• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Penggunaan Pestisida dan Pengelolaan Air terhadap Kualitas Lingkungan dan Emisi Karbon di Lahan Gambut yang Disawahkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Penggunaan Pestisida dan Pengelolaan Air terhadap Kualitas Lingkungan dan Emisi Karbon di Lahan Gambut yang Disawahkan"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA DAN PENGELOLAAN

AIR TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN DAN EMISI

KARBON DI LAHAN GAMBUT YANG DISAWAHKAN

MAULIA ARIES SUSANTI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Dampak Penggunaan Pestisida dan Pengelolaan Air terhadap Kualitas Lingkungan dan Emisi Karbon di Lahan Gambut yang Disawahkan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya limpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(3)

RINGKASAN

MAULIA ARIES SUSANTI. Dampak Penggunaan Pestisida dan Pengelolaan Air terhadap Kualitas Lingkungan dan Emisi Karbon di Lahan Gambut yang Disawahkan. Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM, SYAIFUL ANWAR, DADANG dan IRSAL LAS.

Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian khususnya tanaman pangan akan semakin meningkat. Pengaruh kegiatan sistem budidaya pertanian terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) dan keberlanjutan lahan gambut telah banyak mendapat perhatian. Namun informasi mengenai pengaruh pestisida dan pengelolaan air terhadap emisi CO2 dan CH4 serta kualitas lingkungan di pertanaman padi lahan gambut masih perlu digali. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pestisida dan pengelolaan air terhadap emisi CO2, CH4 serta kualitas tanah dan air serta organisme. Juga untuk mempelajari pengaruh pestisida dan pengelolaan air terhadap produksi tanaman padi dan kelayakan usahatani serta keberlanjutannya di lahan gambut yang disawahkan.

Penelitian dilaksanakan di lahan gambut dangkal di Desa Kanamit Jaya, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah. Penelitian dilaksanakan pada musim kemarau 2012 dan musim hujan 2012/2013. Pada musim kemarau penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari tanpa aplikasi pestisida atau kontrol (P0), aplikasi herbisida paraquat pada saat olah tanah (P1), aplikasi insektisida fenobucarb setiap minggu (P2), aplikasi insektisida fenobucarb setiap dua minggu (P3), aplikasi fungisida difenoconazole setiap minggu (P4), dan aplikasi fungisida difenoconazole setiap dua minggu (P5). Pada musim hujan perlakuan disusun dalam Rancangan Petak Terbagi (Split Plot) dengan 3 ulangan. Faktor petak utama adalah perlakuan pengelolaan air (A) yang terdiri dari; tanpa pengelolaan air atau kontrol (A0), macak-macak (A1), dan intermitten (A2). Faktor anak petak adalah perlakuan pestisida (P) yang terdiri dari; tanpa aplikasi pestisida atau kontrol (P0), aplikasi herbisida paraquat pada saat olah tanah (P1), aplikasi insektisida fenobucarb setiap minggu (P2), aplikasi insektisida fenobucarb setiap dua minggu (P3), aplikasi fungisida difenoconazole setiap minggu (P4), dan aplikasi fungisida difenoconazole setiap dua minggu (P5). Pemberian pestisida pada tanah gambut di musim kemarau meningkatkan konsentrasi asam ferulat dan asam sinapat namun menurunkan konsentrasi asam vanilat. Pada musim hujan asam-asam fenolat menurun selama periode pengamatan kecuali asam sinapat dan p-hidroksibenzoat keduanya mengalami peningkatan seiring periode pengamatan.

(4)

Hasil penelitian selanjutnya diketahui bahwa walaupun dalam jumlah yang sedikit, bahan aktif pestisida masih ditemukan di tanah hingga akhir masa pertanaman pada musim kemarau dan musim hujan. Perlakuan P1, P4 dan P5 masih menyisakan bahan aktif paraquat (P1) dan difenoconazole (P4, P5) berturut-turut sebesar 0.12 mg.kg-1, 0.02 mg.kg-1 dan 0.03 mg.kg-1 pada musim kemarau. Pada musim hujan masih ditemukan bahan aktif fenobucarb (P2, P3) dan difenoconazole (P4) sebesar 0.02 mg.kg-1, 0.03 mg.kg-1 dan 0,07 mg.kg-1. Perlakuan pengelolaan air intermittent (A2) memberikan hasil terbaik dengan tidak ditemukannya bahan aktif pestisida pada tanah dan air setelah akhir masa pertanaman.

Aplikasi pestisida dilaporkan dapat menurunkan kesuburan tanah dan proses biologi di dalam lingkungan tanah. Namun hasil penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan pestisida dan pengelolaan air selama dua periode tanam, tidak memperlihatkan pengaruh buruk terhadap hara-hara tanah. Semua perlakuan termasuk kontrol memberikan pola yang sama, yaitu pH tanah, K dan Fe meningkat, C-organik, N dan P menurun. Pola yang sama juga diperlihatkan oleh perlakuan pengelolaan air terhadap hara-hara tanah.

Hasil pengamatan terhadap serangga diketahui bahwa perlakuan pestisida dan pengelolaan air tidak menurunkan populasi serangga. Ditemukan 16 spesies serangga yang termasuk ke dalam 7 ordo yaitu; Coleoptera, Hymenoptera, Hemiptera, Orthoptera, Diptera, Odonata dan Lipedoptera. Tiga ordo diantaranya tergolong sebagai serangga hama (37.5%) yaitu ordo Hemiptera, Orthoptera dan Lepidoptera. Selebihnya merupakan musuh alami yang terbagi menjadi predator (37.5%) dan parasitoid (25%). Namun perlakuan fungisida diketahui menurunkan populasi fungi pada kedua musim tanam. Penurunan fungi pada masing-masing perlakuan di musim kemarau tercatat P4 (99.8%), P5 (98.8%), P2 (98%), P3 (97%) dan P1 (89%). Sedangkan di musim hujan tercatat P4 (99%), P5 (97.5%), P2 (95,5%), P3 (94%), P1 (86%). Kondisi berbeda ditunjukkan oleh populasi bakteri pada perlakuan pestisida. Pada musim kemarau mengalami penurunan populasi berturut-turut P1 (84%), P2 (73%), P3 (81%), P5 (62%) dan P4 (34%). Pada musim hujan populasi bakteri mengalami peningkatan yang sangat tinggi yaitu P5 (2,000%), P1 (1,100%), P4 (1,005%), P2 (500%) dan P3 (170%). Perlakuan pengelolaan air A0 menurunkan populasi fungi sebesar 99.8%, disusul A2 96% dan perlakuan A1 hanya menurunkan 11% populasi fungi. Populasi bakteri meningkat pada semua perlakuan kecuali A2.

Berdasarkan analisa kelayakan usahatani dan indeks keberlanjutan, diketahui bahwa sistem budidaya yang diteliti layak untuk diterapkan pada tingkat petani karena menguntungkan dengan nilai rata-rata R/C rasio 1.5. Sistem budidaya yang diterapkan cukup berkelanjutan (nilai score > 50) berdasarkan kriteria masing-masing dimensi. Dimensi ekonomi memiliki nilai keberlanjutan 53.13, ekologi 69.49 dan dimensi sosial 61.79.

Dengan aplikasi yang tepat dan sesuai anjuran serta didukung oleh pengelolaan air yang baik, maka pestisida tidak menjadi penyumbang terhadap kenaikan emisi CO2 dan CH4 dan tidak menurunkan kualitas lingkungan di lahan gambut yang disawahkan.

(5)

SUMMARY

MAULIA ARIES SUSANTI. Impact of Pesticide and Water Management on Environmental Quality and Carbon Emission in Peatland’s Rice Field. Supervised by SUPIANDI SABIHAM, SYAIFUL ANWAR, DADANG and IRSAL LAS.

The conversion of peatland for agricultural uses, particularly for croplands, will keep increasing. The effect of agricultural system activities in producing greenhouse gasses (GHG) and peatland sustainability has attracted many concerns. However, the knowledge on pesticide’s and water management’s effects on CO2 and CH4 emission, and environmental quality in peatland’s rice field, are still in need of improvement. This research aims to study the effect of pesticide and water management on the quality of soil, water, organism, and CO2 and CH4 emission. Moreover, this study also aims to study the effect of pesticide and water management on the production of rice corps, farming feasibility, and its sustainability in ricefield in peatland.

This research was conducted in tidal peatland in Kanamit Jaya Village, Maliku District, Pulang Pisau Regency, Central Kalimantan Province. This research was conducted in dry season of 2012 and rain season of 2012/2013. In dry season, this research was arranged in random group design with three repetitions. The treatments consisted of zero pesticide application or control (P0), herbicide paraquat application in soil tillaging (P1), and fenobucarb insecticide application in every week (P2), fenobucarb insecticide application every two weeks (P3), difenoconazole fungicide application every week (P4), and difenoconazole fungicide application every two weeks (P5). Moreover, in wet season, the treatments consisted of split plot design with three repetitions. Primary plot factor is water management factor (A) which consisted of: zero water management (control, A0), Saturated (A1), and intermitten (A2). Furthermore, plot factor are pesticide treatments as follow: zero pesticide or control (P0), paraquat herbicide application in soil tillaging (P1), fenobucarb insecticide application every week (P2), fenobucarb insecticide application every two weeks (P3), difenoconazole fungicide application every week (P4), and difenoconazole fungicide application every two weeks (P5).

