permukaan tanah hingga kedalaman 50 cm); atau c. Pada tanah berkerikil atau berbatu tetapi ada kontak litik atau paralitik

dibawahnya, tebal lapisan tanah organik 2/3 tebal tanah atau lebih sampai kontak/paralitik, tebal tanah mineral adalah 10 cm atau kurang; atau

d. Jenuh air selama 30 hari atau lebih tiap tahun pada tahun-tahun normal (atau telah drainase), mempunyai batas atas di dalam 40 cm dari permukaan tanah dan memiliki ketebalan total salah satu berikut:

(25)

 Setebal 40 cm atau lebih, apabila terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau bahan fibrik kurang dari 3/4 (volume) yang terdiri dari serat-serat lumut dan bobot isinya (lembab) 0.1 g cm-3 atau lebih.

Pembentukan Tanah Gambut

Tanah gambut terbentuk insitu yang merupakan hasil penimbunan bahan organik dari lingkungannya sendiri, dimana laju deposisi lebih cepat dari dekomposisi disebabkan oleh suasana anaerob dari lingkungan yang jenuh air. Penyusun tanah gambut terutama dari bahan non-klorofil (ranting, batang, akar) yang berasal dari bahan sisa pelapukan bahan dasar dan hasil polimerisasi/kondensasi.

Proses pembentukan tanah gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi rawa. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) yang berupa tanah mineral. Vegetasi berikutnya tumbuh pada bagian tengah dari danau dangkal tersebut dan membentuk lapisan-lapisan tanah gambut, sehingga danau tersebut menjadi penuh dan dikenal sebagai tanah gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Tanah gambut topogen memiliki kesuburan relatif tinggi (eutrofik) karena adanya pengaruh dari tanah mineral dan pengkayaan dari luapan banjir. Vegetasi tertentu masih dapat tumbuh dan berkembang di atas gambut topogen. Hasil penimbunan tanaman mati terus terjadi membentuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung. Tanah gambut yang berkembang di atas gambut topogen dikenal dengan tanah gambut ombrogen, yang pembentukannya hanya dipengaruhi oleh air hujan (Andriesse 1988). Tanah gambut ombrogen memiliki kesuburan tanah yang lebih rendah atau miskin hara (oligotrofik) dibandingkan gambut topogen, karena hampir tidak ada pengkayaan mineral dari air tanah atau air limpasan sungai (Barchia 2006). Tanah gambut di Indonesia terbentuk sejak periode holosen, yaitu sekitar 4200 – 6800 tahun yang lalu, dimulai dengan terbentuknya rawa-rawa sebagai akibat terjadinya transgresi air laut akibat mencairnya es di kutub (Sabiham 1988).

Klasifikasi Tanah Gambut

(26)

perakaran yang masih hidup) yang tidak lolos pada saringan berukuran 100 mesh. Fragmen yang berukuran >2 cm (secara melintang) atau lebih kecil disebut sebagai serat hanya jika cukup terdekomposisi sehingga mudah diremas dan dicabik-cabik dengan jari-jari. Fragmen kayu berukuran >2 cm yang tidak termasuk serat dikelompokkan sebagai fragmen kasar, sebanding dengan kerikil atau batu dalam tanah mineral (Soil Survey Staf 2003; Andriesse 1988).

Berdasarkan kondisi lingkungan pembentukannya tanah gambut dapat dibedakan menjadi: (1) tanah gambut topogen, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air permukaan atau air tanah dangkal, (2) tanah gambut ombrogen, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air hujan (Andriesse 1988). Gambut ombrogen di Indonesia terbentuk dari seresah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga status keharaannya rendah dan mempunyai kandungan kayu yang tinggi (Radjagukguk 1995). Berdasarkan status kesuburannya, tanah gambut dibedakan atas tanah gambut eutrofik, mesotrofik, dan oligotrofik (Andriesse 1988; Barchia 2006). Tanah gambut eutrofik memiliki tingkat kesuburan paling tinggi karena banyak mengandung mineral akibat pengkayaan dari air tanah, sedangkan tanah gambut oligotrofik memiliki tingkat kesuburan rendah karena tidak ada pengkayaan mineral dari air tanah atau air limpasan sungai. Sumber mineral pada tanah gambut ombrogen utamanya berasal dari dekomposisi bahan organik tumbuhan yang mati. Tanah gambut mesotrofik memiliki tingkat kesuburan sedang yaitu di antara eutrofik dan oligotrofik.

