• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi, Proses Pembentukan, dan Pengelompokan Gambut

Definisi gambut

Gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi lebih dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Setiap lahan gambut mempunyai karakteristik yang berbeda tergantung dari sifat-sifat dari badan alami yang terdiri dari sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam sedimen di bawahnya, yang akan menentukan daya dukung wilayah gambut, menyangkut kapasitasnya sebagai media tumbuh, habitat biota, keanekaragaman hayati, dan hidrotopografi (Menteri Pertanian, Peraturan Nomor: 14/Permentan/PL.110/2/ 2009). Di dalam bidang ilmu taksonomi tanah, gambut dikenal dengan istilah ‘Histosols’, atau yang populer dalam bahasa Inggris disebut sebagai peat. Istilah ‘gambut’ sendiri diserap dari bahasa daerah kecamatan di Kalimantan Selatan (Sabiham, 2006).

Menurut Soil Survey Staff (2010) tanah organik (Histosols) adalah tanah yang:

1. Mempunyai bahan tanah organik mulai dari permukaan ke salah satu berikut: a. Kedalaman 10 cm atau kurang dari kontak litik atau paralitik, asalkan

ketebalan bahan tanah organik lebih dari dua kali ketebalan tanah mineral di atas kontak tersebut; atau

b. Kedalaman seberapapun apabila bahan tanah organik berada di atas bahan fragmen (kerikil, batu, kerakal) dan celah-celahnya terisi oleh bahan tanah organik, atau berada diatas kontak litik atau paralitik; atau

2. Mempunyai bahan organik yang memiliki batas atas di dalam kedalaman 40 cm dari permukaan; dan

(1) 60 cm atau lebih, bila tiga perempat bagian atau lebih volumenya adalah serat, atau bulk density kurang dari 0,1 gr cm-3 (6,25 pon per kaki kubik); atau

(2) 40 cm atau lebih, bila:

(a) Bahan tanah organik jenuh air dalam waktu lama (lebih dari 6 bulan) atau telah didrainase; dan

(b) Bahan organik terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau terdiri dari bahan fibrik yang kurang dari tiga perempat bagian volumenya adalah serat dan bulk density 0,1 gr cm-3

Lahan gambut terbentuk karena pada kondisi alami akumulasi bahan organik lebih besar dari laju dekomposisisinya sehingga terjadi penumpukan bahan organik (Roulet, 2000; Zhang et al., 2002; Chmura et al., 2003; DeBusk dan Reddy, 2003). Menurut Keddy (2000) diantara ekosistem yang ada di bumi ini, ekosistem lahan basah atau gambut adalah sistim yang paling produktif dalam menyerap karbon dari atmosfer yakni mencapai 1300 gr C m

atau lebih; dan b. Mempunyai bahan tanah organik yang:

(1) Tidak memiliki lapisan mineral sampai setebal 40 cm baik pada permukaan ataupun yang batas atasnya di dalam kedalaman 40 cm dari permukaan; dan

(2) Tidak memiliki lapisan-lapisan mineral, yang secara komulatif, sampai setebal 40 cm dari permukaan; dan

3. Tidak memiliki sifat-sifat tanah andik dalam lapisan setebal 35 cm atau lebih di dalam kedalaman 60 cm dari permukaan.

Merupakan kaidah umum bahwa tanah diklasifikasikan sebagai suatu tanah organik (Histosols) apabila lebih dari separuh lapisan tanah teratas 80 cm (32 inchi) merupakan bahan tanah organik, atau apabila bahan tanah organik dengan ketebalan berapapun berada di atas bahan fragmen yang mempunyai celah-celah terisi bahan organik.

Proses pembentukan gambut

-2

th-1 dibandingkan hutan tropika sekitar 800 gr C m-2 th-1. Karbon yang diserap oleh vegetasi dari

atmosfer tersebut sebagian jatuh dan diakumulasikan dalam bentuk bahan tanah gambut. Menurut Bernal (2008) lahan basah daerah tropika di Costa Rica mengakumulasikan sekitar 263 gr C m-2 th-1 dan lahan basah daerah temperate di Ohio mengakumulasikan sekitar 140 gr C m-2 th-1. Namun, prediksi yang lebih rendah disampaikan oleh Chmura et al. (2003) yakni hanya sekitar 20 to 30 gr C m-2 th-1. Laju akumulasi bahan gambut sebenarnya juga dipengaruhi oleh: lokasi geogafis lahan gambut (selatan>utara), umur (muda>tua), jenis (rawa>fens), iklim (kering<humid) dan posisi (dataran tinggi>depressi) (Asada dan Warner, 2005; Chun Mei et al., 2009).