Results show that the factors treated with pesticide have lower CO2 flux than control. P2 treatment produce best result with lowest flux of CO2 in both seasons. In dry season, the average flux decrease of CO2 are 37.7% for P2, 33.1% for P4, 14% for P3, and 14% for P5, while P1 does not differ significantly from control (A0). In wet season, the decrease in CO2 flux are 39.8% for P2, 29.2% for P4, 18.9% for P3, 16.9% for P5, and 10.5% for P1. Furthermore, the intermittent water treatment (A2) has CO2 flux value of 36%, lower than saturated treatment (A1) and control (A0).

(6)

It is reported that pesticide application can also decrease soil’s fertility and soil’s biological processes. However, results show that pesticide usage and water management in both planting periods do not impact badly on soil’s nutrient. All treatments, including control treatment, produce similar patterns as follow: soil’s pH, K, and Fe are increasing while C-organic, N, and P are decreasing. The same patterns are also found from the water management treatment effects on soil’s nutrient.

Observation results toward insects show that pesticide and water management treatement do not decrease insect’s population. 16 insect species were found, all belong into 7 orders, such as: Coleoptera, Hymenoptera, Hemiptera, Orthoptera, Diptera, Odonata and Lipedoptera. Three orders of them (37.5%) are classified as pests: Hemiptera, Orthoptera and Lepidoptera. The remaining orders are classified as their natural enemies, categorized as predator (37.5%) and parasitoid (25%). However, results are show that pesticide treatment decrease the fungi population on both planting seasons. Fungi reduction from each treatments in dry season are determined are as follows: P4 99.8%, P5 98.8%, P2 98%, P3 97% and P1 89%. In dry season, the fungi reduction are as follows: P4 99%, P5 97.5%, P2 95.5%, P3 94%, and P1 86%. The different condition was shown by bacteria population on pesticide treatment. In dry season, the population reduction are 84%, 73%, 81%, 62%, and 34% for P1, P2, P3, P5, and P4, respectively. In wet season, the bacteria population increases drastically as much as 2,000%, 1,100%, 1,005%, 500%, and 170% for P5, P1, P4, P2, and P3 respectively. A0 water treatment reduced fungi population as much as 99.8%, A2 96%, and A1 treatment only reduced 11% of the fungi population. The bacteria population increased on all treatments, except on A2.

Based on farming feasibility analysis and sustainability index, it is determined that the evaluated cultivation system is feasible to be applied on farmer’s level for its profitability with R/C ratio of 1.5. The applied cultivation system is sustainable enough (score value > 50) based on the criteria of each dimension. The economic dimension has economical sustainability value of 53.13, economical value of 69.49, and social dimension of 61.79.

Using correct application and based on recomended amount, supported by good water management, pesticide will not contribute significantly in CO2 and CH4 emission. Furthermore, it does not decrease the environmental quality in peatland-based rice field.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA DAN PENGELOLAAN

AIR TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN DAN EMISI

KARBON DI LAHAN GAMBUT YANG DISAWAHKAN

MAULIA ARIES SUSANTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi:

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si 2. Dr. Ir. Sugiyanta, M.Si

Penguji pada Sidang Promosi Terbuka:

(10)

Judul Disertasi

: Dampak Penggunaan Pestisida dan Pengelolaan Air terhadap Kualitas Lingkungan dan Emisi Karbon di Lahan Gambut yang Disawahkan

Nama : Maulia Aries Susanti NRP. : P062100241

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Ketua

Dr.Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Dadang, M.Sc. Anggota Anggota

Prof(R).Dr.Ir. Irsal Las, APU Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul ”Dampak penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap kualitas lingkungan dan emisi karbon di lahan gambut yang disawahkan” di bawah bimbingan dan arahan komisi pembimbing, telah dapat penulis selesaikan.

Kebutuhan akan pangan khususnya beras yang semakin tinggi memacu pemanfaatan lahan-lahan sub optimal seperti lahan gambut untuk menjadi area produksi beras. Emisi gas rumah kaca dan pencemaran lingkungan pertanian menjadi konsekuensi yang menyertai pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian padi. Namun kandungan bahan organik lahan gambut yang sangat tinggi, memungkinkan terbentuknya mekanisme yang menghambat emisi GRK dan penurunan kualitas lahan akibat kegiatan pertanian padi. Kondisi ini menginspirasi penulis melakukan penelitian untuk menganalisa pengaruh penggunaan pestisida dan pengelolaan air di lahan gambut terhadap emisi CO2 dan CH4, serta terhadap kualitas lingkungan pertanian.

Atas tersusunnya disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. (Ketua Komisi Pembimbing), Dr. Ir.

Syaiful Anwar, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc. dan Prof(R). Dr. Ir. Irsal Las, APU (Anggota Komisi Pembimbing) atas curahan waktu dan fikirannya dalam memberikan arahan dan bimbingan serta motivasi yang sangat berharga sejak penyusunan proposal, kegiatan penelitian hingga penyusunan disertasi ini.

2. Rektor dan Pimpinan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor beserta staf seluruh staff atas layanan administrasi yang baik. 3. Dr. Ir. Sugiyanta, M.Si, Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si dan Dr. Ir. Edi Husen, M.Sc. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan sidang promosi terbuka atas saran dan masukannya.

4. Kepala Badan Litbang Pertanian dan Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian atas beasiswa dan izin yang memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di IPB.

5. Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA) atas izin bagi penulis untuk melanjutkan studi serta dukungan dana penelitian, Rekan-Rekan Peneliti, Teknisi lapang dan laboratorium, Tata Usaha beserta Staff atas dukungan selama penulis menempuh studi di IPB.

6. Kepala Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dan Kepala Laboratorium Residu Bahan Agrokimia beserta staff, atas bantuan dan diskusi selama penulis melaksanakan penelitian dan menyelesaikan studi.

7. Bapak dan Ibu Supani beserta keluarga yang telah mengijinkan penulis menggunakan lahan sawahnya sebagai lokasi penelitian. Juga atas dukungan tenaga dan pengalaman selama pelaksanaan penelitian, serta keramahan dan suasana kekeluargaan yang sangat membantu penulis selama pelaksanaan penelitian.

(12)

9. Rekan-rekan seperjuangan PSL angkatan 2010, terimakasih atas persahabatan dan motivasi serta semangat kebersamaannya.

10. Terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Orang Tua, putra dan adik-adik tercinta atas dukungan serta doa dan kesabaran selama penulis menyelesaikan tugas belajar.

Semoga segala bantuan dan sumbangan pemikiran yang telah diberikan dalam disertasi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan pembangunan, serta memperoleh imbalan yang terbaik disisi Allah SWT. Amin Yaa Robbal ‘aalamiin.

Bogor, Agustus 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xviii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Kerangka Pemikiran 3

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Hipotesis 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

Kebaruan(Novelty) 7

2 TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut

Proses Pembentukan Gambut 9

Pengelompokkan Gambut 9

Karakteristik Fisik Gambut 10

Karakteristik Kimia Gambut 10

Hidrologi Lahan Gambut 11

Model Pengelolaan Air di Lahan Gambut 12 Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Gambut

Karbon Dioksida (CO2) 14

Metana (CH4) 15

Pestisida

Pengertian dan Jenis Pestisida 16

Transfer, Degradasi dan Persistensi Pestisida di Tanah 17 Interaksi Pestisida dengan Bahan Organik Tanah 18

3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20

4 PENGARUH PESTISIDA (Paraquat, Fenobucarb, Difenoconazole) DAN PENGELOLAAN AIR TERHADAP EMISI CO2, CH4 DAN ASAM-ASAM FENOLAT PADA PERTANAMAN PADI DI LAHAN GAMBUT

Latar Belakang 24

Tujuan 25

Metodologi Penelitian 25

Hasil dan Pembahasan 31

(14)

5 PENGARUH PESTISIDA (Paraquat, Fenobucarb, Difenoconazole) DAN PENGELOLAAN AIR TERHADAP KUALITAS

LINGKUNGAN

Latar Belakang 48

Tujuan 49

Metodologi Penelitian 49

Hasil dan Pembahasan 51

Simpulan 63

6 KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN STATUS

KEBERLANJUTAN USAHATANI PADI DI LAHAN GAMBUT

Latar Belakang 64

Tujuan 65

Metodologi Penelitian 65

Hasil dan Pembahasan 69

Simpulan 79

7 PEMBAHASAN UMUM 80

8 SIMPULAN DAN SARAN 82

DAFTAR PUSTAKA 84

(15)

DAFTAR TABEL

2.1 Jenis-jenis pestisida serta fungsi dan kegunaannya 17 3.1 Hasil analisa tanah lahan gambut di desa Kanamit Jaya, Kec.

Maliku. Kab. Pulang Pisau Kalimantan Tengah

22 3.2 Hasil analisa tanah awal terhadap residu pestisida 23 4.1 Fluks CO2 pada periode pengamatan di musim kemarau 2012 34 4.2 Rata-rata fluks CO2 pada pertanaman padi di lahan gambut pada

musim kemarau 2012

35 4.3 Fluks CO2 pada periode pengamatan di musim hujan 2012/2013 39 4.4 Rata-rata fluks CO2 pada pertanaman padi di lahan gambut pada

musim hujan 2012/2013

40 4.5 Fluks CO2 terhadap perngelolaan air di musim hujan 2012/2013 44 4.6. Interaksi antara perlakuan pestisida dan pengelolaan air terhadap

fluks CO2 pada periode pengamatan di musim hujan 2012/2013

46 4.7 Interaksi antara perlakuan pestisida dan pengelolaan air terhadap

fluks CO2 pada periode pengamatan di musim hujan 2012/2013

47 5.1 Sifat kimia tanah pada perlakuan pestisida di musim kemarau

2012

51 5.2 Sifat kimia tanah pada perlakuan pestisida di musim hujan

2012/2013

52 5.3 Sifat kimia tanah pada perlakuan pengelolaan air di musim hujan

2012/2013

52 5.4 Bahan aktif pestisida di tanah dan air terhadap perlakuan pestisida

di lahan gambut pada musim kemarau 2012

53 5.5 Bahan aktif pestisida di tanah dan air terhadap perlakuan pestisida

di lahan gambut pada musim hujan 2012/2013

54 5.6 Residu pestisida di tanah dan air terhadap perlakuan pengelolaan

air di lahan gambut pada musim hujan 2012/2013

56 5.7 Jenis dan jumlah serangga tertangkap pada pertanaman padi di

lahan gambut pada musim kemarau 2012.

