• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehilangan karbon pada lahan gambut terbawa aliran air drainase

HASIL DAN PEMBAHASAN

5. Kehilangan karbon pada lahan gambut terbawa aliran air drainase

Salah satu bentuk kehilangan karbon dari lahan gambut yang didrainase adalah yang terlarut dan terbawa bersama aliran air drainase. Untuk pengkajian hal tersebut, telah dilaksanakan pengukuran debit air saluran drainase dan konsentrasi karbon terlarut dalam air pada berberapa lokasi di kabupaten Aceh Barat. Data debit dan kelarutan karbon dalam air dari berbagai lokasi kajian disajikan dalam Tabel 24.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah karbon yang terlarut dalam air drainase dari berbagai penggunaan lahan bervariasi antara 70 sampai 280 gr C m-3 air, sedangkan debit air yang mengalir dalam saluran drainase juga bervariasi antara 0,07 – 0,68 m3 jam-1. Hasil analisis anova dan uji lanjut LSD menunjukkan bahwa karbon yang terlarut dalam air drainase berbeda berdasarkan lokasi, Karbon terlarut dalam saluran drainase paling tinggi detemukan di desa Cot Gajah Mati dan yang terendah di desa Simpang. Menurut hasil penelitian

Sapek et al, (2007) kandungan karbon terlarut dalam saluran drainase pada lahan gambut di Polandia adalah sebesar 19 mg dm-3

Lokasi Saluran

air.

Tabel 24. Debit air saluran drainase dan konsentrasi karbon dalam air pada beberapa lokasi lahan gambut yang didrainase

Dominasi penggunaan lahan Debit (m3 jam-1 C terlarut dalam air (gr m ) -3 C hilang (kg jam ) - 1)

Desa Simpang Hutan, semak dan karet 2257,2 a 70,0 a 158,00 b

Desa Suak Raya I Kelapa sawit dan karet 414,0 bc 85,0 b 35,19 c

Desa Suak Raya II Kelapa sawit 273,6 c 90,0 bc 24,62 d

Desa Suak Puntong Kelapa sawit 435,6 bc 100,0 c 43,56 c

Desa Cot Gajah Mati Kelapa sawit 640,8 b 280,0 d 179,42 a

Catatan: Angka angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut LSD pada taraf nyata 5%

Dari Tabel 21 menunjukkan bahwa apabila lahan gambut didrainase, maka kehilangan karbon tidak hanya terjadi karena diemisikan menjadi CO2 ke atmosfer

akibat proses dekomposisi gambut, tetapi juga hanyut terbawa air drainase. Besarnya karbon yang hanyut terbawa drainase dipengaruhi oleh debit air drainase dan konsentrasi karbon terlarut dalam air drainase tersebut. Bagaimanapun, pengaruh konsentrasi karbon terlarut dalam air drainase terhadap kehilangan karbon terlihat lebih dominan dibandingkan pengaruh debit air drainase. Sebagai contoh, terlihat bahwa debit air di desa Cot Gajah Mati adalah 0,178 m3 det-1, nilai ini nyata lebih rendah dibandingkan dengan debit air di desa Simpang yaitu 0,627 m3 det-1, namun kehilangan karbon per kejadian waktu (jam) di desa Cot Gajah Mati terlihat lebih tinggi 13,5% dibandingkan di desa Simpang, yang mana karbon yang hilang bersama aliran air drainase di desa Cot Gajah Mati adalah 179,42 kg jam-1 dan di desa Simpang sebesar 158,00 kg jam-1(Tabel 24).