Faktor-faktor yang menyebabkan lambatnya laju dekomposisi sehingga terjadi akumulasi bahan organik pada lahan gambut alami diantaranya adalah: adanya bahan organik yang tidak mudah lapuk (Dai et al., 2002; White et al.,

2002), rendahnya konsenterasi oksigen karena dalam kondisi tergenang air, temperatur rendah (khususnya pada daerah iklim temperate), tingkat kemasaman rendah, dan terbatasnya unsur hara (Baldock dan Skjemstad, 2000; Hobbie et al.,

2000; Blodau, 2002; Dai et al., 2002; White et al., 2002; Bridgham dan Richardson, 2003; Yavitt et al., 2004; Bertrand et al., 2007). Menurut Hobbie et al. (2000) dan Yavitt et al. (2004) pada kodisi suhu dingin dan/atau anaerob aktivitas mikroorganisme perombak bahan organik terhalang, sehingga proses dekomposisi bahan organik berjalan dengan lambat, akibatnya terjadi penumpukan bahan organik. Dua kondisi inilah yaitu suhu dingin dan kekurangan oksigen (anerob) yang membedakan proses pembentukan gambut antara daerah temprate dengan daerah tropika, yang mana di daerah temprate pembentukan atau akumulasi gambut terjadi akibat suhu dingin (<80C), sedangkan di daerah tropika akumulasi gambut terjadi karena suasana anaerob biasanya karena jenuh/tergenang air (waterlogged). Menurut Maas (2003) di daerah tropis tanah gambut terdiri dari batang tubuh-tumbuhan mati yang terhambat proses dekomposisinya akibat air tergenang secara permanen/suasana anaerob dan kahat hara. Bukti-bukti yang mengindikasikan lambatnya proses dekomposisi bahan organik pada lahan gambut adalah masih dapat ditemukan bahan organik dalam bentuk seperti aslinya seperti batang, cabang dan akar-akar besar (Murdiyarso et al., 2004).

Berkaitan dengan proses pembentukan gambut, Sarwono (2003) merangkum teori evolusi proses pembentukan gambut yaitu: tahapan pertama, merupakan proses akumulasi bahan organik (menghasilkan bahan induk) yang dikenal dengan proses geogenesis; tahapan kedua, merupakan proses pematangan gambut yang terjadi pada awal reklamasi atau pengeringan tanah gambut dikenal dengan proses pedogenesis yang meliputi: (a) proses pematangan fisik, yaitu pematangan disebabkan oleh dehidratasi akibat pengeringan (drainase dan evaporasi), (b) proses pematangan kimia, terjadi karena bahan gambut kehilangan kelembaban dan masuknya udara ke dalam pori-porinya, (c) proses pematangan biologi, terjadi akibat pencampuran bahan gambut oleh mikrofauna, yang menghasilkan mull atau

moder. Pembentukan mull terjadi pada tanah gambut yang mengandung liat dan pH tinggi sampai sedang. Sedangkan pembentukkan moder terjadi pada lapisan atas (topsoil) tanpa dan/atau dengan kadar liat yang rendah.

Menurut Sabiham (2006) proses pembentukan gambut di Indonesia sama dengan gambut daerah tropis lainnya. Awal terbentuknya endapan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 11.000 BP (BP= Before Period, yaitu dicatat sebelum tahun 1950). Kejadian terbentuknya endapan gambut di Indonesia berkaitan erat dengan peristiwa transgresi dan regresi air laut pada Zaman Kuarter (Holosen) yang membentuk dataran-dataran pantai dan daerah cekungan, seperti di pulau-pulau sekitar Dataran Sunda dan Dataran Sahul. Lebih lanjut detegaskan oleh Sabiham (2006) bahwa dengan adanya proses sedimentasi dan progradasi menyebabkan garis pantai cenderung bertambah ke arah laut. Daerah-daerah ini kemudian ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan mengisi cekungan-cekungan tersebut. Di daerah pantai dan dataran rendah (cekungan), mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tingginya permukaan air sungai, terjadi peningkatan penumpukan serasah tanaman, menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome).