58 5.8 Jenis dan jumlah serangga tertangkap pada pertanaman padi di

lahan gambut pada musim hujan 2012/2013.

59 6.1 Nilai indeks dan kategori keberlanjutan 68 6.2. Pertumbuhan tanaman dan komponen hasil padi terhadap

perlakuan pestisida pada MK 2012

70 6.3 Pertumbuhan tanaman dan komponen hasil padi terhadap

perlakuan pestisida pada MH 2012/2013

70 6.4 Pertumbuhan tanaman dan komponen hasil padi terhadap

perlakuan pengelolaan air pada MH 2012/2013

(16)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pemikiran penelitian 5

2.1 Hubungan bentuk lahan dengan keempat tipe luapan 12

2.2 Denah sistem aliran satu arah 13

2.3 Pintu otomatis pada saluran srainase tersier dalam sistem aliran satu arah

13

3.1 Peta lokasi penelitian 20

3.2 Lahan sawah petani yang digunakan sebagai lahan penelitian (a) dan pintu air pada tata air makro di lokasi penelitian (b)

20 3.3 Ketebalan gambut (a) dan kedalaman pirit (b) 21 4.1 Pembuatan petak (a) dan petak-petak penelitian siap ditanam (b) 26 4.2. Persemaian (a) dan kegiatan penanaman bibit (b) 26

4.3 Rumus bangun Paraquat (1,1’-dimethyl-4,4’bipyridinium) (a), difenoconazole (1,3-dioxolan-2-yl]phenyl 4-chlorophenyl ether) (b) dan fenobucarb (2-sec-butylphenyl methylcarbamate) (c)

27

4.4 Ilustrasi perlakuan pengelolaan air 28

4.5 Bendungan (a) dibuat untuk mempertahankan ketinggian muka air saluran dan pintu air dipasang pada tiap saluran antar petakan, pintu akan ditutup (a) dan dibuka (b) pada saat memasukkan dan mengeluarkan air.

28

4.6 Sungkup yang digunakan untuk mengukur fluks di tanah dan tanaman (a) dan fluks di tanah (b)

29

4.7 Pengambilan sampel gas 29

4.8 Sampel gas pada syringe (a) dan Micro GC CP 4900 (b) 30 4.9 Tinggi muka air tanah (cm) pada musim kemarau 2012 32 4.10 Air pasang saluran primer < 50 cm hanya mampu membasahi

lahan melalui rembesan.

32 4.11 Flux CO2 pada hasil pengukuran di tanah serta tanah dan tanaman

pada musim kemarau 2012

33 4.12 Asam-asam fenolat yang terbentuk pada musim kemarau 2012 36 4.13 Asam-asam fenolat pada perlakuan pestisida per-periode

pengamatan pada musim kemarau 2012

36 4.14 Fluks CH4 terhadap perlakuan pestisida dan pengelolaan air di

lahan gambut pada MH 2012/2013

37 4.15 Tinggi muka air tanah pada musim hujan 2012/2013 37 4.16 Air pasang mampu menggenangi lahan pada ketinggian air saluran

primer 100 cm

38 4.17 Fluks CO2 berdasarkan letak pengambilan sampel pada musim

hujan 2012/2013

39 4.18 Asam-asam fenolat yang terbentuk pada musim hujan 2012/2013 41 4.19 Asam-asam fenolat pada perlakuan pestisida per-periode

pengamatan pada musim hujan 2012/2013

42 4.20 Ilustrasi bentuk ikatan antara bahan organik dengan herbisida

diquat dan paraquat

43 4.21 Ilustrasi bentuk ikatan antara bahan organik dengan herbisida

melalui mekanisme ikatan hidrogen

(17)

4.22 Tinggi muka air tanah pada kontrol (A0), pengelolaan air macak-macak (A1) dan pengelolaan air intermitten (A2) pada musim hujan 2012/2013

45

5.1 Alat dan bahan untuk isolasi mikroba (a), koloni mikroba pada media PDA (b) dan koloni mikroba pada media NA (c)

51 5.2 Persentase ordo serangga yang ditemukan pada pertanaman padi

di lahan gambut pada musim kemarau 2012 dan musim hujan 2012/2013

58

5.3 Persentase golongan serangga berdasarkan fungsinya di alam yang ditemukan pada pertanaman padi di lahan gambut pada musim kemarau 2012 dan musim hujan 2012/2013

58

5.4 Pengaruh perlakuan pestisida terhadap populasi fungi dan bakteri di lahan gambut pada musim kemarau 2012

60 5.5 Pengaruh perlakuan pestisida terhadap populasi fungi dan bakteri

di lahan gambut pada musim hujan 2012/2013

61 5.6 Pengaruh perlakuan air terhadap populasi fungi dan bakteri di

lahan gambut pada musim hujan 2012/2013

62 6.1 Status dan Nilai indeks Keberlanjutan dimensi Ekologi 72 6.2 Leverage analisis dimensi ekologi untuk menunjukkan atribut

yang sensitive yang ditunjukkan dengan nilai Root Mean Square

(RMS)

72

6.3 Status dan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi 73 6.4 Leverage analisis untuk dimensi ekonomi yang menunjukkan

atribut yang sensitive yang ditunjukkan dengan nilai Root Mean Square (RMS)

74

6.5 Status dan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial 75 6.6 Leverage analisis untuk dimensi sosial yang menunjukkan atribut

yang sensitive yang ditunjukkan dengan nilai Root Mean Square

(RMS)

75

6.7 Diagram layang-layang untuk status keberlanjutan usahatani padi di lahan gambut

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Fluks CO2 hasil pengukuran di tanah di lahan gambut pada musim kemarau 2012

93 2 Fluks CO2 hasil pengukuran di tanah dan tanaman di lahan

gambut pada musim kemarau 2012

93 3 Fluks CO2 hasil pengukuran di tanah di lahan gambut pada musim

hujan 2012/2013

94 4 Fluks CO2 hasil pengukuran di tanah dan tanaman di lahan gambut

pada musim hujan 2012/2013

94 5 Fluks CH4 hasil pengukuran di tanah di lahan gambut pada musim

hujan 2012/2013

95 6 Fluks CH4 hasil pengukuran di tanah dan tanaman di lahan gambut

pada musim hujan 2012/2013

95 7 Jenis dan konsentrasi asam-asam fenolat yang terbentuk di musim

kemarau 2012

96 8 Jenis dan konsentrasi asam-asam fenolat yang terbentuk di musim

hujan 2012/2013

97 9 Populasi fungi dan bakteri pada pengamatan musim kemarau 2012

dan musim hujan 2012/2013

98 10 Atribut setiap dimensi keberlanjutan dan deskripsi terhadap nilai

skor

99

(19)

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian khususnya tanaman pangan menjadi pilihan yang tak terhindarkan. Luas total lahan gambut di tiga pulau utama, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua adalah 14,905,574 hektar (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) 2011). Wahyunto et al. (2004) melaporkan sekitar 672,723 hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah layak dikembangkan untuk pertanian. Pengembangan lahan gambut untuk tanaman pangan dan hortikultura diarahkan pada lahan gambut dangkal (< 100 cm) dan untuk tanaman tahunan dapat diusahakan pada gambut dengan ketebalan 2 – 3 m (Sabiham et al. 2008). Secara ekonomi lahan gambut berperan penting karena berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian padi sawah. Selain itu semakin bertambah luasnya lahan gambut yang ditinggalkan tanpa reklamasi, menambah kuat pemilihan lahan gambut untuk dimanfaatkan sebagai areal pertanian.

Pertanian padi di lahan gambut menghadapi berbagai kendala di antaranya gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Serangan OPT dapat mengakibatkan penurunan dan kehilangan hasil 40 – 55 persen, bahkan bisa terancam gagal. Pengendalian OPT dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan menggunakan varietas unggul tahan hama penyakit, cara mekanis, cara biologi, cara kimiawi dan sistem budidaya yang baik. Kenyataan yang dijumpai cara kimiawi (pestisida) masih menjadi pilihan utama para pelaku pertanian karena dianggap paling praktis dan ekonomis (Sudarmo 1991). Demikian juga halnya dengan kebiasaan petani padi lahan gambut yang masih tergantung pada pestisida untuk mengatasi masalah gangguan hama, penyakit dan gulma. Perkembangan perkebunan di lahan gambut juga semakin pesat dan salah satu kendala adalah pertumbuhan gulma yang cepat. Petani-petani perkebunan sangat tergantung pada herbisida untuk mengatasi masalah gulma di perkebunan mereka. Penggunaan pestisida selain memberikan nilai positif tetapi juga memberikan dampak negatif terutama akibat penggunaan yang tidak bijaksana. Dalam aplikasinya di lahan pertanian, kurang lebih hanya 20% yang mengenai sasaran sedangkan 80% lainnya jatuh ke tanah (Sa’id 1994). Residu pestisida yang jatuh ke tanah dapat mencemari lahan pertanian, perairan, biota lainnya, produk pertanian serta dapat meracuni manusia (Pohan 2004).