Perbedaan Antara Kehilangan dan Akumulasi Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase Untuk Tanaman Tahunan

Perbedaan antara kehilangan dengan akumulasi karbon dapat dijadikan sebagai salah satu cermin kualitas tata kelola dalam satu hamparan lahan. Berdasarkan pada data yang dipublikasikan Joeni et al. (2005) bahwa total guguran serasah di hutan gambut tropika alami yaitu di Klampangan adalah 9,12 ± 0,03 ton ha-1 th-1, yang berasal dari guguran daun (65,69%), ranting (17,30%) , lain-lain (7,85%), batang (6,72%) dan buah/bunga (2,45%). Berdasarkan kajian ini diperoleh rata-rata kandungan karbon serasah hutan adalah 50%, maka dapat diperkirakan besarnya masukan karbon yang berasal dari serasah hutan setiap tahunnya yaitu: 50% x 9,12 ton ha-1 th-1 = 4,56 ton ha-1 th-1. Oleh karena sebagian dari serasah tersebut juga terdekomposisi yaitu sekitar 62% th-1 (Joeni et al., 2005) maka besarnya karbon yang terakumulasi dari guguran serasah di hutan gambut tropika setiap tahunnya adalah sekitar 1,73 ton ha-1 th-1. Untuk masing- masing lokasi kajian ini khususnya pada jenis penggunaan lahan kebun kelapa sawit juga dapat diprediksi besarnya akumulasi karbon setiap tahunnya yaitu: a) di desa Suak Raya, dengan produksi biomassa segar sekitar 2700 – 3500 gr m-2 dalam periode waktu 4 bulan, dengan kadar air sekitar 80% dan kandungan karbon rata-rata 50% dan tingkat dekomposisi 56% th-1 diperoleh akumulasi karbon dari pangkasan biomassa tersebut sekitar 1,16 ton C ha-1 th-1, dan dari biomassa pangkasan pelepah/daun sekitar 0,27 ton C ha-1 th-1. b) di desa Suak Puntong, dengan produksi biomassa segar sekitar 3100 – 5100 gr m-2 dalam periode waktu 6 bulan, dengan kadar air sekitar 80% dan kandungan karbon rata- rata 50% dan tingkat dekomposisi 71% th-1 diperoleh akumulasi karbon dari pangkasan biomassa tersebut sekitar 1,77 ton C ha-1 th-1 dan dari biomassa pangkasan pelepah/daun sekitar 0,36 ton C ha-1 th-1. c) di desa Cot Gajah Mati, karena menajemen yang diterapkan oleh petani setempat yaitu membakar pangkasan biomassa pada lahan, sehingga tidak ada terjadi akumulasi karbon pada lahan. Khusus untuk penggunaan lahan kebun karet di desa Simpang dan desa Suak Raya belum dapat diprediksi karbon yang terakumulasi dari biomassa/serasah yang jatuh ke permukaan lahan, karena petani tidak melakukan pemangkasan gulma dan data produksi serasah yang jatuh kepermukaan lahan

setiap tahunnya tidak tersedia. Berdasarkan data kandungan, kehilangan dan akumulasi karbon yang telah di tampilkan dan dibahas terdahulu dapat diperkirakan kondisi dinamika karbon sederhana (hanya berdasarkan data akumulasi dan kehilangan karbon) pada masing-masing lokasi kajian, yang disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25. Perbedaan antara kehilangan dan akumulasi karbon pada masing- masing lokasi kajian

Lokasi/ Desa Kehilanga n C (ton ha-1 th-1 Akumulas i C (ton ha ) -1 th-1 Keseimbanga n C (ton ha ) -1 th-1 Penggunaan lahan ) Umur tanama n (tahun)

Cot Gajah Mati 3,84 1,73 -2,11 Hutan terganggu - Cot Gajah Mati 13,106 0 -13,11 Kelapa sawit I 1 Cot Gajah Mati 8,46 0 -8,46 Kelapa sawit II 1

Simpang 3,446 1,73 -1,72 Hutan -

Simpang 0,651 - - Karet 15

Simpang 8,554 - - Semak I -

Simpang 8,974 - - Semak II -

Suak Puntong 10,594 2,13 -8,46 Kelapa sawit I 10 Suak Puntong 11,074 2,13 -8,94 Kelapa sawit II 10

