• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit mensyaratkan adanya drainase tanah untuk mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman. Drainase tanah gambut menurut Szajdak dan Szatylowicz (2010) dalam jangka panjang menyebabkan sejumlah dampak terhadap lapisan tanah di atas muka air tanah, meliputi penurunan muka air tanah, peningkatan aerasi, pelepasan karbon, dan penurunan permukaan tanah gambut (subsiden). Drainase tanah gambut yang berlebihan akan menyebabkan tanah mengering dan muncul sifat kering tak balik atau hidrofobisitas (Brandyk et al. 2002). Hidrofobisitas tanah gambut menyebabkan menurunnya kemampuan memegang air, infiltrasi tanah menurun, erosi permukaan, dan membatasi pertumbuhan tanaman (Dekker dan Ritsema 1995; Yulianti 2009; Szajdak dan Szatylowicz 2010).

Pengembangan sistem tata air dengan mempertahankan muka air tanah pada kedalaman tertentu sudah banyak dilakukan, namun yang dapat menjamin bahwa kelembaban tanah dapat terdistribusi (melalui gaya kapiler) sampai ke permukaan tanah belum banyak diketahui. Kedalaman muka air tanah juga harus dikaitkan dengan upaya menekan emisi karbon dari lahan gambut dan adanya peningkatan produksi tanaman. Dalam kerangka pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan pada lahan gambut, pengelolaan lahan seharusnya tidak lagi hanya menekankan pada aktivitas untuk meningkatkan produksi tanpa memperhatikan kelestarian sifat-sifat tanah gambut, tetapi harus ditekankan terhadap keduanya (Hasnol et al. 2011). Pemberian bahan amelioran juga diketahui dapat meningkatkan stabilitas tanah gambut dan menurunkan emisi karbon (Salampak 1999; Mario 2002; Sabiham et al. 2012).

Hidrofobisitas tanah gambut akan muncul jika terjadi penurunan kadar air dan tanah mengalami kekeringan. Dalam penelitian ini ditemukan suatu hubungan eksponensial yang erat antara hidrofobisitas tanah gambut dengan kadar air (kisaran R2 adalah 0.735 – 0.948, P<0.05). Hasil serupa juga diperoleh oleh Salmah et al. (1991) dan Azri (1999). Berdasarkan hubungan tersebut menunjukkan bahwa jika terjadi penurunan kadar air, maka akan terjadi peningkatan hidrofobisitas tanah gambut. Keberadaan air dalam tanah gambut sangat penting karena berhubungan erat dengan komposisi gugus-gugus fungionalnya, khususnya gugus karboksil. Hubungan tersebut berbentuk eksponensial (Gambar 9), dimana peningkatan kadar gugus karboksil nyata (P<0.05) meningkatkan kadar air tanah gambut. Menurut Sabiham (2000), keberadaan senyawa karboksilat berperan dalam pengikatan air secara kimia oleh tanah gambut. Jika tanah gambut mengalami kekeringan maka gugus-gugus fungsional bersifat polar (seperti gugus karboksil) akan saling berikatan dan gugus-gugus non polar menjadi terorientasi pada permukaan koloid organik (Valat et al. 1991). Hal tersebut menyebabkan perubahan komposisi komponen hidrofobik terhadap komponen hidrofilik, dan tanah gambut mengalami hidrofobisitas.

Faktor kadar air tanah ini dapat dikembangkan menjadi indikator untuk mengetahui terjadinya hidrofobisitas tanah gambut kaitannya dengan pengelolaan muka air tanah, khususnya di lapangan. Beberapa peneliti sebelumnya telah mengenalkan apa yang disebut sebagai kadar air kritis (KAK) untuk terjadinya hidrofobisitas tanah, yaitu suatu batasan kadar air tanah untuk menetapkan terjadi

atau tidaknya hidrofobisitas tanah. Dekker et al. (2001) mengenalkan KAK merupakan zona transisi, dimana batas atas adalah tanah masih dapat dibasahi dan batas bawah adalah tanah akan mengalami hidrofobisitas. KAK mudah untuk diterapkan sebagai indikator kekeringan tanah gambut dan terjadi tidaknya hidrofobisitas tanah di lapangan, kaitannya dengan pengelolaan muka air tanah.