(20)

karbondioksida (CO2), sedangkan penggenangan lahan mengakibatkan terbentuknya emisi metana (CH4) (Turetsky dan Louis 2006).

Besarnya emisi karbon di lahan gambut juga dipengaruhi oleh kandungan asam-asam organik yang tinggi. Stevenson (1994) mengemukakan bahwa dari proses degradasi lignin oleh mikroorganisme dapat dihasilkan asam-asam fenolat dan aldehida fenolat. Beberapa jenis asam fenolat yang merupakan hasil dari proses disintegrasi lignin adalah asam p-kumarat, asam p-hidroksibenzoat, asam fenilasetat, asam klorogenat, asam o-hidroksifenilasetat, asam 4-fenilbutarat, asam p-hidroksifenil-propionat, asam 3,4-dihdroksifenil-propionat, asam vanilat, asam ferulat, asam salisilat, asam galat, asam sinapat, asam gentisat, asam kafeat, asam prokatekuat dan asam syringat. Sabiham (1997). Mario dan Sabiham (2002) melaporkan ada enam derivat asam-asam fenolat yang dominan dan sangat penting ditemukan di lahan gambut Jambi dan Kalimantan Tengah, yaitu asam ferulat, sinapat, p-kumarat, vanilat, siringat dan asam p-hidroksibenzoat. Asam-asam itu bersifat racun dan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Selain itu asam-asam organik ini juga menjadi sumber utama pelepasan karbon, terkait tingginya konsentrasi dari golongan karboksil (-COOH) dan metoksil (-OCH3). COOH akan terurai secara sempurna menjadi CO2 dan CH4 melalui peristiwa oksidasi reduksi (Van der Gon dan Neue 1995).

Kondisi lainnya yang dipengaruhi oleh kegiatan pengelolaan air di lahan gambut yang disawahkan adalah pencucian residu pestisida ke saluran pengairan dan selanjutnya ke perairan bebas. Pestisida yang tidak mengenai sasaran dan jatuh ke tanah, akan tercuci bersama aliran air dari sawah ke perairan. Kondisi air yang tergenang, macak-macak, atau kering akan mempengaruhi besarnya residu pestisida yang tercuci ke perairan. Bahan organik tanah memiliki kelompok gugus fungsional kimia (seperti hidroksil, karboksil, fenolik dan amina) yang dapat berinteraksi dengan pestisida (Young et al. 1992). Sebagian besar molekul pestisida adalah non-ionik, non-polar dan umumnya hidropobik, bahan organik menyediakan bagian penting untuk penyerapan pestisida (Harrad 1996). Menurut Stevenson (1994) pestisida atau produk dekomposisinya dapat membentuk hubungan kimia yang stabil dengan bahan organik. Melalui mekanisme tersebut reaksi penguraian asam-asam organik menjadi CO2 dan CH4 dapat terhambat. Maka diharapkan penggunaan pestisida di lahan gambut tidak memberikan pengaruh negatif seperti di lahan mineral. Lahan gambut dengan asam-asam organiknya dapat menghalangi pencemaran tanah dan air oleh residu pestisida. Selanjutnya pestisida dapat berkontribusi positif terhadap penekanan emisi karbon di lahan gambut melalui mekanisme ikatan komplek dengan asam-asam organik.

(21)

Kerangka Pemikiran

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 253,609,643 orang. Dengan laju pertumbuhan pertahunnya 1.5 persen atau sekitar 3 (tiga) juta jiwa lebih. Maka perlu diimbangi dengan mengembangkan sektor pertanian guna menyediakan pangan yang cukup. Apabila asumsi kebutuhan pangan setiap jiwa 139.15 kg per kapita per-tahun, maka dibutuhkan pangan sebanyak kurang lebih 35 juta ton pertahunnya. Sementara itu lahan pertanian potensial di Pulau Jawa semakin sempit akibat laju pembangunan, menyebabkan penyediaan pangan pada masa mendatang tidak dapat lagi bertumpu di Pulau Jawa. BBSDLP (2011) melaporkan luas lahan sawah yang terkonversi ke penggunaan non pertanian mencapai 30,000 – 40,000 hektar pertahun. Dalam jangka panjang sangat dikhawatirkan bahwa produksi padi diperkirakan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional. Disisi lain cadangan lahan nasional sebagian besar adalah lahan sub optimal. Maka pembangunan pertanian harus memberikan perhatian yang lebih besar kepada lahan-lahan sub optimal.

Salah satu lahan sub optimal dengan potensi besar untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian adalah lahan gambut. Secara ekonomi lahan gambut layak untuk dikembangkan sebagai pertanian tanaman pangan. Lahan yang luas, ketersediaan air yang melimpah dan dukungan teknologi yang cukup, merupakan potensi untuk pengembangan pertanian tanaman pangan di lahan gambut. Namun pembangunan pertanian tanaman pangan di lahan gambut bukan tanpa kendala. Sifat lahan gambut yang ringkih atau mudah rusak, drainase yang buruk serta potensi terlepasnya emisi GRK ke atmosfer harus menjadi perhatian utama dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian.

Penggunaan pestisida dan pengelolaan air menjadi upaya penting untuk dilakukan agar mencapai hasil panen yang tinggi. Selain itu, pestisida dan pengelolaan air di lahan gambut juga dapat menjadi sarana untuk menurunkan potensi pelepasan emisi GRK. Kandungan bahan organik yang sangat tinggi pada lahan gambut akan mengikat kuat pestisida. Penyerapan pestisida oleh bahan organik tanah dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, dua atau lebih mekanisme dapat terjadi secara simultan tergantung dari sifat pestisida dan permukaan bahan organik (Stevenson 1994). Mekanisme-mekanisme yang banyak terlibat dalam penyerapan pestisida pada permukaan bahan organik adalah; ikatan

Van der Waals, ikatan hidrogen, transfer muatan, pertukaran ion, dan pertukaran ligan (Khan 1978). Melalui mekanisme-mekanisme tersebut di atas diharapkan pestisida dapat menjadi “jembatan” dengan cara menghubungkan molekul asam organik bebas menjadi struktur rantai. Kondisi ini membuat material gambut menjadi stabil, sehingga proses pembentukan CO2 dan CH4 akibat penguraian asam organik dapat dihambat dan mampu menurunkan emisi karbon.

(22)

yang kondusif bagi penguraian pestisida secara biotik (mikroba) maupun abiotik (hidrolisis, photolisis) (Roger et al. 1994).

Kerangka pemikiran penelitian ini disusun berdasarkan keterkaitan elemen-elemen pendukung, berupa kondisi eksisting, potensi, permasalahan dan rencana pengembangan. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Perumusan Masalah

Sesuai hasil konvensi perubahan iklim dan COP 15 di Kopenhagen, pemerintah Indonesia telah sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen pada tahun 2020. Untuk mencapai angka tersebut maka berbagai upaya harus dilakukan termasuk mengurangi laju emisi dari lahan gambut, di antaranya dengan upaya mengurangi laju dekomposisi bahan organik dari lahan gambut akibat kegiatan pertanian. Dekomposisi terjadi bila rantai karbon yang panjang mengalami degradasi menjadi senyawa dengan rantai karbon lebih pendek. Pestisida sebagai salah satu input pertanian memiliki potensi untuk digunakan sebagai penghubung untuk membentuk polimerisasi asam organik. Stevenson (1994) mengemukakan dua mekanisme untuk proses pembentukan ikatan kimia yang stabil antara pestisida dengan bahan organik, yaitu: (1) residu pestisida dapat langsung berikatan pada bagian reaktif dari permukaan koloid organik oleh ikatan kimia, dan (2) selama proses humifikasi residu pestisida dapat dimasukkan ke dalam struktur asam humat dan asam fulfat yang baru terbentuk.

Melalui mekanisme-mekanisme tersebut, maka diharapkan penggunaan pestisida di lahan gambut tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Selain itu, emisi karbon (CO2 dan CH4) yang terbentuk dari penguraian asam-asam organik juga dapat ditekan. Hal ini dimungkinkan karena ikatan kimia yang terjadi antara asam organik dan pestisida membentuk ikatan polimer yang tidak mudah terurai. Selain itu pengelolaan air di lahan gambut juga dapat mempengaruhi besaran emisi karbon yang diemisikan ke atmosfir. Agus et al. (2010) melaporkan bahwa pengelolaan air akan mempengaruhi perubahan tinggi muka air tanah dan juga kandungan air tanah, selanjutnya akan mempengaruhi emisi CO2.

(23)

Gambar 1.1. Kerangka pemikiran penelitian

Kebutuhan lahan untuk budidaya pertanian Review: • Peningkatan jumlah

penduduk

Lahan Gambut Pertanian Lahan Gambut • Pengendalian HPT

(Pestisida) • Penurunan kualitas

tanah & air • Pengukuran emisi

(24)

Tujuan Penelitian

Perkembangan pertanian di lahan gambut yang semakin pesat serta penggunaan pestisida yang semakin tinggi oleh para petani di lahan gambut, menghasilkan berbagai pertanyaan mengenai pengaruh pestisida terhadap kualitas lingkungan dan emisi GRK di lahan gambut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk mempelajari dan memberi informasi atas penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap emisi CO2 dan CH4. Secara spesifik penelitian ini bertujuan:

1. Mempelajari pengaruh penggunaan pestisida serta pengelolaan air terhadap emisi CO2 dan CH4 di lahan gambut yang disawahkan.

