• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehilangan karbon dari lapisan permukaan lahan gambut yang didrainase dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kehilangan karbon dari lapisan permukaan lahan gambut yang didrainase dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

a. Rata-rata kehilangan karbon dari lapisan permukaan lahan gambut yang didrainase. Data hasil pengamatan rata-rata kehilangan karbon dan prediksi emisi CO2 pada berbagai lokasi kajian lahan gambut yang didrainase disajikan

dalam Tabel 11.

Tabel 11. Rata-rata kehilangan karbon dari ketebalan gambut 50 cm dan prediksi emisi CO2

Lokasi/ Desa

dari masing-masing lokasi kajian gambut tropika yang didrainase. C hilang (kg m C hilang (ton ha -2 per 14 bulan) -1 th-1 Setara emisi CO ) 2 (ton ha-1 th-1 Penggunaan lahan ) Umur tanaman (tahun)

Cot Gajah Mati 0,256* 3,84 14,093 Hutan -

Cot Gajah Mati 1,529 13,106 48,098 Kelapa sawit I 1 Cot Gajah Mati 0,564* 8,46 31,048 Kelapa sawit II 1

Simpang 0,402 3,446 12,646 Hutan -

Simpang 0,076 0,651 2,391 Karet 15

Simpang 0,998 8,554 31,394 Semak I -

Simpang 1,047 8,974 32,936 Semak II -

Suak Puntong 1,236 10,594 38,881 Kelapa sawit I 10 Suak Puntong 1,292 11,074 40,643 Kelapa sawit II 10

Suak Raya 0,185 1,586 5,82 Karet 15

Suak Raya 0,802 6,874 25,229 Kelapa sawit I 15 Suak Raya 0,138 1,183 4,341 Kelapa sawit II 15 Keterangan (*): Untuk penggunaan lahan hutan dan kelapa sawit II di desa Cot Gajah Mati data

berdasarkan hasil pengamatan bulan Nopember 2008 – Agustus 2009 (sekitar 8 bulan).

Hasil kajian menunjukkan bahwa. selama periode waktu 14 bulan terjadi kehilangan karbon dari lapisan permukaan (0 – 50 cm) gambut yang didrainase pada berbagai lokasi dan kondisi lahan, besarnya berkisar antara 0,076 – 1,529 kg C m-2. Berdasarkan hasil pengukuran selama periode waktu 14 bulan dan sebagian 8 bulan, apabila dikonversi menjadi data kehilangan karbon dalam periode satu tahun diperoleh data rata-rata kehilangan karbon dari masing-masing lokasi kajian adalah berkisar antara 0,651 – 13,106 ton C ha-1 th-1 atau setara dengan emisi gas CO2 sebesar 2,391 – 48,098 ton CO2 ha-1 th-1

Lebih rendahnya nilai kehilangan karbon pada penggunaan lahan karet umur 15 tahun apabila dibandingkan dengan hutan, mengindikasikan bahwa manajemen yang selama ini dilakukan oleh petani atau pemilik lahan kebun karet yang telah berumur lebih 15 tahun yaitu dengan cara membiarkan tanaman karet

tumbuh secara alami tanpa pemupukan dan penyiangan (weeding), mampu

(Tabel 11).

Apabila kehilangan karbon dianalisa berdasarkan penggunaan lahan, maka dengan menggunakan data kehilangan karbon pada penggunaan lahan hutan terganggu yaitu di lokasi hutan desa Simpang dan desa Cot Gajah Mati sebagai referensi kondisi standar atau normal kehilangan karbon, maka dapat diperoleh besarnya nilai kehilangan karbon pada setiap jenis penggunaan lahan dibandingkan hutan yaitu: 1,00 hutan : (0,17 - 0,19) karet di desa Simpang: (0,31 - 0,34) kelapa sawit II di desa Suak Raya : (0,41 - 0,46) karet di desa Suak Raya : (1,79 – 1,99) kelapa sawit I di desa Suak Raya : (2,20 - 2,46) kelapa sawit II di desa Cot Gajah Mati : (2,23 - 2,48) semak I di desa Simpang : (2,34 – 2,60) semak II di desa Simpang: (2,65 - 2,76) kelapa sawi I di desa Suak Puntong : (2,88 -3,21) kelapa sawit II : (3,41 – 3,80) kelapa sawit I di desa Cot Gajah Mati.