Suak Raya 1,586 - - Karet 15

Suak Raya 6,874 1,43 -5,44 Kelapa sawit I 15 Suak Raya 1,183 1,43 0,25 Kelapa sawit II 15 Keterangan: (-) tidak tersedia data yang lengkap

Kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase tidak dapat dihindarkan. Secara umum, terjadi neraca karbon yang negatif (kehilangan lebih besar dari akumulasi) pada lahan gambut yang didrainase (Tabel 25). Namun terlihat bahwa di desa Suak Raya terjadi neraca karbon yang positif yaitu +0,25

ton ha-1 th-1 pada penggunaan lahan kebun kelapa sawit II. Hal ini

mengindikasikan bahwa pada lahan gambut dangkal yang didrainase dan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, dengan pengelolaan biomassa dikembalikan atau dibiarkan tetap berada di lahan, setelah tanaman berumur 15

tahun dapat mengakumulasikan karbon. Hal yang sama juga terindikasi pada perkebunan karet yang telah berumur 15 tahun di lahan gambut yang didrainase yang mana kehilangan karbon akibat terdekomposisi hanya sekitar 0,651 - 1,586 ton ha-1 th-1, namun karena tidak tersedia data produksi serasah yang jatuh ke lahan setiap tahunnya, maka nilai neraca karbon pada perkebunan karet di lahan gambut yang real belum dapat diketahui.

Pada kajian ini terlihat bahwa terjadi defisit neraca karbon pada lahan hutan di lokasi kajian yaitu berkisar antara 1,72 – 2,11 ton ha-1 th-1(Tabel 25). Data ini terlihat sejalan dengan skenario yang dikemukakan Bahruni (2010) yang mana terjadi defisit neraca karbon hutan Indonesia pada tahun 2008 dan 2009 (saat kajian ini dilaksanakan) berkisar antara 31 – 52 juta ton atau rata-rata 41,5 juta ton. Kondisi ini diperkirakan bisa terjadi sesuai dengan kesimpulan Anonim (2010a) yang mana dalam mitigasi perubahan iklim, hutan berperan dalam waktu terbatas, karena pada hutan klimaks stok karbon relatif stabil, penyerapannya sangat kecil, dibandingkan tegakan muda. Pada hutan yang dikelola secara lestari stok karbon dapat dianggap konstan, kecuali ada gangguan deforestasi dan degradasi yang mengancam emisi dari stok karbon hutan tersebut.

Perkebunan kelapa sawit dan/atau karet pada lahan gambut diasumsikan selama ini mengemisikan karbon yang besar ke atmosfer karena adanya drainase lahan untuk pertumbuhannya. Sebagai contoh, skenario sekali siklus perkebunan kelapa sawit di lahan gambut seperti yang dikemukakan Agus (2007) yaitu untuk kebun sawit yang mempunyai ke dalaman drainase rata-rata 80 cm, terjadi emisi CO2 sekitar 73 ton ha-1 th-1 atau 1820 ton ha-1 25 tahun, jadi net emisi CO2 selama

25 tahun (dengan memperhitungkan penambatan CO2 sebanyak 367 ton ha-1

selama 25 tahun) adalah sekitar 1453 ton ha-1. Hasil kajian menemukan bahwa tidak selalu emisi karbon dari perkebunan kelapa sawit dan/atau karet di lahan gambut mengemisikan karbon lebih besar dari hutan (Tabel 25). Hal ini sangat tergantung pada kondisi lahan dan vegetasi yaitu: ke dalaman muka air tanah, umur drainase, umur tanaman dan pengelolaan (biomassa dan pemupukan) pada lahan gambut).