Pengelompokan gambut

Menurut Soil Survey Staff (2010) berdasarkan tingkat kematangan atau kandungan serat, tanah gambut dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu:

a. Fibrik, memiliki kandungan serat lebih dari ¾ volume tanah (terombak < 33%).

b. Hemik, kandungan seratnya antara fibrik dan saprik (terombak 33 – 66%), dan,

c. Saprik kandungan seratnya kurang dari 1/6 dari volume tanah (terombak >66%). Secara umum dapat dijelaskan bahwa gambut fibrik adalah apabila bahan vegetasi aslinya masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami dekomposisi, hemik apabila tingkat dekomposisinya sedang, dan saprik apabila tingkat dekomposisinya telah lanjut. Karena bulk density (BD) meningkat dengan meningkatnya tingkat dekomposisi maka parameter ini juga telah digunakan sebagai kriteria dalam mengkarakterisasi gambut.

Gambut mempunyai keberagaman yang cukup tinggi tergantung pada lingkungan fisiknya. Berdasarkan lingkungan fisiknya, lahan gambut dibedakan atas enam macam bentuk (Noor, 2001), yaitu:

1. Gambut daratan rawa pantai

2. Gambut rawa lagun

3. Gambut cekungan atau lembah kecil yang menyatu dengan daratan

4. Gambut yang terisolasi pada lembah sungai

5. Gambut endapan karang (khusus kawasan salinitas)

6. Gambut rawa delta

Menurut lingkungan pembentukan dan fisiografi lahan gambut dapat dibedakan atas empat tipe lahan gambut (Noor, 2001), yaitu:

1. Gambut cekungan (basin peat) adalah gambut yang terbentuk didaerah

cekungan, lembah sungai atau rawa burit atau rawa belakang.

2. Gambut sungai (river peat) adalah gambuit yang terbentuk di sepanjang sungai yang masuk kedaerah lembah kurang dari 1 km.

3. Gambut daratan tinggi (highland peat) adalah gam,but yang terbentuk di punggung-punggung bukit atau pegunungan

4. Gambut daratan pesisir atau pantai (coastal peat) adalah gambut yang

Berdasarkan ketebalannya, gambut dikelompokan menjadi empat tipe (Wahyunto et al., 2003, 2004 dan 2007), yaitu:

1. Gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 -1 m,

2. Gambut sedang dengan ketebalan 1 - 2 m,

3. Gambut dalam dengan ketebalan 2 - 3 m dan

4. Gambut sangat dalam dengan ketebalan > 3 m

Sifat-Sifat Tanah Gambut

Sifat inheren gambut yang penting adalah sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Menurut Sarwono (2003) sifat inheren gambut tropika yang kurang menguntungkan diantaranya adalah kering tidak balik (irreversible drying) dan penurunan (subsidence). Apabila mengalami pengeringan yang berlebihan koloid gambut menjadi rusak sehingga terjadi gejala kering tidak balik dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air sehingga membuatnya peka tererosi. Lebih lanjut dijelaskan oleh Sarwono (2003) bahwa gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu mengalami pengeringan, kondisi ini menyebabkan gambut mudah terbakar. Tanah gambut juga memiliki sifat penurunan permukaan tanah yang besar setelah dilakukan drainase. Hubungan antara subsidence dengan saluran

drainase pada tanah gambut dikemukakan oleh Fitzgerald et al. (2005)

sebagaimana diilustrasikan menurut persamaan berikut :

Subsidence = (-0,1202 x kedalaman saluran + 0,0162) x Ln (jarak dari saluran drainase) + (0,8102 x kedalaman drainase – 0,4079)

Pemanfaatan Lahan Gambut di Indonesia

Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tergantung pada iklim dan dimana tanah tersebut ditemukan. Karena bulk density (BD) rendah, maka

tanah gambut lebih sesuai untuk tanaman sayuran (Sarwono, 2003). Di Indonesia, tanah gambut banyak diusahakan untuk tanaman padi terutama untuk gambut yang tidak terlalu dalam dan ada pula untuk tanaman buah-buahan (seperti nanas, pepaya dan rambutan) dan tanaman perkebunan (terutama kelapa, kelapa sawit, kopi dan karet), dan Acasia crasicarpa sebagai hutan tanaman industri (Sabiham, 2006).

Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress air yang berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah irigasi pada saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman tanaman pada lahan gambut khususnya tanaman semusim, pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat dan kebutuhan tanaman dan disesuaikan dengan ketersediaan air tanah di atas water table. Menurut informasi dari berbagai sumber hasil kajian yang dirangkum oleh Ambak dan Melling (2000) kebutuhan kondisi tata air tanah yang diperlukan untuk berbagai jenis tanaman disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Daftar kebutuhan air tanaman yang diusahakan di lahan gambut

Tanaman

Kebutuhan muka air tanah (cm) Kelapa Sawit 50-75 Nanas 60-90 Sagu 20-40 Ubi kayu 15-30 Kacang tanah 65-85 Kedelai 25-45 Jagung 75 Ubi jalar 25 Asparagus 25 Sayuran 30-60

Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut

Apabila terjadi konversi hutan gambut yang biasanya diikuti dengan pembuatan drainase, maka akan berdampak terhadap unit-unit hidrologi dari hutan rawa gambut tersebut. Sebagai contoh, terjadinya penurunan kadar air gambut dibawah batas kritis, menyebabkan tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak dapat lagi menyerap air. Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh sisa tanaman (daun, dahan, ranting, batang) mengalami kondisi aerob menyebabkan aktivitas bakteri pembusuk akan meningkat. Setelah bakteri pembusuk mulai mendekomposisi gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon, maka karbon yang tersimpan did alam bagian bahan tersebut akan teremisi ke udara dalam bentuk CO2 dan memenuhi lapisan ozon sehingga akan menciptakan efek

rumah kaca (green house effect) hal ini dapat memacu terjadinya pemanasan global yang berdampak terhadap naiknya suhu bumi dan berubahnya iklim global.

Pada kondisi lahan gambut di drainase, serasah dan bahan gambut mengalami pelapukan yang lebih cepat. karena proses dekomposisi pada kondisi aerobik jauh lebih cepat dibandingkan pada kondisi anaerobik. Menurut Kirk (2004) pengaruh peningkatan kondisi aerase terhadap peningkatan tingkat dekomposisi dapat pula diikuti oleh penurunan pH gambut, dan penurunan suhu gambut, kedua hal ini sangat penting dalam menentukan tingkat dekomposisi bahan organik. Proses yang terjadi adalah, pada kondisi lahan gambut alami di atas tanah mineral, aliran air bawah tanah yang berasal dari lahan tanah mineral disekitarnya membawa kation-kation basa masuk ke lahan gambut sehingga dapat menetralkan asam-asam organik gambut. Setelah gambut didrainase, aliran air dari luar yang masuk ke area lahan gambut menjadi terhalang oleh saluran- saluran, sementara itu kation-kation basa tetap lebih banyak diambil oleh tanaman untuk meningkatkan pertumbuhannya, sehingga menyebabkan pH gambut jadi turun. Secara umum, menurut Minkkinen et al. (1999) dalam periode waktu yang lama setelah didrainase terjadi penurunan konduktivitas thermal pada permukaan gambut dan peningkatan naungan oleh tajuk tanaman yang tumbuh di atas lahan gambut tersebut menyebabkan suhu permukaan gambut menjadi turun.

Pengaruh Pola dan Dimensi Saluran Drainase

Lahan gambut pada kondisi alami adalah jenuh air sepanjang tahun. Konversi lahan gambut untuk usaha tanaman tahunan memerlukan sistim pengelolaan air untuk menurunkan permukaan air dan membuang air hujan yang

berlebih.Untuk menghindari subsidence yang berlebihan dan mengatasi

kekurangan air dimusim kering, dalam muka air tanah perlu dikontrol melalui pembuatan saluran drainase. Oleh karena karakteristik gambut sangat unik, supaya air hujan tidak mengalir sebagai aliran permukaan (run off) tetapi sebagai aliran bawah tanah, maka desain dari saluran drainase seharusnya berdasarkan kepada karakteristik hidraulik tanah gambut tersebut yaitu kecepatan infiltrasi, kapasitas penyimpanan air dan permeabilitas. Menurut Wosten dan Ritzema (2001) untuk drainase lahan gambut tropika pendekatan menurut “persamaan Hooghudt” dapat digunakan untuk menentukan jarak antar saluran drainase, yang mana jarak saluran drainase dapat berdasarkan kepada keperluan drainase selama kondisi muka air tanah normal, sedangkan dimensi saluran berdasarkan kepada kondisi muka air tanah tinggi.