Klasifikasi tanah gambut berdasarkan kedalamannya menurut Subagyo et al. (1996) dan Widjaja Adhi et al. (2000) dibedakan menjadi 4 kelas, yaitu tanah gambut dangkal dengan ketebalan 50-100 cm, agak dalam dengan ketebalan lapisan 100-200 cm, tanah gambut dalam dengan ketebalan 200-300 cm, dan tanah gambut sangat dalam dengan ketebalan lebih dari 300 cm.

Berdasarkan lokasi pembentukannya, tanah gambut dapat dibedakan menjadi: 1) tanah gambut pantai atau pasang surut, yaitu tanah gambut yang dominan dipengaruhi oleh pasang surut air laut; 2) tanah gambut pedalaman, yaitu tanah gambut yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut; 3) tanah gambut peralihan, yaitu tanah gambut yang terdapat di antara tanah gambut pantai dan pedalaman. Tanah gambut pantai dicirikan oleh lapisan tanah mineral di bawah tanah gambut (lapisan substratum) berupa bahan endapan marin baru (recent lagoon) dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Tanah gambut pedalaman dicirikan oleh lapisan substratum bukan endapan marin dan tidak mendapat pengaruh pasang surut air laut, sedangkan tanah gambut peralihan dicirikan oleh lapisan substratum yang berasal dari endapan marin yang sudah tua dan mendapat pengaruh air tawar (sungai) dan air laut (Sabiham 1988).

Karakteristik Tanah Gambut

Karakteristik Fisik

(27)

beberapa faktor yaitu intensitas pemadatan, komposisi bahan asal, taraf dekomposisi gambut, dan kandungan kelembaban tanah.

Tanah gambut memiliki bobot isi yang sangat rendah dibandingkan dengan tanah mineral. Tanah gambut alami memiliki bobot isi antara 0.05 – 0.25 g cm-3, sedangkan tanah gambut yang telah direklamasi mempunyai bobot isi yang lebih tinggi yaitu berkisar 0.1 – 0.4 g cm-3. Bobot isi tanah gambut cenderung meningkat dengan meningkatnya taraf dekomposisi gambut. Andriesse (1988) menunjukkan bahwa bobot isi tanah gambut tropika di Indonesia untuk kematangan fibrik umumnya kurang dari 0.1 g cm-3 dan saprik memiliki nilai lebih besar dari 0.2 g cm-3, sedangkan menurut Boelter (1969) untuk tipe fibrik dan saprik berturut-turut memiliki bobot isi <0.075 g cm-3 dan >0.195 g cm-3 dan tipe hemik memiliki bobot isi antara 0.075 – 0.195 g cm-3.

Peningkatan bobot isi tidak diragukan lagi disebabkan oleh budidaya dan pemadatan lapisan permukaan karena drainase tanah. Verry et al. (2011) mengemukakan bahwa bobot isi memiliki hubungan yang positif dengan kadar abu dan tingkat dekomposisi/kematangan tanah gambut. Disamping itu, disebutkan bahwa kemampuan mengikat air (water retention) merupakan fungsi dari bobot isi tanah gambut tersebut, dimana kemampuan mengikat air meningkat dengan meningkatnya bobot isi tanah. Bobot isi tanah gambut juga bergubungan sangat erat dengan kadar serat gambut, dimana bobot isi akan meningkat dengan penurunan kadar serat (Verry et al. 2011).