Metoda penentuan cadangan karbon pada lahan gambut

Akhir-akhir ini banyak metode, alat dan formula yang digunakan untuk menentukan atau memprediksi cadangan ataupun dinamika keseimbangan karbon pada lahan gambut, namun ironisnya hasilnya sangat bervariasi antara masing- masing metode, alat dan formula tersebut. Tersedianya data kandungan karbon (% C) dan BD yang representatif dari lahan gambut merupakan informasi penting yang dapat digunakan untuk memprediksi nilai cadangan, kehilangan atau emisi dan dinamika karbon dari lahan tersebut. Dari kajian ini, diperoleh informasi penting bahwa metode dan alat yang digunakan untuk menghitung cadangan dan/atau emisi karbon pada lahan gambut tropika harus akurat, karena apabila terjadi variasi data yang kecil saja sudah menimbulkan bias yang besar apabila dikonversi kedalam bentuk cadangan dan/atau emisi karbon dalam satu hamparan penggunaan lahan. Sebagai contoh, variasi nilai pengukuran bulk density (BD) sebesar 0,001 gr cm-3 dapat menyebabkan bias berat material gambut sebesar 10 ton ha-1

Dari hasil analisis korelasi dan regresi antara hasil penetapan persen bahan organik (% BO) dengan metoda Loss on Ignition (LOI) dan penetapan persen karbon organik (% C-organik) dengan metoda Walkley dan Black terhadap sampel untuk setiap 1 m ketebalan gambut. Hasil kajian pengukuran BD gambut dengan beberapa jenis alat menunjukkan bahwa nilai BD tanah gambut yang diperoleh berkorelasi positif sangat kuat antara satu alat dengan alat yang lainnya (r > 0,65). Penggunaan bor gambut untuk mengambil sampel utuh (undisturb)

tanah gambut adalah merupakan alat yang umum dan praktis digunakan saat ini. Namun demikian, terlihat bahwa menggunakan bor gambut untuk mengambil sampel utuh tanah gambut ternyata menghasilkan nilai BD lebih tinggi

(overestimates) sekitar 14% dibandingkan dengan alat yang dianggap representatif mengukur BD tanah gambut yaitu kotak sampel ukuran 50 cm panjang x 50 cm lebar x 10 cm tinggi. Berdasarkan hal ini, untuk mendapatkan nilai BD gambut yang representatif pada pengukuran menggunakan bor gambut, perlu dilakukan revisi atau koreksi terhadap data BD yang diperoleh, yaitu dengan cara membagi data tersebut dengan konstanta yaitu 1,136.

tanah gambut tropikamenunjukkan bahwa nilai % BO berkaitan erat dengan nilai % C-organik (R2 = 0,6185). Hasil yang serupa dengan kajian ini juga telah dikemukakan oleh beberapa peneliti, seperti yang dirangkum oleh Pribyl (2010) yang mana korelasi antara metoda LOI dan Walkley dan Black memiliki koefisien korelasi yang sangat kuat (r2

Kelebihan lain dari metode LOI adalah hasil atau data yang diperoleh lebih banyak yaitu data % BO dan % C-organik dan juga sekaligus dapat diperoleh data > 0,90). Namun demikian, terlihat bahwa apabila menggunakan faktor konversi yang umum digunakan saat ini yaitu 1,724 untuk mengkonversi nilai % BO yang diperoleh dari metoda LOI menjadi % C-organik atau sebaliknya dari nilai % C-organik metoda Walkley dan Black menjadi % BO memberikan bias sekitar 12%, yang mana apabila menggunakan faktor konversi 1,724: nilai % C-organik yang diperoleh dari hasil konversi data % BO metoda

LOI lebih tinggi (overestimates) sekitar 12% dibandingkan hasil yang diperoleh secara langsung dari metoda Walkley dan Black, dan begitu pula sebaliknya nilai prediksi % BO yang diperoleh dari konversi data % C-organik metode Walkley dan Black lebih rendah (underestimates) sekitar 12% dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dari metode LOI secara langsung. Menurut Pribyl (2010) metode