Berdasarkan hubungan eksponensial antara kadar air tanah (KAT) dengan hidrofobisitas telah diperoleh KAK tanah gambut dari lokasi penelitian. KAK tanah gambut dari lokasi penelitian adalah 201 – 223%, 293 – 307%, 118 -126%, dan 184 – 213% berturut-turut untuk PAJ-hemik, PAJ-saprik, MEP-hemik, dan MEP-saprik. Berdasarkan hasil tersebut, KAK tanah gambut PAJ hemik > PAJ saprik > MEP hemik > MEP saprik. Riwandi (2001) memperoleh KAK tanah gambut dengan urutan fibrik > hemik > saprik. Tanah gambut hemik akan mengalami hidrofobisitas lebih cepat daripada jenis saprik. Tanah gambut hemik memiliki kandungan serat yang lebih tinggi daripada saprik, sehingga kapasitas menyimpan air gambut hemik lebih tinggi daripada saprik. KAK tanah gambut PAJ > MEP, artinya tanah gambut PAJ membutuhkan kandungan air yang lebih tinggi untuk menjaga tanah gambut tidak mengalami hidrofobisitas. Apabila terjadi penurunan kadar air, tanah gambut PAJ akan mengalami hidrofobisitas lebih cepat daripada tanah gambut MEP. Gambar 31 menggambarkan hubungan KAK tanah gambut dengan hidrofobisitas berbagai tanah gambut di lokasi penelitian. Penggunaan lahan di MEP yang lebih tua dibandingkan tanah gambut di PAJ, menyebabkan perbedaan beberapa sifat tanah seperti kematangan, bobot isi, kadar abu, dan retensi air. Kematangan gambut, bobot isi, dan kadar abu tanah gambut MEP lebih tinggi dibandingkan tanah gambut PAJ, sehingga menyebabkan adanya perbedaan KAK tanah gambut dari kedua lokasi tersebut. Nilai KAK tanah gambut sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik dan kimia tanah gambut tersebut (Riwandi 2001; Salmah et al. 1991; Winarna et al. 2014b).

Pengembangan metode evaluasi hidrofobisitas tanah gambut dapat dibantu dengan penggunaan FTIR spektroskopi yang mampu mendeteksi adanya perubahan komponen-komponen kimia dalam tanah gambut yang berperan dalam terjadinya hidrofobisitas. Analisis FTIR ditekankan pada identifikasi keberadaan gugus-gugus fungsional pembawa sifat hidrofobik (C-H, C=C) disebut komponen hidrofobik dan gugus-gugus pembawa sifat hidrofilik (O-H, C=O) disebut komponen hidrofilik. Gugus O-H ditemukan pada kisaran bilangan gelombang 2994 – 3740 cm-1, gugus fungsional C-H pada kisaran bilangan gelombang 2465 – 3011 cm-1 dan 1456 – 1458 cm-1, gugus C=O pada kisaran 1685 – 1829 cm-1 dan pada 1422 cm-1, sedangkan gugus C=C pada kisaran 1512

Gambar 31. Hubungan zone kadar air kritis (KAK) tanah gambut dengan hidrofobisitas berbagai tanah gambut di lokasi penelitian

Penurunan kadar air tanah cenderung mempengaruhi peningkatan komponen hidrofobik dan penurunan komponen hidrofilik (Gambar 13). Pada penelitian ini juga diperoleh hubungan yang erat antara kadar air tanah dengan rasio kedua komponen tersebut (Gambar 15). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hidrofobisitas tanah gambut (Ellerbrock et al. 2005; Utami et al. 2009; Matejkova dan Simon 2012). Perubahan komposisi komponen hidrofobik relatif terhadap komponen hidrofilik pada tanah gambut yang dikeringkan. Kisaran rasio komponen hidrofobik/hidrofilik tanah gambut yang telah mengalami hidrofobisitas pada penelitian ini berkisar 0.46 – 0.51, 0.49 – 0.51, 0.49 – 0.51, dan 0.49 – 0.51 berturut-turut untuk tanah gambut PAJ-saprik, PAJ-hemik, MEP-saprik, dan MEP-hemik. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu parameter penetapan hidrofobisitas tanah gambut di laboratorium, guna mendukung evaluasi dengan metode standar.