Dari hasil analisa di atas terlihat bahwa kehilangan karbon pada penggunaan lahan karet yaitu di lokasi desa Simpang dan desa Suak Raya, dan penggunaan lahan kelapa sawit II (gambut dangkal) di desa Suak Raya lebih rendah dibandingkan dengan kehilangan karbon pada penggunaan lahan hutan terganggu. Kehilangan karbon yang lebih besar dari hutan terlihat pada penggunaan lahan: kelapa sawit I di desa Suak Raya, semak I di desa Simpang, semak II di desa Simpang, kelapa sawit I di desa Suak Puntong, kelapa sawi II di desa Suak Puntong dan kelapa sawit I di desa Cot Gajah Mati.

menekan laju proses dekomposisi gambut. sehingga dapat mereduksi kehilangan atau emisi karbon, sedangkan lebih rendahnya kehilangan karbon pada penggunaan lahan kelapa sawit II (umur 15 tahun) di desa Suak Raya dibandingkan lahan hutan, hal ini diperkirakan karena kondisi lahan gambut sudah stabil (tingkat dekomposisi saprik), yang diindikasikan dari kecilnya

subsidence yang terjadi selama periode waktu 14 bulan yaitu rata-rata hanya 1,1 cm.

Kehilangan karbon yang lebih tinggi dari penggunaan lahan hutan terlihat pada penggunaan lahan kelapa sawit I (umur 1 tahun) di desa Cot Gajah Mati yakni sekitar 3,41 – 3,80 kali lebih tinggi dibandingkan kehilangan karbon yang terjadi di hutan. Hal ini diperkirakan terjadi karena kondisi lahan di lokasi desa Cot Gajah mati pada penggunan lahan kebun kelapa sawit baru dibuat saluran drainase yaitu pada tahun 2006 (umur saluran 2 tahun) sehingga permukaan gambut baru dan sedang mengalami perobahan kondisi anaerobik manjadi kondisi aerobik, sehingga proses oksidasi sedang berlangsung sangat aktif, menyebabkan kehilangan karbon juga lebih cepat dan banyak. Berdasarkan data pengamatan

subsidence pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Cot Gajah Mati, menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut subsidence lebih tinggi dibandingkan pada penggunaan lahan hutan yakni rata-rata 8,2 cm selama periode 14 bulan (Tabel 12). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dawson et al. (2004) yang menyatakan bahwa subsidence yang besar pada awal-awal saluran drainase dibuat terlihat terjadi pada kebanyakan negara. Di samping itu, manajemen yang diterapkan oleh petani pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Cot Gajah Mati yaitu membakar hasil pemangkasan gulma (khususnya terjadi pada bulan

Oktober 2008) pada permukaan lahan juga diperkirakan berkontribusi

besar terhadap kehilangan karbon dan peningkatan kadar abu pada permukaan lahan.

Kehilangan karbon yang lebih besar dari hutan juga terjadi pada penggunaan lahan kelapa sawit di desa Suak Puntong dimana rata-rata kehilangan karbon sekitar 3 kali lebih tinggi dibandingkan kehilangan karbon pada penggunaan lahan hutan. Hal ini diperkirakan juga disebabkan karena lahan baru mengalami proses perubahan kondisi anaerob ke kondisi aerob yang drastis.

Menurut informasi dari pemilik lahan Bapak H. Kasinun, sejarah penggunaan lahan lokasi ini adalah: sebelum bulan Mei 2008 lahan dibiarkan terlantar atau tidak dirawat karena kondisi darurat sipil, pada bulan Mei 2008 saat pengamatan mulai dilaksanakan saluran drainase dibuat lebih dalam (sekitar 2,5 m) sehingga kelihatan jelas dari saluran tersebut semua lapisan gambut yang tebalnya sekitar 1 – 1,5 m berada di atas muka air tanah (Gambar 8c). Hal inilah yang diperkirakan menyebabkan proses dekomposisi gambut berlangsung lebih cepat dan kehilangan karbon juga lebih besar dibandingkan lokasi lainnya (Tabel 9). Menurut Hooijer et al. (2006) kehilangan gambut melalui emisi CO2 dari lahan gambut yang

didrainase secara umum meningkat dengan meningkatnya ke dalaman drainase dan peningkatan suhu. Peneliti lain juga telah melaporkan besarnya kehilangan karbon akibat drainase di daerah boreal dan temperate, hasilnya menunjukkan bahwa karbon yang hilang akibat lahan gambut didrainase diperkirakan sebesar 2,5 dan 3,5 ton C ha-1 th-1, dan proses mineralisasi gambut tertinggi terjadi pada ke dalaman muka air tanah antara 80 – 90 cm (Joosten dan Clarke, 2002; Schipper dan McLeod. 2002).