Loss on Ignition adalah metoda yang cepat dan relatif murah digunakan untuk mengestimasi bahan organik secara langsung, sedangkan penggunaan metoda

Walkley dan Black untuk mengestimasi kandungan bahan organik memiliki tiga sumber penyimpangan yaitu: a) penyimpangan akibat dari prosedurnya sendiri, b) penggunaan faktor koreksi untuk menghitung bahan organik yang tidak seluruhnya terbakar (digestion), dan c) faktor konversi yang digunakan untuk mengestimasi bahan organik dari nilai kandungan karbon. Selanjutnya ditegaskan oleh Pribyl (2010) bahwa akurasi faktor konversi untuk mengestimasi % BO dan/atau % C-organik tergantung pada akurasi metode yang digunakan untuk mengukur % BO dan % C-organik tersebut. Underestimtaion nilai % BO terjadi apabila faktor konversi % C-organik menjadi % BO terlalu rendah, dan

overestimation terjadi apabila nilai faktor konversi terlalu tinggi. Dari hasil evaluasi terhadap data hasil kajian ini diperoleh nilai faktor konversi baru yaitu 1,922 untuk mengkonversi % BO menjadi % C-organik atau sebaliknya dari % C- organik menjadi % BO untuk tanah gambut tropika.

kadar abu (mineral) yang terkandung dalam material gambut tersebut, sedangkan dari metode Walkley dan Black yang dapat diperoleh hanya data % C-organik dan % BO. Hal ini didasarkan pada prinsip dasar metode LOI adalah berat material gambut yang hilang akibat pembakaran dapat diasumsikan sebagai bahan organik yang terkandung dalam meterial gambut tersebut dan berat material yang tersisa (kadar abu) adalah berat total bahan mineralnya (Pribyl, 2010).

Tersedianya data kadar abu, % C dan BD yang representatif dari lahan gambut dapat digunakan untuk mengestimasi nilai kandungan dan/atau emisi karbon dari lahan tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa estimasi emisi CO2

secara langsung dengan metoda chamber terlihat tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan hasil estimasi menggunakan data peningkatan kadar abu (metode LOI). Hasil ini sejalan dengan hasil kajian Gronlund et al. (2008) yang mana telah menggunakan data kadar abu gambut untuk mengestimasi kehilangan karbon dan membandingkannya dengan pengukuran fluks CO2

Lahan gambut tropika seperti di Indonesia, mempunyai kapasitas penyimpanan karbon yang sangat tinggi (3-6 kali lebih tinggi daripada lahan- lahan gambut di daerah beriklim sedang). Hasil kajian menemukan bahwa ketebalan gambut tropika di Aceh Barat dapat mencapai lebih dari 10 m dengan cadangan karbon yang tersimpan dapat mencapai lebih dari 3105,08 ton C ha

dari lahan gambut yang diolah untuk usaha pertanian, khususnya pada lahan gambut yang dipupuk di Norwegia hasilnya juga tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Turetsky dan Wieder (2001) juga telah menggunakan data kadar abu untuk menghitung kehilangan bahan organik akibat kebakaran hutan gambut di Kanada. Berkaitan dengan hal ini, dapat disimpulkan bahwa metoda LOI efektif dan effesien digunakan untuk mengestimasi kandungan bahan organik, kadar mineral (abu) dan karbon gambut, karena relatif cepat dan biaya lebih murah dibandingkan metode Walkley dan Black.

