• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Karakteristik Fisik Kimia Lingkungan Ekosistem Mangrove

Karakteristik fisik kimia lingkungan ekosistem mangrove merupakan hal yang sangat penting bagi organisme yang hidup di dalamnya. Data curah hujan di

4531 4063 3073 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 SM PP SD K el im p ah an ( S el /l ) Stasiun

Kota Dumai selama penelitian dankisaran nilai dan rata-rata hasil pengukuran karakteristik fisik kimia air dan sedimen di ekosistem mangrove selama penelitian berturut-turut disajikan pada Lampiran 10 dan Tabel 5.

Curah hujan

Curah hujan di suatu kawasan akan mempengaruhi salinitas air di ekosistem mangrove, yang selanjutnya dapat berpengaruh terhadap kehidupan biota yang terdapat di dalam ekosistem tersebut. Selain itu selama musim hujan intensitas penyinaran matahari rendah dan lama penyinaran juga kurang. Hal ini menyebabkan suhu perairan juga rendah selama musim hujan. Fluktuasi suhu di daerah tropis lebih disebabkan musim hujan, karena selama musim hujan penyinaran matahari tidak maksimal. Pada bulan April di Kota Dumai terjadi hujan dengan curah yang tinggi (403.4 mm) dengan jumlah hari hujan 16 hari (Lampiran 10). Curah hujan yang tinggi pada bulan tersebut menyebabkan terjadi penurunan suhu perairan tersebut secara signifikan, yang diperkirakan berpengaruh terhadap aktivitas reproduksi sepetang. Selama musim hujan, awan dan mendung menghalangi cahaya matahari menyinari perairan. Sementara pada musim kemarau intensitas cahaya matahari tinggi, sehingga suhu perairan juga relatif tinggi pada waktu tersebut. Nabuab dan Del Corte-Campos (2006) menyatakan bahwa aktivitas seksual kerang Gari elongata meningkat selama musim basah sementara perkembangan gamet terjadi selama musim kering sebelumnya.

Suhu air

Hasil pengukuran rata-rata suhu air pada setiap stasiun penelitian didapatkan nilai berkisar antara 28.4-29.6oC (Tabel 5). Suhu tertinggi tercatat di stasiun PP dan SD. Perbedaan nilai suhu tersebut itu diperkirakan karena pengaruh dari naungan kanopi vegetasi mangrove saat penyinaran matahari,selain aktivitas yang ada di sekitar lokasi tersebut, seperti aktivitas pelabuhan, lalu lintas kapal dan industri. Walaupun suhu pada stasiun PP dan SD relatif tinggi, secara umum nilai suhu masih dalam batas yang dapat ditolerir oleh organisme perairan yaitu 25-32 o

C (Effendi 2003). Trisyani et al. (2007) mendapatkan suhu perairan yang merupakan habitat kerang lorjuk (Solen vaginalis) di perairan pantai timur Surabaya 28-30 oC. Natan (2008) mencatat rata-rata suhu perairan di ekosistem mangrove Teluk Ambon bagian dalam berkisar antara 27.86-28.20 oC. Menurut

54

Gribben (2005), bagi bivalvia infauna suhu sering dianggap sebagai faktor utama yang menentukan perkembangan reproduksi dan pemijahan. Araujo dan Nunes (2006) menyatakan bahwa suhu mempunyai korelasi yang erat dengan aspek reproduksi bivalvia.

Salinitas

Salinitas perairan sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar, baik hujan maupun air dari sungai. Selain itu penguapan oleh matahari juga turut meningkatkan nilai salinitas. Nilai salinitas yang didapat selama penelitian, rata- rata berkisar antara 20.9-22.9 ‰ (Tabel 5). Stasiun SM dan SD, yang berada pada muara sungai, mempunyai salinitas yang relatif lebih rendah dibandingkan stasiun PP. Nilai salinitas akan lebih bervariasi selama proses pasang pada stasiun SM dan SD, karena pengaruh percampuran dengan air sungai, apalagi air pasang masuk ke ekosistem mangrove pada kedua lokasi ini utamanya melalui sungai. Salinitas perairan mengalami penurunan selama musim hujan dan mengalami peningkatan selama musim kemarau karena tingginya penguapan. Peningkatan dan penurunan salinitas dalam waktu yang lama akan berpengaruh pada kehidupan biota perairan, termasuk kerang sepetang, walaupun kerang ini berada dalam liang atau lubangnya. Hal dibuktikan dengan ditemukan kerang ini naik ke permukaan dari dalam lubangnya dan mati selama musim kemarau yang lama, yang diperkirakan selain karena peningkatan suhu juga karena meningkatnya salinitas serta kekurangan air. Sebaliknya pada musim hujan yang lama, di saat surut perbani salinitas air genangan menjadi sangat rendah. Menurut Wells dan Lens 1977 diacu dalam Russel dan Hunter 1983), kebanyakan moluska yang hidup di daerah estuari akan mengalami tekanan atau stress jika salinitas terlalu rendah.