Yang menarik dari hasil kajian ini adalah, tidak selamanya kehilangan karbon dan/atau emisi CO2 pada konversi hutan gambut menjadi peruntukan

tanaman tahunan khususnya karet dan/atau kelapa sawit lebih besar dari hutan, seperti yang kebanyakan dipublikasikan akhir-akhir ini. Berkaitan dengan hal ini, yang terlihat lebih berperan terhadap kehilangan karbon pada lahan gambut tropika yang didrainase untuk usaha tanaman tahunan adalah manajemen pengelolaan lahan yaitu pengelolaan biomassa dan pemupukan. Salah satu contoh pengelolaan biomassa adalah membiarkan permukaan lahan tertutup vegetasi sepanjang tahun (tanpa penyiangan) dan mengembalikan biomassa ke lahan, seperti yang dilakukan petani karet di desa Simpang dan Suak Raya. Penanaman kelapa sawit pada gambut dangkal dengan pengembalian biomassa pangkasan pelepah daun kelapa sawit dan hasil pangkasan biomassa (gulma) ke lahan, juga terlihat mampu menekan kehilangan karbon dan/atau emisi CO2 lebih rendah

dibandingkan hutan yang didrainase seperti yang dilakukan petani pada kebun kelapa sawit II di desa Suak Raya..

Berdasarkan data hasil perhitungan kehilangan karbon dari kajian ini dan data emisi CO2 dari hasil penelitian Etik (2009) terlihat bahwa dalam satu

hamparan lahan gambut yang sama, besarnya kehilangan karbon atau emisi CO2

sangat bervariasi. Secara umum, dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ke dalaman muka air tanah merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi besar atau kecilnya kehilangan karbon dan/atau emisi CO2

Secara umum fenomena yang terlihat adalah, semakin jauh lokasi dari saluran drainase kehilangan karbon semakin kecil. Fenomena ini sejalan dengan hasil pengamatan terhadap dalam muka air tanah maksimum dan subsidence, yang mana semakin jauh dari saluran drainase dalam muka air tanah maksimum semangkin dangkal dan subsidence semakin kecil. Hasil ini mengindikasikan bahwa ada keterkaitan antara dalam muka air tanah, kehilangan karbon dan

subsidence. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa kehilangan karbon berkorelasi positif sangat nyata dengan subsidence dan dalam muka air tanah maksimum (Tabel 13). Dari data yang ada yaitu pola transek dalam muka air tanah, pola transek kejadian subsidence dan kehilangan karbon, keterkaitan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Berdasarkan hasil kajian, semakin jauh dari saluran drainase dalam muka air tanah semakin dangkal, kondisi ini menyebabkan pada lokasi dekat saluran drainase volume gambut dalam kondisi aerob lebih banyak dibandingkan yang jauh dari saluran, sehingga aktivitas dekomposisi gambut juga lebih banyak pada lokasi yang dekat saluran dibandingkan yang jauh dari saluran. Hal inilah yang menyebabkan material gambut yang hilang dan mengalami penyusutan pada lokasi dekat saluran drainase lebih banyak dibandingkan dengan

pada lahan gambut yang didrainase. Dari hasil kajian ini ditemukan bahwa dalam muka air tanah dipengaruhi oleh jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase, dan besar atau kecilnya kehilangan karbon tentu juga dipengaruhi oleh jarak lokasi dari saluran drainase. Untuk melihat pola hubungan antara besarnya kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase dapat diketahui dari regresi antara jarak lokasi dari saluran drainase dengan kehilangan karbon, seperti yang disajikan dalam Tabel 12, Sedangkan keragaan hubungan antara kehilangan karbon dan jarak dengan saluran drainase pada semua lokasi kajian dapat dilihat pada Lampiran 5 s.d Lampiran 14.

lokasi yang jauh dari saluran. Data yang dapat dijadikan sebagai pendukung teori atau penjelasan ini adalah. hasil pengamatan Etik (2009) yang dilakukan pada lokasi dan waktu yang sama dengan kajian ini, yaitu emisi CO2 secara umum

meningkat dengan meningkatnya ke dalaman muka air tanah, dan semakin jauh dari saluran drainase emisi CO2

Lokasi/ Desa

semakin menurun.

