• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ”Kajian Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase untuk Tanaman Tahunan” adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Bogor, Februari 2011 Yang menyatakan

M a s w a r NRP A361060021

ABSTRACT

MASWAR. Carbon stock study on drained tropical peat land for parennial crops. Under direction of OTENG HARIDJAJA, SUPIANDI SABIHAM, and MEINE VAN NOORDWIJK

Peat lands are important sinks for atmospheric carbon (C), and current decline of their C stocks represent several percent of global C emissions, contributing to global climate change. It is therefore important to understand the effects of peat land drainage and conversion on the distribution of soil carbon and dynamics of emissions. Tropical peatland occurs in multiple forms and data are limited so far. The study reported here was conducted in West Aceh from May 2008 until October 2009. Peat land characteristics after drainage and conversion were investigated by field observation and laboratory analysis of peat soil samples. Calculations of C stock and C loss were carried out by interpretation data of bulk density (BD), ash content, carbon content and subsidence (changes in peat depth). A pre- study evaluated methods and tools for determining BD and carbon content and found that: a) the commonly used peat auger needs division by a correction factor of 1.136 to convert to the bulk density measured in large soil blocks; b) carbon content (%C) can be derived from the percentage organic matter derived from loss on ignition (LOI) by division by 1.922. A ‘triangulation’ of methods was set up to compare direct CO2 flux measurements in chambers, calculations based on subsidence rate and change in bulk density and calculations based on differences in ash content (LOI method). Key results of field observation combined with laboratory peat soil analyses were: 1) Location and drainage influences the rates of subsidence, with rates of less than 4 cm/year for some oil palm plantation, rubber agroforests, and drained forest soils, and rates up to 10 cm/year in young oil palm newly drained. 2) the surface structure of the landscape varies over short ranges, making peat depth unattractive as measure of changes in peat C stock, 3) ash content and bulk density of the peat are related, indicating the partial loss of soil C during decomposition and compaction, 4) an “internal tracer” estimate of peat C loss yielded estimates of CO2 flux up to 48 t CO2-eq per ha per year for young oil palm, highly correlated with the measured rates of subsidence of the surface, 5) an experiment with surface fertilizer application suggest considerable increase in peat C loss (based on increase in ash content and the “internal tracer’ method), 6) the spatial pattern of peat subsidence with increasing distance from the drain differed between oil palm and forest + rubber agroforest, consistent with a direct effect of fertilizer application on CO2 emissions (as microbial activity is N limited at the prevailing high C/N ratios) beyond the drainage effect alone, 7) the pattern of weight loss of surface litter, measured in litter bags, responded to the inherent quality (C/N) rather than land use, 8) estimate of peat C loss from a documented forest fire were up to 133 t C ha-1 equivalent with 490 t CO2 ha-1. 9) The difference between C accumulation and C loss for rubber agroforests (>15 year age) on peat, and oil palm agroforests (> 15 year age) on shallow peat indicated have a positive value (C accumulation > C loss). These results support through the triangulation of methods that drainage and fertilization of peat soils increases CO2 emissions at rates of 30-40 t CO2-eq per ha per year, with higher values in early stages of conversion.

MASWAR. Kajian Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase untuk Tanaman Tahunan. Dibimbing oleh OTENG HARIDJAJA, SUPIANDI SABIHAM, DAN MEINE VAN NOORDWIJK.

Ekosistem gambut berperan sangat penting dalam skala global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat. Disisi lain, ekosistem gambut adalah unik, rapuh dan memiliki sifat tidak dapat diperbaharui. Proses pembentukannya memerlukan waktu ribuan tahun, dan bila terjadi kerusakan, sangat sulit untuk diperbaiki atau bahkan mungkin tidak bisa pulih sama sekali. Luas lahan gambut dunia sekitar 3% dari luas permukaan bumi yakni sekitar 400 juta hektar, namun menyimpan karbon sangat besar yang diperkirakan sebanyak 550 Giga ton, atau setara dengan 75% dari seluruh karbon di atmosfer. Khusus untuk Indonesia yang mewakili daerah gambut tropika, memiliki luas lahan gambut sekitar 265.500

km2, menyimpan cadangan karbon sekitar 54.016 Mega ton. Mengingat cadangan

karbon yang besar pada lahan gambut sedangkan ekosistemnya sangat rapuh, maka apabila tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan kehilangan karbon yang banyak, terutama dalam bentuk gas metan (CH4) dan karbon dioksida (CO2

