• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variasi kadar karbon organik berdasarkan perbedaan kedalaman muka air pada lahan gambut yang diusahakan untuk komoditas perkebunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Variasi kadar karbon organik berdasarkan perbedaan kedalaman muka air pada lahan gambut yang diusahakan untuk komoditas perkebunan"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

VARIASI KADAR KARBON ORGANIK

BERDASARKAN PERBEDAAN KEDALAMANMUKA AIR

PADA LAHAN GAMBUT YANG DIUSAHAKAN

UNTUK KOMODITAS PERKEBUNAN

ROVANTY FRIZDEW

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

ROVANTY FRIZDEW. Variations of organic carbon content as related to the difference in water table levels of peatlands cultivated for plantation commodities. Under supervision of SUPIANDI SABIHAM, UNTUNG SUDADI and BUDI NUGROHO.

Peatlands are important sinks for the atmospheric carbon (C) and play major roles in the global C cycle. In virgin forest, C sink and emission is balanced. During land reclamation, this balance is disturbed by drainage channel construction which affects water table level and other consequences. It is therefore important to study the effects of drainage channel construction on the distribution of soil C content and its dynamics. This research aimed at to evaluate: (1) the effects of distance to the drainage channel in water table level, (2) the effects of water table level on organic-C content, and (3) the relationships among organic-C content with the characteristics of peatland based on land use time for cultivation of plantation commodities. The research was conducted in Bengkalis District, Riau Province from January until June 2011. The characteristics of peatland observed were bulk density, ash content, peat thickness, and water table level. The results showed that the closer the distance from drainage channel, the deeper was the water table level. Two patterns of the relationship between water table level and organic-C content were observed. The first pattern at 50-100 cm layer was the increase in organic-C with the decrease in water table level up to water table level about -46.5 cm. The second at 0-50 cm layer was the opposite of first pattern up to water table level about -49 cm. Peatlands of the study area were characterized by organic-C content of 55.16-57.28%, bulk density of 0.04-0.11 g/cm3, ash content of 1.25-4.90%, water content of 492.54-1226.81%, and degree of peat maturity of fibric, hemic and sapric with fibre content of 11.67-35%. Generally, at 0-50 cm layer organic-C content was influenced significantly by ash content, with at 50-100 cm layer was by ash content and water table level.

(3)

RINGKASAN

ROVANTY FRIZDEW. Variasi kadar karbon organik berdasarkan perbedaan kedalaman muka air pada lahan gambut yang diusahakan untuk komoditas perkebunan. Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM, UNTUNG SUDADI dan BUDI NUGROHO.

Peran lahan gambut sebagai penyimpan karbon (C) dan sumber emisi CO2

sangat penting. Lahan gambut menyimpan C dalam jumlah lebih tinggi

dibandingkan dengan tanah mineral. Dalam keadaan hutan alami, penyerapan C

(sink) dan pelepasan C (emission) lahan gambut seimbang. Keseimbangan

tersebut akan terganggu oleh pembuatan saluran drainase dalam proses reklamasi

lahan.

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi: (1) pengaruh jarak dari saluran

drainase terhadap kedalaman muka air tanah, (2) pengaruh kedalaman muka air

tanah terhadap C-organik dan (3) hubungan antara kadar C-organik dengan

berbagai karakteristik lahan gambut berdasarkan umur penggunaan lahan untuk

komoditas perkebunan. Penelitian di lapangan dilaksanakan pada bulan Januari

sampai Februari 2011, yaitu di lahan gambut Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.

Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan

Sumberdaya Lahan IPB.

Kajian ini dilaksanakan pada beberapa lokasi dengan berbagai jenis

penggunaan lahan gambut yang didrainase dan dikelompokkan berdasarkan umur

penggunaan lahan, yaitu: <6 tahun (desa Sepahat, karet umur 5 tahun dan kelapa

sawit umur 4 tahun dan desa Selensing, kelapa sawit umur 2 tahun) dan >6 tahun

(desa Tanjung Leban, karet umur >15 tahun; desa Medangkampai, nenas umur 8

tahun dan PT. MESKOM, kelapa sawit umur 7 tahun).

Penetapan kadar C-organik dilakukan dengan metode pengabuan kering

(Loss on Ignition, LOI). Karakteristik gambut yang dianalisis meliputi: kadar air,

bobot isi, kadar abu, kadar serat, dan kedalaman muka air tanah. Pengambilan

contoh dan penentuan sifat-sifat gambut di lapang dilakukan pada setiap transek di

5 titik pengamatan yang mewakili jarak dekat (5 m) sampai jauh (200 m) dari

(4)

contoh gambut di lapang menggunakan bor gambut setengah silinder dengan

kapasitas 500 cm3.

Secara umum, semakin jauh dari saluran drainase kedalaman muka air

tanah semakin dangkal (dekat permukaan tanah). Diperoleh dua pola hubungan

antara kedalaman muka air tanah dengan kadar C-organik. Pola pertama pada

lapisan gambut 50-100 cm menunjukkan peningkatan C-organik dengan semakin

dangkalnya kedalaman muka air tanah hingga mencapai kedalaman muka air

tanah sekitar -46.5 cm. Pola kedua pada lapisan gambut 0-50 cm menunjukkan

penurunan C-organik dengan semakin dangkalnya kedalaman muka air tanah

hingga mencapai kedalaman muka air tanah sekitar -49 cm.

Dari semua pengelompokan umur penggunaan lahan di lapisan gambut

0-50 cm dan 50-100 cm diperoleh kisaran nilai rata-rata kadar C-organik

55.16-57.28%, bobot isi 0.04-0.11 g/cm3, kadar abu 1.25-4.90%, kadar air

492.54-1226.81%, tingkat kematangan fibrik, hemik dan saprik dengan kisaran kadar

serat 11.67-35%. Secara umum, kadar abu berpengaruh signifikan pada lapisan

mgambut 0-50 cm dan tinggi muka air tanah dan kadar abu pada lapisan gambut

(5)
(6)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Variasi Kadar Karbon Organik Berdasarkan Perbedaan Kedalaman Muka Air pada Lahan Gambut yang Diusahakan untuk Komoditas Perkebunan adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

VARIASI KADAR KARBON ORGANIK

BERDASARKAN PERBEDAAN KEDALAMAN MUKA AIR

PADA LAHAN GAMBUT YANG DIUSAHAKAN

UNTUK KOMODITAS PERKEBUNAN

ROVANTY FRIZDEW

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Mengetahui

(10)

Judul Tesis : Variasi Kadar Karbon Organik Berdasarkan Perbedaan Kedalaman Muka Air pada LahanGambut yang Diusahakan untuk Komoditas Perkebunan

Nama : Rovanty Frizdew

NRP : A151080071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Untung Sudadi, M.Sc Dr. Ir. Budi Nugroho, M.Si

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Tanah

Ir. Atang Sutandi, M.Si, PhD Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang dilaksanakan sejak Januari hingga Juni 2011 dan penulisan tesis yang berjudul Variasi Kadar Karbon Organik Berdasarkan Perbedaan Kedalaman Muka Air pada Lahan Gambut yang Diusahakan untuk Komoditas Perkebunan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.

Atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan tesis, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada semua pihak terutama kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, Dr. Ir. Untung Sudadi, M.Sc dan Dr. Ir. Budi Nugroho, M.Si yang telah membimbing, memberi ide, masukan, arahan, waktu serta motivasi yang luar biasa kepada penulis selama penyelesaian tesis.

2. Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi yang telah menguji, memberi saran dan masukan dalam penulisan tesis.

3. Dekan SPs IPB dan semua staf yang telah membantu penulis selama menyelesaikan studi di IPB.

4. Staf pengajar Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB.

5. Sahabat-sahabat penulis di setiap Program Studi di Lingkungan Departemen ITSL IPB atas dukungan dan kekeluargaannya selama perkuliahan.

6. Kedua orang tua tercinta, Papa (Alm. Refrizon Yunus) dan Mama (Rusymaladewi Rusyid, S.Pd), Kakak (Besta Rahma Frizdew, S.Pd dan Besti Rahma Frizdew, S.Hum), Adik (Michiko Jamilah Frizdew) serta semua keluarga yang telah memberikan semangat, perhatian, nasehat, do’a, kasih sayang dan pengorbanan yang tak terhingga.

7. Suami tersayang, Fitriyono Ayustaningwarno, S.Tp., M.Si dan calon anak pertama kami untuk keikhlasan dan kehadirannya yang luar biasa dalam hidup ini.

8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu untuk doa dan dukungannya kepada penulis selama masa studi dan mengerjakan tesis.

Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Agustus 2012

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 18 Februari 1985. Penulis

merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Alm. Refrizon Yunus

dan Rusymaladewi Rusyid.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMAN 2 Padang dan pada tahun yang sama

lulus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program

studi S1 Agronomi Fakultas PertanianUniversitas Riau. Pada tahun 2008 penulis

menyelesaikan Program S1 Agronomi dengan judul skripsi Pengaruh Dregs

Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung (Zea mays, L) di Lahan Gambut

danpada tahun yang sama mendapat kesempatan melanjutkan program S2 di

Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Selama perkuliahan, penulis aktif menjadi pengurus inti di organisasi

kemahasiswaan daerah, lingkungan departemen dan lingkungan se-pascasarjana

IPB. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti seminar-seminar ilmiah dan non

ilmiah baik tingkat nasional maupun international. Penulis juga berkesempatan

menyelesaikan perkuliahan lintas mayor AMDAL-A (Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan Dasar) pada tahun 2010. PadaNovember 2011 penulis menikah

(13)

DAFTAR ISI

Sifat dan Karakteristik Gambut ... Pemanfaatan Lahan Gambut di Indonesia... Drainase dan Karakteristik Lahan Gambut ... Drainase Lahan Gambut dan Kehilangan Karbon...