Kapasitas menyangga (bearing capacity). Tanah gambut memiliki kapasitas/daya sangga yang rendah sebagai akibat rendahnya bobot isi tanah, sehingga pengelolaan tanah secara mekanis akan sulit dilakukan dan tanaman budidaya mengalami kesulitan untuk menjangkarkan akarnya. Besarnya ruang pori tanah menyebabkan kerapatan tanah rendah dan juga menjadi penyebab rendahnya daya sangga tanah gambut (Utami 2010). Porositas total tanah berkisar 75 – 95% (volume) menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang akan diusahakan (Ambak dan Melling 2000). Komoditas seperti kelapa sawit, karet dan kelapa cenderung pertumbuhannya miring sebagai akibat akar tidak mempunyai tumpuan dalam tanah yang kuat (Singh et al. 1986).

Andriesse (1988) menyebutkan bahwa daya dukung tanah gambut yang berasal dari kayuan yang telah didrainase dengan baik hanya sekitar 0.21 kg cm-2, sedangkan pada tanah mineral umumnya berkisar 0.48 – 0.56 kg cm-2. Salmah et al. (1991) memperoleh hubungan yang signifikan antara daya dukung tanah gambut dengan kedalaman muka air tanah, dimana penurunan muka air tanah akan meningkatkan daya sangga tanah gambut.

(28)

(Kurnain 2008). Andriesse (1988) menyebutkan bahwa tanah gambut fibrik memiliki kapasitas menahan air maksimum berkisar 850 – 3000% (w w-1), hemik 450 – 850% (w w-1), dan saprik <450% (w w-1).

Kemampuan menahan dan mengikat air yang tinggi pada tanah gambut terkait juga dengan kandungan senyawa humik yang tinggi dalam tanah gambut (Szajdak dan Szatylowicz 2010). Air diikat melalui ikatan kimia pada permukaan koloid bahan padatan gambut yaitu oleh gugus polar dengan komponen yang memiliki berat molekul tinggi. Gugus utama pada senyawa organik yang bersifat polar tersebut adalah gugus karboksilat. Air koloid ini dijerap oleh koloid hidrofilik dan bertanggungjawab terhadap proses pengembangan dan pengerutan gambut (Utami 2010). Menurut Flaig (1986), retensi air yang tinggi dari gambut dapat dikaitkan ke struktur pori makro sebagai hasil degradasi parsial selama proses pembentukan gambut dan pada site-site penyerapan secara molekuler yaitu terbentuknya pori mikro yang dikaitkan dengan pembentukan senyawa humik.

Tingginya kapasitas menahan air tanah gambut bukan berarti bahwa kemampuan tanah untuk menyediakan air untuk tanaman lebih besar dibandingkan dengan tanah mineral. Hal ini disebabkan air pada tanah gambut banyak berada pada kondisi tidak tersedia bagi tanaman karena gambut didominasi oleh pori makro, sebagian besar air tanah berupa air gravitasi dan air yang diikat sangat kuat oleh partikel padat tanah gambut (Kurnain 2008; Radjagukguk 1995). Hasil penelitian Salmah et al. (1991) menunjukkan bahwa kehilangan air tanah gambut dari Pontian (Malaysia) karena gaya gravitasi sekitar 130% dari kadar air maksimum sebesar 680% (w w-1), sedangkan yang dapat tersedia untuk tanaman hanya sekitar 300% (w w-1) dan sisanya sebesar 250% (w w-1) merupakan air yang terikat kuat oleh partikel padatan tanah.