Kajian cadangan, kehilangan dan akumlasi karbon, serta evaluasi terhadap metode dan alat pengukuran bulk density (BD), %C-organik dan emisi CO

) ke atmosfer, sehingga akan semakin meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK).

2 gambut, telah dilaksanakan pada lahan gambut yang didrainase di Provinsi Nangro Aceh Darussalam bagian barat, dan analisis sampel tanah gambut di Laboratorium Penelitian Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor pada bulan Mei 2008 sampai dengan bulan Oktober 2009. Kajian ini bertujuan untuk (1) Mengevaluasi metode dan alat penentuan karbon gambut tropika (2) Mengevaluasi karakteristik lahan dan/atau sifat- sifat gambut tropika yang didrainase. (3) Menghitung cadangan karbon tersimpan pada lahan gambut tropika yang dikembangkan untuk tanaman tahunan, dan (4) Mengevaluasi kehilangan karbon pada lahan gambut tropika yang didrainase.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Ekosistem gambut mempunyai peranan yang sangat penting dalam skala global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat karena menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai air, menyimpan karbon, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati dengan berbagai jenis flora dan fauna langka yang hanya ada dijumpai pada ekosistem ini (Roulet, 2000; Zhang et al., 2002; Chmura et al., 2003; Sudip et al., 2005; Sanderson et al., 2006). Disisi lain, ekosistem gambut sangat unik, rapuh dan memiliki sifat tidak dapat diperbaharui, proses pembentukannya memerlukan waktu ribuan tahun, bila terjadi kerusakan, sangat sulit untuk diperbaiki atau bahkan tidak bisa pulih sama sekali.

Luas lahan gambut dunia hanya sekitar 3% dari luas permukaan bumi yaitu sekitar 400 juta hektar (Joosten dan Clarke, 2002; Global Peatlands Initiative, 2002); Hooijer et al., 2006), namun menyimpan karbon yang sangat banyak yakni diperkirakan sebanyak 550 Giga ton, atau setara dengan 75% dari seluruh karbon di atmosfer (Alex dan Joosten, 2008; Joosten, 2009). Menurut Joosten (2009) khusus untuk Indonesia yang mewakili daerah gambut tropika, memiliki luas lahan gambut ketiga terluas di dunia setelah Rusia dan Kanada yakni sekitar 265.500 km2, jumlah ini sekitar 14% dari luas daratan Indonesia atau lebih dari setengah dari luas gambut yang berada di daerah tropika, dan berdasarkan data kondisi tahun 2008 gambut Indonesia menyimpan cadangan karbon juga peringkat tiga terbesar di dunia (setelah Kanada dan Rusia) yakni sekitar 54.016 Mega ton. Mengingat cadangan karbon yang besar pada lahan gambut sedangkan ekosistemnya sangat rapuh, maka apabila tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan kehilangan karbon yang banyak, terutama dalam bentuk gas metan (CH4) dan karbon dioksida (CO2

Salah satu sumber yang berkontribusi besar terhadap peningkatan CO ) ke atmosfer sehingga semakin meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK).

2 di atmosfer akhir-akhir ini adalah berasal dari emisi karbon dari proses dekomposisi dan/atau kebakaran gambut, akibat dari aktivitas alih guna (konversi) hutan dan pembuatan saluran drainase pada ekosistem gambut tersebut. Kasus untuk

ekosistem gambut tropika yang diwakili oleh Indonesia dan Malaysia misalnya, kehilangan karbon akibat oksidasi dari permukaan lahan gambut yang didrainase rata-rata sebesar 65 ton CO2 ha-1 th-1 (Hooijer et al., 2006).