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat... Metode Penelitian di Lapangan... Metode Penelitian di Laboratorium... Analisis Data...

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan transek kedalaman muka air tanah dan permukaan tanah berdasarkan jarak dari saluran drainase...

Pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap kadar C-organik...

Hubungan kadar C-organik dengan kedalaman muka air, bobot isi, kadar abu, kadar serat, dan kadar air...

(14)

xii

DAFTAR TABEL

halaman

1 Persyaratan muka air tanah untuk tanaman yang ditanam di lahan gambut...

2 Lokasi kajian berdasarkan wilayah administratif dan jenis penggunaan lahan...

3 Peralatan yang digunakan di lapangan………...……….

4 Peralatan yang digunakan di laboratorium………..

5 Kadar C-organik di setiap transek pada berbagai kedalaman muka air tanah………...

6 Ringkasan hasil backward stepwise analysis terhadap model regresi linier berganda untuk kelompok penggunaan lahan umur <6 tahun pada lapisan gambut 0-50 cm dan 50-100 ....………..

7 Ringkasan hasil backward stepwise analysis terhadap model regresi linier berganda untuk kelompok penggunaan umur lahan >6 tahun pada lapisan gambut 0-50 cm dan 50-100 cm……...………..

8 Hubungan antara kadar C-organik dan tinggi muka air (TMA), kadar air (KA), kadar abu (KAb), bobot isi (BI) dan kadar serat (KS) tanpa pengelompokan lokasi/transek dan umur penggunaan lahan pada lapisan 0-50 cm dan 50-100 cm………..

7

12

16

18

27

31

33

(15)

xiii

DAFTAR GAMBAR

halaman

1 Lokasi penelitian lapangan lahan gambut Kabupaten Bengkalis

Provinsi Riau………...

2 Lokasi penelitian dan kondisi penggunaan lahan di setiap transek..…...

3 Penentuan titik pengamatan di lapangan...

4 Pengukuran kedalaman muka air tanah di lahan gambut...

5 Hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan kedalaman muka air tanah dan tinggi permukaan tanah pada setiap transek.…………...

6 Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan kadar C-organik pada lapisan gambut 0-50 cm……….

7 Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan kadar C-organik pada lapisan gambut 50-100 cm……….………

8 Kadar C-organik di kebun kelapa sawit 2 tahun desa Selensing pada berbagai kedalaman muka air tanah………..

9 Kadar C-organik di kebun kelapa sawit 4 tahun desa Sepahat pada berbagai kedalaman muka air tanah……….………...

10 Kadar C-organik di kebun karet 5 tahun desa Sepahat pada berbagai kedalaman muka air tanah………. .

11 Kadar C-organik di kebun kelapa sawit 7 tahun PT. MESKOM pada berbagai kedalaman muka air tanah………..

12 Kadar C-organik di kebun nenas 8 tahun desa Medangkampai pada berbagai kedalaman muka air tanah ……….

13 Kadar C-organik di kebun karet >15 tahun)desa Tanjung Leban pada berbagai kedalaman muka air tanah ……….

14 Diagram hubungan antara kadar C-organik dan tinggi muka air

(TMA), kadar air (KA), kadar abu (KAb), bobot isi (BI), dan kadar serat (KS) tanpa pengelompokan lokasi/transek dan umur penggunaan lahan pada lapisan 0-50 cm dan 50-100 cm………..

15 Kadar C-organik pada lapisan gambut 0-50 cm dan 50-100 cm di penggunaan lahan umur <6 tahun dan >6 tahun…...

(16)

xiv

16 Bobot isi pada lapisan gambut 0-50 cm dan 50-100 cm dipenggunaan lahan umur <6 tahun dan >6 tahun...

17 Kadar abu pada lapisan gambut 0-50 cm dan 50-100 cm di penggunaan lahan umur <6 tahun dan >6 tahun...………..

18 Kadar serat pada lapisan gambut 0-50 cm dan 50-100 cm di penggunaan lahan umur <6 tahun dan >6 tahun...……….

19 Kadar air pada lapisan gambut 0-50 cm dan 50-100 cm di penggunaan lahan umur <6 tahun dan >6 tahun...

37

39

39

(17)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

1 Pengambilan contoh gambut menggunakan bor gambut

Eijkelkamp...

2 Penentuan kadar karbon gambut dengan metode pengabuan kering LOI (Loss on Ignition)...

3 Penentuan bobot isi (dimodifikasi dari Agus et al., 2007)…………..

4 Posisi geografis, tinggi permukaan tanah, kedalaman muka air dan ketebalan gambut...

5 Karakteristik gambut lokasi kajian berdasarkan pengelompokan umur penggunaan lahan <6 tahun dan >6 tahun...……...

46

48

50

51

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem gambut mempunyai peranan yang sangat penting dalam skala

global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat karena

menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai

air, menyimpan karbon, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati

dengan berbagai jenis flora dan fauna langka yang hanya dijumpai pada ekosistem

ini. Disisi lain, ekosistem gambut sangat unik, rapuh dan memiliki sifat tidak

dapat diperbaharui, proses pembentukannya memerlukan waktu ribuan tahun, dan

bila terjadi kerusakan sangat sulit untuk diperbaiki atau bahkan tidak bisa pulih

sama sekali.

Lahan gambut menyimpan lebih banyak karbon dibandingkan dengan

tanah mineral. Karbon yang tersimpan dalam tanah dan tumbuhan pada lahan

gambut jumlahnya mencapai 10 kali jumlah karbon yang disimpan oleh tanah dan

tumbuhan pada tanah mineral di daerah tropis (Hairiah dan Rahayu, 2007).

Mengingat cadangan karbon yang besar pada lahan gambut sedangkan

ekosistemnya sangat rapuh, maka apabila tidak dikelola dengan baik akan

menyebabkan kehilangan karbon yang banyak, terutama dalam bentuk gas metan

(CH4) dan karbon dioksida (CO2) ke atmosfer sehingga semakin meningkatkan

emisi gas rumah kaca (GRK).

Penyerapan karbon (sink) dan pelepasan karbon (emission) di lahan

gambut dalam keadaan hutan alami berjalan seimbang. Emisi CO2 yang

bersumber dari lahan gambut menjadi dominan apabila hutan gambut terganggu.

Salah satu penyebab terganggunya hutan gambut adalah proses reklamasi lahan

yang diawali dengan pembuatan saluran drainase. Pembuatan saluran drainase

mengubah suasana lahan gambut dari anaerob menjadi aerob karena terjadi

penurunan muka air tanah sehingga kehilangan karbon melalui proses

dekomposisi bahan organik material gambut akan meningkat.

Penelitian Silins dan Rothwell (1998) menunjukkan bahwa drainase

berpengaruh terhadap peningkatan bobot isi dan terjadinya subsiden, serta

(19)

 

bahwa bobot isi mencapai nilai 0.3 g cm-3 pada kedalaman 0-50 cm di lahan

gambut yang telah dikonversi menjadi areal kelapa sawit.

Peranan lahan gambut yang sangat penting sebagai penyimpan karbon dan

sumber emisi CO2, menjadikan pengukuran dan monitoring karbon tersimpan atau

karbon yang hilang pada lahan gambut juga penting. Tersedianya data kadar air,

kadar abu, bobot isi, dan karbon organik yang representatif dapat digunakan untuk

memprediksi kandungan atau kehilangan atau emisi karbon dari lahan gambut.

Berkaitan dengan hal ini, Gronlund et al. (2008) telah menggunakan data kadar

abu gambut untuk mengestimasi kehilangan karbon dari lahan gambut yang diolah

untuk usaha pertanian, khususnya pada lahan gambut yang dipupuk di Norwegia.

Turetsky dan Wieder (2001) juga telah menggunakan data kadar abu untuk

menghitung kehilangan bahan organik akibat kebakaran hutan gambut di Kanada.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian mengenai variasi kadar

karbon organik telah dilakukan pada lahan gambut yang sudah terdrainase,

sehingga kehilangan karbon organik diasumsikan lebih dominan akibat proses

dekomposisi bahan organik atau oksidasi yang menghasilkan CO2. Oksidasi

material gambut akan menyisakan bahan mineral (abu). Dalam penelitian ini,

pengaruh kadar air dievaluasi berdasarkan kedalaman muka air tanah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi: (1) pengaruh jarak dari saluran

drainase terhadap kedalaman muka air tanah, (2) pengaruh kedalaman muka air

tanah terhadap kadar karbon organik dan (3) hubungan antara kadar karbon

organik dengan berbagai karakteristik gambut berdasarkan umur penggunaan

lahan yang diusahakan untuk komoditas perkebunan.