Ada beberapa pola dari drainase yang umum digunakan diantaranya adalah: a) pola herringbone, yaitu pola drainase dengan satu atau dua saluran vertikal yang mempunyai saluran cabang berbentuk diagonal masuk ke saluran utama tersebut, semua saluran cabang membentuk kemiringan dengan saluran utama, pola ini baik karena memungkinkan saluran menangkap air untuk masuk ke saluran dari semua permukaan lahan, b) pola gridiron, terdiri dari saluran lateral yang paralel masuk ke saluran utama, pola ini kurang ekonomis, c) pola random, digunakan pada daerah basah/tergenang tersebar di hamparan yang agak terisolasi antara satu dengan lainnya lain, dan d) pola interseptor, digunakan untuk mencegat air rembesan dari lereng bukit yang disebabkan oleh air rembesan bergerak secara horizontal melalui lapisan permeabel yang berada di atas lapisan kedap air (Anonim, 2010b).

Emisi dan Kehilangan Karbon Dari Lahan Gambut

Secara umum, bentuk siklus karbon pada ekosistem lahan gambut adalah: awalnya karbon diserap oleh tanaman melalui proses fotosintesis, sebagian dilepaskan kembali ke atmosfer dalam bentuk CO2 hasil dari proses respirasi

tanaman, karbon yang tersisa ditransformasi menjadi struktur tanaman (akar, batang, daun, buah), dan terakhir disimpan sebagai bagian tanaman yang mati yaitu sebagai serasah di atas atau dalam gambut. Karbon tersimpan pada lahan gambut dapat hilang dari lahan gambut dalam bentuk gas dan bentuk terlarut (dissolved organic carbon). Kehilangan karbon gambut dalam bentuk gas

sebagian besar dalam bentuk karbon dioksida (CO2) dan metan (CH4).

Pertukaran CO2

Pada dekade akhir-akhir ini sebagian lahan gambut dunia telah didrainase, kondisi ini menyebabkan terjadinya perobahan keseimbangan ekosistem gambut dari sebagai penyimpan menjadi penyumbang karbon (Canadell et al., 2007; Rieley et al., 2008). Menurut Joosten (2009) secara global emisi CO

pada lahan gambut ditentukan oleh keseimbangan antara fiksasi karbon melalui fotosintesis dan pembebasan karbon melalui respirasi tanaman dan mineralisasi gambut. Mineralisasi karbon pada lahan gambut sangat dipengaruhi oleh muka air tanah dan suhu (Charman, 2002). Produksi gas metan pada lahan gambut oleh bakteri pada kondisi anaerobik dipengaruhi oleh temperatur dan dalam muka air tanah.

2 dari lahan

gambut yang didrainase telah meningkat dari 1.058 Mega ton pada tahun 1990 menjadi 1.298 Mega ton pada tahun 2008 (> 20%). Peningkatan ini terutama terjadi pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, China, Malaysia and Papua New Guinea. Khusus Indonesia, menurut Hooijer et al. (2006) diperkiran rata-rata 632 Mega ton CO2 (interval 355–874 Mega ton CO2) per tahun

diemisikan dari lahan gambut yang didrainase. Menurut Hooijer et al. (2010) emisi CO2 dari lahan gambut yang didrainase pada tahun 2006 adalah antara 355

- 855 Mega ton th−1, 82% dari jumlah ini berasal dari Indonesia. Data terbaru

yang disampaikan Joosten (2009) emisi CO2 tahun 2008 dari lahan gambut

Indonesia adalah yang tertinggi di dunia yaitu sebanyak 500 Mega ton dibandingkan Rusia diposisi kedua hanya 139 Mega ton. Data lengkap emisi CO2

Kebakaran hutan pada lahan gambut yang didrainase merupakan salah satu bentuk penyebab hilangnya karbon dari lahan gambut. Kebakaran hutan gambut yang parah pernah terjadi di Indonesia adalah pada tahun 1997, 1998 dan 2002, yang mana pada setiap tahun kejadian kebakaran sekitar 1,5 – 2,2 juta hektar lahan gambut terbakar di Sumatera dan Kalimantan dengan emisi karbon sebannyak 3000 – 9400 Mega ton CO2, jumlah ini mencapai 40% dari emisi CO2

secara global (Hooijer et al., 2006). Menurut Ballhorn et al. (2009) kebakaran seluas 13% (2,79 juta hektar) lahan gambut Indonesia pada tahun 2006 mengemisikan 98,38 ± 180,38 Mega ton CO2, sedangkan pada saat kejadian El