Meski memiliki fungsi strategis, namun alih fungsi atau reklamasi lahan gambut untuk dijadikan lahan pertanian maupun pemukiman serta untuk infrastruktur lainnya telah terjadi semenjak beberapa dekade terakhir dan masih terus berlangsung sampai sekarang. Sebagai gambaran telah terjadi konversi dan/atau pembuatan drainase terhadap lahan gambut dunia dapat dilihat dari laporan Alex dan Joosten (2008) yang mana seluas 65 juta hektar lahan gambut dunia telah didrainase, dan telah mengemisikan CO2 sebanyak 3 Giga ton per tahun. Khusus untuk Indonesia, menurut Hooijer et al.(2006) selama periode 1985 – 2000 sebanyak 20% atau rata-rata sebesar 1,3% per tahun hutan gambut alami telah ditebang dan/atau dikonversi untuk penggunaan lain, dan berdasarkan data konsesi Indonesia, menunjukkan bahwa 27% dari luas area konsesi untuk kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) berada pada lahan gambut, rinciannya adalah 28.009 km2 untuk perkebunan kelapa sawit dan 19.923 km2

Pemanfaatan lahan gambut untuk komuditi tanaman tahunan (pertanian atau perkebunan dan hutan tanaman industri) mengharuskan adanya saluran drainase atau kanal untuk meningkatkan ketersediaan oksigen bagi akar supaya

untuk HTI. Bentuk lain dari aktivitas konversi hutan gambut alami Indonesia yang telah menyebabkan degradasi lahan adalah, setelah pembuatan drainase dilanjutkan dengan penebangan hutan, kayu-kayu dibawa keluar dari kawasan hutan melalui saluran-saluran drainase, selanjutnya lahan dibiarkan terlantar sehingga ditumbuhi oleh semak belukar. Kasus seperti ini banyak ditemui dibeberapa tempat di pulau Sumatera dan Kalimantan, seperti yang dikemukakan oleh Ardjakusuma et al. (2001) bahwa di Kalimantan Tengah banyak dijumpai lahan bongkor yaitu lahan gambut yang terdegradasi (rusak) dan dibiarkan/ditinggalkan oleh pengelolanya, sehingga menjadi lahan tidur. Pada awal kajian ini dilaksanakan (pra penelitian) kondisi yang hampir sama dengan di Kalimantan Tengah juga terjadi di kabupaten Aceh Barat, propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang mana banyak lahan gambut setelah hutanya ditebang dibiarkan terlantar ditumbuhi semak belukar.

3

tanaman bisa tumbuh dan berkembang dengan baik (Hooijer et al., 2006). Pembuatan drainase menyebabkan penurunan muka air tanah, akibatnya terjadi perubahan kondisi lingkungan dari anaerob menjadi aerob pada lapisan dekat permukaan gambut, sehingga meningkatkan kehilangan karbon melalui proses dekomposisi gambut (Chimner dan Cooper, 2003). Dalam kondisi seperti ini, jelas bahwa konsekwensi logis dari pembuatan drainase adalah menyebabkan terjadinya peningkatan kehilangan karbon terutama dalam bentuk: emisi CO2

Penanaman tanaman tahunan pada lahan gambut yang didrainase seperti kelapa sawit, karet dan HTI sebenarnya juga dapat meningkatkan cadangan karbon, karena dalam proses pertumbuhan yang simultan selama proses fotosintesis tanaman mengabsorpsi CO

ke atmosfer, dan hanyutnya karbon terlarut (disolved organik carbon) bersama aliran air drainase yang keluar dari lahan gambut.