Pencegahan terjadinya hidrofobisitas tanah gambut dapat dilakukan secara langsung dengan mempertahankan kelembaban tanah gambut (Muller dan Deuer (2011). Selain pengaturan muka air tanah pada level yang menjamin air dapat terdistribusi sampai permukaan tanah, juga dapat dilakukan dengan ameliorasi dengan bahan kaya kation polivalen (terak baja). Pemberian terak baja pada tanah gambut nyata meningkatkan pH, kadar abu dan retensi air (pF4.2). Pemberian terak baja hingga dosis 22.44 g pot-1 dapat meningkatkan persentase air teretensi kuat sebesar 14.33% pada saprik dan 10.7% pada hemik. Nicolas (2002) bahwa penambahan terak baja menurunkan volume pori total tanah gambut. Penurunan tersebut utamanya disebabkan oleh adanya peningkatan kadar abu. Kadar abu berhubungan erat dengan bobot isi tanah gambut (Verry et al. 2011) dan porositas

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 0 20 40 60 80 100 120 K a d a r A ir T a n a h ( %, w w -1) Peluang Hidrofobisitas (%)

PAJ-S PAJ-H MEP-S MEP-H

Zone KAK PAJ-Hemik

Zone KAK PAJ-Saprik Zone KAK MEP-Hemik

tanah (Kurnain 2008), dimana bobot isi dan porositas tanah berpengaruh besar terhadap sifat retensi air dari tanah gambut. Kadar air yang teretensi pada pF4.2 (titik layu permanen) tidak dapat digunakan oleh tanaman, namun dapat menguntungkan untuk kelestarian sifat tanah gambut untuk mencegah kekeringan gambut. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pemberian terak baja pada tanah gambut dengan dosis hingga 22.44 g pot-1 mampu menurunkan waktu yang dibutuhkan tanah gambut untuk dapat menyerap air kembali setelah mengalami hidrofobisitas. Waktu (detik) penetrasi air ke dalam tanah gambut berhubungan erat (negatif) dengan pH, kadar abu, dan kadar air terikat kuat. Michel (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa penambahan bahan mineral pada tanah gambut hidrofobik akan meningkatkan wettability tanah gambut.

Penetapan kedalaman muka air tanah (MAT) pada upaya drainase tanah gambut seharusnya didasarkan pada terjadinya distribusi air tanah secara kapiler sampai ke permukaan tanah, selain penurunan emisi karbon dan peningkatan produksi kelapa sawit. Berdasarkan pengamatan kadar air aktual di petak penelitian, kedalaman muka air tanah MAT-1, MAT-2, dan MAT-3 nyata berpengaruh terhadap distribusi kelembaban tanah aktual pada lapisan lapisan atas 0-10 cm. Tingkat kelembaban tanah aktual di lapisan tersebut pada kondisi muka air tanah MAT-1 menunjukkan nilai tertinggi, diikuti pada kondisi MAT-2 dan terendah pada kondisi muka air tanah MAT-3. Perbedaan kadar air aktual yang cukup besar tersebut terutama terjadi pada saat bulan kering atau terjadi dry spell (hari berturut-turut tidak hujan) yang cukup panjang.

Kondisi muka air tanah MAT-3 menunjukkan distribusi kadar air tanah aktual yang jauh lebih rendah pada lapisan 0-2.5 cm, 2.5-5 cm, dn 5-10 cm dibandingkan dengan perlakuan MAT-1 dan MAT-2. Adanya dry spell yang cukup panjang pada bulan-bulan tersebut menyebabkan penurunan kedalaman muka air tanah, sehingga aliran air kapiler ke lapisan atas menjadi kecil dan terjadi penurunan kelembaban tanah pada lapisan tersebut. Perubahan tinggi muka air tanah mengakibatkan terjadinya pelepasan sejumlah volume air tanah dari lapisan di atasnya (Kurnain 2008). Kondukstivitas hidrolik dan porositas gambut yang tinggi mempercepat pelepasan kadar air tanah akibat isapan penurunan muka air tanah (Kurnain et al. 2006). Penurunan kadar air tanah aktual akibat kondisi muka air tanah MAT-3 lebih besar terjadi pada piringan pohon dibandingkan pada gawangan, dimana kondisi piringan pohon lebih terbuka dan cepat mengalami kekeringan.

Kadar air tanah gambut pada kondisi muka air tanah MAT-3 (70-90 cm) rentan mengalami hidrofobisitas yaitu pada lapisan 0-10 cm, baik di piringan pohon maupun di gawangan. Penurunan muka air tanah hingga >70 cm akan mempengaruhi distribusi kelembaban tanah pada seluruh profil tanah gambut dan mengakibatkan terjadinya pelepasan sejumlah volume air tanah pada lapisan di atasnya (Kurnain et al. 2006; Kurnain 2008). Kondisi ini akan semakin mudah terjadi pada saat bulan kering atau pada saat terjadi kondisi tidak hujan berturut-turut (dry spell). Menurut Salmah et al. (1991), kondisi dry spell 8 – 12 hari dengan suhu 40 oC dapat menyebabkan tanah gambut mengering dan terjadi hidrofobisitas.