Hidrofobisitas. Pengembangan lahan gambut untuk budi daya tanaman mensyaratkan adanya ruang perakaran untuk mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman, sehingga dilakukan pembuatan saluran drainase. Apabila terjadi drainase tanah yang berlebihan (over drainage), maka gambut akan mengalami kekeringan dan menyebabkan munculnya sifat kering tak balik atau hidrofobisitas. Secara alami tanah gambut memiliki kemampuan menahan air (water holding capacity) yang sangat tinggi, dan dipengaruhi oleh tingkat kematangannya dan bahan asal pembentukannya (Andriesse 1988).

Hidrofobisitas adalah suatu keadaan dari permukaan partikel-partikel tanah gambut yang tidak dapat menahan atau memegang air kembali setelah mengalami pengeringan. Pada tanah gambut yang berkayu mempunyai sifat hidrofobik yang dicirikan oleh sudut kontak antara permukaan butiran air dengan permukaan padatan mencapai 122.1o, sedangkan pada gambut dari bahan rumput-rumputan sebesar 116.8o dan gambut dari bahan sphagnum lebih rendah yaitu 110.9o (Valat et al. 1991). Sifat hidrofobisitas tanah gambut akan muncul setelah kadar airnya menurun dan melewati nilai kadar air kritis untuk terjadinya hidrofobisitas. Kadar air kritis untuk terjadinya hidrofobisitas bervariasi tergantung dari sifat-sifat gambutnya. Menurut hasil penelitian Azri (1999), kadar air kritis untuk tanah gambut saprik berkisar 225.66 - 302.10% (w w-1), hemik 216.89 – 290.38% (w w

-1

(29)

mengemukakan bahwa lapisan atas tanah gambut pada kedalaman 0 – 30 cm cepat mengalami kekeringan, dimana dalam kurun waktu 8 – 12 hari kering dengan suhu 40 oC kadar air tanah telah melewati kadar air kritis dan terjadi hidrofobisitas.

Hidrofobisitas dipengaruhi oleh kemasaman total tanah, gugus karboksil (COOH), dan kandungan gugus hidroksi-fenolat (OH-fenolat). Menurut Sabiham (2000), menurunnya kemampuan gambut menyerap air setelah pengeringan berkaitan dengan berkurangnya ketersediaan komponen hidrofilik yaitu gugus karboksil dan fenolat-OH. Azri (1999) menyatakan bahwa terjadi penurunan kemasaman total, gugus fungsional COOH, dan gugus OH-fenolat pada saat terjadi hidrofobisitas pada semua jenis tanah gambut yang digunakan dalam penelitiannya. Pola penurunan tersebut berbentuk eksponensial yang berarti bahwa penurunan kadar air karena pengeringan akan menurunkan kemasaman total, gugus fungsional COOH, dan gugus OH-fenolat, namun tidak dapat mencapai nol. Szajdak dan Szatylowicz (2010) membuat korelasi antara hidrofobisitas tanah gambut dengan beberapa sifat-sifat tanah gambut (Tabel 1). Kwak et al. (1986) menyatakan bahwa dari jumlah air yang terikat secara kimia pada tanah gambut yang mempunyai kapasitas tukar kation 100 (cmol(+) kg-1) tanah, sekitar 4% terikat pada gugus fungsi COOH dan fenolat-OH dan bila kedua gugus tersebut mengion maka jumlah air yang terikat meningkat menjadi sekitar 30% dari bobot segar tanah gambut. Namun, apabila tanah gambut mengalami kekeringan maka gugus fungsi COOH dan fenolat-OH menjadi tidak berfungsi (Sabiham 2000).

Tabel 1. Koefisien korelasi antara hidrofobisitas tanah gambut (WDPT) dan sifat-sifat tanah

Sifat-sifat Tanah WDPT (detik)

Kadar abu (%) –0.8964

Bobot isi (g cm-3) –0.7047

Total organic carbon (%) 0.5940

Dissolved organic carbon (%) –0.3309

Bahan organik (%) 0.5898

Asam humik (%) 0.5314

pH (H2O) –0.1199

pH (1 N KCl) –0.1912

Sumber : Szajdak dan Szatylowicz (2010)

(30)

berasosiasi dan berinteraksi melalui ikatan hidrogen pada kondisi kelembaban yang sangat rendah. Akibat reorientasi molekuler tersebut, gugus-gugus non polar menjadi terorientasi pada bagian terluar dari molekul dan menyebabkan permukaan koloid organik memiliki afinitas yang rendah terhadap air (hidrofobik).

