M A S W A R
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ”Kajian Cadangan
Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase untuk Tanaman Tahunan”
adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor, Februari 2011
Yang menyatakan
MASWAR. Carbon stock study on drained tropical peat land for parennial crops. Under direction of OTENG HARIDJAJA, SUPIANDI SABIHAM, and MEINE VAN NOORDWIJK
Peat lands are important sinks for atmospheric carbon (C), and current decline of their C stocks represent several percent of global C emissions, contributing to global climate change. It is therefore important to understand the effects of peat land drainage and conversion on the distribution of soil carbon and dynamics of emissions. Tropical peatland occurs in multiple forms and data are limited so far. The study reported here was conducted in West Aceh from May 2008 until October 2009. Peat land characteristics after drainage and conversion were investigated by field observation and laboratory analysis of peat soil samples. Calculations of C stock and C loss were carried out by interpretation data of bulk density (BD), ash content, carbon content and subsidence (changes in peat depth). A pre-study evaluated methods and tools for determining BD and carbon content and found that: a) the commonly used peat auger needs division by a correction factor of 1.136 to convert to the bulk density measured in large soil blocks; b) carbon content (%C) can be derived from the percentage organic matter derived from loss on ignition (LOI) by division by 1.922. A ‘triangulation’ of methods was set up to compare direct CO2 flux measurements in chambers, calculations based on subsidence rate and change in bulk density and calculations based on differences in ash content (LOI method). Key results of field observation combined with laboratory peat soil analyses were: 1) Location and drainage influences the rates of subsidence, with rates of less than 4 cm/year for some oil palm plantation, rubber agroforests, and drained forest soils, and rates up to 10 cm/year in young oil palm newly drained. 2) the surface structure of the landscape varies over short ranges, making peat depth unattractive as measure of changes in peat C stock, 3) ash content and bulk density of the peat are related, indicating the partial loss of soil C during decomposition and compaction, 4) an “internal tracer” estimate of peat C loss yielded estimates of CO2 flux up to 48 t CO2-eq per ha per year for young oil palm, highly correlated with the measured rates of subsidence of the surface, 5) an experiment with surface fertilizer application suggest considerable increase in peat C loss (based on increase in ash content and the “internal tracer’ method), 6) the spatial pattern of peat subsidence with increasing distance from the drain differed between oil palm and forest + rubber agroforest, consistent with a direct effect of fertilizer application on CO2 emissions (as microbial activity is N limited at the prevailing high C/N ratios) beyond the drainage effect alone, 7) the pattern of weight loss of surface litter, measured in litter bags, responded to the inherent quality (C/N) rather than land use, 8) estimate of peat C loss from a documented forest fire were up to 133 t C ha-1 equivalent with 490 t CO2 ha-1. 9) The difference between C accumulation and C loss for rubber agroforests (>15 year age) on peat, and oil palm agroforests (> 15 year age) on shallow peat indicated have a positive value (C accumulation > C loss). These results support through the triangulation of methods that drainage and fertilization of peat soils increases CO2 emissions at rates of 30-40 t CO2-eq per ha per year, with higher values in early stages of conversion.
MASWAR. Kajian Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase
untuk Tanaman Tahunan. Dibimbing oleh OTENG HARIDJAJA, SUPIANDI
SABIHAM, DAN MEINE VAN NOORDWIJK.
Ekosistem gambut berperan sangat penting dalam skala global, baik dari
aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat. Disisi lain, ekosistem
gambut adalah unik, rapuh dan memiliki sifat tidak dapat diperbaharui. Proses
pembentukannya memerlukan waktu ribuan tahun, dan bila terjadi kerusakan, sangat
sulit untuk diperbaiki atau bahkan mungkin tidak bisa pulih sama sekali. Luas lahan
gambut dunia sekitar 3% dari luas permukaan bumi yakni sekitar 400 juta hektar,
namun menyimpan karbon sangat besar yang diperkirakan sebanyak 550 Giga ton,
atau setara dengan 75% dari seluruh karbon di atmosfer. Khusus untuk Indonesia
yang mewakili daerah gambut tropika, memiliki luas lahan gambut sekitar 265.500
km2, menyimpan cadangan karbon sekitar 54.016 Mega ton. Mengingat cadangan karbon yang besar pada lahan gambut sedangkan ekosistemnya sangat rapuh, maka
apabila tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan kehilangan karbon yang
banyak, terutama dalam bentuk gas metan (CH4) dan karbon dioksida (CO2
Kajian cadangan, kehilangan dan akumlasi karbon, serta evaluasi terhadap metode
dan alat pengukuran bulk density (BD), %C-organik dan emisi CO
) ke
atmosfer, sehingga akan semakin meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK).
2 gambut, telah
dilaksanakan pada lahan gambut yang didrainase di Provinsi Nangro Aceh
Darussalam bagian barat, dan analisis sampel tanah gambut di Laboratorium
Penelitian Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor pada bulan Mei 2008 sampai dengan
bulan Oktober 2009. Kajian ini bertujuan untuk (1) Mengevaluasi metode dan alat
penentuan karbon gambut tropika (2) Mengevaluasi karakteristik lahan dan/atau
sifat-sifat gambut tropika yang didrainase. (3) Menghitung cadangan karbon tersimpan
pada lahan gambut tropika yang dikembangkan untuk tanaman tahunan, dan (4)
penggunaan lahan hutan, semak dan kebun karet umur 15 tahun, (2) di desa Suak
Raya, jenis penggunaan lahan kelapa sawit dan karet umur 15 tahun, (3) di desa Suak
Puntong jenis penggunaan lahan kelapa sawit umur 10 tahun , (4) di desa Cot Gajah
Mati jenis penggunaan lahan kelapa sawit umur 1 tahun dan hutan.. Pada kajian
pendahuluan telah dilakukan evaluasi terhadap beberapa alat dan metode: a) alat
untuk mengambil sampel tanah yaitu: kotak sampel, ring sampel dan bor gambut, b)
evaluasi metode penentuan karbon yaitu metode Walkley and Black dan Lost-on-Ignition (LOI), dan c) membandingkan metoda chamber dengan peningkatan kadar abu (metoda LOI) untuk mengestimasi emisi CO2. Untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi kehilangan karbon diperlukan data karakteristik lahan, untuk itu
dari sampel tanah dan pengamatan di lapang ditentukan: BD, kadar abu, kadar
karbon, ketebalan gambut, subsidence, dalam muka air tanah, kemampuan tanah mengikat air (pF 1,00; 2,00; 2,54; 3,00 dan 4,20), kadar unsur hara (N, P, K, Ca, Mg,
Na, Fe, Mn ), pH, kapasitas tukar kation (KTK), salinitas dan respirasi tanah.
Pengambilan sampel tanah dan penentuan sifat-saifat tanah di lapang dilakukan
dalam satu transek yang mewakili lokasi yang dekat sampai jauh dari saluran
drainase. Pengambilan sampel tanah di lapang menggunakan bor gambut tipe
setengah silinder dengan kapasitas 500 cm3
Untuk menentukan BD secara efektif dan effisien dapat digunakan bor gambut,
namun hasilnya perlu dikoreksi atau dibagi dengan faktor koreksi yaitu 1,136,
sedangkan untuk menentukan kandungan bahan organik dan C-organik digunakan
metode Loss-on-Ignition (LOI), dengan faktor konversi %bahan-organik menjadi %C-organik adalah 1,922. Hasil uji T-test antara estimasi emisi CO
, mulai dari permukaan sampai lapisan
batas dengan tanah mineral.
2
Cadangan karbon tersimpan pada lahan gambut bervariasi antara 622,24 –
3105,08 ton ha
dengan metode
chamber dan metode kadar abu (LOI) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
-1
, variasi ini disebabkan karena perbedaan lokasi keberadaan lahan
dari saluran drainase permukaan tanah semakin tinggi, muka air tanah semakin
dangkal dan subsidence semakin kecil, hubungan antara jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase dengan dalam muka air tanah, tinggi permukaan tanah, subsidence
dan kehilangan karbon secara umum mengikuti pola persamaan logaritmik.
Kehilangan karbon dari permukaan lahan gambut (0-50 cm) yang didrainase,
bervariasi antara 0,651 – 13,106 ton C ha-1 th-1 atau setara 2,391 – 48,098 ton CO2 ha -1
th-1
Pengembalian biomassa sisa tanaman ke lahan gambut berpotensi
meningkatkan cadangan karbon gambut, yang besarnya berkisar antara 33,2 – 342,3
gr C th
, besarnya variasi kehilangan karbon ini terlihat dipengaruhi oleh perbedaan
dalam muka air tanah maksimum, umur saluran, dan manajemen pengelolaan lahan.
Kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase berkorelasi positif dengan
subsidence dan kondisi muka air tanah. Kejadian subsidence pada lahan gambut tropika yang didrainase berkisar antara 1,1 – 9,2 cm selama periode waktu 14 bulan,
rata-rata 48,13% subsidence disebabkan oleh kehilangan karbon.
-1
dari setiap kg biomassa yang dikembalikan. Namun demikian, disisi lain
sebagian biomassa tersebut juga terdekomposisi mengemisikan karbon sebesar 116,7
– 441,0 gr C th-1
Kehilangan karbon akibat pemupukan pada lahan gambut lebih tinggi sekitar
15,3 - 32,1 ton C ha
dari setiap kg biomassa.
-1
atau setara 56,15 – 117,81 ton CO2 ha-1 dibandingkan tanpa
pemupukan. Pada kejadian kebakaran hutan pada lahan gambut yang didrainase
mengemisikan karbon berkisar antara 92,16 - 133,38 ton C ha-1 atau setara 338,23 – 489,50 ton CO2 ha-1. Kehilangan karbon terbawa air drainase berkisar antara 70 –
280 gr C m-3
Ditemukan ada indikasi akumulai C lebih besar dari kehilangan C pada kebun
kelapa sawit tua (umur > 15 tahun) di lahan gambut dangkal dan kebun karet tua
(umur > 15 tahun).
air, tergantung dari debit air saluran dan konsentrasi karbon terlarut.
@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan ataumenyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya boleh untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah,
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
M A S W A R
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Fahmuddin Agus.
Balai Penelitian Tanah Bogor.
2. Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS.
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof (R). Dr. Irsal Las
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor
2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc.
N a m a : M a s w a r
N R P : A.361060021
Program Studi : Ilmu Tanah
Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc.
Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr.
Anggota Anggota
Dr. Meine van Noordwijk
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MSc.
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan HidayahNya untuk dapat menyusun disertasi ini. Tema
yang diangkat pada penelitian ini yaitu mengenai cadangan karbon pada lahan
gambut tropika, yang mana saat ini telah menjadi pusat perhatian dunia karena sangat
besarnya peranan karbon dari lahan gambut tropika terhadap perbaikan dan/atau
penurunan kualitas lingkungan global khususnya yang berkaitan dengan emisi gas
rumah kaca. Penelitian mengenai perubahan cadangan karbon pada kondisi alaminya
merupakan suatu hal yang penting buat kita untuk memahami bagaimana lahan
gambut tropika merespon pengaruh antropogenik yang dialaminya.
Pada umumnya sejalan dengan konversi lahan gambut baik untuk usaha
pertanian maupun penggunaan lainnya seperti pembuatan jalan selalu diikuti dengan
pembuatan saluran drainase untuk pembuangan air. Hal ini merupakan faktor utama
yang menyebabkan terjadinya instabilitas gambut. Untuk itu, pada penelitian ini
kondisi tata air pada lahan gambut yang didraining merupakan prioritas utama yang
dipelajari disamping kondisi sifat fisik, kimia dan biologinya dalam kaitannya dengan
kehilangan karbon pada gambut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi yang akurat mengenai perbedaan perubahan cadangan karbon pada
berbagai pengunaan lahan gambut yaitu: hutan, semak belukar, kebun kelapa sawit
dan karet, baik karena dekomposisi bahan organik, kebakaran, pemupukan dan
hanyut terbawa air dainase.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc. sebagai ketua komisi
pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr., dan Dr. Meine van
Noordwijk sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan, pengarahan, motivasi dan saran serta dukungannya untuk
kesempurnaan kajian ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Fahmuddin Agus sebagai
koordinator kerjasama penelitian ”Rebuilding Green Infrastucture with Trees People
kepada Bapak Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi., sebagai ketua Program Studi Ilmu Tanah,
Bapak Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS., sebagai penguji luas komisi pada sidang ujian
tertutup, Bapak Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc., dan Bapak Prof (R) Dr. Ir. Irsal Las
sebagai penguji luar komisi pada sidang ujian terbuka.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada ICRAF yang telah bersedia untuk
menyediakan dana dan dukungan untuk terlaksananya penelitian ini. Ucapan terima
kasih disampaikan pula kepada Badan LITBANG Pertanian yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan Pascasarjana (S.3)
dan sekaligus memberikan beasiswa. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada
SPs-IPB atas semua fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menjalani
Program Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan
kepada Abak Bahar Dj (Alm) dan Mamak Rosna dan Ibuk Mertua Hasanur atas
segala do’a dan dukungan beliau pada penulis. Khusus untuk isteri tercinta Helfianty
yang dengan penuh kesabaran dan tabah selalu memotivasi dan mendoakan penulis
untuk selalu berbuat yang terbaik dan maksimal, juga kepada anak-anak Alvin Al
Asyraf Maswar, Arifin Al Amiri Maswar, Aqil Al Ahnaf Maswar dan Amirah
Amanina Maswar yang selalu menjadi inspirasi bagi penulis untuk berbuat yang
terbaik.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis
uraikan satu per satu, disampaikan terima kasih. Semoga hasil penelitian ini dapat
dijadikan pedoman/acuan bagi pengelolaan dan konservasi lahan gambut yang telah
terlanjur dikonversi.
Bogor, 4 Februari 2011
Penulis
Penulis dilahirkan di Kayutanam, Kabupaten Padang Pariaman 27 Mei 1962 sebagai anak kedua dari pasangan Alm.H. Bahar Dj dan Hj. Rosna. Pendidikan SD diselesaikan pada tahun 1974 dari SDN 8 Pariaman, SMP tamat pada tahun 1977 dari SMPN 1 Pariaman, SMA tamat tahun 1981 dari SMAN Pariaman. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian Universitas Andalas (UNAND) Padang, lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1998, penulis diterima sebagai GRA (Graduate Assistance) pada kerjasama antara University Putra Malaysia dengan CIFOR malaksanakan penelitian “Rehabilitation of degraded log over forests” guna melanjutkan studi jenjang Master (S.2), meraih gelar Master of Agricultural Science (M. Agric. Sc.) bidang Soil Physics and Conservation, pada Universiti Putra Malaysia, 43400 UPM Serdang, Selangor DE, Malaysia tahun 2000. Pada bulan September 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah pada Sekolah Pascasarjana Institut Prtanian Bogor (SPs-IPB). Beasiswa pendidikan pascasarjana (S.3) diperoleh dari Badan LITBANG Pertanian.
Pada tanggal 5 Februari 1993 penulis menikah dengan Helfianty, dan dikaruniai empat orang anak yakni: Alvin Al Asyraf Maswar (2 Desember 1993), Arifin Al Amiri Maswar (24 November 1995), Aqil Al Ahnaf Maswar (11 Mei 2002) dan Amirah Amanina Maswar (4 Juli 2005).
Penulis bekerja sebagai peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor semenjak tahun 1992 sampai sekarang. Pengalaman penelitian: Sebagai site koordinator dan peneliti pada ”Penelitian Terapan Sistim DAS Kawasan Perbukitan Kritis di Yogyakarta” tahun 1992 - 1997. Sebagai peneliti pada penelitian “Rehabilitation of Logged-over Tropical Forest Ecosystem” di Pasoh Forest Reserve, Negeri Sembilan, Peninsular Malaysia (kerjasama penelitian antara UPM Malaysia dengan CIFOR) tahun 1998 - 2000. Sebagai peneliti pada kegiatan “Alternative to Slash and Burn (ASB) in SE Asia, Phase-3 tahun 2001 - 2004. Sebagai peneliti pada kerjasama penelitian antara ASEAN-Jepang dengan topik ”Multifunctionality of Agrculture” tahun 2004 - 2006. Telah mempublikasikan beberapa karya ilmiah dalam bahasa Indonesia dan Inggris, baik sebagai penulis utama maupun co-author.