Kondisi kelembaban tanah aktual pada lapisan 0-5 cm di piringan pohon selalu berada di bawah kisaran KAK (mengalami hidrofobisitas). Hal itu menunjukkan bahwa tanah gambut lapisan tersebut telah mengalami

hidrofobisitas secara terus menerus, dan bahkan Yulianti (2009) menyebutkan terjadinya pembentukan pasir semu (pseudosand). Tanpa pengelolaan muka air tanah dengan baik, hidrofobisitas aktual berpotensi terjadi pada lapisan yang lebih dalam pada kondisi bulan kering atau pada saat terjadi kondisi dry spell lebih dari 10 hari dengan suhu 40 oC (Salmah et al. 1991). Untuk itu, kedalaman muka air tanah yang selalu dikelola pada kedalaman sekitar 30-70 cm di bawah permukaan tanah (pembacaan piezometer) pada penelitian ini masih mampu mendistribusikan air tanah sampai ke permukaan tanah dan kelembaban tanah lebih besar dari KAK.

Hasil pengukuran emisi CO2 pada petak penelitian sebesar 28, 38, dan 50 ton ha-1 tahun-1 berturut-turut untuk kondisi muka air tanah pada 1, MAT-2, dan MAT-3. Penurunan muka air tanah lebih besar 70 cm (MAT-3) nyata meningkatkan emisi CO2 pada petak penelitian sekitar 32-77%. Emisi CO2 dan kedalaman muka air tanah menunjukkan hubungan yang linier dengan R2 sebesar 0.324. Hubungan yang serupa juga diperoleh oleh peneliti lain (Hooijer et al. 2010; Setyanto et al. 2010; Husnain et al. 2014). Muka air tanah yang lebih dalam menghasilkan lapisan gambut yang bersifat aerobik yang lebih tebal (Husnain et al. 2014). Selama musim kering, meskipun kadar air di lapisan atas mungkin rendah namun sebagian besar profil tanah yang didrainase cukup lembab untuk meningkatkan aktivitas mikroba aerobik. Pada musim hujan, kondisi profil tanah lebih lembab dan lebih sesuai untuk aktivitas mikrobia aerobik. Pengaruh berbagai dosis terak baja belum berpengaruh nyata terhadap penurunan emisi CO2 sebagai indikator stabilitas gambut. Hal ini diduga karena pelarutan bahan terak baja dan pembentukan komplek organo-logam stabil belum efektif sampai dengan pengamatan bulan November.

Gambar 32 menjelaskan hubungan fluks CO2 dengan kadar air tanah gambut pada kisaran kadar air yang lebar (kering – basah), dimana tanah gambut bersifat hidrofilik hingga bersifat hidrofobik. Pada kondisi tanah gambut hidrofilik, emisi CO2 tanah gambut menurun dengan meningkatnya kelembaban tanah lebih besar dari KAT kapasitas lapang. Hal ini karena kelembaban tanah yang berlebihan menurunkan ketersediaan oksigen dalam tanah dan menghambat aktivitas mikroba perombak, sehingga menurunkan emisi CO2 (Kechavarzi et al. 2010; Handayani 2009). Emisi CO2 tertinggi dicapai pada kondisi KAT berkisar antara KAK hingga KAT kapasitas lapang.

Pada kondisi kadar air tanah lebih rendah dari KAK, sebelah kiri zone KAK, tanah gambut lapisan atas mengalami hidrofobisitas (KAT < KAK). Pada kondisi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan gugus-gugus fungsional aktif (karboksil, hidroksil), penurunan proses biokimia (dekomposisi), terjadi pengeringan bahan gambut, sehingga proses dekomposisi bahan gambut akan mengalami penurunan dan emisi CO2 juga menurun. Berdasarkan ilustrasi Gambar 32 tersebut dapat dirumuskan bahwa untuk menjaga tanah gambut tetap hidrofilik dengan produktivitas tanaman tinggi dan emisi CO2 rendah harus dipertahankan pada kondisi kelembaban tanah sekitar kapasitas lapang. Kadar air tanah terlalu rendah (< KAK) menyebabkan tanah gambut mengalami hidrofobisitas, sedangkan pada kelembaban tanah yang ekstrim basah menurunkan produksi tanaman.