Valat et al. (1991) menyebutkan penyebab munculnya sifat hidrofobik pada tanah gambut, yaitu: 1) kandungan asam humat yang secara alami menunjukkan sifat hidrofobik, karena partikel-partikel diselaputi oleh lilin, 2) keberadaan gugus non polar seperti etil, metil dan senyawa aromatik yang bersifat hidrofobik, sedangkan gugus-gugus yang bersifat hidrofilik berkurang, dan 3) pengerapan senyawa yang bersifat hidrofobik seperti minyak, lemak, dan fraksi organik pada permukaan fraksi humat.

Penilaian hidrofobisitas dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode, namun metode yang mudah dan paling umum digunakan adalah metode Water Drop Penetration Time (WDPT) yang didasarkan pada waktu yang diperlukan untuk sebuah tetesan air terinfiltrasi ke dalam tanah (Hallett 2008). Hidrofobisitas gambut ditetapkan melalui pengamatan tetesan-tetesan air pada permukaan sampel gambut (yang telah dihaluskan). Tanah dianggap mengalami hidrofobisitas jika sudut kontak yang terbentuk antara tetesan air dengan permukaan tanah gambut lebih dari 90o dan penetrasi terjadi lebih dari 5 detik (Bisdom et al. 1993; Dekker dan Ritsema 1995). Bisdom et al. (1993) membedakan hidrofobisitas menjadi 5 kelas yang didasarkan pada waktu yang diperlukan oleh tetesan air untuk penetrasi ke dalam tanah: kelas 0, hidrofilik (infiltrasi < 5 detik); kelas 1, hidrofobisitas ringan (5–60 detik); kelas 2, hidrofobisitas kuat (60–600 detik); kelas 3, hidrofobisitas sangat kuat (600–3600 detik); dan kelas 4, hidrofobisitas ekstrim (>1 jam).

Penurunan permukaan (subsidence). Penurunan permukaan tanah gambut terjadi sebagai akibat dilakukannya drainase pada tanah gambut jenuh air untuk pengembangan budi daya tanaman pertanian atau hutan tanaman industri. Segera setelah rawa gambut dikeringkan, maka dimulailah proses penurunan permukaan gambut. Penyusutan terjadi akibat kehilangan air yang diikuti oleh masuknya udara ke dalam pori-pori. Keluarnya air dari massa gambut menyebabkan terjadinya pematangan tanah secara fisik, sehingga terjadi penyusutan tanah gambut. Masuknya udara dalam tanah, maka gambut berada dalam kondisi aerob (oksidatif), sehingga proses dekomposisi bahan gambut terjadi secara cepat.

Penurunan permukaan tanah total karena drainase tanah gambut dapat dibagi dalam tiga komponen: 1) konsolidasi, yaitu pemampatan mekanik lapisan gambut jenuh secara permanen di bawah permukaan air tanah, 2) oksidasi, pengurangan volume tanah gambut di atas permukaan air tanah akibat hilangnya bahan organik karena dekomposisi oleh proses biokimia, dan 3) shrinkage, yaitu pengurangan volume tanah gambut di atas permukaan air tanah akibat pengeringan (Wosten et al. 1997). Rata-rata 60% dari penurunan permukaan (subsiden) tanah gambut disebabkan oleh oksidasi dan 40% dengan pengeringan ireversibel atau penyusutan dari gambut.