Berbagai aktivitas pengelolaan lahan pertanian pada lahan gambut setelah pembuatan drainase, seperti pembakaran semak dan sisa-sisa tanaman di atas permukaan gambut, praktek pengolahan tanah dan pemupukan juga dapat meningkatkan laju kehilangan karbon. Hal ini menunjukkan bahwa dampak lebih lanjut yang terjadi setelah pengembangan sistim drainase di lahan gambut adalah penurunan permukaan tanah (subsidence) karena hilangnya gambut dan proses pemadatan. Berkaitan dengan hal ini, Limin et al. (2000) melaporkan bahwa besarnya penurunan permukaan lahan gambut tropika di daerah Kalampangan (eks UPT Bereng Bengkel) berkisar antara 1-3 cm per tahun.

2 dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Berkaitan dengan hal ini, Agus (2007) memperkirakan bahwa jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam kurun waktu 15 sampai 25 tahun akan terjadi penambatan (sequestration) karbon sekitar 100 ton/ha. Dalam jangka panjang ranting, daun dan bahan-bahan tanaman lain yang jatuh ke permukaan tanah juga dapat menyimpan karbon sampai terdekomposisi namun disisi lain, menurut hasil study oleh Dr. Susan Page University of Leicester yang dipublikasikan oleh Hooijer et al. (2006) dan Mongabay.com (2009)selama siklus berproduksi kelapa sawit yaitu lebih dari 25 tahun, dalam setiap produksi 1 ton minyak kelapa sawit pada lahan gambut, juga

telah mengemisikan sebanyak 15 - 70 ton CO2

Diperkirakan untuk masa yang akan datang lahan gambut Indonesia akan lebih cepat terdegradasi, karena pada proses reklamasi lahan gambut untuk budidaya pertanian dan perkebunan khususnya untuk tanaman tahunan selalu diawali dengan pembuatan drainase, penyiapan lahan (land clearing) dan persiapan lahan untuk komoditas tanaman tertentu. Adanya proses usikan selama aktivitas reklamasi dan pengelolaan lahan gambut yang meliputi: pengeringan yang berasal dari dekomposisi gambut dan pembakaran pada proses land clearing.

Dari berbagai data atau informasi yang dipublikasikan oleh beberapa stake holder saat ini terlihat bahwa kegiatan konversi hutan gambut di daerah tropika menjadi bentuk penggunaan lain yang diikuti dengan pembuatan saluran drainase telah menyebabkan kehilangan karbon yang sangat besar dan berkontribusi sangat besar pula terhadap emisi GRK dan perubahan iklim global. Untuk meminimumkan dampak dari aktivitas pengelolaan lahan gambut tropika, maka perlu adanya upaya atau tindakan nyata yang dapat mendorong penurunan laju kehilangan atau emisi karbon dari lahan gambut yang telah terlanjur dikonversi dan/atau didrainase. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah Indonesia telah meresponnya dengan mencanangkan target penurunan emisi GRK Indonesia sebesar 26 persen sampai tahun 2020. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia pada pertemuan perubahan iklim PBB yaitu Confrence of the Parties (COP-15) di Kopenhagen pada tanggal 7-18 Desember 2009.

Rumusan Masalah dan Kerangka Pikir Penelitian

Dalam beberapa dasawarsa mendatang, lahan gambut Indonesia diperkirakan akan terus menjadi semakin terancam, karena dikonversi untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan infrastruktur lainnya. Hal ini didasarkan pada pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian bukanlah hal yang baru bagi Indonesia, secara tradisional masyarakat lokal telah lama memanfaatkan lahan gambut untuk usaha pertanian dalam skala kecil. Bahkan pada tahun 2008 pemerintah Indonesia telah memberi izin lagi pengembangan lebih dari 2 juta hektar lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit (Rhett, 2009).