Tabel 12. Bentuk hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan kehilangan karbon Persamaan regresi R Penggunaan lahan 2 Umur tanaman (tahun) Cot Gajah Mati y = -0,1937Ln(x) + 2,4252 0,66 Kelapa sawit I 1 Simpang y = -0,1016Ln(x) + 0,8881 0,78 Hutan - Simpang y = -0,0431Ln(x) + 0,2424 0,60 Karet 15 Simpang y = -0,2684Ln(x) + 2,0994 0,64 Semak I - Simpang y = -0,2176Ln(x) + 1,9679 0,56 Semak II - Suak Puntong y = -0,5909Ln(x) + 3,3245 0,98 Kelapa sawit I 10 Suak Puntong y = -0,2506Ln(x) + 2,267 0,33 Kelapa sawit II 10 Suak Raya y = -0,0415Ln(x) + 0,3343 0,34 Karet 15 Suak Raya y = -0,0075Ln(x) + 0,9189 0,004 Kelapa sawit I 15 Suak Raya y = -0,0187Ln(x) + 0,1663 0,21 Kelapa sawit II 15

Hasil pengamatan pola transek keragaan permukaan tanah pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Suak Raya berbeda dibandingkan dengan pola transek permukaan tanah lokasi lainnya, hal yang serupa juga terlihat terjadi terhadap pola transek besarnya kehilangan karbon pada lokasi tersebut. Perbedaan yang dimaksud adalah pola transek permukaan tanah yang umum adalah semakin jauh dari saluran drainase permukaan tanah semakin tinggi, sedangkan pola transek permukaan tanah pada lokasi kelapa sawit I di desa Suak Raya kebalikannya (semakin jauh dari saluran drainase semakin rendah). Hal yang serupa juga terlihat pada pola transek kehilangan karbon, yang mana secara umum semakin jauh dari saluran drainase kehilangan karbon semakin kecil (mengikuti pola persamaan logaritmik), namun pada lokasi kelapa sawit I di desa Suak Raya ada kecendrungan semakin jauh dari saluran drainase kehilangan karbon semakin

besar (Lampiran 11). Terlihat bahwa pada semua lokasi kajian, analisa regresi terhadap data kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran dapat dijelaskan dengan model persamaan logaritmik (R2 > 0,2074), namun model persamaan logaritmik tersebut tidak dapat menjelaskan model fenomena kehilangan karbon pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Suak Raya karena koefisien determinasi (R2) sangat kecil yaitu 0,0035 (Lampiran 11).

b. Karakteristik lahan yang berkaitan erat dengan kehilangan karbon pada permukaan gambut yang didrainase. Kehilangan karbon pada penggunaan lahan gambut yang didrainase pasti berkaitan dengan karakteristik dan/atau sifat-sifat fisik. kimia dan biologi serta kondisi lingkungan. Untuk mengetahui faktor atau karakteristik lahan yang berkaitan erat dengan kehilangan karbon, telah dilakukan uji korelasi antara nilai kehilangan karbon dari masing- masing titik pengamatan dengan nilai karakteristik sifat-sifat lahan pada titik pengamatan yang sama. Hasil analisis uji korelasi antara kehilangan karbon dengan karakteristik lahan disajikan pada Tabel 13, sedangkan data lengkap karakteristik lahan disajikan pada Lampiran 4.

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa kehilangan karbon berkorelasi positif sangat nyata dengan subsidence dan dalam muka air tanah maksimum (Tabel 13). Hasil ini sejalan dengan teori yang berlaku umum yaitu penurunan muka air tanah mengakibatkan perubahan kondisi anaerob pada lapisan permukaan tanah yang mengering sehingga menyebabkan dekomposisi material gambut lebih cepat pada lapisan di atas muka air tanah tersebut, sehingga menyebabkan lebih banyak karbon yang hilang karena terdekomposisi. Berkaitan dengan hal ini. Hooijer et al. (2006) membuat hubungan linear antara ke dalaman drainase dengan emisi karbon yakni setiap 10 cm drainase teremisi karbon 2,48 ton C ha-1 th-1 atau setara 9,1 ton CO2 ha-1 tahun-1. sedangkan. berdasarkan

metode pengamatan subsidence. Wösten dan Ritzema (2001) memperkirakan bahwa untuk setiap10 cm ke dalaman drainase terjadi emisi sebanyak 3,54 ton C ha-1 tahun-1 atau setara dengan 13 ton CO2 ha-1 tahun-1.