Halaman
DAFTAR TABEL……….. xxiii
DAFTAR GAMBAR………... xxv
DAFTAR LAMPIRAN... xxvii
PENDAHULUAN………. 1
Latar Belakang……….…... 1
Rumusan Masalah dan Kerangka Pikir Penelitian... 4
Tujuan penelitian.………... 8
Manfaat Penelitian……….………. 8
Hypotesis Penelitian………... 9
Kebaharuan Penelitian……… 9
TINJAUAN PUSTAKA……….... 11
Definisi, Proses Pembentukan, dan Pengelompokan Gambut………… 11
Definisi gambut………. 11
Proses pembentukan gambut………. 12
Pengelompokan gambut………. 14
Sifat-sifat Tanah Gambut………... 16
Pemanfaatan Lahan Gambut di Indonesia………. 16
Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut... 18
Pengaruh Pola dan Dimensi Saluran Drainase... 19
Emisi dan Kehilangan Karbon Dari Lahan Gambut………. 20
Pemanasan Global dan Karbon Lahan Gambut... 22
Interaksi Antara Karbon, Mikro Organisme dan Unsur Hara... 24
METODOLOGI PENELITIAN……… 27
Waktu dan Lokasi Penelitian .……….. 27
Metode Penelitian……….. 27
Tahapan Penelitian……… 28
Deskripsi Lokasi Penelitian ……….. 30
Penentuan Lokasi Titik Pengamatan ……… 35
Peralatan Penelitian……….……….. 35
xx
Pengukuran cadangan karbon dan karakteristik lahan
gambut tropika yang didrainase... 39 Kajian kehilangan karbon dari berbagai penggunaan lahan
gambut yang didrainase………... 43
1.Kehilangan karbon pada permukaan lahan gambut pada masing-masing lokasi dan faktor yang
mempengaruhinya……… 43
2.Pengamatan kehilangan karbon akibat pemupukan.... 45 3.Pengamatan kehilangan karbon akibat dekomposisi
biomasa tanaman... 46 4.Pengamatan kehilangan karbon akibat kebakaran
hutan... 47 5.Pengamatan kehilangan karbon terbawa air drainase.. 48
HASIL DAN PEMBAHASAN... 49
Evaluasi Metode Pengukuran Karbon Tersimpan Pada Lahan
Gambut... 49 1. Evaluasi metode pengukuran bulk density (BD) lahan
gambut... 49 2. Evaluasi metode pengukuran kandungan karbon gambut... 52 3. Evaluasi metoda pengukuran emisi
CO
55
2………
Karakteristik Lahan Gambut yang Didrainase... 57 1.Keadaan umum saluran drainase pada masing-masing lokasi
Kajian... 57 2.Keragaan transek dalam muka air tanah dan permukaan tanah
berdasarkan jarak dari saluran drainase... 59 3.Karakteristik bulk density, kadar abu dan karbon pada lahan
gambut yang didrainase... 66 Cadangan Karbon Pada Berbagai Kondisi Lahan Gambut Tropika
yang Didrainase... 71 Kehilangan Karbon Dari Lahan Gambut yang Didrainase... 78
1. Kehilangan karbon dari lapisan permukaan lahan gambut
yang didrainase dan faktor-faktor yang mempengaruhinya... 78 a. Rata-rata kehilangan karbon dari lapisan permukaan
lahan gambut yang didrainase... 78 b. Karakteristik lahan yang berkaitan erat dengan
kehilangan karbon pada permukaan gambut yang
didrainase... 84 2. Kehilangan karbon dari dekomposisi biomasa pada berbagai
xxi
drainase... 108
Perbedaan Antara Kehilangan dan Akumulasi Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase Untuk Tanaman Tahunan... 109
PEMBAHASAN UMUM... 113
KESIMPULAN DAN SARAN... 129
Kesimpulan... 129
Saran... 130
DAFTAR PUSTAKA... 133
xxiii
No Halaman
1. Daftar kebutuhan air tanaman yang diusahakan di lahan gambut... 17 2. Ringkasan dari perbedaan jenis-jenis respirasi mikro organisme
dan kaitannya dengan potensial redoks... 25 3. Lokasi kajian berdasarkan penggunaan lahan dan wilayah
administrative……… 29
4. Peralatan yang digunakan selama kajian di lapangan... 36 5. Sifat-sifat tanah yang diamati dan metode pengukurannya... 40 6. Matrik korelasi nilai BD tanah gambut dengan penggunaan alat
kotak sampel 1 dengan kotak sampel 2, ring sampel, dan bor
gambut khusus... 50 7. Hasil uji T-test rata-rata nilai emisi CO2 berdasarkan pengukuran
metoda chamber dan metoda LOI... 55 8. Nilai hasil prediksi emisi CO2 antara metoda chamber (fluks CO2)
dan metoda LOI (peningkatan kadar abu)... 56 9. Ketebalan gambut dan distribusi cadangan karbon di
masing-masing lokasi kajian pada kondisi bulan Agustus tahun 2009... 72 10. Kerapatan karbon pada lahan gambut yang didrainase di
masing-masing lokasi kajian... 77 11. Rata-rata kehilangan karbon dari ketebalan gambut 50 cm dan
prediksi emisi CO2 pada berbagai kondisi gambut tropika yang
didrainase ... 78 12. Bentuk hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
kehilangan karbon... 83 13. Nilai koefisien korelasi antara kehilangan karbon dengan
karakteristik lahan... 85 14. Rata-rata nilai kehilangan karbon dan subsidence serta rata-rata
kontribusi kehilangan karbon terhadap subsidence pada berbagai
penggunaan lahan gambut yang didainase... 87 15. Hasil analisa hubungan kehilangan karbon dengan karakteristik
lahan pada lahan gambut yang didrainase menggunakan prosedur
stepwise... 88 16. Subsidence umur saluran dan muka air tanah maksimum pada
xxiv
18. Kadar karbon dan nilai C/N awal serta berat biomasa yang tersisa pada periode waktu 0, 6 dan 14 bulan setelah proses dekomposisi
berlangsung... 94 19. Kehilangan biomasa selama 14 bulan proses dekomposisi dan
besarnya emisi karbon atau gas CO2 dari setiap kilo gram biomasa. 98
20. Rata-rata nilai BD dan kadar abu pada plot yang diberi pupuk dan
tanpa pupuk 8 bulan setelah pempukan... 99 21. Hasil uji T-test berpasangan terhadap nilai persentase abu, BD dan
berat abu antara plot dipupuk dengan tanpa dipupuk... 100 22. Perbandingan BD, %kadar abu, dan kandungan abu antara hutan
alami dengan hutan terbakar di desa Simpang dan desa Cot Gajah Mati pada ketebalan permukaan gambut 5 cm... 104 23. Hasil uji T-tes rata-rata berat abu pada permukaan tanah pada
hutan alami dan hutan terbakar di desa Simpang dan desa Cot Gajah Mati... 105 24. Debit air saluran drainase dan konsentrasi karbon dalam air pada
beberapa lokasi lahan gambut yang didrainase... 109 25. Perbedaan antara kehilangan dan akumulasi karbon pada
xxv
No Halaman
1. Kerangka pemikiran dinamika karbon pada lahan gambut yang didrainase untuk tanaman tahunan………... 7 2. Emisi CO2 dari lahan gambut berdasarkan Negara pada tahun 2008... 21
3. Perobahan konsentrasi CO2 di atmofir di Mauna Loa selama periode
waktu 50 tahun (1960 – 2010). Sumber: Dr. Pieter Tans, NOAA/ESRL ... 23 4. Bagan alir tahapan penelitian………... 28 5. Peta tanah dan lokasi kajian dilaksanakan... 30 6. Bentuk hubungan antara hasil pengukuran bulk density menggunakan
kotak sampel 1 dengan kotak sampel 2, ring dan bor... 50 7. Hubungan antara hasil pengukuran %C-organik metode LOI dengan
%bahan organik metode Walkley dan Black... 52 8. Kondisi saluran drainase di masing-masing lokasi kajian... 57 9. Telaga (suak) di pinggir pantai tempat terakumulasinya air drainase
dari lahan gambut... 58 10. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah”
berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian hutan di desa Simpang... 59 11. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah”
berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian semak belukar I di desa Simpang... 60 12. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah”
berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian semak belukar II di desa Simpang... 60 13. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah”
berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun karet di desa Simpang... 60 14. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah”
berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit I di desa Suak Puntong... 61 15. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah”
xxvi
kajian kebun kelapa sawit I di desa Suak Raya... 61 17. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah”
berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit II di desa Suak Raya... 62 18. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah”
berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun karet di desa Suak Raya... 62 19. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah”
berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati... 62 20. Rata-rata nilai Bulk Desity (BD) dan kadar abu pada setiap 50
peningkatan ketebalan gambut... 67 21. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan
gambut fibrik... 69 22. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan
gambut hemik... 69 23. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan
gambut saprik + gambut tercampur bahan mineral (peaty mineral) ... 69 24. Hubungan antara ketebalan gambut dengan cadangan karbon yang
tersimpan di dalamnya... 71 25. Hubungan antara subsidence dengan kehilangan karbon... 86 26. Keragaan masing-masing biomasa yang tertinggal setelah 14 bulan
terdekomposisi... 96 27. Bentuk hubungan antara rasio C/N dengan berat biomasa yang tersisa
setelah 6 dan 14 bulan proses dekomposisi berjalan... 97 28. Keragaan kondisi hutan alami dan kondisi hutan setelah terbakar... 108 29. Diagram pencar hubungan antara dalam muka air tanah maksimum
xxvii
No Halaman
1. Legenda land unit kabupaten Aceh Barat……... 142 2. Koordinat geografis titik pengamatan... 144 3. Tingkat kematangan gambut pada profil gambut di berbagai lokasi
kajian………... 145
4. Data cadangan dan kehilangan karbon dan sifat-safat tanah pada semua land use kajian... 146 5. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari
saluran drainase pada lokasi kajian hutan di desa Simpang... 151 6. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari
saluran drainase pada lokasi kajian semak I di desa Simpang... 151 7. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari
saluran drainase pada penggunaan lahan semak II di desa Simpang... 151 8. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari
saluran drainase pada lokasi kebun karet I di desa Simpang... 152 9. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari
saluran drainase pada lokasi kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati... 152 10. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari
saluran drainase pada lokasi kebun karet di desa Suak Raya... 152 11. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari
saluran drainase pada lokasi kebun kelapa sawit I di desa Suak Raya... 153 12. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari
saluran drainase pada lokasi kajian kelapa sawit II di desa Suak Raya. 153 13. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari
saluran drainase pada lokasi kajian kelapa sawit I di desa Suak Puntong... 153 14. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari
saluran drainase pada lokasi kebun kelapa sawit II di desa Suak Puntong... 154 15. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada lokasi hutan di desa Simpang... 154 16. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada lokasi semak I di desa Simpang... 154 17. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
xxviii
19. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi kelapa sawit I di desa Suak Puntong... 155 20. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada lokasi kelapa sawit II di desa Suak Puntong... 156 21. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada lokasi karet di desa Suak Raya... 156 22. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada lokasi kelapa sawit I di desa Suak Raya... 156 23. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada lokasi kelapa sawit II di desa Suak Raya... 157 24. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan
subsidence pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Cot Gajah Mati... 157
Latar Belakang
Ekosistem gambut mempunyai peranan yang sangat penting dalam skala global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat karena menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai air, menyimpan karbon, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati dengan berbagai jenis flora dan fauna langka yang hanya ada dijumpai pada ekosistem ini (Roulet, 2000; Zhang et al., 2002; Chmura et al., 2003; Sudip et al., 2005; Sanderson et al., 2006). Disisi lain, ekosistem gambut sangat unik, rapuh dan memiliki sifat tidak dapat diperbaharui, proses pembentukannya memerlukan waktu ribuan tahun, bila terjadi kerusakan, sangat sulit untuk diperbaiki atau bahkan tidak bisa pulih sama sekali.
