• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metoda penentuan cadangan karbon pada lahan gambut

Akhir-akhir ini banyak metode, alat dan formula yang digunakan untuk menentukan atau memprediksi cadangan ataupun dinamika keseimbangan karbon pada lahan gambut, namun ironisnya hasilnya sangat bervariasi antara masing- masing metode, alat dan formula tersebut. Tersedianya data kandungan karbon (% C) dan BD yang representatif dari lahan gambut merupakan informasi penting yang dapat digunakan untuk memprediksi nilai cadangan, kehilangan atau emisi dan dinamika karbon dari lahan tersebut. Dari kajian ini, diperoleh informasi penting bahwa metode dan alat yang digunakan untuk menghitung cadangan dan/atau emisi karbon pada lahan gambut tropika harus akurat, karena apabila terjadi variasi data yang kecil saja sudah menimbulkan bias yang besar apabila dikonversi kedalam bentuk cadangan dan/atau emisi karbon dalam satu hamparan penggunaan lahan. Sebagai contoh, variasi nilai pengukuran bulk density (BD) sebesar 0,001 gr cm-3 dapat menyebabkan bias berat material gambut sebesar 10 ton ha-1

Dari hasil analisis korelasi dan regresi antara hasil penetapan persen bahan organik (% BO) dengan metoda Loss on Ignition (LOI) dan penetapan persen karbon organik (% C-organik) dengan metoda Walkley dan Black terhadap sampel untuk setiap 1 m ketebalan gambut. Hasil kajian pengukuran BD gambut dengan beberapa jenis alat menunjukkan bahwa nilai BD tanah gambut yang diperoleh berkorelasi positif sangat kuat antara satu alat dengan alat yang lainnya (r > 0,65). Penggunaan bor gambut untuk mengambil sampel utuh (undisturb) tanah gambut adalah merupakan alat yang umum dan praktis digunakan saat ini. Namun demikian, terlihat bahwa menggunakan bor gambut untuk mengambil sampel utuh tanah gambut ternyata menghasilkan nilai BD lebih tinggi (overestimates) sekitar 14% dibandingkan dengan alat yang dianggap representatif mengukur BD tanah gambut yaitu kotak sampel ukuran 50 cm panjang x 50 cm lebar x 10 cm tinggi. Berdasarkan hal ini, untuk mendapatkan nilai BD gambut yang representatif pada pengukuran menggunakan bor gambut, perlu dilakukan revisi atau koreksi terhadap data BD yang diperoleh, yaitu dengan cara membagi data tersebut dengan konstanta yaitu 1,136.

tanah gambut tropika menunjukkan bahwa nilai % BO berkaitan erat dengan nilai % C-organik (R2 = 0,6185). Hasil yang serupa dengan kajian ini juga telah dikemukakan oleh beberapa peneliti, seperti yang dirangkum oleh Pribyl (2010) yang mana korelasi antara metoda LOI dan Walkley dan Black memiliki koefisien korelasi yang sangat kuat (r2

Kelebihan lain dari metode LOI adalah hasil atau data yang diperoleh lebih banyak yaitu data % BO dan % C-organik dan juga sekaligus dapat diperoleh data > 0,90). Namun demikian, terlihat bahwa apabila menggunakan faktor konversi yang umum digunakan saat ini yaitu 1,724 untuk mengkonversi nilai % BO yang diperoleh dari metoda LOI menjadi % C-organik atau sebaliknya dari nilai % C-organik metoda Walkley dan Black menjadi % BO memberikan bias sekitar 12%, yang mana apabila menggunakan faktor konversi 1,724: nilai % C-organik yang diperoleh dari hasil konversi data % BO metoda LOI lebih tinggi (overestimates) sekitar 12% dibandingkan hasil yang diperoleh secara langsung dari metoda Walkley dan Black, dan begitu pula sebaliknya nilai prediksi % BO yang diperoleh dari konversi data % C-organik metode Walkley dan Black lebih rendah (underestimates) sekitar 12% dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dari metode LOI secara langsung. Menurut Pribyl (2010) metode Loss on Ignition adalah metoda yang cepat dan relatif murah digunakan untuk mengestimasi bahan organik secara langsung, sedangkan penggunaan metoda Walkley dan Black untuk mengestimasi kandungan bahan organik memiliki tiga sumber penyimpangan yaitu: a) penyimpangan akibat dari prosedurnya sendiri, b) penggunaan faktor koreksi untuk menghitung bahan organik yang tidak seluruhnya terbakar (digestion), dan c) faktor konversi yang digunakan untuk mengestimasi bahan organik dari nilai kandungan karbon. Selanjutnya ditegaskan oleh Pribyl (2010) bahwa akurasi faktor konversi untuk mengestimasi % BO dan/atau % C-organik tergantung pada akurasi metode yang digunakan untuk mengukur % BO dan % C-organik tersebut. Underestimtaion nilai % BO terjadi apabila faktor konversi % C-organik menjadi % BO terlalu rendah, dan overestimation terjadi apabila nilai faktor konversi terlalu tinggi. Dari hasil evaluasi terhadap data hasil kajian ini diperoleh nilai faktor konversi baru yaitu 1,922 untuk mengkonversi % BO menjadi % C-organik atau sebaliknya dari % C- organik menjadi % BO untuk tanah gambut tropika.