(31)

Semakin fibrik gambut, dengan bobot isi dan kadar abu lebih rendah, semakin tinggi tingkat subsiden dalam jangka panjang (Lim et al. 2012). Sebuah studi perkebunan kelapa sawit di Sessang, Sarawak menunjukkan bahwa penurunan awal mencapai 25 cm tahun-1 dan berkurang menjadi sekitar 4-6 cm tahun-1 setelah 2 tahun. Tingkat penurunan dalam jangka panjang setelah 15 tahun dilakukan drainase akan menurun dan stabil, yaitu 2.5 cm tahun-1 di gambut dangkal (<1.5 meter) dan 4.3 cm tahun-1 di gambut dalam (>3 meter) (Mohammed et al. 2009 dalam Lim et al. 2012). Pada kondisi pengelolaan air yang baik, gambut di Riau yang umumnya lebih basah mengalami subsiden lebih lambat sekitar 1.0–1.5 cm tahun-1 (Lim 2006).

Karakteristik Kimia

Karakteristik kimia lahan gambut daerah tropis (termasuk Indonesia) sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik (Agus dan Subiksa 2008). Gambut di Indonesia mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah beriklim sedang, karena terbentuk dari bahan kayu. Komposisi tanah gambut dari Sumatera dan Kalimantan mengandung lignin yang tinggi yaitu berkisar 57.38 – 73.67% dan selebihnya protein, selulosa, hemiselulosa, dan senyawa-senyawa lainnya (Sabiham et al. 1997). Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat. Asam-asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Rachim 1995).

Ketebalan horison organik, sifat subsoil dan frekuensi luapan air mempengaruhi komposisi kimia gambut. Pada tanah gambut yang sering mendapat luapan, semakin banyak kandungan mineral tanah sehingga relatif lebih subur. Tanah gambut tropis mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90%. Secara kimiawi gambut bereaksi masam dengan pH di bawah 4 (Andriesse 1988). Gambut dangkal pH lebih tinggi (4.0 – 5.1), gambut dalam (3.1 – 3.9). Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi. Kandungan unsur mikro khususnya Cu, B dan Zn sangat rendah ( Subagyo et al. 1996).

Tanah gambut di Indonesia umumnya tergolong dalam tingkat kesuburan oligotrofik. Kesuburan oligotrofik ini dijumpai pada tanah gambut ombrogen, yaitu gambut pedalaman yang terdiri dari gambut tebal dan miskin unsur hara, sedangkan pada gambut pantai atau sungai umumnya memiliki tingkat kesuburan sedang–tinggi (Barchia 2006). Tanah gambut di Kalimantan umumnya tergolong oligotrofik karena merupakan gambut pedalaman dengan wilayah depresi sebagai penampung air hujan, sedangkan tanah gambut di sebagian Sumatera tergolong tanah gambut mesotrofik karena pembentukannya dipengaruhi oleh air sungai.

Aplikasi Fourier Transform Infrared (FTIR) Spektroskopi

(32)

Beberapa getaran khas dari gugus-gugus fungsional organik menyerap cahaya infra merah menghasilkan puncak (peak) yang disebut absoption bands. Metode ini dianggap sangat bernilai dalam identifikasi gugus fungsional dan susunan struktur molekul humik (Tan 2003).

Aplikasi FTIR Spektroskopi terhadap bahan organik atau gambut menghasilkan spektrum yang selain memberikan informasi gugus-gugus fungsional juga berisi informasi berkaitan dengan sifat-sifat bahan organik secara kimia dan biologi (Chapman et al. 2001). Salah satu cara untuk menilai kualitas tanah atau beberapa parameter kualitatif tanah, adalah dengan penggunaan FTIR. FTIR spektroskopi sukses digunakan pada berbagai tanah untuk menggambarkan status dekomposisi bahan organik dalam horison yang berbeda (Chapman et al. 2001). Krumins et al. (2012) menyebutkan bahwa setiap gugus fungsional tertentu menyerap cahaya infra merah pada frekuensi tertentu. Sebagian besar dari zona penyerapan untuk gugus fungsional untuk gambut umumnya berada dalam kisaran spektrum infra merah pada interval panjang gelombang dari 400 cm-1– 4000 cm-1. Setiap gugus fungsional akan menunjukkan bilangan gelombang yang berbeda-beda.