Luas lahan gambut dunia hanya sekitar 3% dari luas permukaan bumi yaitu sekitar 400 juta hektar (Joosten dan Clarke, 2002; Global Peatlands Initiative, 2002); Hooijer et al., 2006), namun menyimpan karbon yang sangat banyak yakni diperkirakan sebanyak 550 Giga ton, atau setara dengan 75% dari seluruh karbon di atmosfer (Alex dan Joosten, 2008; Joosten, 2009). Menurut Joosten (2009) khusus untuk Indonesia yang mewakili daerah gambut tropika, memiliki luas lahan gambut ketiga terluas di dunia setelah Rusia dan Kanada yakni sekitar 265.500 km2, jumlah ini sekitar 14% dari luas daratan Indonesia atau lebih dari setengah dari luas gambut yang berada di daerah tropika, dan berdasarkan data kondisi tahun 2008 gambut Indonesia menyimpan cadangan karbon juga peringkat tiga terbesar di dunia (setelah Kanada dan Rusia) yakni sekitar 54.016 Mega ton. Mengingat cadangan karbon yang besar pada lahan gambut sedangkan ekosistemnya sangat rapuh, maka apabila tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan kehilangan karbon yang banyak, terutama dalam bentuk gas metan (CH4) dan karbon dioksida (CO2
Salah satu sumber yang berkontribusi besar terhadap peningkatan CO ) ke atmosfer sehingga semakin meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK).
2 di
ekosistem gambut tropika yang diwakili oleh Indonesia dan Malaysia misalnya, kehilangan karbon akibat oksidasi dari permukaan lahan gambut yang didrainase rata-rata sebesar 65 ton CO2 ha-1 th-1 (Hooijer et al., 2006).
Meski memiliki fungsi strategis, namun alih fungsi atau reklamasi lahan
gambut untuk dijadikan lahan pertanian maupun pemukiman serta untuk
infrastruktur lainnya telah terjadi semenjak beberapa dekade terakhir dan masih
terus berlangsung sampai sekarang. Sebagai gambaran telah terjadi konversi
dan/atau pembuatan drainase terhadap lahan gambut dunia dapat dilihat dari laporan Alex dan Joosten (2008) yang mana seluas 65 juta hektar lahan gambut dunia telah didrainase, dan telah mengemisikan CO2 sebanyak 3 Giga ton per
tahun. Khusus untuk Indonesia, menurut Hooijer et al.(2006) selama periode 1985 – 2000 sebanyak 20% atau rata-rata sebesar 1,3% per tahun hutan gambut alami telah ditebang dan/atau dikonversi untuk penggunaan lain, dan berdasarkan data konsesi Indonesia, menunjukkan bahwa 27% dari luas area konsesi untuk kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) berada pada lahan gambut, rinciannya adalah 28.009 km2 untuk perkebunan kelapa sawit dan 19.923 km2
Pemanfaatan lahan gambut untuk komuditi tanaman tahunan (pertanian atau perkebunan dan hutan tanaman industri) mengharuskan adanya saluran drainase atau kanal untuk meningkatkan ketersediaan oksigen bagi akar supaya
tanaman bisa tumbuh dan berkembang dengan baik (Hooijer et al., 2006). Pembuatan drainase menyebabkan penurunan muka air tanah, akibatnya terjadi perubahan kondisi lingkungan dari anaerob menjadi aerob pada lapisan dekat permukaan gambut, sehingga meningkatkan kehilangan karbon melalui proses dekomposisi gambut (Chimner dan Cooper, 2003). Dalam kondisi seperti ini, jelas bahwa konsekwensi logis dari pembuatan drainase adalah menyebabkan terjadinya peningkatan kehilangan karbon terutama dalam bentuk: emisi CO2
Penanaman tanaman tahunan pada lahan gambut yang didrainase seperti kelapa sawit, karet dan HTI sebenarnya juga dapat meningkatkan cadangan karbon, karena dalam proses pertumbuhan yang simultan selama proses fotosintesis tanaman mengabsorpsi CO
ke atmosfer, dan hanyutnya karbon terlarut (disolved organik carbon) bersama aliran air drainase yang keluar dari lahan gambut.
Berbagai aktivitas pengelolaan lahan pertanian pada lahan gambut setelah pembuatan drainase, seperti pembakaran semak dan sisa-sisa tanaman di atas permukaan gambut, praktek pengolahan tanah dan pemupukan juga dapat meningkatkan laju kehilangan karbon. Hal ini menunjukkan bahwa dampak lebih lanjut yang terjadi setelah pengembangan sistim drainase di lahan gambut adalah penurunan permukaan tanah (subsidence) karena hilangnya gambut dan proses pemadatan. Berkaitan dengan hal ini, Limin et al. (2000) melaporkan bahwa besarnya penurunan permukaan lahan gambut tropika di daerah Kalampangan (eks UPT Bereng Bengkel) berkisar antara 1-3 cm per tahun.
2 dan menyimpannya sebagai materi
organik dalam biomassa tanaman. Berkaitan dengan hal ini, Agus (2007) memperkirakan bahwa jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam kurun waktu 15 sampai 25 tahun akan terjadi penambatan (sequestration) karbon sekitar 100 ton/ha. Dalam jangka panjang ranting, daun dan bahan-bahan tanaman lain yang jatuh ke permukaan tanah juga dapat menyimpan karbon sampai terdekomposisi namun disisi lain, menurut hasil study oleh Dr. Susan Page
University of Leicester yang dipublikasikan oleh Hooijer et al. (2006) dan
telah mengemisikan sebanyak 15 - 70 ton CO2
Diperkirakan untuk masa yang akan datang lahan gambut Indonesia akan lebih cepat terdegradasi, karena pada proses reklamasi lahan gambut untuk budidaya pertanian dan perkebunan khususnya untuk tanaman tahunan selalu diawali dengan pembuatan drainase, penyiapan lahan (land clearing) dan persiapan lahan untuk komoditas tanaman tertentu. Adanya proses usikan selama aktivitas reklamasi dan pengelolaan lahan gambut yang meliputi: pengeringan yang berasal dari dekomposisi gambut dan pembakaran pada proses land clearing.