115

kadar abu (mineral) yang terkandung dalam material gambut tersebut, sedangkan dari metode Walkley dan Black yang dapat diperoleh hanya data % C-organik dan % BO. Hal ini didasarkan pada prinsip dasar metode LOI adalah berat material gambut yang hilang akibat pembakaran dapat diasumsikan sebagai bahan organik yang terkandung dalam meterial gambut tersebut dan berat material yang tersisa (kadar abu) adalah berat total bahan mineralnya (Pribyl, 2010).

Tersedianya data kadar abu, % C dan BD yang representatif dari lahan gambut dapat digunakan untuk mengestimasi nilai kandungan dan/atau emisi karbon dari lahan tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa estimasi emisi CO2 secara langsung dengan metoda chamber terlihat tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan hasil estimasi menggunakan data peningkatan kadar abu (metode LOI). Hasil ini sejalan dengan hasil kajian Gronlund et al. (2008) yang mana telah menggunakan data kadar abu gambut untuk mengestimasi kehilangan karbon dan membandingkannya dengan pengukuran fluks CO2

Lahan gambut tropika seperti di Indonesia, mempunyai kapasitas penyimpanan karbon yang sangat tinggi (3-6 kali lebih tinggi daripada lahan- lahan gambut di daerah beriklim sedang). Hasil kajian menemukan bahwa ketebalan gambut tropika di Aceh Barat dapat mencapai lebih dari 10 m dengan cadangan karbon yang tersimpan dapat mencapai lebih dari 3105,08 ton C ha

dari lahan gambut yang diolah untuk usaha pertanian, khususnya pada lahan gambut yang dipupuk di Norwegia hasilnya juga tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Turetsky dan Wieder (2001) juga telah menggunakan data kadar abu untuk menghitung kehilangan bahan organik akibat kebakaran hutan gambut di Kanada. Berkaitan dengan hal ini, dapat disimpulkan bahwa metoda LOI efektif dan effesien digunakan untuk mengestimasi kandungan bahan organik, kadar mineral (abu) dan karbon gambut, karena relatif cepat dan biaya lebih murah dibandingkan metode Walkley dan Black.

Cadangan dan kehilangan karbon gambut tropika serta permasalahannya

-1

yang mana 91,52% tersimpan dalam material gambut, 7,61% dalam biomassa pohon, 0,55% dalam serasah dan 0,32% dalam biomassa semak (belowground biomass). Pada perkebunan yang sudah produktif di lahan gambut seperti Karet

cadangan karbon yang tersimpan pada vegetasi pohon yang dibudidayakan di atas lahan gambut dapat mencapai 165 ton ha-1

Meski mempunyai peran penting dalam menjaga lingkungan dari ancaman pemanasan global, lahan gambut tropika di Indonesia khususnya yang ada di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam bagian barat masih terus mendapat tekanan berat untuk dibuat saluran drainase dan dikonversi. Terjadinya alih guna hutan gambut alami dapat berdampak menurunkan cadangan karbon tersimpan pada ekosistem gambut tersebut. Hal ini dapat terjadi karena total karbon yang tersimpan pada biomassa hutan, semak serta serasah pada kondisi penggunaan lahan hutan yang mencapai 152,51 – 263,38 ton C ha

. Namun demikian, pada beberapa bagian lahan gambut di Indonesia khususnya di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam terlihat lahan gambut tersebut telah banyak yang didrainase dan dikonversi menjadi penggunaan lain, diantaranya adalah untuk pengembangan tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit, bahkan ada yang dibiarkan terlantar ditumbuhi oleh semak belukar.