Tabel 13. Nilai koefisien korelasi antara kehilangan karbon dengan karakteristik lahan

Variabel Koefisien P< Variabel KoefesienP<

Korelasi Korelasi Partikel Density(gr cm3) -0,14 0,32tn Fe (mg/kg) 0,27 0,06 tn Bulk Density(gr/cm3) -0,04 0,79 tn Mn (mg/kg) -0,19 0,19 tn pF1500 (%v/v) 0.01 0.96 tn K (mg/kg) -0.28 0.05 tn pF1000 (%v/v) -0.003 0.98 tn Ca (mg/kg) 0.07 0.64 tn pF33 (%v/v) 0.07 0.63 tn Mg (mg/kg) 0.05 0.70 tn pF10 (%v/v) 0.15 0.30 tn Na (mg/kg) -0.20 0.16 tn pF01 (%v/v) 0.13 0.37 tn Rataan MAT (cm) 0.44 0.001** N-total (%) -0.04 0.75 tn MAT-min (cm) 0.36 0.01*

Hidr. Cond.(cm/jam) -0,21 0,14 tn MAT-maks (cm) 0,58 0,001***

Respirasi (ppm CO2) 0,26 0,07 tn Flukstuasi MAT (cm) 0,18 0,20 tn pH -0,04 0,80 tn Subsidence (cm) 0,92 0,001*** KTK -0,28 0,05* Salinitas (mmhos/cm) 0,11 0,46tn P-total (mg/kg) -0,26 0.07tn

Keterangan: *** nyata pada taraf 0.1 %; ** nyata pada taraf 1 %. * nyata pada taraf 5%; tn tidak nyata

Hasil analisis regresi linear sederhana antara kondisi ke dalaman muka air tanah dengan kehilangan karbon, secara umum menunjukkan bahwa kehilangan karbon nyata meningkat dengan meningkatnya dalam muka air tanah. Bentuk hubungan antara kehilangan karbon dengan tinggi muka air tanah diekspresikan menurut persamaan regresi linear sederhana sebagai berikut.:

Chilang = -0.059 + 0.014 Tinggi muka air tanah maksimum (R2 = 0,27)

Chilang = 0.06 + 0.016 Tinggi muka air tanah rata-rata (R2 = 0,25)

Hasil uji korelasi juga menunjukkan bahwa kehilangan karbon berkorelasi positif dengan subsidence (Tabel 13). Bentuk hubungan antara subsidence (tanpa memperhatikan kontibusi dari proses pemadatan) dengan kehilangan karbon disajikan dalam Gambar 25.

Gambar 25. Hubungan antara kehilangan karbon dengan subsidence

Dari persamaan regresi liner antara subsidence dengan kehilangan karbon terlihat bahwa subsidence berkaitan erat dengan kehilangan karbon dengan R2 = 0,84 (Gambar 25). Besarnya kontribusi kehilangan karbon terhadap kejadian

subsidence dapat diketahui dengan cara membandingkan data besarnya kehilangan karbon dengan data total karbon pada material gambut yang

mengalami subsidence. Sebagai contoh, gambut dengan BD 0,05 gr cm-3

mengalami subsidence sebesar 5 cm dengan besarnya kehilangan karbon 0,50 kg m-2, dari data ini dapat dihitung: berat gambut setebal 5 cm luas 1 m2 dan BD 0,05 adalah 5 cm x 0,05 gr cm-3 x 10000 cm2 = 2500 gr atau 2,50 kg, karena karbon yang hilang adalah 0,50 kg m-2, berdasarkan hal ini dapat dihitung kontribusi kehilangan karbon terhadap subsidence yaitu 0,50 kg m-2