Manfaat Penelitian

Data mengenai kadar karbon organik pada berbagai kondisi lahan gambut

berguna sebagai acuan dalam memperkirakan umur guna lahan dan tindakan

konservasi yang tepat. Data mengenai pengaruh kadar air terhadap karakteristik

(20)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Sifat dan Karakteristik Gambut

Gambut didefinisikan sebagai tanah organik yang meliputi luas

sekurang-kurangnya satu hektar dengan ketebalan setengah meter atau lebih dan kandungan

mineral tidak melebihi 35%. Jika kandungan mineral melebihi 35% tetapi masih

kurang dari 65%, maka tanah tersebut didefinisikan sebagai sepuk (muck) yang

telah matang (Soil Survey Staff, 1975). Gambut dapat diartikan sebagai deposit

atau endapan organik yang sedikit atau belum mengalami pelapukan, sedangkan

sepuk (muck) diartikan sebagai tanah yang telah mengalami pelapukan lebih lanjut

sehingga bahan tanaman asal tidak dikenal lagi (Brady, 1990).

Menurut Andriesse yang dikutip oleh Sabiham (2006), gambut adalah

jaringan tanaman dan organisme mati lainnya yang terkarbonasi sebagian melalui

proses dekomposisi dalam keadaan basah. Menurut Soil Survey Staff (2003),

tanah gambut tersusun dari bahan organik dengan ketebalan minimal 40 cm

tergantung dari bobot isi dan tingkat dekomposisi bahan organiknya, dan ukuran

bahan tanaman kurang dari 2 mm. Syarat-syarat tanah gambut yaitu jenuh air

kurang dari 30 hari/tahun dan mengandung ≥ 20% C-organik atau jenuh air

selama ≥ 30 hari dan kandungan C-organik ≥ 18% bila pada tanah mineral ≥ 60%

liat atau ≥ 12% bila pada tanah mineral tanpa liat atau lebih dari [12 + (% liat x

0.1)]% bila pada tanah mineral < 60% liat.

Sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting diantaranya adalah bahan

penyusun tanah gambut yang dicerminkan oleh bobot isi, tingkat dekomposisi

(kandungan serat), porositas dan distribusi ukuran pori, serta retensi air dan

kandungan air dalam keadaan jenuh.

Bobot isi gambut tergantung kematangannya berkisar 0.01-0.20 g cm-3,

sedangkan bobot isi tanah mineral berkisar 1.2-1.8 g cm-3. Rendahnya bobot isi

mencirikan rendahnya daya dukung lahan tersebut. Bobot isi gambut di Sebangau

dan Durian Rasau di Kalimantan Barat berkisar 0.08-0.18 g cm-3, sedangkan di

Teluk Meranti, Riau berkisar 0.05 g cm-3 (Driessen dan Rochimah, 1976;

Sumawinata dan Mulyanto, 2004). Di Danau Sentarum, Kalimantan Barat bobot

(21)

4

erat kaitannya dengan tingkat kematangan gambut. Semakin matang gambut

semakin besar nilai bobot isinya.

Hidayanti (2006) menyatakan bobot isi gambut fibrik di Riak Siahun,

Bengkulu sebesar 0.12 g cm-3. Menurut Agus dan Subiksa (2008) rendahnya

bobot isi gambut menyebabkan kapasitas menahan/menyangga (bearing capacity)

menjadi rendah sehingga menyulitkan operasi peralatan mekanisasi, karena lahan

terlalu lembek dan tanaman perkebunan sulit untuk tegak (doyong).

Berdasarkan tingkat dekomposisinya, tanah gambut dapat dibedakan

menjadi (1) gambut kasar (fibrist) yaitu gambut dengan lebih dari 2/3 bahan

organik kasar dengan bobot isi kurang dari 0.1 g cc-1, (2) gambut sedang (hemist)

dengan 1/3-2/3 bahan organik kasar dengan bobot isi antara 0.1-0.2 g cc-1, dan (3)

gambut halus (saprist) dengan bahan organik kasar kurang dari 1/3 dengan bobot

isi lebih besar dari 0.2 g cc-1 (Hardjowigeno, 1996). Tingkat dekomposisi gambut

sangat mempengaruhi sifat fisik tanah gambut.

Porositas dan distribusi pori di dalam tanah gambut banyak ditentukan

oleh tingkat dekomposisi dan bahan penyusun atau tipe gambut. Semakin matang

tanah gambut, maka porositas tanah semakin rendah dan distribusi ukuran pori

cukup merata, sedangkan semakin tidak matang, maka gambut menjadi sangat

porus dengan distribusi ukuran pori tidak merata.

Gambut mempunyai daya menahan air yang sangat besar, dimana air yang

diretensi bisa 10 kali lebih besar dari yang diretensi pada tanah mineral.

Kandungan air dalam tanah gambut pada keadaan jenuh tergantung pada tingkat

dekomposisinya. Kandungan air dalam tanah gambut harus selalu dipertahankan,

baik untuk kebutuhan tanaman maupun untuk tanah itu sendiri. Apabila gambut

terlalu kering, maka akan terjadi kering tak balik (irreversible drying) dan gambut

yang demikian akan sulit diusahakan untuk pertanian serta rawan terbakar.

Menurut Sabiham (2006) sifat kering tak balik gambut dapat terjadi akibat

dari reklamasi rawa gambut secara berlebihan yang mengakibatkan gambut tidak

lagi mampu menyerap air. Kering tak balik cepat terjadi pada gambut dengan

bobot isi rendah (fibrik), sedangkan pada hemik dan saprik kemungkinan terjadi

kering tak balik lebih kecil (Andriesse, 1988). Kering tak balik erat kaitannya

(22)

5

Kapasitas menahan air gambut sangat tinggi, untuk fibrik 850-3000%,

hemik 450-850%, dan saprik <450% (Andriesse, 2003). Kandungan air gambut

Terusan Sumatera Barat berkisar antara 200-800% (Nugroho dkk, 1997). Gambut

saprik Kalimantan memiliki kandungan air sekitar 330% pada saat kapasitas

lapang, sedangkan pada fibrik 631%. Di lapangan kadar air yang bervariasi ini

tidak hanya mempunyai keterkaitan dengan tingkat kematangan atau tingkat

dekomposisi gambut. Kadar air yang tinggi lebih banyak disebabkan oleh bentuk

permukaan tanah mineral yang cekung yang berada di bawah lapisan gambut.

Dengan kemampuan menampung air yang tinggi, maka daerah cekungan dapat

berfungsi sebagai penyimpan air yang cukup besar (Sabiham, 2006).

Laju dekomposisi merupakan salah satu penyebab terjadinya subsiden

(penurunan permukaan lahan) pada tanah gambut yang tidak diimbangi dengan

akumulasi bahan organik (Sabiham, 2006). Penurunan permukaan gambut

menyebabkan menurunnya kemampuan gambut menahan air. Apabila kubah

gambut sudah mengalami penciutan setebal satu meter, maka lahan gambut

tersebut akan kehilangan kemampuannya dalam menyangga air sampai 90 cm

atau ekivalen dengan 9.000 m3 ha-1. Dengan kata lain lahan di sekitarnya akan

menerima 9.000 m3 air lebih banyak bila terjadi hujan deras. Sebaliknya karena

sedikitnya cadangan air yang tersimpan selama musim hujan, maka cadangan air

yang dapat diterima oleh daerah sekelilingnya menjadi lebih sedikit dan daerah

sekitarnya akan rentan kekeringan pada musim kemarau. Subsiden di tanah

gambut tergantung pada intensitas kegiatan budidaya tanaman, drainase, tingkat

kematangan gambut, masa reklamasi dan ketebalan gambut.

Pada lahan gambut tebal, daur ulang hara di lapisan atas sangat sedikit dan

terbatas. Oleh karena itu, pertumbuhan tanaman perkebunan lebih baik daripada

tanaman semusim di lahan gambut. Hubungan ketebalan gambut dengan

kematangan dan bobot isi sangat erat. Pada bagian permukaan lahan gambut,

tingkat kematangannya di antara hemik dan fibrik dan mempunyai bobot isi

sekitar 0.05-0.10 g cm-3, sedangkan pada rongga-rongga yang umumnya fibrik

<0.05 g cm-3 (Sabiham, 2006).

Kandungan C-organik dalam tanah gambut tergantung tingkat

(23)

6

dalam tanah gambut. Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti hemik dan

saprik akan menunjukkan kadar C-organik lebih rendah dibandingkan dengan fibrik.

Kandungan C-organik gambut dapat bervariasi dari 12-60%. Kisaran besaran ini

menunjukkan jenis bahan organik, tahap dekomposisi dan kemungkinan juga metode

pengukurannya (Andriesse, 2003).

Kadar abu dapat dijadikan gambaran kesuburan tanah gambut. Kadar abu

tanah gambut beragam antara 5-65%. Makin tinggi kadar abu, makin tinggi

mineral yang terkandung pada gambut. Makin tebal gambut, makin rendah kadar

abunya. Kadar abu gambut sangat dalam (tebal >3m) sekitar 5%, gambut dalam

dan tengahan (tebal 1-3 m) sekitar 11-12%, dan gambut dangkal sekitar 15%

(Noor, 2001). Kadar abu dan kadar bahan organik mempunyai hubungan dengan

tingkat kematangan gambut. Kompisisi bahan organiknya banyak didominasi

oleh lignin yang mencapai lebih dari 60% bahan kering, sedangkan komposisi

bahan organik lainnya seperti selulosa, hemiselulosa serta protein masing-masing

tidak lebih dari 11% (Polak, 1975).

Pemanfaatan Lahan Gambut di Indonesia

Di Indonesia, tanah gambut banyak diusahakan untuk tanaman padi

terutama untuk gambut yang tidak terlalu dalam dan ada pula untuk tanaman

buah-buahan (seperti nenas, pepaya dan rambutan) dan tanaman perkebunan

(terutama kelapa, kelapa sawit, kopi dan karet) dan Acacia crassicarpa sebagai

hutan tanaman industri (Sabiham, 2006).

Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap

cekaman air yang berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan

mempermudah pengaturan tata air pada saat yang tepat sehingga mengurangi

terjadinya cekaman air dan penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman

tanaman pada lahan gambut khususnya tanaman semusim, pengaturan tata air

harus mempertimbangkan kebutuhan tanaman dan disesuaikan dengan

ketersediaan air tanah. Persyaratan muka air tanah untuk tanaman yang ditanam di

(24)

7

Tabel 1. Persyaratan muka air tanah untuk tanaman yang ditanam di lahan gambut

Tanaman Persyaratan muka air tanah (cm)

Kelapa sawit 50-75

Nanas 60-90 Sagu 20-40

Ubi kayu 15-30

Kacang tanah 65-85

Kedelai 25-45 Jagung

Ubi jalar Sayuran

75 25 30-60 Sumber: Ambak dan Melling (2000)

Adanya gangguan selama aktivitas reklamasi dan pengelolaan lahan

gambut meliputi: pengeringan/ drainase, pembakaran, penggenangan, pengolahan

tanah, serta pemupukan, juga mempercepat degradasi gambut. Penebangan hutan

gambut menyebabkan meningkatnya: insiden cahaya matahari langsung ke

permukaan tanah gambut, suhu, aktivitas mikroorganisme perombak gambut dan

ketersediaan bahan organik segar yang mudah dirombak secara aerobik yang

menghasilkan CO2, maupun anaerobik yang menghasilkan CH4.

Kebakaran gambut meningkatkan emisi CO2 dari oksidasi biomassa

tanaman dan lapisan gambut yang terbakar. Kebakaran sering terjadi sewaktu

pembukaan hutan atau pada masa kemarau panjang. Pada praktek pertanian secara

tradisional lapisan gambut kadangkala sengaja dibakar untuk mengurangi

kemasaman dan meningkatkan kesuburan tanah sehingga kontribusi gambut

terhadap emisi CO2 meningkat. Selain itu penggunaan pupuk, misalnya pupuk

nitrogen, akan menurunkan rasio C/N dan mendorong perombakan bahan organik

oleh jasad renik. Berbagai jenis pupuk dan amelioran yang meningkatkan pH

gambut juga mempercepat perombakan gambut oleh jasad renik. Sebaliknya

penggunaan ion polivalen seperti Al3+ dan Fe3+ yang membentuk kompleks kelat

(chelate) dengan asam organik gambut akan membantu mengurangi dekomposisi

(25)

8

Drainase dan Karakteristik Lahan Gambut

Pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi

pembukaan lahan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya.

Fungsi gambut sebagai pengatur hidrologi dapat terganggu apabila mengalami

drainase yang berlebihan karena material ini memiliki sifat kering tidak balik,

porositas yang tinggi, dan daya hantar vertikal yang rendah. Gambut yang telah

mengalami kekeringan melebihi atau sampai dengan batas kering tidak balik akan

memiliki bobot isi yang sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa aliran

permukaan, terutama pada saat hujan, strukturnya lepas seperti lembaran serasah,

mudah terbakar, dan sulit menjerap air kembali (Sabiham, 2006).

Drainase yaitu suatu tindakan yang diberikan terhadap tanah untuk

membuang kelebihan air dari tanah, bertujuan utama membuang air lebih di atas

permukaan tanah secepat-cepatnya dan mempercepat gerak aliran air ke bawah di

dalam profil tanah sehingga permukaan air tanah turun. Perbaikan drainase

menyebabkan perbaikan peredaran udara di dalam tanah, menghilangkan unsur

atau senyawa racun, dan merangsang pertumbuhan akar tanaman sehingga

menjadi besar dan dalam (Arsyad, 2000).

Drainase harus dilakukan secara ekstra hati-hati, yaitu dengan tetap

mempertahankan tinggi muka air tanah gambut sesuai kebutuhan tanaman.

Kondisi over drainage akan sangat membahayakan, karena selain gambut akan

menjadi kering dan rentan terhadap api, juga terjadi subsidence / amblasan pada

tanah gambut yang dapat menumbangkan tanaman di atasnya sebagai akibat dari

mencuatnya perakaran ke permukaan tanah gambut. Drainase hutan gambut akan

menurunkan kedalaman muka air tanah secara drastis sehingga solum tanah

terbagi menjadi dua lapisan, yaitu lapisan di atas permukaan air dan lapisan di

bawah permukaan air. Lapisan atas kemudian mengalami pengeringan yang

diikuti dengan pengerutan, sedangkan lapisan bawahnya mengalami penambahan

beban dari lapisan atas yang selanjutnya diikuti dengan proses konsolidasi

(Fauzan dan Probohandono, 1988).

Penelitian Silins dan Rothwell (1998) mengenai pengaruh drainase dan

subsiden terhadap retensi air tanah dan pengangkutan partikel tanah di tanah

(26)

9

bobot isi (kedalaman 0-40 cm) meningkat 63% dan retensi air tanah turun dari -5

sampai -15000 cm atau penurunannya 66% lebih besar dari daerah gambut yang

tidak didrainase. Subsiden juga terjadi setelah didrainase akibat kehilangan pori

berdiameter >600 µm.

Secara umum, dalam periode waktu yang lama setelah drainase terjadi

penurunan konduktivitas thermal pada lahan permukaan gambut dan peningkatan

naungan oleh tajuk tanaman menyebabkan suhu permukaan gambut menjadi turun

(Minkkinen, 1999). Menurut Kirk (2004), pengaruh peningkatan kondisi aerasi

terhadap peningkatan tingkat dekomposisi diikuti oleh penurunan pH dan suhu

gambut. Kedua hal ini sangat penting dalam menentukan tingkat dekomposisi

bahan organik. Pada kondisi lahan gambut alami di atas tanah mineral, aliran air

bawah tanah yang berasal dari tanah mineral di sekitarnya membawa

kation-kation basa masuk ke lahan gambut sehingga dapat menetralkan asam-asam

organik gambut. Setelah gambut dilakukan drainase, aliran air dari luar yang

masuk ke area lahan gambut menjadi terhalang oleh saluran-saluran, sementara itu

kation-kation basa lebih banyak dijerap oleh tanaman untuk meningkatkan

pertumbuhannnya, sehingga pH gambut turun.

Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh sisa tanaman (daun, dahan,

ranting dan batang) mengalami kondisi aerob, aktivitas bakteri pendekomposisi

akan meningkat. Setelah bakteri mulai mendekomposisi gambut yang terdiri dari

sisa tanaman, maka karbon yang tersimpan di dalam bahan tersebut akan teremisi

ke udara dalam bentuk CO2 dan akan menciptakan efek rumah kaca. Hal ini dapat

memacu terjadinya pemanasan global yang berdampak terhadap naiknya suhu

bumi dan berubahnya iklim global.

Drainase Lahan Gambut dan Kehilangan Karbon

Pembuatan drainase pada lahan gambut digunakan untuk mengatasi

kandungan air gambut yang dapat mencapai 90% volume. Drainase diperlukan

untuk pertumbuhan akar tanaman dan untuk membuat akses jalan. Sejak

dimulainya drainase, wilayah gambut telah menjadi source CO2 sebagai akibat

(27)

10

mengubah area gambut menjadi sumber CH4 yang lebih efektif sebagai gas rumah

kaca daripada CO2 (Hendriks et al., 2007).

Sebagian area lahan gambut dunia telah didrainase. Hal ini telah

menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan ekosistem dari sebagai

penyimpan menjadi penyumbang karbon (Canadell et al., 2007; Rieley et al.,

2008). Data menunjukkan bahwa secara global emisi CO2 dari lahan gambut yang

dilakukan drainase dari tahun 1990 hingga 2008 telah meningkat dari 1058 Mt

menjadi 1298 Mt (>20%).

Simpanan karbon terbesar pada lahan gambut adalah pada gambut itu

sendiri dan yang kedua adalah pada jaringan tanaman dan serasah. Masing-masing

simpanan karbon tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung pada faktor

alam dan campur tangan manusia. Kemarau panjang berakibat pada penurunan

muka air tanah yang selanjutnya berpengaruh terhadap keadaan oksidasi dan reduksi

pada lahan gambut dan berakibat pada laju dekomposisi serta emisi gas CO2.

Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi jenuh air berjalan sangat lambat, namun

dengan adanya drainase, proses dekomposisi berjalan lebih cepat (Rinnan et al.,

2003). Kebakaran dapat menurunkan simpanan karbon di jaringan tanaman dan di

dalam gambut. Pemupukan dapat meningkatkan emisi. Sebaliknya, pada lahan

gambut yang sudah terlanjur didrainase, pemasangan empang pada saluran (canal

blocking) dapat memperlambat emisi.

Kehilangan C-organik gambut dapat berupa emisi gas CO2 dan CH4. Emisi

CH4 cukup signifikan pada gambut yang berada dalam keadaan anaerob (terendam

atau jenuh air). Bila gambut didrainase maka emisi CO2 menjadi dominan dan

emisi CH4 menjadi sangat berkurang. Jumlah emisi dari tanah gambut untuk

selang waktu tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan karbon tersimpan

(28)

11 

 

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian di lapangan dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari

2011, yaitu di lahan gambut Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau (Gambar 1).