-1

atau sekitar (8,48 – 18,54%) dari total cadangan karbon yang tersimpan pada kondisi hutan, diprediksi akan hilang kalau hutan gambut tersebut dikonversi. Pada sisi lain, pembuatan drainase pada lahan gambut juga dapat menyebabkan terganggunya sistem hidrologis secara keseluruhan khususnya kondisi kedalaman muka air tanah (water table). Penurunan muka air tanah setelah lahan gambut didrainase dapat menyebabkan teremisinya karbon khususnya CO2 dari lahan gambut tersebut, sehingga dapat berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar dan global. Hasil kajian menemukan bahwa penurunan permukaan air tanah pada lahan gambut tropika yang didrainase di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat mencapai kedalaman -120 cm dari permukaan tanah.. Besar atau kecilnya penurunan permukaan air tanah pada lahan gambut yang didrainase terlihat sangat dipengaruhi oleh jarak lokasi dari saluran drainase, yang mana secara umum terlihat bahwa semakin jauh lokasi dari saluran drainase kedalaman muka air tanah semakin dangkal (dekat permukaan tanah), mengikuti pola persamaan logaritmik. Hasil penelitian Andrie et al. (2010) pada lahan gambut tropika di Kalimantan juga menemukan bahwa semakin dekat dengan saluran drainase kedalaman muka air tanah letaknya jauh dari permukaan tanah dan semakin jauh

117

dari saluran drainase kedalaman muka air tanah letaknya dekat dengan permukaan tanah. Menurut Couwenberg (2009) drainase bertujuan untuk menurunkan muka air tanah dan/atau mengeringkan permukaan tanah, turunnya muka air tanah menyebabkan gambut teroksidasi, sehingga mengakibatkan banyak material gambut dan karbon hilang karena terdekomposisi, akibatnya cadangan karbon menjadi berkurang dan sekaligus terjadi penurunan permukaan tanah (subsidence). Berkaitan dengan hal ini, terlihat jelas bahwa pada lahan gambut yang didrainase untuk tanaman tahunan manajemen pengelolaan kedalaman muka air tanah sangat diperlukan, agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan disisi lain kehilangan karbon akibat dekomposisi material gambut dapat direduksi.

Dari hasil kajian ditemukan bahwa akibat penurunan muka air tanah maksimum (kondisi musim kemarau) yang berkisar antara 39 – 120 cm, menyebabkan terjadinya subsidence berkisar antara 1,1 – 9,2 cm, kejadian subsidence sebesar ini akibat dari telah teremisi karbon berkisar antara 0,651 – 13,106 ton C ha-1 atau setara 2,391 – 48,098 ton CO2 ha-1 th-1 dan akibat dari pemadatan material gambut selama periode waktu 14 bulan. Dari hasil kajian juga ditemukan indikasi bahwa kejadian subsidence pada lahan gambut tropika yang didrainase bervariasi sesuai dengan: a) variasi umur saluran drainase (umur drainase 1-3 tahun subsidence lebih besar dari umur saluran > 3 tahun), b) jarak dari saluran drainase (semakin dekat saluran drainase subsidence semakin besar), dan c) manajemen pengelolaan lahan khususnya pemupukan melalui tanah pada lahan gambut (pemupukan nyata meningkatkan kehilangan karbon dan subsidence). Tergambar jelas bahwa pada lahan gambut yang dialih fungsikan dan didrainase untuk usaha pertanian, perkebunan dan penggunaan lainnya menyebabkan kejadian kehilangan karbon dan subsidence tidak dapat dihindari. Berdasarkan hasil kajian ini, diperkirakan untuk tahun-tahun selanjutnya pada lahan gambut yang didrainase dan diusahakan untuk pengembangan pertanian dan perkebunan khususnya untuk tanaman tahunan kejadian kehilangan karbon dan penurunan permukaan tanah akan terus berlanjut, karena untuk mendapatkan kondisi lahan yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal diperlukan upaya penurunan kedalaman muka air tanah menyebabkan banyak

material gambut yang berada dalam kondisi aerob dan berpotensi menyebabkan kehilangan karbon.