Hasil kajian menunjukkan bahwa kontribusi kehilangan karbon terhadap kejadian subsidence bervariasi dari 23% - 84% dengan rata-rata 48% (Tabel 12). Menurut Schipper dan McLeod (2002) 63% subsidence terjadi karena proses konsolidasi atau pemadatan gambut, dan 37 % lagi terjadi karena hilangnya bahan organik gambut karena proses dekomposisi atau mineralisasi gambut. Pada penelitian Gronlund et al. (2008) ditemukan bahwa pada kejadian subsidence 62% disebabkan oleh pemadatan dan 32% oleh kehilangan gambut. Hasil kajian ini mengindikasikan bahwa terjadinya peningkatan BD pada lapisan permukaan : 2,50 kg x 100% = 20%, dan sisanya yaitu sebesar 80% akibat dari pemadatan gambut. Hasil perhitungan kontribusi kehilangan karbon terhadap subsidence pada masing-masing lokasi kajian disajikan pada Tabel 14.

y = 6,2906x + 0,7523 R2 = 0,8357 0 2 4 6 8 10 12 14 16 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 Kehilangan karbon (kg m2 th-1) S ubsid enc e ( cm )

gambut adalah disebabkan karena proses subsidence, pada sisi lain peningkatan kadar abu pada lapisan permukaan gambut disebabkan oleh material gambut yang hilang karena terdekomposisi yang menyisakan bahan mineral (abu) yang terkonsolidasi pada lapisan permukaan gambut.

Tabel 14. Rata-rata nilai kehilangan karbon dan subsidence serta rata-rata kontribusi kehilangan karbon terhadap subsidence pada berbagai penggunaan lahan gambut yang didainase.

Lokasi/Desa Karbon hilang (kg m-2 Subsidence (cm per 14 bulan) per 14 bulan) Kontribusi kehilangan karbon terhadap subsidence (%) Penggunaan lahan

Cot Gajah Mati 1,529 8,2 57 Kelapa sawit I

Simpang 0,402 3,8 63 Hutan

Simpang 0,076 1,2 24 Karet

Simpang 0,998 8,6 70 Semak I

Simpang 1,047 7 84 Semak II

Suak Puntong 1,236 8,2 44 Kelapa sawit I

Suak Puntong 1,292 9,2 40 Kelapa sawit II

Suak Raya 0,185 2,8 25 Karet

Suak Raya 0,802 4,8 52 Kelapa sawit I

Suak Raya 0,138 1,1 23 Kelapa sawit II

Faktor atau karakteristik tanah yang berkaitan dengan kehilangan karbon dapat diketahui dengan cara mambuat hubungan antara kehilangan karbon dengan karakteristik lahan. Dengan menggunakan prosedur analisa stepwise diperoleh beberapa variabel karakteristik lahan yang berkaitan erat dengan kehilangan karbon pada lahan gambut tropika yang didrainase. Hasil analisa karakteristik lahan yang berkaitan erat dengan kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase disajikan pada Tabel 15.

Dari hasil analisa terhadap karakteristik lahan yang berkaitan erat dengan kehilangan karbon menggunakan prosedur stepwise. ditemukan bahwa ada empat variabel karakteristik lahan yang masuk ke dalam model hubungan antara

kehilangan karbon dengan karakteristik lahan yaitu: subsidence, kadar besi (Fe), muka air tanah maksimum (MAT-maksimum) dan salinitas. Dari hasil analisa menggunakan prosedur stepwise terlihat bahwa 89% kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase berkaitan erat dengan kombinasi antara subsidence, kadar besi (Fe), dalam muka air tanah maksimum dan salinitas.

Tabel 15. Hasil analisa hubungan kehilangan karbon dengan karakteristik lahan pada lahan gambut yang didrainase menggunakan prosedur stepwise.

Step Variable Number Partial Model

Entered Removed In. R**2 R**2 C(p) F Prob>F

1. Subsidence 1 0,8411 0,8411 52,0712 254,0106 0,0001 2. Besi (Fe) 2 0,0358 0,8768 31,9985 13,6505 0,0006 3. MAT-maksimum 3 0,0096 0,8864 28,0984 3,8717 0,0552 4. Salinitas 4 0,0077 0,8941 25,3416 3,2759 0,0770