Analisis contoh tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Departemen Ilmu Tanah

dan Sumberdaya Lahan IPB.

Gambar 1 Lokasi penelitian lapangan lahan gambut Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.

Metode Penelitian di Lapangan

Kajian ini merupakan kegiatan pengamatan lapangan pada lokasi fisiografi

rawa gambut transisi yang dilakukan pembuatan drainase untuk tanaman tahunan

(kelapa sawit, karet dan nenas) dengan umur/lama penggunaan lahan <6 tahun dan

>6 tahun dari perkebunan rakyat dan swasta. Penentuan areal kajian menggunakan

metode purposive sampling (penentuan lokasi kajian secara sengaja yang

dianggap representatif). Pengamatan dilakukan dalam satu transek yang dibuat

tegak lurus dengan saluran drainase.

Kajian diawali dengan melakukan identifikasi bentuk-bentuk penggunaan

lahan yang dominan melalui identifikasi dan verifikasi lapang (ground check) dan

(29)

12 

 

pemilik lahan dan kepala desa) mengenai: sejarah penggunaan lahan, land

clearing (teknik persiapan lahan), sistem drainase, pemberian input produksi

(pupuk, amelioran, dan lain-lain). Kondisi lahan gambut di setiap lokasi penelitian

yang diamati berupa: kedalaman, lebar dan kedalaman muka air pada saluran

drainase; ketebalan dan kematangan bahan gambut; kedalaman muka air tanah

gambut pada setiap titik pengamatan; dan penentuan koordinat lokasi dengan

menggunakan GPS (Global Positioning System).

Dari hasil identifikasi dan verifikasi lapang, terpilih 6 lokasi yang hanya

berjenis tanah gambut, berdasarkan kriteria Soil Survey Staff tahun 1999. Lokasi

kajian tersebut disajikan dalam Tabel 2 dan kondisi penggunaan lahan pada setiap

transek disajikan pada Gambar 2.

Tabel 2. Lokasi kajian berdasarkan wilayah adminsitratif dan jenis penggunaan lahan

No Lokasi/Wilayah Administratif Penggunaan lahan 1 Desa Sepahat, Kec. Bukit Batu Karet (umur 5 tahun)

2 Desa Sepahat, Kec. Bukit Batu Kelapa Sawit (umur 4 tahun) 3 Desa Selensing, Kec. Bukit Batu Kelapa Sawit (umur 2 tahun) 4 Desa Tj. Leban, Kec. Bukit Batu Karet (umur >15 tahun) 5 Desa Medang Kampai, Dumai Nenas (umur 8 tahun)

6 PT. MESKOM, Kec. Bengkalis Kelapa Sawit (umur 7 tahun)

Deskripsi Lokasi Kajian

Desa Sepahat, kecamatan Bukit Batu

1. Dari hasil wawancara dengan Bapak M. Dali (lokasi kajian untuk jenis

penggunaan lahan karet 5 tahun), hutan mulai ditebang sekitar tahun 1990 dan

penanaman karet baru mulai dilakukan sekitar tahun 2005 dengan jarak tanam

5 x 4 m seluas 4 ha. Pada lokasi ini pembuatan saluran drainase di pinggir

jalan (5 m lebar dan 2 m dalam) seiring dengan pembukaan jalan raya

Pakning-Dumai pada tahun 1985. Di sebelah kanan lahan tanaman karet

terdapat saluran drainase sekunder (3 m lebar dan 1.5 m dalam) yang berjarak

sekitar 5.5 m dari pinggir tanaman. Lingkar batang karet berkisar 11-14 cm.

Di bawah tegakan karet ditumbuhi oleh ilalang. Pada lokasi ini dilakukan

(30)

13 

 

merata 30-50 cm dari batang sebanyak 3 kali setahun sesuai dengan

rekomendasi dosis pupuk.

2. Dari hasil wawancara dengan Bapak Alim (lokasi kajian untuk jenis

penggunaan lahan kelapa sawit 4 tahun), hutan sudah lama ditebang oleh

masyarakat dan ditinggal begitu saja. Mulai sekitar tahun 2000 lahan yang

telah ditumbuhi semak belukar tersebut diherbisida (tidak dibakar karena

peraturan pemerintah tentang larangan membakar lahan sudah berlaku) dan

mulai ditanam kelapa sawit dengan jarak tanam 8 x 8 m seluas 3.5 ha (70 m x

500 m, 500 pokok). Pada lokasi ini saluran drainase dibuat di pinggir jalan (5

m lebar dan 2 m dalam) seiring dengan pembukaan jalan raya Pakning-Dumai

pada tahun 1985 yang bermuara ke sungai Sepahat dan dari sungai langsung

ke laut. Di sebelah kanan dan kiri lahan tanaman kelapa sawit terdapat saluran

drainase sekunder (3.5 m lebar dan 1.3 m dalam dan 90 cm lebar dan 65 cm

dalam). Lingkar batang kelapa sawit berkisar 63-95 cm. Pada lokasi ini

dilakukan pemeliharaan tanaman yaitu pemupukan urea dan dolomit dimulai

sejak umur 1 bulan tanam selama 1 tahun dan selanjutnya dipupuk sesuai

kebutuhan dan kondisi keuangan.

Desa Selensing, Kecamatan Bukit Batu

Dari hasil wawancara dengan Ibu Sumiati (lokasi kajian untuk jenis

penggunaan lahan sawit 2 tahun), lahan yang semula semak belukar dibuka

dengan alat “beko” (istilah setempat) atau back-hoe dan langsung dilakukan

penanaman sekitar tahun 2008 dengan jarak tanam 8 x 8.5 m seluas 50 x 700

m (3.5 ha). Pada lokasi ini pembuatan saluran drainase di pinggir jalan (5 m

lebar dan 2 m dalam) seiring dengan pembukaan jalan raya Pakning-Dumai

pada tahun 1985 yang langsung bermuara ke sungai Raja dan langsung

menuju laut. Di sebelah kiri lahan tanaman sawit terdapat saluran drainase

sekunder (1 m lebar dan 80 cm dalam) yang berjarak sekitar 3 m dari pinggir

tanaman. Lingkar batang kelapa sawit berkisar 50-80 cm. Pada lokasi ini

dilakukan pemeliharaan tanaman yaitu penyiangan dan pemupukan urea dan

dolomite di lingkar tanaman sebanyak 2 kali setahun sesuai dengan

(31)

14 

 

Desa Tanjung Leban, Kecamatan Bukit Batu

Dari hasil wawancara dengan Bapak Buyung (lokasi kajian untuk jenis

penggunaan lahan karet >15 tahun), rata-rata umur tanaman di desa Tanjung

Leban sekitar >10 tahun. Pada lokasi ini saluran drainase di pinggir jalan dalam

kondisi sudah tidak mengalir (air tergenang) dan tidak terawat karena ditumbuhi

semak belukar. Dari pinggir jalan raya hanya berjarak sekitar 2 km ke laut. Hutan

mulai ditebang dan langsung dilanjutkan dengan penanaman karet. Jarak tanam

karet di lokasi ini beraturan dengan lingkar batang karet berkisar 12-36 cm. Karet

dilakukan pemeliharaan yaitu penyiangan.

(a) Sepahat, Karet (umur 5 tahun) (b) Sepahat, Kelapa Sawit (umur 4 tahun) (c) Selensing, Kelapa Sawit (umur 2 tahun)

(d) Tj. Leban, Karet (umur >15 tahun) (e) Medangkampai Dumai, Nenas (umur 8 tahun) (f) PT. MESKOM, Kelapa Sawit (umur 7 tahun)

Gambar 2 Lokasi penelitian dan kondisi penggunaan lahan di setiap transek.

Desa Medangkampai, Dumai

Dari hasil wawancara dengan Ibu Siti (lokasi kajian untuk jenis

penggunaan lahan Nenas 8 tahun), hutan mulai ditebang sekitar tahun 1987

(32)

15 

 

dilakukan sekitar tahun 1990 yaitu kelapa sawit seiring dengan pembuatan saluran

drainase di pinggir jalan (5 m lebar dan 2 m dalam) dan pembukaan jalan raya

Pakning-Dumai pada tahun 1985. Tetapi baru berumur 2 tahun sudah terbakar.

Karena setiap tahun (hingga tahun 2005) terjadi kebakaran, lahan tidak ditanami

lagi. Sekitar tahun 2000an, lahan bagian depan (dekat pinggir jalan) yang tidak

terbakar, sekitar 2 ha ditanami nenas. Tanaman sangat rapat, hanya berjarak 1 x 1

m. Dari saluran drainase di pinggir jalan bergerak sekitar 3 km ke muara sungai

Beruang dan sekitar 5 km dari sungai ke laut.

PT. MESKOM, Kecamatan Bengkalis

Dari hasil wawancara dengan Bapak Jerrin (Manager Umum), Bapak

Purwono (Kepala Personalia), Bapak Suroso (Manager Kebun inti) dan Bapak

Marwan (Asisten kebun), lokasi kajian untuk jenis penggunaan lahan sawit 7

tahun, dulunya adalah 60% lahan tinggal milik masyarakat dengan sistem

tebas-bakar-tebas dan pihak PT. MESKOM baru mulai melakukan penanaman pertama

sekitar Juli tahun 2003 sekitar 300 ha, kedua 2004-2006 sekitar 150 ha dan tahap

ketiga 2006-2010 sekitar 3300 ha dengan sistem land clearing

perusahaan-perusahaan perkebunan, yaitu: pembukaan saluran, pengeringan muka tanah

(steaking areal), pematangan lahan, penanaman (hole in hole) dan panen (sekitar

tahun ke-4 sudah mulai dipanen). Sekeliling blok terdapat saluran drainase,

dimana luas setiap blok sekitar 30 ha (250 m x 1.25 km). Pemupukan dilakukan

sesuai dengan dosis anjuran masing-masing pupuk. Saluran-saluran drainasenya

terorganisir sesuai dengan prosedur land clearing perusahaan perkebunan.