Dari berbagai data atau informasi yang dipublikasikan oleh beberapa stake holder saat ini terlihat bahwa kegiatan konversi hutan gambut di daerah tropika menjadi bentuk penggunaan lain yang diikuti dengan pembuatan saluran drainase telah menyebabkan kehilangan karbon yang sangat besar dan berkontribusi sangat besar pula terhadap emisi GRK dan perubahan iklim global. Untuk meminimumkan dampak dari aktivitas pengelolaan lahan gambut tropika, maka perlu adanya upaya atau tindakan nyata yang dapat mendorong penurunan laju kehilangan atau emisi karbon dari lahan gambut yang telah terlanjur dikonversi dan/atau didrainase. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah Indonesia telah meresponnya dengan mencanangkan target penurunan emisi GRK Indonesia sebesar 26 persen sampai tahun 2020. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia pada pertemuan perubahan iklim PBB yaitu Confrence of the Parties (COP-15) di Kopenhagen pada tanggal 7-18 Desember 2009.
Rumusan Masalah dan Kerangka Pikir Penelitian
Dalam beberapa dasawarsa mendatang, lahan gambut Indonesia
diperkirakan akan terus menjadi semakin terancam, karena dikonversi untuk
dijadikan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan infrastruktur lainnya. Hal
ini didasarkan pada pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian bukanlah
atau drainase, pembersihan dan/atau pembakaran, pengolahan tanah, serta pemupukan, merupakan faktor-faktor yang dapat mempercepat degradasi gambut. Pada pengembangan lahan gambut tropika yang didrainase untuk usaha tanaman tahunan, pada proses keberlanjutan hidupnya tanaman menyerap karbon dalam bentuk CO2
Permasalahan dalam mengevaluasi dinamika karbon pada lahan gambut tropika saat ini adalah belum tersedianya metoda dan alat yang representatif. Sebagai contoh, selama ini perhitungan cadangan dan/atau kehilangan karbon pada lahan gambut tropika lebih banyak dilakukan dengan metode prediksi dan bahkan lebih banyak menggunakan data asumsi, bahkan metode yang digunakan banyak mengadopsi dari metode yang umum bukan motode yang spesifik untuk gambut tropika. Data utama yang diperlukan untuk mengestimasi cadangan, dari atmosfer yang diperlukan dalam proses fotosintesis. Karbon yang diserap ini kemudian diubah menjadi karbohidrat yang selanjutnya disebarkan ke seluruh bagian jaringan tumbuhan dan selanjutnya ditimbun dalam bentuk akar, daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses pengambilan dan penyimpanan karbon oleh tanaman ini merupakan bagian dari siklus karbon yang berperan penting dalam keseimbangan karbon, hal ini semestinya juga perlu dipertimbangkan sebagai sisi positif dalam pengelolaan lahan gambut tropika yang telah terlanjur didrainase.
kehilangan dan dinamika karbon pada lahan gambut adalah: karakteristik fisik, kimia dan bologi gambut yang meliputi antara lain: ketebalan gambut, kerapatan dan/atau bulk density (BD), kandungan karbon dan/atau kadar abu, biomassa tumbuhan yang tumbuh di atasnya, sistim drainase, kecepatan dekomposisi bahan gambut dan biomassa tumbuhan yang gugur, serta model pertumbuhan tanaman. Dalam hal ini dalam mengevaluasi karakteristik gambut tropika diperlukan pula metoda dan/atau alat yang representatif serta spesifik untuk gambut tropika.
Untuk mengestimasi kehilangan karbon lahan gambut selama ini biasanya digunakan dua metode yang umum yaitu pengukuran tingkat penurunan permukaan gambut (subsidence rate) dan pengukuran langsung fluks gas. Dalam metode subsidence, sebenarnya tidak seluruh gambut yang menyebabkan subsidence tersebut hilang, karena subsidence merupakan kombinasi dari kehilangan karbon dan proses pemadatan gambut. Apabila menggunakan metode pengukuran fluks gas misalnya CO2 untuk mengestimasi kehilangan karbon
gambut tropika, masalahnya ada pada keterbatasan kondisi lokasi dan waktu yang sempit. Pada kajian ini kondisi lahan gambut yang digunakan sebagai kajian sudah didrainase yang menyebabkan sebagaian material gambut dalam kondisi aerob, maka diasumsikan bahwa terdekomposisinya material gambut karena kondisi aerob tersebut akan menyisakan bahan mineral (kadar abu) dan terkonsolidasi pada lahan tersebut. Berdasarkan hal ini, adanya peningkatan atau perbedaan kadar abu (kandungan mineral) pada lahan gambut dapat dijadikan sebagai data/informasi untuk memprediksi kehilangan karbon, baik karena proses dekomposisi maupun kebakaran.
Tujuan Penelitian
Dari uraian yang diungkapkan dalam latar belakang, disusun beberapa tujuan penelitian yaitu:
1. Mengevaluasi metode dan alat untuk mengestimasi kandungan karbon tanah gambut tropika.
2. Mengevaluasi karakteristik lahan dan/atau sifat-sifat gambut tropika yang didrainase.
3. Menghitung cadangan karbon tersimpan pada lahan gambut tropika yang dikembangkan untuk tanaman tahunan.
4. Mengevaluasi berbagai bentuk kehilangan karbon pada lahan gambut tropika yang didrainase untuk tanaman tahunan
Manfaat Penelitian
Data ataupun kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai/untuk:
1. Hasil evaluasi terhadap metode dan/atau alat penentuan karbon gambut dapat digunakan untuk mengkoreksi informasi/data yang berkaitan dengan karbon pada lahan gambut tropika, dan acuan buat penelitian dinamika karbon pada lahan gambut tropika untuk masa yang akan datang.
2. Informasi mengenai dampak drainase terhadap karakteristik lahan berguna untuk manajemen pegelolaan tata air pada lahan gambut.
3. Informasi mengenai cadangan dan kehilangan karbon pada berbagai kondisi lahan gambut, berguna sebagai acuan dalam memperkirakan umur guna lahan dan tindakan konservasi yang tepat terhadap lahan tersebut.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Berbagai metode dan/atau alat yang digunakan untuk menentukan kandungan karbon tanah gambut memberikan nilai kandungan karbon yang beberbeda. 2. Pada lahan gambut yang didrainase ke dalaman muka air tanah dan jarak dari
saluran drainase dominan mempengaruhi karakteristik lahan.
3. Lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan dan jenis vegetasi menyimpan cadangan karbon yang berbeda.
4. Semakin banyak material gambut dalam kondisi aerob atau semakin dalam muka air tanah, dan semakin subur lahan, menyebabkan semakin banyak material gambut yang terdekomposisi, sehingga kehilangan karbon dan subsidence juga semakin besar.
Kebaruan Penelitian
Kebaruan yang dapat diajukan dari kajian ini adalah:
1. Kajian ini menginformasikan nilai konstanta yang representatif untuk: a) mengkonversi nilai kandungan bahan organik menjadi kandungan C-organik atau sebaliknya untuk tanah gambut tropika, b) konstanta yang relevan untuk mengkoreksi data hasil pengukuran Bulk density (BD) tanah gambut menggunakan ring sampel atau bor gambut (yang umum digunakan selama ini).
2. Kajian ini menginformasikan nilai cadangan karbon yang tersimpan pada lahan gambut berdasarkan data kondisi aktual fisik gambut di lapangan.
3. Kajian ini mempermudah prediksi kehilangan karbon pada lahan gambut khususnya karena dekomposisi material gambut ataupun karena proses terbakarnya lahan gambut, yaitu dengan menggunakan data kadar abu dari hasil metode Loss on Ignition (LOI).
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi, Proses Pembentukan, dan Pengelompokan Gambut
Definisi gambut
Gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi lebih dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Setiap lahan gambut mempunyai karakteristik yang berbeda tergantung dari sifat-sifat dari badan alami yang terdiri dari sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam sedimen di bawahnya, yang akan menentukan daya dukung wilayah gambut, menyangkut kapasitasnya sebagai media tumbuh, habitat biota, keanekaragaman hayati, dan hidrotopografi (Menteri Pertanian, Peraturan Nomor: 14/Permentan/PL.110/2/ 2009). Di dalam bidang ilmu taksonomi tanah, gambut dikenal dengan istilah ‘Histosols’, atau yang populer dalam bahasa Inggris disebut sebagai peat. Istilah ‘gambut’ sendiri diserap dari bahasa daerah kecamatan di Kalimantan Selatan (Sabiham, 2006).
