• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehilangan karbon pada lahan gambut terbawa aliran air drainase

HASIL DAN PEMBAHASAN

5. Kehilangan karbon pada lahan gambut terbawa aliran air drainase

Salah satu bentuk kehilangan karbon dari lahan gambut yang didrainase adalah yang terlarut dan terbawa bersama aliran air drainase. Untuk pengkajian hal tersebut, telah dilaksanakan pengukuran debit air saluran drainase dan konsentrasi karbon terlarut dalam air pada berberapa lokasi di kabupaten Aceh Barat. Data debit dan kelarutan karbon dalam air dari berbagai lokasi kajian disajikan dalam Tabel 24.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah karbon yang terlarut dalam air drainase dari berbagai penggunaan lahan bervariasi antara 70 sampai 280 gr C m-3 air, sedangkan debit air yang mengalir dalam saluran drainase juga bervariasi antara 0,07 – 0,68 m3 jam-1. Hasil analisis anova dan uji lanjut LSD menunjukkan bahwa karbon yang terlarut dalam air drainase berbeda berdasarkan lokasi, Karbon terlarut dalam saluran drainase paling tinggi detemukan di desa Cot Gajah Mati dan yang terendah di desa Simpang. Menurut hasil penelitian

109

Sapek et al, (2007) kandungan karbon terlarut dalam saluran drainase pada lahan gambut di Polandia adalah sebesar 19 mg dm-3

Lokasi Saluran

air.

Tabel 24. Debit air saluran drainase dan konsentrasi karbon dalam air pada beberapa lokasi lahan gambut yang didrainase

Dominasi penggunaan lahan Debit (m3 jam-1 C terlarut dalam air (gr m ) -3 C hilang (kg jam ) - 1)

Desa Simpang Hutan, semak dan karet 2257,2 a 70,0 a 158,00 b

Desa Suak Raya I Kelapa sawit dan karet 414,0 bc 85,0 b 35,19 c

Desa Suak Raya II Kelapa sawit 273,6 c 90,0 bc 24,62 d

Desa Suak Puntong Kelapa sawit 435,6 bc 100,0 c 43,56 c

Desa Cot Gajah Mati Kelapa sawit 640,8 b 280,0 d 179,42 a

Catatan: Angka angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut LSD pada taraf nyata 5%

Dari Tabel 21 menunjukkan bahwa apabila lahan gambut didrainase, maka kehilangan karbon tidak hanya terjadi karena diemisikan menjadi CO2 ke atmosfer akibat proses dekomposisi gambut, tetapi juga hanyut terbawa air drainase. Besarnya karbon yang hanyut terbawa drainase dipengaruhi oleh debit air drainase dan konsentrasi karbon terlarut dalam air drainase tersebut. Bagaimanapun, pengaruh konsentrasi karbon terlarut dalam air drainase terhadap kehilangan karbon terlihat lebih dominan dibandingkan pengaruh debit air drainase. Sebagai contoh, terlihat bahwa debit air di desa Cot Gajah Mati adalah 0,178 m3 det-1, nilai ini nyata lebih rendah dibandingkan dengan debit air di desa Simpang yaitu 0,627 m3 det-1, namun kehilangan karbon per kejadian waktu (jam) di desa Cot Gajah Mati terlihat lebih tinggi 13,5% dibandingkan di desa Simpang, yang mana karbon yang hilang bersama aliran air drainase di desa Cot Gajah Mati adalah 179,42 kg jam-1 dan di desa Simpang sebesar 158,00 kg jam-1(Tabel 24).

Perbedaan Antara Kehilangan dan Akumulasi Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase Untuk Tanaman Tahunan

Perbedaan antara kehilangan dengan akumulasi karbon dapat dijadikan sebagai salah satu cermin kualitas tata kelola dalam satu hamparan lahan. Berdasarkan pada data yang dipublikasikan Joeni et al. (2005) bahwa total guguran serasah di hutan gambut tropika alami yaitu di Klampangan adalah 9,12 ± 0,03 ton ha-1 th-1, yang berasal dari guguran daun (65,69%), ranting (17,30%) , lain-lain (7,85%), batang (6,72%) dan buah/bunga (2,45%). Berdasarkan kajian ini diperoleh rata-rata kandungan karbon serasah hutan adalah 50%, maka dapat diperkirakan besarnya masukan karbon yang berasal dari serasah hutan setiap tahunnya yaitu: 50% x 9,12 ton ha-1 th-1 = 4,56 ton ha-1 th-1. Oleh karena sebagian dari serasah tersebut juga terdekomposisi yaitu sekitar 62% th-1 (Joeni et al., 2005) maka besarnya karbon yang terakumulasi dari guguran serasah di hutan gambut tropika setiap tahunnya adalah sekitar 1,73 ton ha-1 th-1. Untuk masing- masing lokasi kajian ini khususnya pada jenis penggunaan lahan kebun kelapa sawit juga dapat diprediksi besarnya akumulasi karbon setiap tahunnya yaitu: a) di desa Suak Raya, dengan produksi biomassa segar sekitar 2700 – 3500 gr m-2 dalam periode waktu 4 bulan, dengan kadar air sekitar 80% dan kandungan karbon rata-rata 50% dan tingkat dekomposisi 56% th-1 diperoleh akumulasi karbon dari pangkasan biomassa tersebut sekitar 1,16 ton C ha-1 th-1, dan dari biomassa pangkasan pelepah/daun sekitar 0,27 ton C ha-1 th-1. b) di desa Suak Puntong, dengan produksi biomassa segar sekitar 3100 – 5100 gr m-2 dalam periode waktu 6 bulan, dengan kadar air sekitar 80% dan kandungan karbon rata- rata 50% dan tingkat dekomposisi 71% th-1 diperoleh akumulasi karbon dari pangkasan biomassa tersebut sekitar 1,77 ton C ha-1 th-1 dan dari biomassa pangkasan pelepah/daun sekitar 0,36 ton C ha-1 th-1. c) di desa Cot Gajah Mati, karena menajemen yang diterapkan oleh petani setempat yaitu membakar pangkasan biomassa pada lahan, sehingga tidak ada terjadi akumulasi karbon pada lahan. Khusus untuk penggunaan lahan kebun karet di desa Simpang dan desa Suak Raya belum dapat diprediksi karbon yang terakumulasi dari biomassa/serasah yang jatuh ke permukaan lahan, karena petani tidak melakukan pemangkasan gulma dan data produksi serasah yang jatuh kepermukaan lahan