Matejkova dan Simon (2012) menggunakan metode FTIR spektroskopi untuk penentuan hidrofobisitas komponen organik dalam tanah. Hidrofobisitas tanah adalah parameter kualitatif yang menggambarkan tingkat interaksi antara air permukaan dan partikel tanah. Spektrum FTIR dianalisis di dua band penyerapan, gugus fungsional yang menunjukkan sifat hidrofobik (gugus C-H) dan hidrofilik (gugus C–O). Tabel 2 menyajikan bilangan gelombang, gugus-gugus fungsionalnya, dan karakteristik bahan yang digunakan untuk pembacaan hasil spektogram infrared sampel tanah gambut (Artz et al. 2008). Utami et al. (2009) melaporkan bahwa analisis FTIR spektroskopi mampu memberikan informasi adanya peningkatan gugus-gugus fungsional pembawa sifat hidrofobik (ikatan aromatik dari eter dan ester) gambut bongkor asal Berengbengkel, Kalimantan Tengah.

Spektra FTIR Tanah Gambut

Gambar 2 menyajikan spektra FTIR pewakil tanah gambut dari lokasi penelitian. Berdasarkan spektra tersebut diperoleh beberapa peak pada bilangan gelombang tertentu yang dapat diidentifikasi sebagai gugus-gugus fungsional yang terkandung dalam tanah gambut. Berdasarkan identifikasi menurut Artz et al. (2008), ditemukan gugus-gugus fungsional utama dan penting tanah gambut dari lokasi penelitian meliputi gugus fungsional O-H (gugus hidroksil), C-H (gugus metil dan/atau metilen), C=O (gugus karboksil), C=C (gugus alkenil), dan C-O (gugus ether). Gugus fungsional O-H (gugus hidroksil) dengan band serapan pada kisaran 3750 – 3000 cm-1 yang diidentifikasi sebagai selulosa. Utami et al. (2009) juga mengidentifikasi gugus tersebut sebagai indikasi adanya selulosa pada gambut Kalimantan Tengah. Gugus C-H terjadi pada kisaran serapan 3000 – 2800 cm-1 dengan dua puncak berurutan yaitu pada 2922 cm-1 dan 2852 cm-1 yang diidentifikasi sebagai hidrokarbon alifatik. Puncak pertama adalah ikatan C-H asimetrik (CH2 alifatik, CH2 asimetrik) dan puncak kedua ikatan C-H simetrik,

(33)

Tabel 2. Bilangan gelombang utama Infrared Spektogram sampel tanah gambut Bilangan

gelombang (cm-1) Gugus fungional Karakterisasi Referensi sumber

3400 – 3300 Rangkaian  (O–H), ulur

Proteinaceous origin Ibarra et al. (1996),

Zaccheo et al. (2002)

1550 N–H deformasi (amida II) Proteinaceous origin Ibarra et al. (1996),

Zaccheo et al. (2002)

1515–1513 Rangkaian C=C aromatik Lignin/fenolik

backbone

1450, 1371 C–H deformasi Fenolik (lignin) dan

struktur alifatik

900 Di luar rangkaian ikatan Selulose, koresponden

(34)

Gambar 2. Spektra FTIR secara umum tanah gambut dari lokasi penelitian (Winarna et al. 2014a)