2. Mempelajari pengaruh penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap kualitas tanah dan air serta organisme di lahan gambut yang disawahkan. 3. Mempelajari pengaruh penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap

produksi tanaman padi dan kelayakan usahatani serta keberlanjutannya di lahan gambut yang disawahkan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi pembanding dan melengkapi informasi-informasi yang telah dipublikasikan sebelumnya dan juga dapat menjadi suatu masukan teknologi pengelolaan lahan gambut yang dapat menjaga kualitas tanah dan air di lahan gambut yang disawahkan. Juga diharapkan, teknologi yang dihasilkan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi dan menjaga keberlanjutan produktivitas lahan serta dapat menekan emisi gas rumah kaca.

Hipotesis

Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Penggunaan pestisida dan pengelolan air dapat menekan emisi CO2 dan CH4 melalui mekanisme pengikatan antara pestisida dan asam organik di lahan gambut yang disawahkan.

2. Penggunaan pestisida dan pengelolan air tidak menurunkan kualitas tanah dan air di lahan gambut.

3. Penggunaan pestisida dan pengelolaan air dapat mempertahankan produksi tanaman padi dan kelestarian lahan gambut.

Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran seperti pada Gambar 1, maka disusun serangkaian kegiatan sebagai berikut:

1. Judul : Pengaruh pestisida (paraquat, fenobucar, difenoconazole) dan pengelolaan air terhadap emisi CO2 dan CH4 pada pertanaman padi di lahan gambut.

(25)

2. Judul : Pengaruh pestisida (paraquat, fenobucar, difenoconazole) dan pengelolaan air terhadap kualitas lingkungan.

Tujuan : Mempelajari pengaruh penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap kualitas tanah dan air serta organisme di lahan gambut yang disawahkan.

3. Judul : Kondisi sosial ekonomi dan status keberlanjutan usahatani padi di lahan gambut

Tujuan : Mempelajari pengaruh penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap produksi tanaman padi dan kelayakan usahatani serta keberlanjutannya di lahan gambut yang disawahkan.

Kebaruan Penelitian(Novelty)

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah pengaruh pestisida dan pengelolaan air terhadap emisi GRK, antara lain; penelitian Bartha et al. (1967) tentang “Stability and Effects of Some Pesticides in Soil”, bertujuan untuk mempelajari pengaruh 29 jenis pestisida terhadap produksi CO2 dan nitrifikasi oleh mikroorganisme tanah. Penelitian dilaksanakan di laboratorium dengan media tanah lempung berpasir. Hasil penelitian diketahui bahwa pestisida yang dapat secara mikrobiologis terdegradasi akan meningkatkan produksi CO2, sedangkan pestisida yang sangat toksik akan menekan produksi CO2.

Penelitian yang dilakukan oleh Kumaraswamy et al. (1998) berjudul "Influence of the Insecticide Carbofuran on the Production and Oxidation of Methane in Flooded Rice Soil” bertujuan untuk mempelajari pengaruh insektisida karbofuran terhadap produksi dan emisi metan. Penelitian dilakukan di laboratorium dan pertanaman padi sawah. Pada penelitian lapang diketahui bahwa aplikasi 2 dan 12 kg bahan aktif karbofuran per-hektar menurunkan emisi metan pada lahan sawah tergenang. Pada penelitian laboratorium dilaporkan pada 5 dan 10 mg bahan aktif karbofuran per-kg tanah dapat menghambat produksi metan.

Penelitian Kinney et al. (2003) tentang “Effects of the Herbicides Prosulfuron and mMetolachlor on Fluxes of CO2, N2O, and CH4 in a Fertilized

Colorado Grassland Soil” bertujuan mempelajari pengaruh herbisida prosulfuron dan metolachlor yang umum digunakan terhadap fluks CO2, N2O, dan CH4 dari tanah yang diberi pupuk. Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan lahan pertanian dengan tanah mineral. Hasil penelitian menyebutkan bahwa penelitan lapang menunjukkan herbisida prosulfuron meningkatkan emisi N2O dan konsumsi CH4.

Penelitian lainnya mengenai dampak dari penggunaan agrokimia terhadap emisi GRK dilakukan oleh Setyanto dan Burhan (2009) tentang “The Effect of Water Regime and Soil Management on Methane Emission from Rice Field”,

(26)

hasil emisi terendah dibandingkan olah tanah maksimum dan tanpa olah tanah yang diberi 3 kg paraquat ha-1.

Penelitian Poniman et al. (2011) berjudul “Reduksi Produksi dan Emisi Metana di Lahan Sawah Melalui Pemanfaatan Biochar Limbah Pertanian dan Pemberian Beberapa Jenis Pestisida”, bertujuan untuk mengetahui pengaruh biochar dan pestisida terhadap emisi CH4. Penelitian dilaksanakan di labortorium dan rumah kaca pada tanah mineral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa herbisida paraquat dan bioinsektisida azadirakhtin efektif menekan emisi metana. Pada percobaan inkubasi, insektisida deltametrin mampu menekan emisi CH4 sebesar 98.84% dibandingkan tanpa pestisida, berturut-turut diikuti bioinsektisida azadiractin, insektisida klorfirifos dan herbisida paraquat masing-masing sebesar 95.51%, 95.04% dan 93.97%.

Berdasarkan uraian dari hasil-hasil penelitian tersebut di atas, maka perbedaan mendasar yang sekaligus merupakan kebaruan (novelty) dari penelitian ini dapat ditinjau dari beberapa aspek, sebagai berikut:

1. Penelitian-penelitian sebelumnya dilaksanakan di laboratorium, rumah kaca dan lahan pertanaman padi dengan media tanah mineral, sedangkan penelitian ini dilaksanakan di lapangan pada lahan gambut yang disawahkan.

2. Penelitian-penelitian sebelumnya membahas penurunan emisi GRK (CO2, N2O, dan CH4) oleh pestisida melalui mekanisme penekanan terhadap aktifitas mikroorganisme tanah, sedangkan penelitian ini mempelajari penurunan emisi CO2 dan CH4 melalui mekanisme pengikatan pestisida oleh asam-asam organik.

(27)

2. TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut Proses Pembentukan Gambut

Lahan gambut di Indonesia terjadi karena adanya proses sedimentasi dan progradasi yang menyebabkan garis pantai cenderung bertambah ke arah laut. Daerah-daerah ini kemudian ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan mengisi cekungan-cekungan tersebut. Di daerah pantai dan dataran rendah (cekungan), mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tingginya permukaan air sungai. Proses selanjutnya terjadi peningkatan penumpukan serasah tanaman sehingga menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome) (Sabiham 2006).

Selanjutnya Sarwono (2003) melaporkan bahwa proses pembentukan gambut terjadi melalui dua tahapan. Tahapan pertama, merupakan proses akumulasi bahan organik (menghasilkan bahan induk) yang dikenal dengan proses geogenesis. Tahapan kedua, merupakan proses pematangan gambut yang terjadi pada awal reklamasi atau pengeringan tanah gambut dikenal dengan proses pedogenesis. Proses ini meliputi: (a) proses pematangan fisik, yaitu pematangan disebabkan oleh dehidratasi akibat pengeringan (drainase dan evaporasi); (b) proses pematangan kimia, terjadi karena bahan gambut kehilangan kelembapan dan masuknya udara ke dalam pori-porinya; (c) proses pematangan biologi, terjadi akibat pencampuran bahan gambut oleh mikrofauna, yang menghasilkan atau moder yaitu gambut yang kadar bahan organiknya tinggi dan kandungan liatnya rendah. Pembentukan mull terjadi pada tanah gambut yang mengandung liat dan pH tinggi sampai sedang. Sedangkan pembentukkan moder terjadi pada lapisan atas (top soil) tanpa dan atau dengan kadar liat yang rendah.

Pengelompokan Gambut

Berdasarkan tingkat kematangan atau kandungan serat, tanah gambut dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu; (1) Fibrik: apabila bahan vegetasi aslinya masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami dekomposisi. Gambut jenis ini memiliki kandungan serat lebih dari 3/4 bagian volume tanah (terdekomposisi < 33%); (2) Hemik: apabila tingkat dekomposisinya sedang, yaitu memiliki kandungan serat antara fibrik dan saprik (terdekomposisi 33 – 66%); dan (3) Saprik: apabila tingkat dekomposisinya telah lanjut, yaitu kandungan seratnya kurang dari 1/6 bagian dari volume tanah (terdekomposisi > 66%) (Soil Survey Staff, 2010).

Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni; (1) Eutrofik (kandungan mineral tinggi); (2) Oligotrofik (miskin unsur hara atau kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi masam); dan (3) Mesotrofik (terletak di antara keduanya, kandungan basa sedang) (Andriesse 1988).

(28)

sangat tebal: memiliki ketebalan lapisan gambut lebih dari 300 cm (Widjaja-Adhi 1988; Subagyo etal. 1996).

Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya, gambut dapat dikelompokan menjadi dua jenis yaitu: (1) Gambut ombrogen adalah gambut yang airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kandungan mineralnya adalah asli (inherent) dari tumbuhannya itu sendiri; dan (2) Gambut topogen adalah gambut yang airnya berasal dari air aliran permukaan. Jenis gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh elemen yang terbawa oleh air permukaan. Gambut topogen lebih subur digunakan untuk budi daya tanaman dibandingkan dengan gambut ombrogen, karena gambut topogen relatif mengandung lebih banyak unsur hara (Driessen dan Soepraptohardjo 1974).