Cadangan dan kehilangan karbon gambut tropika serta permasalahannya

-1

yang mana 91,52% tersimpan dalam material gambut, 7,61% dalam biomassa

pohon, 0,55% dalam serasah dan 0,32% dalam biomassa semak (belowground

cadangan karbon yang tersimpan pada vegetasi pohon yang dibudidayakan di atas lahan gambut dapat mencapai 165 ton ha-1

Meski mempunyai peran penting dalam menjaga lingkungan dari ancaman pemanasan global, lahan gambut tropika di Indonesia khususnya yang ada di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam bagian barat masih terus mendapat tekanan berat untuk dibuat saluran drainase dan dikonversi. Terjadinya alih guna hutan gambut alami dapat berdampak menurunkan cadangan karbon tersimpan pada ekosistem gambut tersebut. Hal ini dapat terjadi karena total karbon yang tersimpan pada biomassa hutan, semak serta serasah pada kondisi penggunaan lahan hutan yang mencapai 152,51 – 263,38 ton C ha

. Namun demikian, pada beberapa bagian lahan gambut di Indonesia khususnya di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam terlihat lahan gambut tersebut telah banyak yang didrainase dan dikonversi menjadi penggunaan lain, diantaranya adalah untuk pengembangan tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit, bahkan ada yang dibiarkan terlantar ditumbuhi oleh semak belukar.

-1

atau sekitar (8,48 – 18,54%) dari total cadangan karbon yang tersimpan pada kondisi hutan, diprediksi akan hilang kalau hutan gambut tersebut dikonversi. Pada sisi lain, pembuatan drainase pada lahan gambut juga dapat menyebabkan terganggunya sistem hidrologis secara keseluruhan khususnya kondisi kedalaman muka air tanah (water table). Penurunan muka air tanah setelah lahan gambut didrainase dapat menyebabkan teremisinya karbon khususnya CO2 dari lahan gambut tersebut,

sehingga dapat berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar dan global. Hasil kajian menemukan bahwa penurunan permukaan air tanah pada lahan gambut tropika yang didrainase di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat mencapai kedalaman -120 cm dari permukaan tanah.. Besar atau kecilnya penurunan permukaan air tanah pada lahan gambut yang didrainase terlihat sangat dipengaruhi oleh jarak lokasi dari saluran drainase, yang mana secara umum terlihat bahwa semakin jauh lokasi dari saluran drainase kedalaman muka air tanah semakin dangkal (dekat permukaan tanah), mengikuti pola persamaan logaritmik. Hasil penelitian Andrie et al. (2010) pada lahan gambut tropika di Kalimantan juga menemukan bahwa semakin dekat dengan saluran drainase kedalaman muka air tanah letaknya jauh dari permukaan tanah dan semakin jauh

dari saluran drainase kedalaman muka air tanah letaknya dekat dengan permukaan tanah. Menurut Couwenberg (2009) drainase bertujuan untuk menurunkan muka air tanah dan/atau mengeringkan permukaan tanah, turunnya muka air tanah menyebabkan gambut teroksidasi, sehingga mengakibatkan banyak material gambut dan karbon hilang karena terdekomposisi, akibatnya cadangan karbon menjadi berkurang dan sekaligus terjadi penurunan permukaan tanah

(subsidence). Berkaitan dengan hal ini, terlihat jelas bahwa pada lahan gambut yang didrainase untuk tanaman tahunan manajemen pengelolaan kedalaman muka air tanah sangat diperlukan, agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan disisi lain kehilangan karbon akibat dekomposisi material gambut dapat direduksi.

Dari hasil kajian ditemukan bahwa akibat penurunan muka air tanah maksimum (kondisi musim kemarau) yang berkisar antara 39 – 120 cm, menyebabkan terjadinya subsidence berkisar antara 1,1 – 9,2 cm, kejadian

subsidence sebesar ini akibat dari telah teremisi karbon berkisar antara 0,651 – 13,106 ton C ha-1 atau setara 2,391 – 48,098 ton CO2 ha-1 th-1 dan akibat dari

pemadatan material gambut selama periode waktu 14 bulan. Dari hasil kajian juga ditemukan indikasi bahwa kejadian subsidence pada lahan gambut tropika yang didrainase bervariasi sesuai dengan: a) variasi umur saluran drainase (umur drainase 1-3 tahun subsidence lebih besar dari umur saluran > 3 tahun), b) jarak dari saluran drainase (semakin dekat saluran drainase subsidence semakin besar), dan c) manajemen pengelolaan lahan khususnya pemupukan melalui tanah pada lahan gambut (pemupukan nyata meningkatkan kehilangan karbon dan