111

setiap tahunnya tidak tersedia. Berdasarkan data kandungan, kehilangan dan akumulasi karbon yang telah di tampilkan dan dibahas terdahulu dapat diperkirakan kondisi dinamika karbon sederhana (hanya berdasarkan data akumulasi dan kehilangan karbon) pada masing-masing lokasi kajian, yang disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25. Perbedaan antara kehilangan dan akumulasi karbon pada masing- masing lokasi kajian

Lokasi/ Desa Kehilanga n C (ton ha-1 th-1 Akumulas i C (ton ha ) -1 th-1 Keseimbanga n C (ton ha ) -1 th-1 Penggunaan lahan ) Umur tanama n (tahun)

Cot Gajah Mati 3,84 1,73 -2,11 Hutan terganggu - Cot Gajah Mati 13,106 0 -13,11 Kelapa sawit I 1 Cot Gajah Mati 8,46 0 -8,46 Kelapa sawit II 1

Simpang 3,446 1,73 -1,72 Hutan -

Simpang 0,651 - - Karet 15

Simpang 8,554 - - Semak I -

Simpang 8,974 - - Semak II -

Suak Puntong 10,594 2,13 -8,46 Kelapa sawit I 10 Suak Puntong 11,074 2,13 -8,94 Kelapa sawit II 10

Suak Raya 1,586 - - Karet 15

Suak Raya 6,874 1,43 -5,44 Kelapa sawit I 15 Suak Raya 1,183 1,43 0,25 Kelapa sawit II 15

Keterangan: (-) tidak tersedia data yang lengkap

Kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase tidak dapat dihindarkan. Secara umum, terjadi neraca karbon yang negatif (kehilangan lebih besar dari akumulasi) pada lahan gambut yang didrainase (Tabel 25). Namun terlihat bahwa di desa Suak Raya terjadi neraca karbon yang positif yaitu +0,25 ton ha-1 th-1 pada penggunaan lahan kebun kelapa sawit II. Hal ini mengindikasikan bahwa pada lahan gambut dangkal yang didrainase dan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, dengan pengelolaan biomassa dikembalikan atau dibiarkan tetap berada di lahan, setelah tanaman berumur 15

tahun dapat mengakumulasikan karbon. Hal yang sama juga terindikasi pada perkebunan karet yang telah berumur 15 tahun di lahan gambut yang didrainase yang mana kehilangan karbon akibat terdekomposisi hanya sekitar 0,651 - 1,586 ton ha-1 th-1, namun karena tidak tersedia data produksi serasah yang jatuh ke lahan setiap tahunnya, maka nilai neraca karbon pada perkebunan karet di lahan gambut yang real belum dapat diketahui.

Pada kajian ini terlihat bahwa terjadi defisit neraca karbon pada lahan hutan di lokasi kajian yaitu berkisar antara 1,72 – 2,11 ton ha-1 th-1(Tabel 25). Data ini terlihat sejalan dengan skenario yang dikemukakan Bahruni (2010) yang mana terjadi defisit neraca karbon hutan Indonesia pada tahun 2008 dan 2009 (saat kajian ini dilaksanakan) berkisar antara 31 – 52 juta ton atau rata-rata 41,5 juta ton. Kondisi ini diperkirakan bisa terjadi sesuai dengan kesimpulan Anonim (2010a) yang mana dalam mitigasi perubahan iklim, hutan berperan dalam waktu terbatas, karena pada hutan klimaks stok karbon relatif stabil, penyerapannya sangat kecil, dibandingkan tegakan muda. Pada hutan yang dikelola secara lestari stok karbon dapat dianggap konstan, kecuali ada gangguan deforestasi dan degradasi yang mengancam emisi dari stok karbon hutan tersebut.

Perkebunan kelapa sawit dan/atau karet pada lahan gambut diasumsikan selama ini mengemisikan karbon yang besar ke atmosfer karena adanya drainase lahan untuk pertumbuhannya. Sebagai contoh, skenario sekali siklus perkebunan kelapa sawit di lahan gambut seperti yang dikemukakan Agus (2007) yaitu untuk kebun sawit yang mempunyai ke dalaman drainase rata-rata 80 cm, terjadi emisi CO2 sekitar 73 ton ha-1 th-1 atau 1820 ton ha-1 25 tahun, jadi net emisi CO2 selama 25 tahun (dengan memperhitungkan penambatan CO2 sebanyak 367 ton ha-1 selama 25 tahun) adalah sekitar 1453 ton ha-1. Hasil kajian menemukan bahwa tidak selalu emisi karbon dari perkebunan kelapa sawit dan/atau karet di lahan gambut mengemisikan karbon lebih besar dari hutan (Tabel 25). Hal ini sangat tergantung pada kondisi lahan dan vegetasi yaitu: ke dalaman muka air tanah, umur drainase, umur tanaman dan pengelolaan (biomassa dan pemupukan) pada lahan gambut).