5

atau drainase, pembersihan dan/atau pembakaran, pengolahan tanah, serta pemupukan, merupakan faktor-faktor yang dapat mempercepat degradasi gambut. Pada pengembangan lahan gambut tropika yang didrainase untuk usaha tanaman tahunan, pada proses keberlanjutan hidupnya tanaman menyerap karbon dalam bentuk CO2

Permasalahan dalam mengevaluasi dinamika karbon pada lahan gambut tropika saat ini adalah belum tersedianya metoda dan alat yang representatif. Sebagai contoh, selama ini perhitungan cadangan dan/atau kehilangan karbon pada lahan gambut tropika lebih banyak dilakukan dengan metode prediksi dan bahkan lebih banyak menggunakan data asumsi, bahkan metode yang digunakan banyak mengadopsi dari metode yang umum bukan motode yang spesifik untuk gambut tropika. Data utama yang diperlukan untuk mengestimasi cadangan, dari atmosfer yang diperlukan dalam proses fotosintesis. Karbon yang diserap ini kemudian diubah menjadi karbohidrat yang selanjutnya disebarkan ke seluruh bagian jaringan tumbuhan dan selanjutnya ditimbun dalam bentuk akar, daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses pengambilan dan penyimpanan karbon oleh tanaman ini merupakan bagian dari siklus karbon yang berperan penting dalam keseimbangan karbon, hal ini semestinya juga perlu dipertimbangkan sebagai sisi positif dalam pengelolaan lahan gambut tropika yang telah terlanjur didrainase.

Berdasarkan pada data dan informasi yang telah dikemukakan, tergambar bahwa pada proses konversi lahan gambut tropika khususnya untuk tanaman tahunan terjadi dinamika karbon yang sangat komplek. Untuk itu, perlu adanya kajian ilmiah yang komprehensif meliputi berbagai aspek yang terkait dengan dampak konversi dan/atau pembuatan drainase pada lahan gambut tropika, khususnya aspek yang berkaitan dengan dinamika karbon. Dari hasil kajian ilmiah yang komprehensif khususnya yang berkaitan dengan dampak manajemen pengelolaan lahan terhadap dinamika karbon dan karakteristik gambut, diharapkan dapat diperoleh informasi akurat dan realistis yang dibutuhkan untuk upaya mereduksi kehilangan karbon dan sekaligus mengkonservasi lahan gambut tropika, sehingga dalam pengelolaan lahan gambut tropika pada masa mendatang tidak lagi mengulangi kesalahan pada masa lalu, dan tidak lagi menjadi pro dan kontra antara berbagai pihak.

kehilangan dan dinamika karbon pada lahan gambut adalah: karakteristik fisik, kimia dan bologi gambut yang meliputi antara lain: ketebalan gambut, kerapatan dan/atau bulk density (BD), kandungan karbon dan/atau kadar abu, biomassa tumbuhan yang tumbuh di atasnya, sistim drainase, kecepatan dekomposisi bahan gambut dan biomassa tumbuhan yang gugur, serta model pertumbuhan tanaman. Dalam hal ini dalam mengevaluasi karakteristik gambut tropika diperlukan pula metoda dan/atau alat yang representatif serta spesifik untuk gambut tropika.

Untuk mengestimasi kehilangan karbon lahan gambut selama ini biasanya digunakan dua metode yang umum yaitu pengukuran tingkat penurunan permukaan gambut (subsidence rate) dan pengukuran langsung fluks gas. Dalam metode subsidence, sebenarnya tidak seluruh gambut yang menyebabkan subsidence tersebut hilang, karena subsidence merupakan kombinasi dari kehilangan karbon dan proses pemadatan gambut. Apabila menggunakan metode pengukuran fluks gas misalnya CO2 untuk mengestimasi kehilangan karbon gambut tropika, masalahnya ada pada keterbatasan kondisi lokasi dan waktu yang sempit. Pada kajian ini kondisi lahan gambut yang digunakan sebagai kajian sudah didrainase yang menyebabkan sebagaian material gambut dalam kondisi aerob, maka diasumsikan bahwa terdekomposisinya material gambut karena kondisi aerob tersebut akan menyisakan bahan mineral (kadar abu) dan terkonsolidasi pada lahan tersebut. Berdasarkan hal ini, adanya peningkatan atau perbedaan kadar abu (kandungan mineral) pada lahan gambut dapat dijadikan sebagai data/informasi untuk memprediksi kehilangan karbon, baik karena proses dekomposisi maupun kebakaran.