Nino 1997 sebanyak 2,57 Giga ton karbon diemisikan dari lahan gambut

Indonesia, ini semua adalah akibat dari alih fungsi lahan gambut (Page et al.,

2002). 161 77 67 50 48 45 41 32 24 22 20 20 18 15 12 10 10 8 6 6 6 5 5 5 5 5 500 0 100 200 300 400 500 600 Indonesia Rusia China USA Finlandia Malaysia Mongolia Belarus Jerman Polandia Russia bagian Asia

Uganda Papua New Guinea Iceland Swedia Brazil Inggris Estonia Irlandia Lithuania Belanda Norwegia Vietnam Ukraina Zambia Jepang Canada

Emisi CO2 (dalam juta ton)

Sumber : Joosten (2009)

Karbon juga mengalir masuk dan keluar dari lahan gambut dalam bentuk karbon terlarut dalam air gambut. Jika lahan gambut mempunyai kerapatan karbon yang tinggi, maka karbon yang keluar umumnya lebih besar dari yang masuk, dalam kasus ini ada kehilangan bersih karbon dari lahan gambut melalui aliran air. Zona aerobik pada lahan gambut yang didrainase adalah salah satu sumber utama bentuk karbon terlarut. Besarnya karbon yang hanyut terbawa aliran air ini tergantung dari jumlah aliran dan produktivitas dari ekosistem. Sebagian dari karbon terlarut yang terbawa aliran drainase ini dapat teroksidasi dan hilang ke atmosfis sebagai CO2 (Dawson et al., 2004).

Pemanasan Global dan Karbon Lahan Gambut

Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global merupakan permasalahan seluruh dunia yang memerlukan penanganan secara serius.

Penyebab utama naiknya temperatur bumi menurut sebagian ahli disebabkan oleh

peningkatan secara signifikan emisi gas rumah kaca. Peningkatan emisi GRK di

atmosfer sebenarnya telah mulai terjadi semenjak awal abad 19, dan telah menimbulkan dampak pemanasan global serta perubahan iklim di bumi. Proses terjadinya pemanasan global dan perobahan iklim ini secara sederhana dapat dijelaskan, bahwa GRK yang terdiri dari: Carbondioxyde (CO2), Methane (CH4), Dinitrogenoxide (N2O), Hydrofluorocarbon (HFCs), Sulfurhexafluoride (SF6

Karbon dioksida (CO

), dan Perfluorocarbon (PFCs) memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang bersifat panas di atmosfer, jika jumlah gas-gas tersebut meningkat di atmosfer maka menyebabkan suhu atmosfer menjadi meningkat, sehingga juga berpengaruh terhadap perubahan iklim di bumi (Najiyati et al, 2005).

2) salah satu GRK konsentrasinya di atmosfer

meningkat sangat drastis sejak dimulainya revolusi industri, yang mana berdasarkan pengukuran di Mauna Loa, konsentrasi CO2 di atmosfer telah

meningkat sekitar 35% yakni dari 284 ppm pada tahun 1832 menjadi 384 ppm

pada tahun 2007 (IPPC, 2007). Khusus pada periode 50 tahun

terakhir (1960 -2010) peningkatan konsentrasi CO2 di Mauna Loa sangat

selama periode 100 tahun terakhir (1906–2005) juga telah meningkat sebesar 0,74°C dan khusus untuk Indonesia, antara tahun 1970 hingga 2000 telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2 – 1 0

Gambar 3. Perobahan konsentrasi CO

C dan hal ini merupakan salah satu akibat dari pemanasan global (IPCC, 2007). GRK tersebut dihasilkan terutama dari lahan gambut yang terdekomposisi, sehingga lahan gambut menjadi salah satu isu yang sangat penting dalam fenomena pemanasan global saat ini karena lahan gambut berpotensi menghasilkan emisi karbon yang sangat besar.

2 di atmofir di Mauna Loa selama periode

waktu 50 tahun (1960 – 2010). Sumber: Dr. Pieter Tans,

NOAA/ESR

Lahan gambut mempunyai peranan yang besar dalam siklus karbon global, karena karbon yang tersimpan pada lahan gambut dapat mengalami degradasi atau terdekomposisi, baik pada kondisi aerob maupun anaerob (IPCC, 2007). Secara global lahan gambut menyimpan sekitar 329 - 525 giga ton (Giga ton) karbon atau 15-35 % dari total karbon terestris. Sekitar 86 % (455 Giga ton) dari karbon di lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate (Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14 % (70 Giga ton) terdapat di daerah tropis,