subsidence). Tergambar jelas bahwa pada lahan gambut yang dialih fungsikan dan didrainase untuk usaha pertanian, perkebunan dan penggunaan lainnya menyebabkan kejadian kehilangan karbon dan subsidence tidak dapat dihindari. Berdasarkan hasil kajian ini, diperkirakan untuk tahun-tahun selanjutnya pada lahan gambut yang didrainase dan diusahakan untuk pengembangan pertanian dan perkebunan khususnya untuk tanaman tahunan kejadian kehilangan karbon dan penurunan permukaan tanah akan terus berlanjut, karena untuk mendapatkan kondisi lahan yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal diperlukan upaya penurunan kedalaman muka air tanah menyebabkan banyak

material gambut yang berada dalam kondisi aerob dan berpotensi menyebabkan kehilangan karbon.

Usaha pertanian dan/atau perkebunan di lahan gambut tidak bisa dilepaskan dari manajemen pemupukan, pengelolaan tata air dan pengendalian gulma. Pemberian pupuk dan pembakaran gulma yang umum dilaksanakan pada usaha pertanian/perkebunan pada lahan gambut juga ditemukan sebagai faktor yang berkontribusi besar dalam meningkatkan kehilangan karbon. Data dari hasil kajian ini memperlihatkan bahwa ditemukan berbagai macam penyebab hilangnya karbon dari lahan gambut yang didrainase seperti: kehilangan karbon akibat kondisi aerob yang disebabkan oleh penurunan muka air tanah, pengaruh pemupukan melalui tanah, kebakaran hutan, dan terbawa air drainase. Tersedianya data kehilangan karbon dan didukung data lainnya seperti karakteristik dan manajemen pengelolaan lahan seperti yang ditemukan pada kajian ini, sangat relevan untuk dijadikan sebagai acuan dalam mengelola lahan gambut yang didrainase khususnya untuk usaha pertanian dan/atau perkebunan dalam kaitannya dengan upaya konservasi lahan gambut dan reduksi emisi GRK. Oleh sebab itu, agar supaya pertumbuhan dan produksi tanaman dapat optimal dan kehilangan karbon dapat direduksi, maka usaha pertanian dan/atau perkebunan pada lahan gambut harus melalui perencanaan dan tindakan yang matang terutama dari aspek pengelolaan tata air, cara pemberian pupuk, dan mengelola biomassa hasil pangkasan tanaman utama dan gulma.

Hasil kajian menemukan bahwa sumber atau penyebab kehilangan karbon dari lahan gambut yang didrainase bermacam-macam, yang terbesar adalah dari kejadian kebakaran hutan yaitu rata-rata sebesar 92,16 – 133,38 ton C ha-1 atau setara 338,23 – 489,50 ton CO2 ha-1 pada setiap kejadian kebakaran hutan

gambut alami, dan dari dekomposisi material gambut yang aerob akibat turunnya muka air tanah berkisar antara 0,651 – 13,106 ton C ha-1 th-1 atau setara 2,391 – 48,098 ton CO2 ha-1 th-1. Menurut Hooijer et al. (2006) luas lahan gambut

Indonesia yang telah didrainase mencapai 4,8 juta hektar dan kejadian kebakaran hutan tahun 2006 menghanguskan 2,79 juta hektar hutan gambut. Apabila data dari hasil kajian ini dikaitkan dengan data yang umum beredar saat ini yaitu yang dikemukakan Hooijer et al. (2006), maka diperkirakan besarnya gas CO2 yang

diemisikan dari lahan gambut Indonesia pada tahun tersebut yaitu sekitar 955,14 – 1596,58 juta ton CO2, dengan rinciannya: 11,48 – 230,87 juta ton dari