Berkaitan dengan hasil kajian ini, menurut Couwenberg (2009) drainase menyebabkan gambut teroksidasi. sehingga mengakibatkan banyak gambut yang hilang sehingga terjadi subsidence. Hooijer et al. (2006) telah membuat satu bentuk hubungan linear antara ke dalaman drainase dengan emisi tahunan CO2

yang mana untuk setiap 10 cm ke dalaman drainase akan mengemisikan sekitar 9,1 ton CO2 ha-1 th-1. Wösten dan Ritzema (2001) mengemukakan bahwa dengan

metode pengamatan subsidence memperkirakan bahwa untuk setiap 10 cm ke dalaman drainase terjadi emisi CO2 sebanyak 13 ton ha-1 th-1

Drainase pada lahan gambut bertujuan untuk menurunkan permukaan air tanah. Menurut Chimner dan Cooper (2003) pada keadaan muka air tanah yang dangkal akan menyebabkan lingkungan tanah pada kondisi anaerobik, sehingga mengurangi terjadinya proses dekomposisi, sebaliknya jika permukaan air tanah dalam (jauh) akan meningkatkan kondisi aerobik sejalan dengan itu juga meningkatkan proses dekomposisi bahan gambut. Dari hasil kajian ini ditemukan bahwa kedalaman muka air tanah berkaitan erat dengan kehilangan karbon. Untuk , sehingga diperkirakan untuk tahun-tahun selanjutnya pada lahan gambut yang didrainase kehilangan karbon dan penurunan permukaan tanah akan terus berlanjut.

itu. pengelolaan tinggi muka air tanah pada lahan gambut yang didrainase sangat penting diperhatikan dalam kaitannya dengan emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan gambut.

Dari hasil kajian terlihat pula bahwa semakin besar kehilangan karbon kadar besi pada lahan juga semakin besar. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kyuma (1991) pada lahan gambut tropika di Ayu Baloi Malaysia menemukan bahwa dekomposisi gambut tropika menghasilkan Fe lebih banyak yaitu 14,5 ton ha-1 th-1 dibandingkan Cu. Mn. Zn. K. P dan Mg yang hanya 0,0; 0,1; 0,1; 1,4; 2,0 dan 6,2 ton ha-1 th-1

Keterkaitan Subsidence dan kondisi muka air tanah maksimum pada

berbagai penggunaan lahan gambut yang didrainase: Besarnya subsidence

yang terjadi selama kajian ini berlangsung (bulan Mei 2008 sampai dengan bulan Agustus 2009) disajikan dalam Tabel 16.

secara berurutan. Keterkaitan erat antara kadar besi (Fe) dengan kehilangan karbon pada kajian ini membenarkan teori bahwa semakin besar kehilangan karbon maka semakin banyak pula Fe yang diakumulasikan. Fe yang diakumulasikan berasal dari bahan mineral yang terkandung dalam material gambut yang telah terdekomposisi (bahan organiknya telah hilang). Implikasi dari hasil kajian ini adalah nilai akumulasi kandungan Fe pada lahan gambut yang didrainase dapat dijadikan sebagai indikator besar kecilnya telah terjadi kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase.

Hasil kajian juga menemukan bahwa peningkatan kehilangan karbon pada gambut yang didrainase sejalan dengan peningkatan salinitas. Hasil ini terlihat bertentangan dengan beberapa hasil penelitian, biasanya peningkatan salinitas menurunkan tingkat dekomposisi gambut, seperti yang dikemukakan oleh Eliška

dan Kateřina (2006) yang mana dekomposisi sellulosa nyata lebih lambat pada kondisi salinitas yang tinggi karena rendahnya aktivitas mikroba perombak, dan peningkatan salinitas menurunkan konsentrasi karbon organik terlarut dalam air.

Namun demikian hasil kajian Tanji et al. (1999) dapat mendukung hasil kajian ini.

yang mana peningkatan salinitas dapat mengurangi leaching atau hanyutnya

Tabel 16. Subsidence umur saluran dan muka air tanah maksimum pada masing- masing lokasi lahan gambut yang didrainase periode waktu Mei 2008 sampai Agustus 2009 Desa Umur saluran (tahun) Subsidence (cm) Muka air tanah maksimum (cm) Penggunaan lahan Simpang 2 8,6 83,2 Semak I Simpang 2 7,0 93,4 Semak II Simpang 2 3,8 69,8 Hutan Simpang 2 1,2 56,2 Karet

Suak Puntong 0 9,2 86,4 Kelapa sawit II

Suak Puntong 0 8,2 73,4 Kelapa sawit I