Karakteristik Fisik Gambut

Lahan gambut memiliki variabilitas yang sangat tinggi dari segi ketebalan, kematangan maupun kesuburannya. karena berbagai kendala fisik dan kimia tidak semua lahan gambut layak untuk pertanian. Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying) (Najiyati et al. 2005). Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300 persen dari berat keringnya . Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya (Mutalib et al. 1991). Karena tingginya kadar air, maka secara fisik tanah gambut menjadi lembek dan dayanya menahan beban (bearing capasity) menjadi rendah serta berat volume (BD)-nya rendah (Widjaja-Adhi 1995). Rendahnya daya menahan atau menyangga beban (bearing capasity) lahan gambut menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh.

Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik (irriversible drying). Gambut yang telah mengering, dengan kadar air < 100 persen (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi walaupun dibasahi (hidrofobik) (Widjaja-Adhi 1988).

Karakteristik Kimia Gambut

(29)

sekitar Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan memiliki kisaran pH H2O yang lebih tinggi yaitu antara 4.1 sampai 4.3 (Hartatik et al. 2004).

Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah. Kandungan kation basa-basa seperti Ca, Mg, K, dan Na umumnya sangat rendah (Driessen dan Soepraptohardjo 1974). Selain itu lahan gambut juga mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun. Asam organik yang bersifat racun bagi tanaman adalah dari golongan asam fenolat, seperti asam hidroxybenzoat, asam vanilat, asam siringat, asam p-kumarat, dan asam ferulat. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia dari gambut (Sabiham et al. 1997).

Hidrologi Lahan Gambut

Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan dan perairan selalu tergenang sepanjang tahun atau selama kurun waktu tertentu, genangannya relatif dangkal, dan terbentuk karena pengairan yang terhambat. Berdasarkan besarnya kekuatan arus air pasang dan arus air sungai, lahan rawa dapat dibagi menjadi dua yaitu rawa pasang surut dan rawa non pasang surut atau lebak dan lahan gambut terdapat di kedua jenis rawa tersebut (Najiyati et al. 2005).

Rawa pasang surut adalah lahan rawa yang genangan airnya terpengaruh oleh pasang surutnya air laut. Rawa pasang surut terbagi menjadi tiga tipe, yaitu; (1) Rawa pasang surut air salin, asin atau payau. Tipe rawa ini berada pada zona I (landform marine). Di wilayah ini, genangan selalu dipengaruhi gerakan arus pasang surutnya air laut sehingga pengaruh salinitas air laut sangat kuat. Akibatnya, air di wilayah tersebut cenderung asin dan payau, baik pada pasang besar maupun pasang kecil, selama musim hujan dan musim kemarau. (2) Rawa pasang surut air tawar, yang berada pada zona II (landform fluvio-marin). Di wilayah ini, kekuatan arus air pasang dari laut sedikit lebih besar atau sama dengan kekuatan arus atau dorongan air dari hulu sungai. Oleh karena energi arus pasang dari laut masih sedikit lebih besar dari pada sungai, lahan rawa zona ini masih dipengaruhi pasang surut harian, namun air asin atau payau tidak lagi berpengaruh. Makin jauh ke pedalaman, kekuatan arus pasang makin melemah. Kedalaman luapan air pasang juga makin berkurang, dan akhirnya air pasang tidak menyebabkan terjadinya genangan lagi. Tanda adanya pasang surut terlihat pada gerakan naik turunnya air tanah. Di kawasan ini gerakan pasang surut harian masih terlihat, hanya airnya didominasi oleh air tawar yang berasal dari sungai itu sendiri. (3) Rawa non pasang surut, atau sering disebut rawa lebak. memiliki kekuatan arus pasang dari laut jauh lebih kecil (atau bahkan sudah tidak tampak sama sekali) daripada kekuatan arus dari hulu sungai. Tipe ini menduduki posisi pada Zona III. Pada zona ini, pengaruh kekuatan arus sungai jauh lebih dominan (Najiyati et al. 2005).

(30)

musim. Pada waktu musim hujan, suatu kawasan dapat tergolong Tipe A, tetapi pada musim kemarau termasuk Tipe B atau C. Hal ini dikarenakan permukaan air sungai meninggi di musim hujan dan menurun di musim kemarau (Najiyati et al. 2005).

Gambar 2.1. Hubungan bentuk lahan dengan keempat tipe luapan

Ritzema dan Wösten (2002) menjelaskan bahwa curah hujan memainkan peranan penting dalam hidrologi lahan gambut, khususnya curah hujan musim kemarau dan periode kering ketika evapotranspirasi melebihi curah hujan. Periode kering biasanya berlangsung 3 – 4 bulan. Hampir semua lahan gambut Indonesia mendapat curah hujan tahunan yang tinggi (>2000 mm), namun curah hujan di musim kemarau dan lama periode kering lebih menentukan kelestarian lahan gambut. Hal ini karena sebagian besar curah hujan yang masuk akan langsung terbuang keluar.

Neraca air lahan gambut alami biasanya dicirikan atas evapotranspirasi (+ intersepsi) sebagai komponen keluaran yang utama. Seperti ditemukan di blok A bagian utara Eks PLG sekitar 58.6% dari curah hujan kotor hilang melalui evapotranspirasi dan intersepsi. Sekitar 40.7 persen dibuang melalui limpasan permukaan di musim hujan, sementara hanya 8.1 % sebagai groundwater flow

(Rais 2008)

Model Pengelolaan Air di Lahan Gambut

Pengelolaan air (tata air) di lahan gambut bertujuan untuk menghindari genangan yang berlebihan di musim hujan dan menghindari kekeringan di musim kemarau. Najiyati et al. (2005) mengemukakan bahwa pengelolaan air di lahan gambut sangat penting dilakukan terutama untuk: Pertama mencegah banjir di musim hujan dan menghindari kekeringan di musim kemarau. Kedua mencuci garam, asam-asam organik, dan senyawa beracun lainnya didalam tanah. Ketiga mensuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Keempat mencegah terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence) terlalu cepat. Kelima mencegah pengeringan dan kebakaran gambut serta oksidasi pirit. Keenam memberikan suasana kelembaban yang ideal bagi pertumbuhan tanaman dengan cara mengatur tinggi muka air tanah.

(31)

musim hujan, (c) gambut dan lapisan pirit (jika ada) membutuhkan suasana yang senantiasa lembab, (d) gambut bersifat sangat porous sehingga laju kehilangan air di saluran melalui rembesan jauh lebih tinggi dibandingkan di lahan kering hal ini menuntut adanya teknik khusus untuk mempertahankan keberadaan air.

Pengelolaan air di lahan gambut harus mengacu pada sistem aliran satu arah, yaitu pada tingkat saluran tersier, saluran irigasi dan drainase harus terpisah (Widjaja-Adhi 1995). Dengan demikian, aliran air di saluran tersebut tetap satu arah. (Gambar 2.2). Keuntungan sistem aliran satu arah adalah terjadi pergantian air segar di dalam saluran secara lebih lancar, endapan lumpur di saluran lebih sedikit, dan penumpukan senyawa beracun dapat dikurangi.

Gambar 2.2. Denah sistem aliran satu arah (Sumber: Najiyati et al. 2005) Untuk mendukung keperluan ini, maka diperlukan pintu-pintu air yang dapat dibuka pada saat kelebihan air dan dibuka pada saat kekurangan air, atau dengan menggunakan pintu otomatis. Pintu otomatis ini akan membuka ketika surut dan menutup ketika pasang (Gambar 2.3).

Gambar 2.3. Pintu otomatis pada saluran sistem aliran satu arah (Sumber: Najiyati

(32)

Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Gambut

Karbon dioksida (CO2), uap air (H2O), kloro fluoro karbon (CFC), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O) merupakan gas rumah kaca (GRK) yang dapat meningkatkan suhu permukaan bumi (global warming). Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri diartikan sebagai proses masuknya radiasi matahari dan terjebaknya radiasi tersebut di atmosfer akibat GRK sehingga menaikkan suhu permukaan bumi (IPCC 2006).

Karbon dioksida (CO2), dan metana (CH4) merupakan gas rumah kaca yang dilepaskan (diemisikan) dari lahan gambut. Di antara ketiga gas tersebut CO2 merupakan GRK yang relatif besar diemisikan, terutama dari lahan gambut yang sudah berubah fungsi dari hutan menjadi lahan pertanian. Sedangkan emisi CH4 cukup besar pada gambut yang berada dalam keadaan alami yang pada umumnya terendam atau jenuh air. Bila gambut dikeringkan maka emisi CO2 menjadi dominan dan emisi CH4 menjadi sangat berkurang. Jumlah emisi GRK dari tanah gambut untuk selang waktu tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan cadangan karbon pada tanah gambut yang terjadi pada selang waktu tersebut (Agus et al. 2011).

Menurut konsep pedologi, gambut adalah sumber dan rosot (sink) karbon sehingga dapat masuk sebagai sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0 - 3 mm gambut per tahun atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO2 ha-1 tahun-1. Apabila hutan gambut ditebang dan dikeringkan, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas rumah kaca terpenting) (Parish et al. 2007; Agus 2009; Noor 2010).

Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar dari bumi ke atmosfer melalui dua cara yaitu: (1) pembakaran lahan gambut yang menghasilkan emisi gas CO2 dan (2) drainase lahan gambut yang menyebabkan kondisi reduksi dan oksidasi. Oksidasi bahan gambut (yang umumnya mengandung 10% organ tanaman dan 90% air) menghasilkan emisi gas CO2 (Hooijer et al. 2006).