Menurut Soil Survey Staff (2010) tanah organik (Histosols) adalah tanah yang:
1. Mempunyai bahan tanah organik mulai dari permukaan ke salah satu berikut: a. Kedalaman 10 cm atau kurang dari kontak litik atau paralitik, asalkan
ketebalan bahan tanah organik lebih dari dua kali ketebalan tanah mineral di atas kontak tersebut; atau
b. Kedalaman seberapapun apabila bahan tanah organik berada di atas bahan fragmen (kerikil, batu, kerakal) dan celah-celahnya terisi oleh bahan tanah organik, atau berada diatas kontak litik atau paralitik; atau
2. Mempunyai bahan organik yang memiliki batas atas di dalam kedalaman 40 cm dari permukaan; dan
(1) 60 cm atau lebih, bila tiga perempat bagian atau lebih volumenya adalah serat, atau bulk density kurang dari 0,1 gr cm-3 (6,25 pon per kaki kubik); atau
(2) 40 cm atau lebih, bila:
(a) Bahan tanah organik jenuh air dalam waktu lama (lebih dari 6 bulan) atau telah didrainase; dan
(b) Bahan organik terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau terdiri dari bahan fibrik yang kurang dari tiga perempat bagian volumenya adalah serat dan bulk density 0,1 gr cm-3
Lahan gambut terbentuk karena pada kondisi alami akumulasi bahan organik lebih besar dari laju dekomposisisinya sehingga terjadi penumpukan bahan organik (Roulet, 2000; Zhang et al., 2002; Chmura et al., 2003; DeBusk dan Reddy, 2003). Menurut Keddy (2000) diantara ekosistem yang ada di bumi ini, ekosistem lahan basah atau gambut adalah sistim yang paling produktif dalam menyerap karbon dari atmosfer yakni mencapai 1300 gr C m
atau lebih; dan b. Mempunyai bahan tanah organik yang:
(1) Tidak memiliki lapisan mineral sampai setebal 40 cm baik pada permukaan ataupun yang batas atasnya di dalam kedalaman 40 cm dari permukaan; dan
(2) Tidak memiliki lapisan-lapisan mineral, yang secara komulatif, sampai setebal 40 cm dari permukaan; dan
3. Tidak memiliki sifat-sifat tanah andik dalam lapisan setebal 35 cm atau lebih di dalam kedalaman 60 cm dari permukaan.
Merupakan kaidah umum bahwa tanah diklasifikasikan sebagai suatu tanah organik (Histosols) apabila lebih dari separuh lapisan tanah teratas 80 cm (32 inchi) merupakan bahan tanah organik, atau apabila bahan tanah organik dengan ketebalan berapapun berada di atas bahan fragmen yang mempunyai celah-celah terisi bahan organik.
Proses pembentukan gambut
-2
atmosfer tersebut sebagian jatuh dan diakumulasikan dalam bentuk bahan tanah gambut. Menurut Bernal (2008) lahan basah daerah tropika di Costa Rica mengakumulasikan sekitar 263 gr C m-2 th-1 dan lahan basah daerah temperate di Ohio mengakumulasikan sekitar 140 gr C m-2 th-1. Namun, prediksi yang lebih rendah disampaikan oleh Chmura et al. (2003) yakni hanya sekitar 20 to 30 gr C m-2 th-1. Laju akumulasi bahan gambut sebenarnya juga dipengaruhi oleh: lokasi geogafis lahan gambut (selatan>utara), umur (muda>tua), jenis (rawa>fens), iklim (kering<humid) dan posisi (dataran tinggi>depressi) (Asada dan Warner, 2005; Chun Mei et al., 2009).
Berkaitan dengan proses pembentukan gambut, Sarwono (2003) merangkum teori evolusi proses pembentukan gambut yaitu: tahapan pertama, merupakan proses akumulasi bahan organik (menghasilkan bahan induk) yang dikenal dengan proses geogenesis; tahapan kedua, merupakan proses pematangan gambut yang terjadi pada awal reklamasi atau pengeringan tanah gambut dikenal dengan proses pedogenesis yang meliputi: (a) proses pematangan fisik, yaitu pematangan disebabkan oleh dehidratasi akibat pengeringan (drainase dan evaporasi), (b) proses pematangan kimia, terjadi karena bahan gambut kehilangan kelembaban dan masuknya udara ke dalam pori-porinya, (c) proses pematangan biologi, terjadi akibat pencampuran bahan gambut oleh mikrofauna, yang menghasilkan mull atau moder. Pembentukan mull terjadi pada tanah gambut yang mengandung liat dan pH tinggi sampai sedang. Sedangkan pembentukkan moder terjadi pada lapisan atas (topsoil) tanpa dan/atau dengan kadar liat yang rendah.
Menurut Sabiham (2006) proses pembentukan gambut di Indonesia sama dengan gambut daerah tropis lainnya. Awal terbentuknya endapan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 11.000 BP (BP= Before Period, yaitu dicatat sebelum tahun 1950). Kejadian terbentuknya endapan gambut di Indonesia berkaitan erat dengan peristiwa transgresi dan regresi air laut pada Zaman Kuarter (Holosen) yang membentuk dataran-dataran pantai dan daerah cekungan, seperti di pulau-pulau sekitar Dataran Sunda dan Dataran Sahul. Lebih lanjut detegaskan oleh Sabiham (2006) bahwa dengan adanya proses sedimentasi dan progradasi menyebabkan garis pantai cenderung bertambah ke arah laut. Daerah-daerah ini kemudian ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan mengisi cekungan-cekungan tersebut. Di daerah pantai dan dataran rendah (cekungan), mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tingginya permukaan air sungai, terjadi peningkatan penumpukan serasah tanaman, menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome).
Pengelompokan gambut
a. Fibrik, memiliki kandungan serat lebih dari ¾ volume tanah (terombak < 33%).
b. Hemik, kandungan seratnya antara fibrik dan saprik (terombak 33 – 66%), dan,
c. Saprik kandungan seratnya kurang dari 1/6 dari volume tanah (terombak >66%).
Secara umum dapat dijelaskan bahwa gambut fibrik adalah apabila bahan vegetasi aslinya masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami dekomposisi, hemik apabila tingkat dekomposisinya sedang, dan saprik apabila tingkat dekomposisinya telah lanjut. Karena bulk density (BD) meningkat dengan meningkatnya tingkat dekomposisi maka parameter ini juga telah digunakan sebagai kriteria dalam mengkarakterisasi gambut.
Gambut mempunyai keberagaman yang cukup tinggi tergantung pada lingkungan fisiknya. Berdasarkan lingkungan fisiknya, lahan gambut dibedakan atas enam macam bentuk (Noor, 2001), yaitu:
1. Gambut daratan rawa pantai
2. Gambut rawa lagun
3. Gambut cekungan atau lembah kecil yang menyatu dengan daratan
4. Gambut yang terisolasi pada lembah sungai
5. Gambut endapan karang (khusus kawasan salinitas)
6. Gambut rawa delta
Menurut lingkungan pembentukan dan fisiografi lahan gambut dapat dibedakan atas empat tipe lahan gambut (Noor, 2001), yaitu:
1. Gambut cekungan (basin peat) adalah gambut yang terbentuk didaerah cekungan, lembah sungai atau rawa burit atau rawa belakang.
2. Gambut sungai (river peat) adalah gambuit yang terbentuk di sepanjang sungai yang masuk kedaerah lembah kurang dari 1 km.
3. Gambut daratan tinggi (highland peat) adalah gam,but yang terbentuk di punggung-punggung bukit atau pegunungan
Berdasarkan ketebalannya, gambut dikelompokan menjadi empat tipe (Wahyunto et al., 2003, 2004 dan 2007), yaitu:
1. Gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 -1 m,
2. Gambut sedang dengan ketebalan 1 - 2 m,
3. Gambut dalam dengan ketebalan 2 - 3 m dan
4. Gambut sangat dalam dengan ketebalan > 3 m
Sifat-Sifat Tanah Gambut
Sifat inheren gambut yang penting adalah sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Menurut Sarwono (2003) sifat inheren gambut tropika yang kurang menguntungkan diantaranya adalah kering tidak balik (irreversible drying) dan penurunan (subsidence). Apabila mengalami pengeringan yang berlebihan koloid gambut menjadi rusak sehingga terjadi gejala kering tidak balik dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air sehingga membuatnya peka tererosi. Lebih lanjut dijelaskan oleh Sarwono (2003) bahwa gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu mengalami pengeringan, kondisi ini menyebabkan gambut mudah terbakar. Tanah gambut juga memiliki sifat penurunan permukaan tanah yang besar setelah dilakukan drainase. Hubungan antara subsidence dengan saluran drainase pada tanah gambut dikemukakan oleh Fitzgerald et al. (2005) sebagaimana diilustrasikan menurut persamaan berikut :
Subsidence = (-0,1202 x kedalaman saluran + 0,0162) x Ln (jarak dari saluran drainase) + (0,8102 x kedalaman drainase – 0,4079)
Pemanfaatan Lahan Gambut di Indonesia
tanah gambut lebih sesuai untuk tanaman sayuran (Sarwono, 2003). Di Indonesia, tanah gambut banyak diusahakan untuk tanaman padi terutama untuk gambut yang tidak terlalu dalam dan ada pula untuk tanaman buah-buahan (seperti nanas, pepaya dan rambutan) dan tanaman perkebunan (terutama kelapa, kelapa sawit, kopi dan karet), dan Acasia crasicarpa sebagai hutan tanaman industri (Sabiham, 2006).
Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress air yang berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah irigasi pada saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman tanaman pada lahan gambut khususnya tanaman semusim, pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat dan kebutuhan tanaman dan disesuaikan dengan ketersediaan air tanah di atas water table. Menurut informasi dari berbagai sumber hasil kajian yang dirangkum oleh Ambak dan Melling (2000) kebutuhan kondisi tata air tanah yang diperlukan untuk berbagai jenis tanaman disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Daftar kebutuhan air tanaman yang diusahakan di lahan gambut
Tanaman
Kebutuhan muka air tanah (cm)
Kelapa Sawit 50-75
Nanas 60-90
Sagu 20-40
Ubi kayu 15-30
Kacang tanah 65-85
Kedelai 25-45
Jagung 75
Ubi jalar 25
Asparagus 25
Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut
Apabila terjadi konversi hutan gambut yang biasanya diikuti dengan pembuatan drainase, maka akan berdampak terhadap unit-unit hidrologi dari hutan rawa gambut tersebut. Sebagai contoh, terjadinya penurunan kadar air gambut dibawah batas kritis, menyebabkan tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak dapat lagi menyerap air. Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh sisa tanaman (daun, dahan, ranting, batang) mengalami kondisi aerob menyebabkan aktivitas bakteri pembusuk akan meningkat. Setelah bakteri pembusuk mulai mendekomposisi gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon, maka karbon yang tersimpan did alam bagian bahan tersebut akan teremisi ke udara dalam bentuk CO2 dan memenuhi lapisan ozon sehingga akan menciptakan efek
rumah kaca (green house effect) hal ini dapat memacu terjadinya pemanasan global yang berdampak terhadap naiknya suhu bumi dan berubahnya iklim global.
Pengaruh Pola dan Dimensi Saluran Drainase
Lahan gambut pada kondisi alami adalah jenuh air sepanjang tahun. Konversi lahan gambut untuk usaha tanaman tahunan memerlukan sistim pengelolaan air untuk menurunkan permukaan air dan membuang air hujan yang berlebih.Untuk menghindari subsidence yang berlebihan dan mengatasi kekurangan air dimusim kering, dalam muka air tanah perlu dikontrol melalui pembuatan saluran drainase. Oleh karena karakteristik gambut sangat unik, supaya air hujan tidak mengalir sebagai aliran permukaan (run off) tetapi sebagai aliran bawah tanah, maka desain dari saluran drainase seharusnya berdasarkan kepada karakteristik hidraulik tanah gambut tersebut yaitu kecepatan infiltrasi, kapasitas penyimpanan air dan permeabilitas. Menurut Wosten dan Ritzema (2001) untuk drainase lahan gambut tropika pendekatan menurut “persamaan Hooghudt” dapat digunakan untuk menentukan jarak antar saluran drainase, yang mana jarak saluran drainase dapat berdasarkan kepada keperluan drainase selama kondisi muka air tanah normal, sedangkan dimensi saluran berdasarkan kepada kondisi muka air tanah tinggi.
Emisi dan Kehilangan Karbon Dari Lahan Gambut
Secara umum, bentuk siklus karbon pada ekosistem lahan gambut adalah: awalnya karbon diserap oleh tanaman melalui proses fotosintesis, sebagian dilepaskan kembali ke atmosfer dalam bentuk CO2 hasil dari proses respirasi
tanaman, karbon yang tersisa ditransformasi menjadi struktur tanaman (akar, batang, daun, buah), dan terakhir disimpan sebagai bagian tanaman yang mati yaitu sebagai serasah di atas atau dalam gambut. Karbon tersimpan pada lahan gambut dapat hilang dari lahan gambut dalam bentuk gas dan bentuk terlarut (dissolved organic carbon). Kehilangan karbon gambut dalam bentuk gas sebagian besar dalam bentuk karbon dioksida (CO2) dan metan (CH4).
Pertukaran CO2
Pada dekade akhir-akhir ini sebagian lahan gambut dunia telah didrainase, kondisi ini menyebabkan terjadinya perobahan keseimbangan ekosistem gambut dari sebagai penyimpan menjadi penyumbang karbon (Canadell et al., 2007; Rieley et al., 2008). Menurut Joosten (2009) secara global emisi CO
pada lahan gambut ditentukan oleh keseimbangan antara fiksasi karbon melalui fotosintesis dan pembebasan karbon melalui respirasi tanaman dan mineralisasi gambut. Mineralisasi karbon pada lahan gambut sangat dipengaruhi oleh muka air tanah dan suhu (Charman, 2002). Produksi gas metan pada lahan gambut oleh bakteri pada kondisi anaerobik dipengaruhi oleh temperatur dan dalam muka air tanah.
2 dari lahan
gambut yang didrainase telah meningkat dari 1.058 Mega ton pada tahun 1990 menjadi 1.298 Mega ton pada tahun 2008 (> 20%). Peningkatan ini terutama terjadi pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, China, Malaysia and Papua New Guinea. Khusus Indonesia, menurut Hooijer et al. (2006) diperkiran rata-rata 632 Mega ton CO2 (interval 355–874 Mega ton CO2) per tahun
diemisikan dari lahan gambut yang didrainase. Menurut Hooijer et al. (2010) emisi CO2 dari lahan gambut yang didrainase pada tahun 2006 adalah antara 355
- 855 Mega ton th−1, 82% dari jumlah ini berasal dari Indonesia. Data terbaru yang disampaikan Joosten (2009) emisi CO2 tahun 2008 dari lahan gambut
Indonesia adalah yang tertinggi di dunia yaitu sebanyak 500 Mega ton dibandingkan Rusia diposisi kedua hanya 139 Mega ton. Data lengkap emisi CO2
Kebakaran hutan pada lahan gambut yang didrainase merupakan salah satu bentuk penyebab hilangnya karbon dari lahan gambut. Kebakaran hutan gambut yang parah pernah terjadi di Indonesia adalah pada tahun 1997, 1998 dan 2002, yang mana pada setiap tahun kejadian kebakaran sekitar 1,5 – 2,2 juta hektar lahan gambut terbakar di Sumatera dan Kalimantan dengan emisi karbon sebannyak 3000 – 9400 Mega ton CO2, jumlah ini mencapai 40% dari emisi CO2
secara global (Hooijer et al., 2006). Menurut Ballhorn et al. (2009) kebakaran seluas 13% (2,79 juta hektar) lahan gambut Indonesia pada tahun 2006 mengemisikan 98,38 ± 180,38 Mega ton CO2, sedangkan pada saat kejadian El
Nino 1997 sebanyak 2,57 Giga ton karbon diemisikan dari lahan gambut Indonesia, ini semua adalah akibat dari alih fungsi lahan gambut (Page et al., 2002).
Karbon juga mengalir masuk dan keluar dari lahan gambut dalam bentuk karbon terlarut dalam air gambut. Jika lahan gambut mempunyai kerapatan karbon yang tinggi, maka karbon yang keluar umumnya lebih besar dari yang masuk, dalam kasus ini ada kehilangan bersih karbon dari lahan gambut melalui aliran air. Zona aerobik pada lahan gambut yang didrainase adalah salah satu sumber utama bentuk karbon terlarut. Besarnya karbon yang hanyut terbawa aliran air ini tergantung dari jumlah aliran dan produktivitas dari ekosistem. Sebagian dari karbon terlarut yang terbawa aliran drainase ini dapat teroksidasi dan hilang ke atmosfis sebagai CO2 (Dawson et al., 2004).
Pemanasan Global dan Karbon Lahan Gambut
Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global merupakan permasalahan seluruh dunia yang memerlukan penanganan secara serius. Penyebab utama naiknya temperatur bumi menurut sebagian ahli disebabkan oleh
peningkatan secara signifikan emisi gas rumah kaca. Peningkatan emisi GRK di
atmosfer sebenarnya telah mulai terjadi semenjak awal abad 19, dan telah menimbulkan dampak pemanasan global serta perubahan iklim di bumi. Proses terjadinya pemanasan global dan perobahan iklim ini secara sederhana dapat dijelaskan, bahwa GRK yang terdiri dari: Carbondioxyde (CO2), Methane (CH4),
Dinitrogenoxide (N2O), Hydrofluorocarbon (HFCs), Sulfurhexafluoride (SF6
Karbon dioksida (CO
), dan Perfluorocarbon (PFCs) memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang bersifat panas di atmosfer, jika jumlah gas-gas tersebut meningkat di atmosfer maka menyebabkan suhu atmosfer menjadi meningkat, sehingga juga berpengaruh terhadap perubahan iklim di bumi (Najiyati et al, 2005).