Penentuan lokasi titik pengamatan di lapangan

Ditetapkan sebanyak 5 titik permanen pada setiap transek yang mewakili

lokasi dekat sampai yang jauh dari saluran drainase (Gambar 3). Apabila ada dua

saluran drainase yang sejajar, maka lokasi pengamatan terjauh dari saluran

drainase ditempatkan pada titik pertengahan jarak antara kedua saluran drainase

tersebut, karena diasumsikan bahwa pada lokasi tersebut merupakan batas antara

kedua saluran drainase yang saling mempengaruhi tinggi muka air tanah. Contoh

tanah gambut diambil pada lapisan 0-50 cm dan 50-100 cm menggunakan bor

(33)

16 

Gambar 3 Penentuan titik pengamatan di lapangan.

Keterangan: = titik pengambilan contoh gambut/pengamatan; X1-X5 = jarak

titik pengamatan dari saluran drainase; a = kedalaman saluran drainase (m); b = kedalaman muka air saluran drainase (m).

Peralatan penelitian di lapangan

Peralatan yang digunakan pada penelitian lapangan disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Peralatan yang digunakan di lapangan

No Peralatan Kegunaan

1 GPS, merk Garmin Menentukan koordinat lokasi titik kajian

2

3

Bor gambut Eijkelkamp (peat sampler, 5-9 batang extension rod, dan satu pasang handle); kunci pas nomor 23 (2 buah); meteran (2 m); meteran panjang (15 m); spidol; kantong plastik; kertas label; sikat ijuk pembersih bor; ember; kain lap.

Timbangan digital

Pengambilan contoh gambut

Menimbang berat basah sampel 4 Pipa PVC 2.5 inchi/Piezometer Mengukur kedalaman muka air tanah 5

6 7

Selang plastik kecil, tongkat kayu, tali Kamera digital

Alat tulis

Mengukur topografi mikro/transek Mendokumentasikan semua kegiatan Mencatat semuakegiatan kajian

Pengukuran kedalaman muka air tanah

Kedalaman muka air tanah merupakan indikasi dinamika air (drainase dan

penggenangan) di lahan gambut. Ilustrasi pengukuran tinggi/kedalaman muka air

tanah disajikan dalam Gambar 4. Pada masing-masing titik pengamatan

(34)

17 

 

telah dilubangi kira-kira 1.5 m (±200 lubang, agar air tanah dari sekitar lubang

masuk ke dalam pipa), dan kira-kira 0.25 m (b) dari bagian atas pipa tersebut

muncul di permukaan. Kedalaman muka air tanah diamati dengan cara

memasukkan tongkat kayu (a) kedalam piezometer sampai mencapai permukaan

air tanah. Kedalaman muka air tanah (tmat) diukur dengan tongkat berskala, yaitu

jarak muka air tanah terhadap permukaan tanah (tmat = a-b, dalam meter).

Pengukuran dilakukan minimal 2 kali seminggu dengan jarak waktu setiap 2-3

hari.

Gambar 4 Pengukuran kedalaman muka air tanah di lahan gambut.

Untuk menghilangkan pengaruh relief mikro permukaan tanah dalam

pengukuran kedalaman muka air tanah maka dibuat referensi tinggi pada bibir

saluran drainase dengan ketinggian awal 1.5 m dan diperluas untuk setiap titik

pengamatan dengan metode water pass menggunakan selang plastik berisi air

dengan prinsip kerja bejana berhubungan. Permukaan tanah di pinggir saluran

dianggap sebagai titik nol untuk keseluruhan titik pengamatan.

Penetapan kematangan gambut

Pengamatan kematangan gambut dilakukan di lapangan dan di

laboratorium. Penetapan kematangan gambut di lapangan dilakukan dengan cara:

memeras segenggam gambut dengan tangan. Kematangan gambut dikelompokan

berdasarkan kriterianya menurut metode yang dikemukakan oleh Notohadiprawiro

(1985) sebagai berikut: gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah

melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai

hitam, dan bila diremas kandungan seratnya yang tertinggal di telapak tangan

kurang dari sepertiga jumlah semula; gambut hemik (setengah matang) adalah

(35)

18 

 

coklat, dan bila diremas kandungan seratnya yang tertinggal di telapak tangan

antara sepertiga dan dua pertiga jumlah semula; gambut fibrik (mentah) adalah

gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat,

dan bila diremas kandungan seratnya yang tertinggal di telapak tangan lebih dari

dua pertiga jumlah semula.

Serat-serat diartikan sebagai potongan-potongan dari jaringan tanaman

yang sudah mulai melapuk atau melapuk (tidak termasuk akar-akar yang masih

hidup). Potongan-potongan serat mempunyai ukuran diameter ≤2 mm, sehingga

dapat diremas dan mudah dipisahkan dengan jari. Sementara untuk

potongan-potongan kayu berdiameter >2 mm dan belum melapuk sehingga sulit untuk

dipisahkan dengan jari, seperti potongan-potongan cabang kayu besar, batang

kayu dan tunggul tidak dianggap sebagai serat-serat tetapi digolongkan sebagai

fragmen kasar.

Metode Penelitian di Laboratorium

Analisis yang dilakukan di laboratorium adalah terhadap kadar air, kadar

abu, karbon organik, bobot isi dan kadar serat gambut.

Alat dan bahan penelitian di laboratorium

Alat dan bahan yang digunakan selama analisis di laboratorium disajikan

pada Tabel 4.

Tabel 4. Peralatan yang digunakan di laboratorium

No Alat dan bahan Kegunaan

Larutan Na-Pirofosfat 0,025 M Ayakan 100 μm

Botol semprot Gelas ukur 50 ml

Gelas piala 100 ml Alat tulis

Mengeringkan contoh tanah basah Wadah contoh tanah basah untuk penetapan kadar air

Wadah pengabuan kering

Menghaluskan tanah kering oven Mengabukan contoh bahan Penstabil kadar air

Menimbang cawan dan tanah Penetapan kadar serat

Mengayak serat gambut Membilas gambut yang halus

Wadah campuran serat gambut dan larutan Na-Pirofosfat

Wadah serat gambut

(36)

19 

 

Penetapan kadar karbon organik gambut dengan metode pengabuan kering

Untuk mendapatkan nilai kadar karbon organik yang representatif,

dilakukan pengujian dengan metode pengabuan kering LOI (Loss on Ignition),

dimana sebelumnya contoh tanah telah diambil dengan alat bor gambut khusus

berbentuk setengah silinder dengan luas penampang 10 cm2 dan tinggi (panjang

contoh) 50 cm.

Prinsip analisis pengabuan kering (Loss on Ignition) adalah membakar

semua bahan organik yang ada dalam contoh tanah kering sampai suhu 550 0C

selama 6 jam. Prosedur kerja metode pengabuan kering LOI disajikan dalam

Lampiran 2. Dari metode LOI diperoleh nilai persen bahan organik dan persen

kadar abu (mineral). Berat sampel yang hilang selama proses pembakaran adalah

jumlah bahan organik yang terkandung dalam material gambut, yang dihitung

dengan rumus:

% BO = x 100% ………….. (1). (Nelson dan Sommers, 1996).

dimana:

% BO = Persentase bahan organik gambut B (105oC) = Berat material gambut pada suhu 105oC

B (550oC) = Berat material gambut yang tersisa setelah pemanasan 550o

Untuk mengkonversi persentase bahan organik menjadi persentase karbon

digunakan rumus:

% C =

. x % LOI ………... (2). (Pribyl, 2010).

dimana:

% C = Kandungan karbon bahan gambut

% LOI = Persentase bahan gambut yang hilang

(37)

20 

 

Untuk mendapatkan nilai kadar karbon organik dari lahan gambut,

diperlukan juga nilai bobot isi. Bobot isi adalah masa fase padat tanah (Ms) dibagi

dengan volume total tanah (Vt). Volume total tanah adalah jumlah volume dari

fase padat tanah dalam keadaan di lapangan. Nilai bobot isi yang umum untuk

tanah gambut berkisar antara 0.05-0.3 g cm-3, namun kadangkala bisa sampai

<0.01 dan >0.4 g cm-3. Bobot isi gambut ditentukan di laboratorium dengan

metode gravimetris. Adapun prosedur penentuan bobot isi (dimodifikasi dari Agus

et al., 2007) disajikan dalam Lampiran 3.

Kematangan gambut

Penetapan kematangan gambut di laboratorium didasarkan pada hasil

analisis kadar serat gambut dengan metode Notohadiprawiro (1985) dan Soil

Survey Staff (2003) sebagai berikut: (1) gambut dibersihkan dari bagian-bagian

kasar (akar, tunggul-tunggul, daun-daun); (2) gambut sebanyak 10 ml dimasukkan

ke dalam gelas ukur 50 ml yang telah berisi 20 ml Na-Pirofosfat 0.025 M; (3) isi

gelas ukur tersebut dipindahkan ke dalam gelas piala 100 ml, diaduk merata dan

dibiarkan semalam; (4) keesokan harinya, serat berukuran 100 µm dipisahkan

dengan ayakan 100 µm; (5) kandungan serat berukuran 100 µm ditentukan

volumenya dan dibandingkan dengan volume gambut sebelumnya; (6) volume

serat gambut dicatat dalam %.