Karbon Dioksida (CO2)

(33)

melaporkan praktek pengelolaan lahan pertanian berpengaruh terhadap penyimpanan dan pelepasan CO2.

Karbon dioksida diemisikan ke atmosfer melalui proses respirasi tanah. Respirasi tanah merupakan gabungan antara tiga proses biologi (respirasi mikroorganisme, respirasi akar, dan respirasi hewan) serta satu proses non-biologis (oksidasi kimia) yang dapat terjadi pada suhu tinggi (Rastogi et al. 2002). Karbon dioksida dari sistem pertanian berasal dari: (a) respirasi tanaman, (b) oksidasi bahan organik tanah dan sisa tanaman, (c) penggunaan bahan bakar fosil pada mesin pertanian seperti traktor, alat panen dan alat irigasi, dan (d) pupuk dan pestisida. Pada suhu tinggi, gas CO2 dan CH4 merupakan bentuk gas yang segera terbentuk dan besar jumlahnya. Perbandingan perubahan gas CH4 menjadi CO2 dalam tanah pada suhu dan pH tinggi, bentuk CH4 lebih memungkinkan, karena kondisi tersebut merupakan suhu optimum untuk metanogen (Kirk 2004). Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya emisi CO2 dari tanah adalah suhu, kelembaban, variasi pola diurnal, variasi musim dan ruang gerak, tekstur tanah, pH tanah, salinitas, tekanan atmosfer, aplikasi pupuk organik dan buatan, penggunaan inhibitor nitrifikasi, jenis tanaman budidaya, dan pengolahan lahan (Rastogi et al. 2002).

Metana (CH4)

Metana adalah hidrokarbon paling sederhana yang terbentuk gas dengan rumus kimia CH4. Metana (CH4) berkontribusi sebanyak 18.6% dari total radiasi yang diterima bumi (WMO 2007). Selain waktu tinggalnya yang lama, CH4 memiliki kemampuan mamancarkan panas 21 kali lebih tinggi dari CO2. Dengan berat molekulnya yang ringan, CH4 mampu menembus sampai lapisan ionosfir dimana terdapat senyawa radikal O3 yang berfungsi sebagai pelindung bumi dari serangan radiasi gelombang pendek ultra violet (UV-B) (Setyanto dan Kartikawati 2008).

Menurut Mosier et al. (2005), produksi metana hanya terjadi dalam kondisi anaerobik seperti yang terjadi di daerah rawa alami dan sawah dataran rendah. Proses utama yang terjadi di lahan tergenang dan merupakan sumber CH4 adalah serangkaian reaksi reduksi-oksidasi (redoks) yang dimediasi oleh beberapa jenis mikoorganisme yang berbeda. Beberapa literatur (Segers 1998; Whalen 2005; Lay 2009) mengungkapkan bahwa:

1. Sebagian besar metana dari gambut berasal dari karbon yang masih baru. 2. Produksi metana menurun ketika substrat yang bersifat labil telah habis,

misalnya dengan kedalaman di bawah tinggi muka air tanah.

3. Produksi metana dapat dirangsang secara substansial dengan penambahan substrat.

Pengamatan ini mengarah pada kesimpulan bahwa, setelah kondisi anaerob yang diberikan, kualitas dan penyediaan substrat adalah faktor utama dalam produksi metana. Jumlah substansial metana hanya diproduksi ketika substrat karbon yang labil cukup tersedia dan gambut yang telah tua hanya memainkan peran sebagai substrat subordinat untuk pembentukan metana (Chanton et al. 1995).

(34)

kebanyakan Archaea methanogenic tumbuh hanya di bawah kisaran pH yang sempit antara 6 dan 8, beberapa diketahui terjadi di bawah kondisi lebih asam (Garcia et al. 2000; Whalen 2005; Lay 2009). Namun penilaian kuantitatif dari pengaruh pH pada metanogenesis tidak pada hasil yang konsisten (Whalen 2005).

Hanya sebagian dari metana yang dihasilkan dipancarkan ke atmosfer, sejumlah besar lainnya dikonsumsi oleh bakteri metanotropik. Re-oksidasi metana terutama terbatas pada zona dekat dengan permukaan air, di mana tidak ada pasokan oksigen atau jumlah gas metana terbatas. Demikian pula, konsumsi metana terjadi di zona sekitar akar tanaman yang beroksigen. Potensi untuk oksidasi metana oleh methanotrophik biasanya menempati urutan lebih besar dari potensi produksi metana oleh metanogen. Akibatnya, bakteri metanotropik dapat membatasi jumlah metana yang dilepaskan ke atmosfer secara substansial (Segers 1998).

Gas metana yang dipancarkan dari gambut ke atmosfer terjadi melalui tiga jalur utama yaitu: difusi, Ebulisi dan transportasi yang dimediasi oleh tanaman. Difusi metana secara keseluruhan berjalan lambat dan difusi dari lahan gambut adalah kecil dibandingkan dengan dua jalur lainnya (Kiene 1991; Lay 2009). Difusi metana dari zona anaerobik penting dalam mendukung komunitas metanotropik di zona dekat permukaan aerobik (Whalen 2005). Ebulisi mengacu pada metana yang dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk gelembung. Gelembung metana umumnya terjadi pada lapisan gambut yang jenuh air, di mana metana tetap terjebak dan tumbuh besar. Ketika batas tekanan tertentu tercapai, pelepasan tiba-tiba dari metana yang terperangkap terjadi. Seringkali pelepasan ini dikaitkan dengan perubahan tingkat tekanan air , barometrik dan suhu serta gangguan mekanis (Fechner-Levy dan Hemond 1996).

Pestisida Pengertian dan Jenis Pestisida

(35)

Tabel 2.1. Jenis-jenis pestisida dan sasarannya Jenis Pestisida Fungsi dan kegunaannya Insektisida

Merangsang atau menghambat pertumbuhan Penggugur daun

Mempercepat pengeringan tanaman

Mengusir serangga, rayap, anjing dan kucing Menarik serangga

Mensterilisasi serangga Sumber: Watterson (1988)

Transfer, Degradasi dan Persistensi Pestisida di Tanah

Menurut Waldron (1992) proses transfer pestisida dapat terjadi melalui 5 cara, yaitu;

(1) Adsorpsi adalah terikatnya pestisida dengan partikel-partikel tanah. Jumlah pestisida yang dapat terikat dalam tanah bergantung pada jenis pestisida, kelembaban, pH, dan tekstur tanah. Pestisida dapat teradsorpsi dengan kuat pada tanah berlempung ataupun tanah yang kaya bahan-bahan organik, sebaliknya pestisida tidak dapat teradsorpsi dengan kuat pada tanah berpasir. Adsorpsi pestisida yang kuat di dalam tanah mengakibatkan tidak terjadi penguapan sehingga tidak menimbulkan pencemaran terhadap air tanah maupun air danau.

(2) Penguapan adalah suatu proses perubahan bentuk padat atau cair ke bentuk gas, sehingga dalam bentuk gas bahan tersebut dapat bergerak dengan bebas ke udara sesuai dengan pergerakan arah angin. Pestisida dapat menguap dengan mudah karena bersifat mudah menguap dan akibat tanah yang berpasir dan basah. Cuaca yang panas, kering dan berangin juga mempercepat terjadinya penguapan pestisida.

(3) Kehilangan pestisida saat aplikasi adalah kehilangan yang disebabkan terbawanya pestisida oleh angin saat disemprotkan (drift). Kehilangan ini dipengaruhi oleh ukuran butiran semprotan, kecepatan angin, jarak antara lubang penyemprot dengan tanaman.

(36)

yang terbawa ini dipengaruhi oleh: kecuraman lokasi, kelembaban tanah, curah hujan, dan jenis pestisida yang digunakan.

(5) Rembesan adalah perpindahan pestisida dalam air di dalam tanah. Perembesan dapat terjadi keseluruh penjuru, ke bawah, atas dan samping. Fakto-faktor yang mempengaruhi terjadinya perembesan adalah sifat-sifat pestisida dan tanah, dan interaksi pestisida dengan air seperti saat terjadinya hujan ataupun irigasi saat musim tanam. Proses perembesan dapat meningkat bila pestisida bersifat mudah larut dalam air, tanahnya berpasir, turun hujan saat penggunaan pestisida, dan pestisida tidak teradsorpsi dengan kuat dalam tanah.

Tarumingkeng (1992) menyampaikan degradasi pestisida adalah proses terjadinya penguraian pestisida oleh mikroba, reaksi kimia, dan sinar matahari. Prosesnya dapat terjadi setiap saat dari hitungan jam, hari, sampai tahunan bergantung pada kondisi lingkungan dan sifat-sifat kimia pestisida. Utamanya degradasi pestisida terjadi secara biokimia oleh mikrobia tanah. Kerentanan pestisida sintetik terhadap penguraian oleh mikrobia sangat tergantung pada strukturnya, terutama kesamaannya dengan mikro-organisme yang biasanya organik substrat. Degradasi terbagi :

(1) Degradasi akibat mikroba (biological degradation) adalah degradasi pestisida oleh mikroorganisme seperti fungi dan bakteri. Proses degradasi oleh mikroba ini akan mengalami peningkatan bila: temperatur, pH tanah cocok untuk pertumbuhan mikroba, cukup oksigen, dan fertilitas tanahnya cukup baik. (2) Degradasi kimia (chemical degradation) adalah proses degradasi akibat

reaksi kimia. Tipe dan kecepatan reaksi yang terjadi dipengaruhi oleh; ikatan antara pestisida dengan tanah, temperatur dan pH tanah.