Usaha pertanian dan/atau perkebunan di lahan gambut tidak bisa dilepaskan dari manajemen pemupukan, pengelolaan tata air dan pengendalian gulma. Pemberian pupuk dan pembakaran gulma yang umum dilaksanakan pada usaha pertanian/perkebunan pada lahan gambut juga ditemukan sebagai faktor yang berkontribusi besar dalam meningkatkan kehilangan karbon. Data dari hasil kajian ini memperlihatkan bahwa ditemukan berbagai macam penyebab hilangnya karbon dari lahan gambut yang didrainase seperti: kehilangan karbon akibat kondisi aerob yang disebabkan oleh penurunan muka air tanah, pengaruh pemupukan melalui tanah, kebakaran hutan, dan terbawa air drainase. Tersedianya data kehilangan karbon dan didukung data lainnya seperti karakteristik dan manajemen pengelolaan lahan seperti yang ditemukan pada kajian ini, sangat relevan untuk dijadikan sebagai acuan dalam mengelola lahan gambut yang didrainase khususnya untuk usaha pertanian dan/atau perkebunan dalam kaitannya dengan upaya konservasi lahan gambut dan reduksi emisi GRK. Oleh sebab itu, agar supaya pertumbuhan dan produksi tanaman dapat optimal dan kehilangan karbon dapat direduksi, maka usaha pertanian dan/atau perkebunan pada lahan gambut harus melalui perencanaan dan tindakan yang matang terutama dari aspek pengelolaan tata air, cara pemberian pupuk, dan mengelola biomassa hasil pangkasan tanaman utama dan gulma.

Hasil kajian menemukan bahwa sumber atau penyebab kehilangan karbon dari lahan gambut yang didrainase bermacam-macam, yang terbesar adalah dari kejadian kebakaran hutan yaitu rata-rata sebesar 92,16 – 133,38 ton C ha-1 atau setara 338,23 – 489,50 ton CO2 ha-1 pada setiap kejadian kebakaran hutan gambut alami, dan dari dekomposisi material gambut yang aerob akibat turunnya muka air tanah berkisar antara 0,651 – 13,106 ton C ha-1 th-1 atau setara 2,391 – 48,098 ton CO2 ha-1 th-1. Menurut Hooijer et al. (2006) luas lahan gambut Indonesia yang telah didrainase mencapai 4,8 juta hektar dan kejadian kebakaran hutan tahun 2006 menghanguskan 2,79 juta hektar hutan gambut. Apabila data dari hasil kajian ini dikaitkan dengan data yang umum beredar saat ini yaitu yang dikemukakan Hooijer et al. (2006), maka diperkirakan besarnya gas CO2 yang

119

diemisikan dari lahan gambut Indonesia pada tahun tersebut yaitu sekitar 955,14 – 1596,58 juta ton CO2, dengan rinciannya: 11,48 – 230,87 juta ton dari dekomposisi material gambut dan 943,66 – 1365,71 juta ton dari kebakaran hutan. Nilai perkiraan ini terlihat masih lebih rendah dari yang diprediksi oleh Hooijer et al. (2006) yang mana emisi CO2 dari dekomposisi lahan gambut Indonesia yang didrainase sekitar 58% dari 887 juta ton per tahun (total emisi CO2 global) yaitu sekitar 514,46 juta ton per tahun, dan dari kebakaran hutan sekitar 1400 juta ton per tahun. Terlihat disini bahwa prediksi emisi CO2 dari proses dekomposisi lahan gambut Indonesia yang didrainase yang dilakukan oleh Hooijer et al. (2006) jauh lebih tinggi (yaitu 514,46 juta ton CO2 th-1 : 4,8 juta hektar = 107,18 ton CO2 ha-1 th-1) dibandingkan dengan yang diperoleh dari kajian ini hanya sekitar 2,39 – 48,10 ton CO2 ha-1 th-1, sedangkan prediksi emisi CO2 akibat kebakaran hutan Indonesia relatif hampir sama yaitu:1400 juta ton CO2 : 2,79 juta hektar = 501,79 ton ha-1 hasil prediksi Hooijer et al. (2006) dibandingkan 338,23 – 489,50 ton CO2 ha-1 dari hasil kajian ini. Adanya perbedaan besar antara nilai kehilangan karbon atau emisi CO2