Analisis Data

Hasil pengukuran karakteristik gambut dianalisis secara deskriptif dalam

bentuk grafik kemudian dianalisis secara regresi linier untuk mengetahui

(38)

21 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Keragaan kedalaman muka air tanah dan tinggi permukaan tanah berdasarkan jarak dari saluran drainase

Keragaan kedalaman muka air tanah dan tinggi permukaan tanah

berdasarkan jarak tegak lurus titik pengamatan dari saluran drainase pada

masing-masing transek disajikan pada Gambar 5. Titik nol (skala 0 cm pada sumbu Y dan

0 m pada sumbu X) adalah titik referensi, yaitu kedalaman muka air tanah dan

tinggi permukaan tanah pada bibir/tepi saluran drainase. Kedalaman muka air

tanah yang ditampilkan adalah pada musim kemarau (bulan Januari-Februari

2011).

Muka air tanah Permukaan tanah

‐140

Muka air tanah Permukaan tanah

‐140

(39)

22 

 

Gambar 5 Hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan kedalaman muka air tanah dan tinggi permukaan tanah pada setiap transek.

Gambar 5 menunjukkan bahwa muka air tanah semakin dalam dengan

semakin dekatnya jarak dari saluran drainase dan sebaliknya. Penurunan muka air

tanah yang cukup signifikan pada semua transek terjadi pada jarak 5 dan 10 m

dari saluran drainase (kecuali transek Tanjung Leban). Pada transek Tanjung

Leban kedalaman muka air tanah di saluran drainase lebih dangkal daripada pada

jarak 5 dan 10 m dari saluran drainanse. Saluran drainase tersebut terlihat sudah

lama tidak dirawat dan airnya menggenang.

Secara umum, pola transek kedalaman muka air tanah seperti yang

teramati di lokasi penelitian diperkirakan disebabkan oleh terjadinya pergerakan

air secara horizontal menuju saluran drainase yang lebih cepat dibandingkan

‐80

Muka air tanah Permukaan tanah

‐120

Muka air tanah Permukaan tanah

‐80

(40)

23 

 

dengan pergerakan ke arah vertikal sehingga transek kedalaman muka air tanah

membentuk kemiringan (slopes) terhadap muka air pada saluran drainase

(Susanne and Price, 1999).

Hasil penelitian Andrie (2010) menunjukkan bahwa pembuatan saluran

drainase yang berlebihan menyebabkan perubahan sifat-sifat fisika, kimia dan

biologi gambut. Muka air tanah pada musim kemarau letaknya jauh dari

permukaan tanah, dan sebaliknya pada musim hujan. Selain itu, semakin dekat

dengan saluran drainase muka air tanah semakin jauh dari permukaan tanah dan

sebaliknya. Kondisi muka air tanah sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, terutama

curah hujan. Menurut Rieley et al. (1997), pada musim hujan muka air tanah di

lahan gambut dapat mencapai +0.5 m di atas permukaan tanah, tetapi pada musim

kemarau dapat turun mencapai -1.5 m di bawah permukaan tanah.

Dihubungkan dengan penggunaan lahan pada lokasi penelitian, penurunan

muka air tanah lebih dalam pada tanaman umur <6 tahun (kelapa sawit 2 dan 4

tahun, karet 5 tahun) daripada umur >6 tahun (nenas 7 tahun, kelapa sawit 8 tahun

dan karet >15 tahun). Pada penggunaan lahan umur >6 tahun, muka air tanah

terdalam yang teramati pada ketiga lokasi penelitian berkisar -63.5 cm hingga

-97.5 cm, sedangkan pada penggunaan lahan umur <6 tahun berkisar -77 cm

hingga -115 cm (Lampiran 4).

Pada transek/lokasi yang sama dengan penggunaan lahan yang berbeda

(transek Sepahat), hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa kemiringan transek

kedalaman muka air tanah pada pertanaman kelapa sawit umur 4 tahun di transek

Sepahat lebih landai dibandingkan pada pertanaman karet umur 5 tahun. Selisih

kedalaman muka air tanah di titik pengamatan terjauh dengan di titik saluran

drainase pada pertanaman kelapa sawit 4 tahun dan karet 5 tahun masing-masing

adalah 34 cm dan 44 cm (Gambar 5). Secara teoritis, semakin kecil selisih

kedalaman muka air tanah di titik pengamatan terjauh dengan di titik saluran

drainase pada profil lahan gambut maka semakin rendah konduktivitas

hidroliknya karena semakin lama umur pengelolaan lahan, proses pemadatannya

semakin cepat. Konduktivitas hidrolik yang lebih tinggi akan memudahkan

(41)

24 

 

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa tinggi permukaan tanah

bergelombang pada setiap transek. Dari Gambar 5 secara umum terlihat bahwa

semakin jauh dari saluran drainase permukaan tanah semakin tinggi, dengan pola

yang sama dengan pola kedalaman muka air tanah, kecuali pada transek PT.

Meskom dan Tanjung Leban. Di kedua transek ini, semakin jauh dari saluran

drainase permukaan tanah semakin rendah. Pola umum transek tinggi permukaan

tanah di lokasi penelitian diperkirakan berkaitan dengan terjadinya proses

subsidence yang disebabkan oleh perubahan kedalaman muka air tanah. Menurut

Neil et al. (2005), pada lahan gambut yang didrainase semakin dekat dengan

saluran drainase maka permukaan tanah semakin rendah dan sebaliknya.

Pada penggunaan lahan kelapa sawit di PT. Meskom terlihat bahwa pada

jarak 5 m dari saluran drainase, permukaan tanah mengalami kenaikan. Pada

kenyataannya di lapangan terlihat adanya gundukan tanah bekas galian sepanjang

saluran drainase. Pada jarak 100 m dan 150 m dari saluran drainase, permukaan

tanah mengalami penurunan. Hal ini wajar karena posisi saluran drainase

berikutnya hanya sekitar 100 m lagi. Artinya, di transek ini jarak antar dua saluran

drainase yang berdekatan hanya sekitar 250 m (luas blok 250 m x 1.25 km). Oleh

karena itu, posisi antara titik pengamatan 100 dan 150 m dianggap sebagai

pertengahan antar dua saluran drainase yang sejajar tersebut.

Pada transek Tanjung Leban (karet), semakin jauh dari saluran drainase

permukaan tanah semakin turun karena relief mikronya yang memang melandai

mendekati laut. Pada transek Medangkampai (nenas), semakin jauh dari saluran

drainase permukaan tanah sedikit menurun. Hal ini diduga karena pada jarak

sekitar >120 m dari saluran drainase lahan tersebut pernah mengalami kebakaran

beberapa kali sebelum dilakukannya penanaman nenas.

Secara umum, dari hasil kajian ini terlihat bahwa semakin jauh dari

saluran drainase permukaan tanah semakin tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa

setelah saluran drainase dibuat, subsidence terjadi lebih cepat pada lokasi yang

dekat dengan saluran drainase dibandingkan dengan yang lebih jauh. Hasil ini

sejalan dengan hasil beberapa penelitan terdahulu. Neil et al. (2005) menyatakan

bahwa pada posisi dekat dengan saluran drainase subsidence terjadi lebih cepat.

(42)

25 

 

dibandingkan dengan lokasi yang jauh dari saluran drainase. Dengan kata lain,

bagian gambut yang aerob lebih banyak dijumpai pada lokasi yang lebih dekat

dengan saluran drainase sehingga aktivitas mikroorganisme perombak dan proses

dekomposisi juga lebih tinggi. Faktor lain yang diperkirakan menyebabkan

subsidence pada lokasi yang dekat saluran drainase lebih besar dibandingkan yang

jauh dari saluran drainase adalah penyusutan (shringkage). Berkaitan dengan hal

ini, Susanne and Price (1999) menjelaskan bahwa kondisi aerob menyebabkan

tegangan matrik tanah meningkat sehingga gambut menyusut (shringkage). Selain

penyusutan, faktor lainnya adalah aktivitas manusia yang menjadikan lokasi yang

dekat saluran drainase sebagai lalu lintas/akses jalan.

2. Pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap kadar C-organik

Kadar C-organik pada areal perkebunan di lahan gambut pada kajian ini

berkaitan dengan suasana oksidasi dan reduksi yang ditentukan oleh kedalaman

muka air tanah akibat pembuatan saluran drainase. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa kedalaman muka air tanah mempunyai pengaruh yang beragam terhadap

kadar C-organik.

Apabila data dari seluruh titik pengamatan (Tabel 5) dianalisis tanpa

dikelompokkan berdasarkan transek maka diperoleh diagram pencar seperti pada

Gambar 6-7 yang menunjukkan tidak adanya pola hubungan antara kadar

C-organik dengan kedalaman muka air tanah. Oleh karena itu, analisis dilakukan

pada masing-masing transek seperti diilustrasikan pada Gambar 8-13. Evaluasi

dibedakan pada lapisan gambut 0-50 cm dan 50-100 cm. Hasil analisis

menunjukkan adanya dua pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dan

kadar C-organik.