(3) Degradasi fisik akibat sinar matahari (physical degradation) adalah degradasi pestisida oleh adanya sinar matahari. Tingkat degradasi akibat sinar matahari ini dipengaruhi oleh intensitas dan spektrum sinar matahari, lamanya terpapar, dan sifat pestisida.

Pestisida dikatakan persisten (persistent) jika dapat bertahan pada bidang sasaran atau pada lingkungan dalam jangka waktu yang relatif lama sesudah diaplikasikan. Tingkat residu pestisida di lingkungan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti suhu lingkungan, kelarutannya dalam air, serta penyerapan oleh koloid dan bahan organik tanah (Djojosumarto 2008).

Interaksi Pestisida dengan Bahan Organik Tanah

(37)

1. penyerapan itu membuat pestisida secara fisiologis menjadi tidak aktif atau sesuai untuk diurai oleh aktifitas mikroba.

2. Menurunkan pergerakan pestisida di tanah membuat pestisida cenderung kurang terhadap pencucian (Pedersen et al. 1995)

3. Bahan organik terlarut atau materi partikel koloid dapat membentuk ikatan komplek dengan pestisida, sehingga secara cepat meningkatkan kerentanan pestisida terhadap kehilangan karena pencucian (Gerstler 1991).

(38)

3. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di Desa Kanamit Jaya, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah (Gambar 1). Lokasi penelitian terletak pada titik geografis -20 55’46”LU and 1140 10’16” BT.

Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian

Lokasi terpilih merupakan lahan pertanian milik petani yang aktif digunakan sebagai lahan sawah yang ditanamai padi satu tahun sekali dan tata air makro sudah tersedia dengan kondisi yang baik (Gambar 3.2).

Gambar 3.2. Lahan sawah petani yang digunakan sebagai lahan penelitian (a) dan pintu air pada tata air makro di lokasi penelitian (b)

(39)

Sifat Fisik Tanah Gambut

Dari hasil uji kandungan C-organik pada sampel tanah gambut yang diambil pada lokasi penelitian diketahui bahwa nilai C-organik sebesar 42.07%. Hasil ini menunjukkan bahwa lahan penelitian termasuk tanah gambut, karena menurut Soil Survey Staff (1999) lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik dengan kandungan C-organik > 18%. Berdasarkan klasifikasi USDA yang termasuk kedalam tanah histosol adalah tanah yang memiliki kadar bahan organik antara 30-50% (Soepardi 1983). Ketebalan gambut bervariasi mulai dari 40 – 100 cm, maka digolongkan ke dalam golongan gambut dangkal. Lapisan atas merupakan lapisan gambut dan lapisan bagian bawah merupakan tanah mineral yang dicirikan dengan kandungan fraksi liat selanjutnya ditemukan lapisan pirit dengan kedalaman >100 cm (Gambar 3.3).

Analisa terhadap kadar serat menunjukkan bahwa volume serat 46%, warna munsell 10 YR 3/1, dan indeks pirofosfat bernilai 2, berdasarkan kriteria untuk tingkat kematangan dekomposisi gambut adalah hemik (Lynn et al. 1974). Tingkat dekomposisi atau pelapukan atau perombakan bahan organik gambut digolongkan ke dalam hemik pada gambut dengan tingkat dekomposisi setengah matang, yaitu kandungan serat antara 17-75%, atau kandungan serat antara 1/6-3/4 bagian volumenya (Soil Survey Staff, 1999).

Gambar 3.3. Ketebalan gambut (a) dan kedalaman pirit (b)

Sifat Kimia Tanah Gambut

Hasil analisa tanah awal terhadap sifat kimia tanah gambut, dapat dilihat pada Tabel 3.1. Hasil pengukuran pH H2O menunjukkan kemasaman tanah pada kriteria sangat masam dengan pH < 4.0. Kandungan hara-hara makro N, P dan K terdapat dalam jumlah yang bervariasi dari sangat rendah sampai Tinggi. Kandungan N pada lahan tergolong tinggi dengan rata-rata 1.15%. Kandungan N-total yang tinggi tidak berarti bahwa ketersediaan unsur N untuk pertumbuhan tanaman juga tinggi. Ketersediaan N dalam tanah selain ditentukan oleh jumlah N-total tanah, juga berhubungan erat dengan kandungan bahan organik tanah terutama tingkat dekomposisinya (C/N). Perbandingan C-organik terhadap nitrogen dalam tanah yang dinyatakan dengan rasio C/N tergolong sangat tinggi yaitu sebesar 36.63%. Kandungan bahan organik (C-organik) dan nisbah C/N tinggi maka ketersediaan N tanah rendah. Hal ini disebabkan sebagian N-tersedia digunakan oleh mikroorganisme dalam perombakan bahan organik (Tisdale and Nelson 1975).

a

(40)

Tabel 3.1. Hasil analisa tanah lahan gambut di Desa Kanamit Jaya, Kecamatan Maliku Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

Karakteristik Nilai Kriteria

pH (H2O) 3.73 Sangat masam

pH (KCl) 3.09 Sangat masam

C organik (%) 42.07 Sangat tinggi

C/N (%) 36.63 Sangat tinggi

N-total (%) 1.15 Tinggi

P potensial (mg/100g P2O5) 31.30 Sedang K potensial (mg/100g K2O) 0.51 Sangat rendah

Fe (ppm) 19.24 Rendah

Cu (ppm) 17.21 Rendah

Mn (ppm) 10.00 Rendah

KTK cmol(+)/kg 72.5 Sangat tinggi

Kadar air (%) 308.21 Tinggi

Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) tergolong sedang sebesar 31.3 mg/100 g tanah. Sementara kandungan K2O potensial terukur sangat rendah sebesar 0.51mg/100 g tanah. Sementara itu kandungan hara-hara mikro Fe, Cu dan Mn tersedia dalam jumlah yang sedikit. Kandungan Fe dalam tanah tergolong rendah dengan nilai 19.24 ppm, sementara Cu rendah dengan nilai 17.21 ppm dan Mn rendah dengan nilai 10 ppm.

Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut tergolong sangat tinggi dengan nilai KTK 72.5 cmol(+)/kg tanah. Tingginya nilai KTK disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol (Driessen dan Soepraptohardjo 1974). Nilai KTK ini berhubungan dengan daya sanggah tanah terhadap perubahan pH, dimana semakin tinggi nilai KTK semakin banyak pula bahan penetral yang dibutuhkan untuk meningkatkan pH hingga nilai tertentu. KTK sangat ditentukan oleh fraksi lignin dan bahan-bahan humik.

Hidrologi Lahan Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tinggi muka air tanah, air saluran primer, serta curah hujan, maka lahan penelitian termasuk ke dalam kategori rawa pasang surut air tawar. Lahan rawa zona ini masih dipengaruhi pasang surut harian, namun air asin atau payau tidak lagi berpengaruh. Lahan tergenangi air baik pada saat pasang besar maupun pasang kecil. Pada saat pasang besar air akan menggenangi lahan hingga di atas permukaan tanah, sedangkan pada saat pasang kecil lahan hanya mendapat rembesan dari air pasang.

Kandungan Residu Pestisida

(41)

pestisida berada dibawah kemampuan alat dalam mengukur atau limit deteksi (LD) (Tabel 3.3).

Tabel 3.2. Hasil analisa tanah awal terhadap residu pestisida pada musim kemarau (MK) 2012.

Analisa residu Konsentrasi (ppm) Batas deteksi alat (ppm) 1. Insektisida (Karbamat)

Fenobucarb tu 0.0101

2. Fungisida (Azole)

Difenokonazol tu 0.0121

3. Herbisida (Bipirilidium)

Paraquat tu 0.0095

Gambar

Gambar 2.3. Pintu otomatis pada saluran sistem aliran satu arah (Sumber: Najiyati
Tabel 2.1.  Jenis-jenis pestisida dan sasarannya
Gambar 3.2.  Lahan sawah petani yang digunakan sebagai lahan penelitian (a) dan
Gambar 3.3.  Ketebalan gambut (a) dan kedalaman pirit (b)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Maknanya adalah; hanya milik Allah q apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi agar Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat buruk dengan melakukan

Menurut Delgado (2005), brand trust adalah adanya harapan atau kemungkinan yang tinggi bahwa merek tersebut akan mengakibatkan hasil positif terhadap konsumen.. Oleh karena

Buy on Weakness : Harga berpotensi menguat namun diperkirakan akan terkoreksi untuk sementara Trading Buy : Harga diperkirakan bergerak fluktuatif dengan

Angka kuman dan bahan kimia makanan jadi memenuhi persyaratan yang ditentukan.. Makanan jadi kemasan tidak ada tanda- tanda kerusakan dan terdaftar pada

Instalasi listrik dibuat dari panel ke seluruh peralatan yang menggunakan listrik sebagai penggeraknya. Sebagian kabel-kabel disangga menggunakan penyangga yang dibuat

Dari dulu Neko sama sekali nggak takut UAN, soalnya dulu di program Bahasa kami tidak harus menghadapi pelajaran momok yang satu itu agar bisa lulus?. Mata pelajaran yang

Sidang Kelayakan Landasan Program Perencanaan dan Perancangan Arsitektur ( LP3A ) dengan judul Semarang International Convention and Exhibition Center ini dimulai pukul 08.30 WIB

Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa pada diameter pulley motor sebesar 7cm dan diameter pulley alternator 7 cm akan didapatkan arus pengisian yang keluar dari