Alih fungsi hutan gambut alami dan pembuatan drainase, menyebabkan terjadinya emisi karbon yang dipercepat tidak dapat dihindari. Hal ini terjadi karena proses kehilangan karbon tidak berhenti pada saat hutan ditebangi atau dialih fungsikan saja, namun pada saat aktivitas pertanian atau perkebunan berlangsung proses kehilangan karbon gambut juga meningkat. Pada penanaman kelapa sawit misalnya, untuk pertumbuhan yang optimal pada lahan gambut kelapa sawit memerlukan tinggi muka air tanah berkisar antara 50 – 75 cm (Ambak dan Melling, 2000) dan juga pemupukan. Apabila dikaitkan dengan prediksi yang dikemukakan Wösten dan Ritzema (2001) yang mana setiap 10 cm kedalaman drainase akan mengemisikan CO

hasil kajian ini dibandingkan dengan estimasi Hooijer et al. (2006) diperkirakan disebabkan karena beberapa kemungkinan yaitu: a) data yang digunakan Hooijer et al. (2006) berasal dari beberapa lokasi gambut tropika sedangkan kajian ini spesifik untuk daerah gambut tropika di Aceh Barat, b) Hooijer et al. (2006) mengestimasi secara umum berdasarkan berbagai kondisi gambut di daerah tropika, sedangkan data dari kajian ini berdasarkan hasil dari proses spesifik lokasi.

untuk perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dengan tinggi muka air tanah 50 – 75 cm berpotensi menyebabkan kehilangan karbon dalam bentuk CO2 sebanyak 65,0 – 97,5 ton CO2 ha-1 th-1 atau sebesar 17,7 – 26,5 ton C ha-1 th-1. Namun demikian, kenyataan yang terlihat dari hasil kajian ini adalah, kehilangan karbon pada kebun kelapa sawit di lahan gambut tropika yang didrainase untuk tanaman tahunan adalah berkisar antara 1,183 – 13,106 ton C ha-1 th-1 atau setara 4,341 – 48,098 ton CO2 ha-1 th-1

Dari data hasil kajian ini juga mengindikasikan bahwa usaha tanaman tahunan khususnya karet dan kelapa sawit pada lahan gambut tidak selalu mengemisikan karbon lebih besar dari kondisi hutan didrainase/terganggu, seperti isu yang banyak berkembang saat ini. Sebagai contoh, emisi atau kehilangan karbon pada kebun karet tua umur 15 tahun hanya 0,651 – 1,586 ton C ha

, nilai ini terlihat jauh lebih rendah dari yang diprediksi Wösten dan Ritzema (2001).

-1 th-1 atau setara emisi CO2 sebesar 2,391 – 5,820 ton C ha-1 th-1, dan pada kebun kelapa sawit tua (umur 15 tahun) pada lahan gambut dangkal di desa Suak Raya hanya sekitar 1,183 ton C ha-1 th-1 atau setara 4,341 ton CO2 ha-1 th-1. Apabila dilihat hanya berdasarkan pada data kehilangan dan akumulasi karbon, terlihat bahwa pada kebun kelapa sawit umur 15 tahun yang dikelola secara tradisional (biomassa pangkasan gulma dan pelepah sawit dibiarkan tetap di permukaan lahan) memberikan nilai perbedaan antara akumulasi dan kehilangan karbon yang positif, artinya karbon yang terakumulasi lebih besar dari yang hilang. Kondisi yang sama juga terlihat pada perkebunan karet umur >15 tahun yang dikelola secara tradisional (tanpa pemupukan dan penyiangan) juga menunjukkan kecendrungan memiliki nilai perbandingan antara akumulasi dan kehilangan karbon yang positif. Berdasarkan hasil personal komunikasi dengan petani karet di desa Suak Raya pada kondisi kebun karet yang dikelola secara tradisional ini, dengan luasan 2 ha dapat menghasilkan karet segar 193 kg berat kotor dalam satu minggu, atau berdasarkan data BPS kabupaten Aceh Barat (2008) rata-rata produktivitas kebun karet rakyat pada tahun 2007 adalah 0,58 ton ha-1. Data hasil kajian ini memberikan informasi yang penting bagi upaya pengelolaan lahan untuk masa yang akan datang dalam kaitannya dengan upaya penurunan (reduksi) emisi gas rumah kaca seperti yang telah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia

121

pada pertemuan perubahan iklim PBB, COP-15 di Kopenhagen pada tanggal 7 – 18 Desember 2009.

Kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase berkorelasi positif sangat nyata (P < 0,0001) dengan tinggi muka air tanah maksimum. Bentuk hubungan antara kehilangan karbon dengan tinggi muka air tanah maksimum diekspresikan dengan persamaan: C hilang (ton ha-1 th-1

Pada kebakaran hutan besar tahun 1997/1998 di Indonesia, telah menyebabkan polusi asap yang menutupi sebagian besar wilayah atmosfer di Asia Tenggara dan menimbulkan kerugian besar akibat terganggunya transportasi, kerugian industri pariwisata, dan meningkatnya biaya perawatan kesehatan. Terbakarnya kawasan hutan rawa gambut telah merusak beberapa tempat penyimpanan karbon terpenting di dunia khususnya Indonesia, dan melepaskan sejumlah besar karbon ke udara. Dari hasil kajian ini, pada kejadian kebakaran hutan di Aceh Barat bulan Juli 2009 telah mengemisikan sekitar 92,16 – 133,38 ton C ha

) = -0,059 + 0,014 tinggi muka air tanah maksimum (cm). Menurut Chimner dan Cooper (2003) pada keadaan muka air tanah yang dangkal menyebabkan lingkungan tanah pada kondisi anaerobik sehingga mengurangi terjadinya proses dekomposisi, sebaliknya jika permukaan air tanah dalam (jauh dari permukaan) akan meningkatkan kondisi aerobik, sejalan dengan hal tersebut juga meningkatkan proses dekomposisi bahan gambut. Dari informasi ini, terlihat jelas bahwa pengelolaan kedalaman muka air tanah sangat penting diperhatikan dalam kaitannya dengan kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase. Pada sisi lain, juga terlihat bahwa kehilangan karbon dan subsidence ternyata lebih besar pada kondisi saluran drainase baru dibuat (umur 0 – 3 tahun), seperti yang terjadi pada lokasi kajian di desa Simpang, Suak Puntong dan Cot Gajah Mati. Berdasarkan data kajian ini terlihat bahwa faktor yang lebih berperan dalam menentukan kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase adalah kondisi umur saluran dan kedalaman muka air tanah dibandingkan pengaruh jenis penggunaan lahan.

-1

atau setara 338,23 – 489,50 ton CO2 ha-1. Kebakaran hutan pada lahan gambut mengemisikan karbon atau GRK, disamping itu juga telah menghanguskan biodiversity (khususnya flora) yang ada pada lahan tersebut. Hal

ini terlihat pada kejadian kebakaran hutan di Aceh Barat bulan Juli 2009 telah menghanguskan tumbuhan dan lapisan serasah, sedangkan selama kebakaran lahan gambut pada tahun 1997/98 di Indonesia karbon yang diemisikan sama jumlahnya dengan 13 - 40% dari emisi tahunan yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil di seluruh dunia (Hooijer et al., 2006). Dari aspek ekologi saja, terlihat jelas bahwa kebakaran hutan gambut telah mempercepat rusaknya ekosistem gambut yang unik dan jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya. Hasil kajian ini menguatkan indikasi bahwa kebakaran lahan gambut ternyata telah memperbesar dampak negatif dari drainase dan mempercepat degradasi lahan gambut. Berkaitan dengan hal ini, upaya terbaik yang dapat diupayakan untuk mencegah kebakaran pada lahan gambut adalah dengan mengkonservasi gambut sesuai kondisi alaminya dan/atau memberikan perhatian khusus terhadap aspek- aspek pengelolaan air yang tepat, dan pemanfaatan lahan yang sesuai dengan kemampuannya. Dalam hal ini, berarti bahwa drainase/pengeringan dan konversi hutan rawa gambut alami yang banyak keanekaragaman hayatinya serta berpotensi besar mengemisikan GRK harus dihindari, karena apabila ekosistem gambut mengalami degradasi berat, maka sifat-sifat alaminya akan hilang secara permanen dan tidak dapat direhabilitasi kembali..

Pemupukan melalui tanah pada lahan gambut yang diusahakan untuk tanaman tahunan tidak dapat dihindarkan, karena terbatasnya unsur hara yang tersedia secara alami pada lahan gambut. Dari hasil kajian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar abu yang nyata pada lahan gambut yang dipupuk dibandingkan yang tidak dipupuk. Menurut Gronlund et al. (2008) peningkatan kadar abu pada lahan gambut yang dipupuk adalah berasal dari mineral dari sisa proses dekomposisi bahan gambut (mineral yang tersisa setelah bahan organik gambut terdekomposisi/hilang). Menurut Lai et al. (2002) dan Zhang et al. (2007) pemupukan khususnya N meningkatkan respirasi, dampak dari peningkatan respirasi menurut Silva et al. (2008) adalah meningkatkan karbon yang hilang dan/atau emisi CO2. Dari kajian ini terlihat jelas bahwa pemupukan melalui tanah