Pola pertama menunjukkan peningkatan C-organik dengan semakin

dangkalnya kedalaman muka air tanah (transek Selensing, kelapa sawit 2 tahun,

lapisan gambut 50-100 cm, Gambar 8; transek Sepahat, kelapa sawit 4 tahun,

lapisan gambut 50-100 cm, Gambar 9; transek Sepahat, karet 5 tahun, lapisan

gambut 0-50 cm dan 50-100 cm, Gambar 10; transek PT. MESKOM, kelapa sawit

7 tahun, lapisan gambut 0-50 cm dan 50-100 cm, Gambar 11; dan transek Tanjung

(43)

26 

 

Gambar 6 Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan kadar C-organik pada lapisan gambut 0-50 cm.

Gambar 7 Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan kadar C-organik pada lapisan gambut 50-100 cm.

Gambar 8 Kadar C-organik di kebun kelapa sawit 2 tahun desa Selensing pada berbagai kedalaman muka air tanah.

(44)

27 

 

Tabel 5. Kadar C-organik di setiap transek pada berbagai kedalaman muka air tanah

2 tahun Selensing

1 -77 56,93 56,30

Karet 5 tahun Sepahat

1 -105 57,18 57,18

Nenas 8 tahun Medangkampai

1 -97.5 56,91 56,92

>15 tahun Tanjung Leban

1 -65 55,51 55,80 2 -71.5 56,07 52,74 3 -75 56,39 54,95 4 -59.2 56,63 56,74 5 -61.5 55,28 52,53

Gambar 9 Kadar C-organik di kebun kelapa sawit 4 tahun desa Sepahat pada berbagai kedalaman muka air tanah.

(45)

28 

 

Gambar 10 Kadar C-organik di kebun karet 5 tahun desa Sepahat pada berbagai kedalaman muka air tanah.

Gambar 11 Kadar C-organik di kebun kelapa sawit 7 tahun PT. MESKOM pada berbagai kedalaman muka air tanah.

Gambar 12 Kadar C-organik di kebun nenas 8 tahun desa Medangkampai pada berbagai kedalaman muka air tanah.

(46)

29 

 

Gambar 13 Kadar C-organik di kebun karet >15 tahun desa Tanjung Leban pada berbagai kedalaman muka air tanah.

Pola kedua menunjukkan penurunan C-organik dengan semakin

dangkalnya kedalaman muka air tanah (Selensing, kelapa sawit 2 tahun, lapisan

gambut 0-50 cm, Gambar 8; Sepahat, kelapa sawit 4 tahun, lapisan gambut 0-50

cm, Gambar 9; Medangkampai, nenas 8 tahun, lapisan gambut 0-50 cm dan

50-100 cm, Gambar 12; dan Tanjung Leban, karet >15 tahun, lapisan gambut 0-50

cm, Gambar 13).

Pola pertama pada lapisan gambut 50-100 cm menunjukkan bahwa kondisi

yang lebih anaerobik dengan semakin dangkalnya kedalaman muka air tanah

hingga mencapai kedalaman muka air tanah sekitar -46.5 cm, memungkinkan

bahan organik gambut lebih terkonservasi atau tidak mudah terdekomposisi

(terjadi peningkatan C-organik).

Pola kedua pada lapisan gambut 0-50 cm menunjukkan bahwa terjadi

penurunan C-organik dengan semakin dangkalnya kedalaman muka air tanah

(semakin jauh dari saluran drainase) hingga mencapai kedalaman muka air tanah

sekitar -49 cm. Hal ini berkaitan dengan hasil analisis kadar C-organik yang lebih

tinggi di titik terdekat dari saluran drainase dan dibandingkan dengan kadar

C-organik pada lapisan gambut 50-100 cm dan berkaitan juga dengan nilai bobot isi

dan/atau kadar serat gambut yang lebih tinggi. Artinya, meskipun kondisinya

lebih aerobik di titik terdekat dari saluran drainase (kedalaman muka air tanah

yang lebih dalam) namun proses dekomposisi bahan gambut tidak terjadi secara

intensif. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kondisi kadar air bahan gambut

yang lebih kering sehingga proses dekomposisi terhambat.

(47)

30 

 

Dengan mempertimbangkan perbandingan antara nilai peningkatan dengan

nilai penurunan kadar C-organik ternyata angka peningkatan lebih besar daripada

angka penurunannya. Dengan demikian, secara umum semakin dekat dari saluran

drainase kedalaman muka air tanah semakin dalam namun kadar C-organik

semakin tinggi atau mengikuti pola kedua.

3. Hubungan kadar C-organik dengan kedalaman muka air, bobot isi, kadar abu, kadar serat, dan kadar air

Untuk mengevaluasi hubungan antara kadar C-organik dengan kedalaman

muka air tanah, bobot isi, kadar abu, kadar serat dan kadar air dilakukan analisis

regresi linier berganda secara Backward Stepwise. Data dikelompokan

berdasarkan umur penggunaan lahan pada lapisan gambut 0-50 cm dan 50-100

cm: (1) umur <6 tahun (kelapa sawit umur 2 tahun, 4 tahun dan karet umur 5

tahun) dan (2) umur >6 tahun (kelapa sawit umur 7 tahun, nenas umur 8 tahun,

dan karet umur >15 tahun) masing-masing dengan 15 ulangan.

Model persamaan regresi linier yang digunakan adalah:

Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5

Adapun Y = kadar C-organik (C-org); X1, X2, X3, X4, dan X5 = kedalaman atau

tinggi muka air (TMA), kadar air (KA), kadar abu (KAb), bobot isi (BI), dan

kadar serat (KS). Analisis ini untuk memutuskan peubah mana yang merupakan

peubah terbaik untuk dimasukkan ke dalam model. Peubah yang pertama

dikeluarkan adalah peubah yang memiliki korelasi parsial terkecil dengan peubah

tak-bebas. Kriteria penghapusan suatu peubah bebas adalah nilai p (probability)

0.10 artinya peubah yang mempunyai nilai p ≥0.10 dikeluarkan dari model. Hasil

analisis regresi disajikan pada Tabel 6-7. Juga dilakukan evaluasi pengaruh semua

peubah bebas terhadap C-organik tanpa pengelompokan lokasi/transek dan umur

penggunaan lahan pada lapisan gambut 0-50 cm dan 50-100 cm. Hasilnya

disajikan pada Tabel 8.

Dari Tabel 6, pada penggunaan lahan umur <6 tahun dan pada lapisan

gambut 0-50 cm, hanya kadar abu (KAb) peubah bebas yang layak dimasukkan

dalam model regresi dan sangat signifikan keterkaitannya dengan kadar

(48)

31 

 

penurunan kadar C-organik sebesar 58.002%. Penurunan kadar C-organik yang

terkait dengan peubah kadar abu mempunyai nilai R2 = 1 (p=0.000). Artinya

100% perubahan C-organik terkait dengan perubahan kadar abu.

Bila dilihat secara keseluruhan persamaan regresinya, hubungan antara

kadar C-organik dengan semua peubah bebas memberikan nilai R2 (adjusted) = 1,

artinya kadar C-organik di penggunaan lahan umur <6 tahun pada lapisan gambut

0-50 cm berkorelasi dengan semua peubah bebas tersebut dengan peluang

terjadinya sebesar 100%.

Tabel 6. Ringkasan hasil backward stepwise analysis terhadap model regresi linier berganda untuk kelompok penggunaan lahan umur <6 tahun pada lapisan gambut 0-50 cm dan 50-100 cm

Lapisan gambut 0-50 cm

Alpha-to-Remove: 0.1, 5 predictors, N = 15

Gambar

Tabel 1. Persyaratan muka air tanah untuk tanaman yang ditanam di lahan gambut
Gambar 1 Lokasi penelitian lapangan lahan gambut Kabupaten Bengkalis
Tabel 2. Lokasi kajian berdasarkan wilayah adminsitratif dan jenis penggunaan
Gambar 2 Lokasi penelitian dan kondisi penggunaan lahan di setiap transek.
+7

Referensi

Dokumen terkait

C-Organik juga merupakan bahan organik yang terkandung didalam maupun pada permukaan tanah yang berasal dari senyawa karbon dialam, dan semua jenis yang senyawa

Penelitian untuk mengevaluasi pengaruh kedalaman muka air tanah pada lahan gambut terhadap lilit batang karet PB260 TBM (umur 2-3 tahun) dan sifat kimia tanah gambut

Pengelolaan muka airtanah pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit perlu diperhatikan untuk kelestarian sifat tanah gambut, terutama sifat fisik gambut.Beberapa hasil

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui emisi karbon dioksida (CO2) pada lahan gambut yang dijadikan perkebunan kelapa sawit yang ditumpangsari dengan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui emisi karbon dioksida (CO 2 ) pada lahan gambut yang dijadikan perkebunan kelapa sawit yang ditumpangsari dengan

Penelitian dilakukan untuk mengkaji pengaruh muka air tanah dan dosis aplikasi terak baja terhadap sifat fisik gambut kaitannya dengan emisi karbon pada perkebunan kelapa

Berdasarkan hasil analisis, hubungan kedalaman air tanah dan fluks karbon dioksida di Gambut Pasang Surut menunjukkan bahwa kedalaman air tanah pada lahan kebun

Kombinasi kedalaman muka air tanah 70 cm dengan mulsa organik TKKS cenderung menghasilkan N total tanah gambut lebih tinggi disebabkan pada kedalaman muka air tanah 70 cm dapat