Ikatan C=O merupakan gugus fungsional dari asam-asam karboksilat atau asam organik bebas yang memiliki band serapan pada kisaran bilangan gelombang 1800 – 1650 cm-1. Pada kisaran serapan 1650 – 1500 cm-1 diidentifikasi adanya ikatan ganda C=C yang berasal dari lignin. Keberadaan gugus C=C ini dapat menjadi ciri khas spektrum gambut tropika. Menurut Sabiham et al. (1997), komposisi tanah gambut dari Sumatera dan Kalimantan mengandung lignin yang tinggi, sedangkan protein, selulosa, hemiselulosa, dan senyawa-senyawa lainnya rendah. Hal tersebut erat kaitannya dengan bahan asal pembentuknya. Gugus penting lainnya yang ditemukan adalah gugus C-O yang diidentifikasi sebagai polisakarida pada puncak bilangan gelombang 1029 cm-1.

Pengelolaan Air dan Emisi Karbon di Perkebunan Kelapa Sawit

Pengusahaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dengan melakukan drainase tanah menyebabkan terjadinya emisi karbon, sehingga pengelolaan drainase tanah harus menjadi perhatian dalam penggunaan lahan tersebut. Upaya drainase pada tanah gambut untuk pengembangan kelapa sawit tidak hanya fokus pada aktivitas untuk meningkatkan produksi tanpa memperhatikan faktor-faktor kelestarian sifat-sifat tanah gambut, tetapi harus ditekankan terhadap keduanya (Hasnol et al. 2011). Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa fluktuasi muka air tanah gambut sangat berpengaruh terhadap hidrofobisitas (Szajdak dan Szatylowicz 2010; Utami 2010), emisi karbon dari tanah (Berglund dan Berglund 2011; Handayani 2009), penurunan permukaan gambut (Wosten et al. 1997), produksi kelapa sawit (Hasnol et al. 2010, 2011; Lim et al. 2012).

Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan karbon pada ekosistem gambut. Pembuatan drainase pada lahan gambut diperlukan untuk pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit dan untuk akses jalan. Sejak dimulainya drainase, tanah gambut telah menjadi source CO2 sebagai

Gambar

Tabel 2.  Bilangan gelombang utama Infrared Spektogram sampel tanah gambut
Gambar 3.  Beberapa kemungkinan reaksi antara logam dengan senyawa organik
Tabel 3. Sifat fisik dan kimia tanah gambut dari kebun Panai Jaya dan Meranti Paham
Gambar 4.  Spektra FTIR tanah gambut saprik dan hemik dari Panai Jaya dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Variasi Kadar Karbon Organik Berdasarkan Perbedaan Kedalaman Muka Air pada Lahan Gambut yang Diusahakan untuk Komoditas Perkebunan adalah

Hasil kajian ini mengindikasikan bahwa untuk menekan kehilangan karbon atau emisi CO2 pada usaha tanaman tahunan di lahan gambut sebaiknya kedalaman muka air tanah maksimum ≤ 52

Peningkatan hasil gabah pada gambut pantai Samuda sekitar 40 % dicapai pada perlakuan terak baja 5,8 tonha tanpa tanah mineral (A7), dengan formulasi yang sama

tinggi muka air tanah 90 cm tanpa pemupukan mengalami peningkatan emisi CO 2 karena lapisan gambut di atas muka air tanah mengalami proses dekomposisi yang

Penelitian untuk mengevaluasi pengaruh kedalaman muka air tanah pada lahan gambut terhadap lilit batang karet PB260 TBM (umur 2-3 tahun) dan sifat kimia tanah gambut

tinggi muka air tanah 90 cm tanpa pemupukan mengalami peningkatan emisi CO 2 karena lapisan gambut di atas muka air tanah mengalami proses dekomposisi yang

Perlakuan tinggi muka air tanah di bawah -5cm menyebabkan peningkatan emisi CO 2 karena pada kondisi tersebut muka air tanah mengalami penurunan yang akan

Kombinasi kedalaman muka air tanah 70 cm dengan mulsa organik TKKS cenderung menghasilkan N total tanah gambut lebih tinggi disebabkan pada kedalaman muka air tanah 70 cm dapat