2) salah satu GRK konsentrasinya di atmosfer
meningkat sangat drastis sejak dimulainya revolusi industri, yang mana berdasarkan pengukuran di Mauna Loa, konsentrasi CO2 di atmosfer telah
meningkat sekitar 35% yakni dari 284 ppm pada tahun 1832 menjadi 384 ppm
pada tahun 2007 (IPPC, 2007). Khusus pada periode 50 tahun terakhir (1960 -2010) peningkatan konsentrasi CO2 di Mauna Loa sangat
selama periode 100 tahun terakhir (1906–2005) juga telah meningkat sebesar 0,74°C dan khusus untuk Indonesia, antara tahun 1970 hingga 2000 telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2 – 1 0
Gambar 3. Perobahan konsentrasi CO
C dan hal ini merupakan salah satu akibat dari pemanasan global (IPCC, 2007). GRK tersebut dihasilkan terutama dari lahan gambut yang terdekomposisi, sehingga lahan gambut menjadi salah satu isu yang sangat penting dalam fenomena pemanasan global saat ini karena lahan gambut berpotensi menghasilkan emisi karbon yang sangat besar.
2 di atmofir di Mauna Loa selama periode
waktu 50 tahun (1960 – 2010). Sumber: Dr. Pieter Tans,
NOAA/ESR
pada tahun 1997, yang berkisar antara 0,81-2,57 Giga ton C (Page, 2002). Sementara itu, pendugaan emisi yang dilakukan di lahan gambut di sekitar Taman Nasional Berbak, Sumatera menunjukan angka sebesar 7 juta ton karbon (Murdiyarso et al., 2004). Dengan demikian, gambut memiliki peran yang cukup besar sebagai penjaga iklim global. Apabila gambut tersebut terbakar atau mengalami kerusakan, materi ini akan mengeluarkan gas terutama CO2, N2O dan
CH4 ke udara dan siap menjadi perubah iklim dunia (Najiyati et al., 2005).
Interaksi Antara Karbon, Mikro Organisme dan Unsur Hara
Keberadaan mikro organisme pada lahan gambut sangat erat kaitannya dengan dinamika karbon, karena aktivitas biologi pada lahan gambut berkaitan erat dengan keberadaan jumlah dan jenis mikro organisme. Mikro organisme memainkan peran dominan dalam mendekomposisi dan mineralisasi bahan organik, terutama setelah lahan gambut didrainase. Menurut Limpens et al. (2008) pada skala kecil, interaksi kuat terjadi antara faktor-faktor fisik (yang mengontrol proses pengangkutan gas) dengan mikro organisme tanah, dengan menggunakan salah satu dari oksigen atau penerima elektron lainnya sebagai sumber energi untuk menghancurkan bahan organik menjadi produk akhir seperti CO2, CH4 dan
karbon organik terlarut. Penerima elektron dan kualitas bahan organik dalam hal ini unsur hara berperan dalam mengatur proses dekomposisi dan mempengaruhi terhadap hasil akhir dari proses dekomposisi.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mineralisasi karbon oleh mikro organisme pada lahan gambut adalah: temperatur, muka air tanah, kandungan mineral, pH, kation-kation dan salinitas (Baldock dan Skjemstad, 2000; Blodau, 2002; Bertrand et al., 2007). Pada kondisi anaerobik, komplek polimer organik awalnya dihancurkan oleh jenis bakteri fermentasi menghasilkan produk-produk yang sederhana, sebagian dari produk ini digunakan oleh methanogen untuk menghasilkan gas CH4
Pada kondisi kekurangan oksigen, beberapa bentuk respirasi mikro organisme dapat menggunakan alternatif penerima elektron lain dan secara kontinyu dapat mendekomposisi karbon organik gambut. Alternatif penerima elektron yang berperan utama dalam mineralisasi dan mentransformasi karbon
organik diantaranya adalah SO42-, NO3-, Fe3+ dan Mn4+
Potensial redoks (mV)
(Keller dan Bridgham, 2007). Fenomena yang terjadi dalam proses dekomposisi gambut yang berkaitan erat dengan aktivitas respirasi mikro organisme dirangkum oleh Andersen (2003) disajikan dalam Tabel 2.
Table 2. Ringkasan dari perbedaan jenis-jenis respirasi mikro organisme dan kaitannya dengan potensial redoks
1. C6H12O6 + 6O2 6 CO2 + 6 H 2
Pada kondisi anaerobik, komplek polimer organik awalnya dihancurkan oleh jenis bakteri fermentasi menghasilkan produk-produk yang sederhana, sebagian dari produk ini digunakan oleh methanogen untuk menghasilkan gas CH
O (-200) - (-300)
Keterangan: 1. Respirasi oksigen, 2. Respirasi Nitrat (heterotrophic denitrification), 3. Respirasi Mangan, 4. Respirasi Besi, 5. Respirasi sulfat, 6. Respirasi Nitrat dengan pyrit (autotrophic denitrification), 7. Pembentukan metan.
Secara umum diketahui bahwa lahan gambut miskin unsur hara. Dekomposisi bahan organik melalui proses mineralisasi karbon oleh mikro organisme menyebabkan unsur hara jadi tersedia bagi tanaman, yang selanjutnya meningkatkan produksi bahan organik dalam tanaman. Siklus karbon pada lahan gambut berkaitan erat dengan siklus unsur hara lainnya seperti P dan N (Kalbitz dan Geyer 2002). Pada ekosistem gambut isotop oksigen dari fosfat berpotensi menjadi sumber energi bagi aktivitas mikro organisme (Mclaughli et al., 2000; Payton et al., 2002; Stern dan Wang, 2002).
4 (Keller dan Bridgham, 2007). Sedangkan jenis mikro organisme yang
sedikit ditemukan pada gambut jika unsur hara yang diperlukannya tidak cukup tersedia (Yavitt et al., 2004). Yavitt et al. (2004) juga melaporkan bahwa unsur hara yang dibutuhkan oleh mikroorganisme perombak pada lahan gambut adalah: N, P, Mg, Fe, Co, Ni dan Mn. Mer dan Roger (2001) menemukan bahwa Mn aktif berkorelasi positif dengan kepadatan metanogen dan metanotrop. Disisi lain, juga dilaporkan oleh Mer dan Roger (2001) bahwa secara umum pada tanah yang kaya sulfat metanogenesis lebih sedikit ditemukan karena berkompetisi dengan bakteri pereduksi sulfat. Produksi CH4 secara umum menurun apabila kadar karbon
dan/atau rasio C/N menurun (Mer and Roger, 2001).
Keberadaan bahan mineral pada gambut dapat melindungi karbon organik dari proses mineralisasi melalui perlindungan secara fisik dan/atau stabilsasi secara kimia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kation-kation terutama yang divalent dan trivalent dapat berasosiasi dengan bahan organik, sehingga mampu melindungi karbon organik dari proses degradasi. Kation-kation yang dapat dipertukarkan seperti Al, Ca, Mg and Fe, disamping dapat meningkatkan interaksi antara mineral dengan bahan humik, juga mampu meningkatkan ikatan molekul bahan humik sehingga sulit terdegradasi. Pada kondisi terjadinya pembentukan kompleks antara kation-kation dengan asam-asam organik yang berasal dari hasil dekomposisi bahan organik, ini menunjukkan kation-kation mampu berperan dalam meningkatkan daya sangga ekosistem (Cruz-Guzman et al., 2003).
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Kajian dilaksanakan pada bulan Mei 2008 sampai bulan Oktober 2009. Lokasi kajian dilakukan pada kawasan lahan gambut tropika di bagian barat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yakni di Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya. Lokasi penelitian dipilih untuk mewakili salah satu kondisi gambut tropika yang ada di Indonesia yang merupakan kawasan penyimpan cadangan karbon dunia, namun akhir-akhir ini sedang mengalami tekanan besar untuk dikonversi menjadi penggunaan lain. Hal ini terlihat pada kawasan tersebut telah banyak dibuat saluran-saluran drainase untuk pembuangan air yang bertujuan untuk mengeringkan lahan, dan untuk selanjutnya hutan gambut dikonversi menjadi penggunaan lain umumnya untuk perkebunan kelapa sawit dan karet, atau hanya diambil kayunya dan selanjutnya dibiarkan terlantar ditumbuhi semak belukar. Pada sisi lain, di daerah ini sampai sekarang belum banyak dilakukan penelitian-penelitian untuk upaya mengkonservasi kelestariannya, khususnya yang berkaitan dengan dampak dari pembuatan saluran drainase dan perubahan penggunaan lahan terhadap perubahan dinamika dan/atau kehilangan cadangan karbon serta karakteristik lahan gambut. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium tanah Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Metode Penelitian