Gambar 32. Hubungan emisi CO2 dengan kadar air tanah dan kaitannya dengan hidrofobisitas tanah gambut, KAT = kadar air tanah, KAK = kadar air kritis tanah gambut, TBS = tandan buah segar kelapa sawit (umur 6 tahun), pF2.54 = kadar air kapasitas lapang

Perlakuan mandiri pengelolaan kedalaman muka air tanah berpengaruh nyata terhadap produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit umur 6 tahun. Kedalaman muka air tanah MAT-1 dan MAT-2 nyata meningkatkan produksi TBS berkisar 8-11% terhadap perlakuan MAT-3. Penurunan produksi TBS pada perlakuan MAT-3 disebabkan oleh adanya penurunan RBT, disamping adanya perbedaan jumlah tandan. Kedalaman muka air tanah MAT-3 nyata menurunkan rerata berat tandan (RBT) kelapa sawit berkisar 4-9% dibandingkan dengan perlakuan MAT-1 dan MAT-2. Pengaruh dosis terak baja hingga dosis 9.86 kg pohon-1 tidak nyata terhadap produksi TBS setahun. Namun demikian, aplikasi terak baja mulai menunjukkan kecenderungan peningkatan RBT mulai dosis 6.51 kg pohon-1. Berat tandan kelapa sawit merupakan komponen produksi yang dapat merespon perubahan lingkungan (perbedaan muka air tanah) dan pemupukan (aplikasi terak baja) lebih cepat (kurang dari 6 bulan) dibandingkan pembentukan tandan baru (Fairhurst dan Hardter 2003). Berat tandan kelapa sawit penentuannya dimulai setelah masa anthesis dan berakhir sekitar 3 bulan sebelum pematangan buah (Corley dan Tinker 2003).

Gambar 33 dapat menjadi dasar pemikiran mengenai implikasi hasil penelitian ini dalam pengelolaan kebun kelapa sawit di lahan gambut, disamping mempertimbangkan uraian sebelumnya. Pengelolaan muka air tanah pada kisaran 30 – 70 cm (perlakuan MAT-1 dan MAT-2) nyata meningkatkan produksi kelapa sawit dibandingkan perlakuan MAT-3 (kedalaman muka air tanah > 70 cm). Produksi TBS pada perlakuan MAT-1 > MAT-2 > MAT-3. Emisi CO2 pada perlakuan kedalaman muka air tanah MAT-1 < MAT-2 < MAT-3. MAT-1 dan MAT-2 nyata menurunkan emisi CO2 dibandingkan MAT-3. Emisi CO2 yang dihasilkan dari perlakuan MAT-1 dan MAT-2 < 40 ton CO2 ha-1 tahun-1 (IPCC 2014), sedangkan pada WLM-3 > IPCC (2014). Aplikasi berbagai dosis terak baja pada penelitian ini pada tahun pertama tidak menunjukkan pengaruh yang

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 100 200 300 400 500 600 E m is i C O2 (t on h a -1 tah u n -1)

Kadar Air Tanah (%, w w-1)

Hidrofobik (KAT < KAK) Hidrofilik (KAT > KAK)

Ambang Emisi CO2 (IPCC 2014)

KAT pF2.54 354-375 Z on e K A K 18 Ton TBS ha-1 19-20 Ton TBS ha-1 16 Ton TBS ha-1

nyata terhadap produksi TBS. Namun aplikasi terak baja dapat memperbaiki sifat-sifat tanah gambut dan dapat meningkatkan rerata berat tandan pada periode tahun pertama penelitian. Untuk mengetahui pengaruh aplikasi terak baja terhadap produksi kelapa sawit memerlukan waktu pengamatan yang lebih lama. Pada jangka panjang aplikasi terak baja diharapkan dapat meningkatkan jumlah tandan dan rerata berat tandan, sehingga produksi TBS kelapa sawit umur 6 tahun meningkat.

Gambar 33. Hubungan antara perlakuan pengelolaan kedalaman muka air tanah dan aplikasi terak baja dengan produksi TBS dan emisi CO2 tanah gambut kebun Panai Jaya (umur 6 tahun)

0 10 20 30 40 50 60 0 5 10 15 20 25

MAT-1 MAT-2 MAT-3

E m is i C O 2 (to n h a -1 ta h u n -1) Pr o d u k si T B S ( to n h a -1 ta h u n -1)

Kedalaman Muka Air Tanah

0 kg TB phn-1 3.15 kg TB phn-1 6.51 kg TB phn-1 9.86 kg TB phn-1

8 SIMPULAN DAN SARAN