Alasan utama kenapa lahan gambut tropika yang dipilih sebagai obyek dari kajian ini adalah karena lahan gambut tropika dapat berperan sebagai penyerap/penyimpan karbon (sink) maupun pengemisi karbon (source), yang mana kedua hal ini sangat penting bagi keseimbangan ekologi. Khusus untuk gambut tropika di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam akhir-akhir ini telah mengalami tekanan yang sangat besar untuk dikonversi. Hal ini terlihat dari semakin banyak areal gambut yang telah dibuat drainase. Sementara itu, belum ada terlihat upaya atau kajian untuk mengkonservasi kelestarian ekosistemnya. Adapun bagan alir kerangka berpikir dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Dari uraian yang diungkapkan dalam latar belakang, disusun beberapa tujuan penelitian yaitu:

1. Mengevaluasi metode dan alat untuk mengestimasi kandungan karbon tanah gambut tropika.

2. Mengevaluasi karakteristik lahan dan/atau sifat-sifat gambut tropika yang didrainase.

3. Menghitung cadangan karbon tersimpan pada lahan gambut tropika yang dikembangkan untuk tanaman tahunan.

4. Mengevaluasi berbagai bentuk kehilangan karbon pada lahan gambut tropika yang didrainase untuk tanaman tahunan

Manfaat Penelitian

Data ataupun kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai/untuk:

1. Hasil evaluasi terhadap metode dan/atau alat penentuan karbon gambut dapat digunakan untuk mengkoreksi informasi/data yang berkaitan dengan karbon pada lahan gambut tropika, dan acuan buat penelitian dinamika karbon pada lahan gambut tropika untuk masa yang akan datang.

2. Informasi mengenai dampak drainase terhadap karakteristik lahan berguna untuk manajemen pegelolaan tata air pada lahan gambut.

3. Informasi mengenai cadangan dan kehilangan karbon pada berbagai kondisi lahan gambut, berguna sebagai acuan dalam memperkirakan umur guna lahan dan tindakan konservasi yang tepat terhadap lahan tersebut.

4. Informasi mengenai bentuk-bentuk kehilangan karbon dari lahan gambut dapat dijadikan dasar acuan dalam upaya mereduksi kehilangan karbon dan emisi gas rumah kaca (GRK), khususnya untuk acuan kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan gambut.

9

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Berbagai metode dan/atau alat yang digunakan untuk menentukan kandungan karbon tanah gambut memberikan nilai kandungan karbon yang beberbeda. 2. Pada lahan gambut yang didrainase ke dalaman muka air tanah dan jarak dari

saluran drainase dominan mempengaruhi karakteristik lahan.

3. Lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan dan jenis vegetasi menyimpan cadangan karbon yang berbeda.

4. Semakin banyak material gambut dalam kondisi aerob atau semakin dalam muka air tanah, dan semakin subur lahan, menyebabkan semakin banyak material gambut yang terdekomposisi, sehingga kehilangan karbon dan subsidence juga semakin besar.

Kebaruan Penelitian

Kebaruan yang dapat diajukan dari kajian ini adalah:

1. Kajian ini menginformasikan nilai konstanta yang representatif untuk: a) mengkonversi nilai kandungan bahan organik menjadi kandungan C-organik atau sebaliknya untuk tanah gambut tropika, b) konstanta yang relevan untuk mengkoreksi data hasil pengukuran Bulk density (BD) tanah gambut menggunakan ring sampel atau bor gambut (yang umum digunakan selama ini).

2. Kajian ini menginformasikan nilai cadangan karbon yang tersimpan pada lahan gambut berdasarkan data kondisi aktual fisik gambut di lapangan.

3. Kajian ini mempermudah prediksi kehilangan karbon pada lahan gambut khususnya karena dekomposisi material gambut ataupun karena proses terbakarnya lahan gambut, yaitu dengan menggunakan data kadar abu dari hasil metode Loss on Ignition (LOI).

4. Kajian ini menginformasikan data nilai kehilangan karbon yang spesifik sesuai kondisi aktual lahan dan penyebab dari kehilangan karbon tersebut.