Pasang surut

Berdasarkan daftar pasang surut yang dikeluarkan Jawatan Hidro- oseanografi TNI AL, maka tinggi pasang surut rata-rata yang terjadi di perairan Dumai berkisar antara 0.8 m sampai 2.9 m (Lampiran 11). Data tersebut juga menunjukkan bahwa pasang surut yang terdapat di perairan pesisir Kota Dumai tergolong tipe campuran condong ke harian ganda (mix prevailing semidiurnal),

antara pasang pertama dan kedua tidak sama tingginya. Menurut Wiyrtki (1961), tipe pasang surut seperti ini terjadi dua kali pasang dan dua akali surut air laut namun tinggi dan periodenya berbeda dalam sehari. Pasang surut yang terjadi di perairan pesisir Kota Dumai yang berada pada Selat Rupat sangat menentukan arah dan kecepatan arus yang terjadi di perairan tersebut. Tinggi pasang surut akan berpengaruh terhadap keterendaman ekosistem mangrove, yang selanjutnya juga akan mempengaruhi vegetasi mangrove dan biota yang hidup di dalamnya. Arus pasang surut mempengaruhi pergeseran salinitas dan kekeruhan di sepanjang estuari, yang bergerak ke arah hulu pada waktu pasang dan ke hilir waktu surut. Dwiono (2003) mengemukakan bahwa kegiatan makan kerang yang hidup di daerah pasang surut akan dipengaruhi oleh gerakan pasang surut. Selama air pasang, kerang akan secara aktif menyaring makanan yang melayang dalam air, sedangkan selama air surut kegiatan pengambilan makanan akan sangat menurun bahkan mungkin akan terhenti sama sekali. Nybakken (1992) menyatakan bahwa kebanyakan hewan yang hidup di intertidal harus menunggu sampai air menggenang kembali untuk dapat makan. Semakin lama terkena udara (surut), semakin kecil kesempatan untuk makan dan mengakibatkan kekurangan energi.

Derajat keasaman (pH) air

Nilai rata-rata pH air di ekosistem hutan mangrove Dumai berkisar antara 6.8-7.2 (Tabel 5). Nilai pH air pada stasiun SD paling rendah dibandingkan stasiun lainnya, stasiun PP dan SM. Masukan limbah dari pemukiman, perkotaan dan pelabuhan yang berada dekat stasiun ini, maupun yang dibawa air sungai menyebabkan perairan menjadi lebih asam. Walaupun rendah, namun nilai pH ini masih dalam batas yang ditolerir organisme perairan. Setiap organisme mempunyai pH optimal. pH optimal untuk kehidupan moluska adalah 6.5-7.5 (Russel-Hunter 1983). Nilai pH yang didapat lebih tinggi dibandingkan yang didapat Natan (2008) di Teluk Ambon bagian dalam, yaitu rata-rata berkisar antara 6.24-6.39. Sehubungan dengan nilai pH air yang diperoleh juga ada yang di bawah 7.0 atau asam, menunjukkan bahwa kerang sepetang ini dapat hidup dengan kondisi asam. Effendi (2003) menyatakan bahwa pada pH antara 5.5-6.0 mempunyai keanekaragaman bentos yang sedikit.

56

Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut dalam suatu perairan sangat dibutuhkan oleh organisme yang hidup di dalam untuk respirasi dan metabolisme, termasuk bagi kerang sepetang yang bernafas dengan insang. Kandungan oksigen terlarut yang tercatat selama penelitian pada setiap stasiun berfluktuasi. Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut rata-rata berkisar antara 4.17-5.38 ppm (Tabel 5). Walaupun relatif rendah, kandungan oksigen terlarut di perairan ekosistem mangrove Dumai masih dalam batas yang dapat ditolerir, bahkan yang optimum bagi moluska.Kandungan oksigen terlarut optimum untuk moluska berkisar antara 4.1- 6.6 ppm dengan batas minimum 4 ppm (Clark 1977).Trisyani et al. (2007) mencatat kandungan oksigen terlarut rata-rata di habiat lorjuk (Solen vaginalis) adalah 4.7 ppm. Kerang Anadara granosa tunduk terhadap tekanan oksigen yang rendah di habitat alami (Bayne diacu dalam Broom 1985).

Tabel 5 Nilai karakteristik fisik kimia air dan sedimen ekosistem mangrove pada setiap stasiun di pesisir Kota Dumai

Stasiun Suhu air

(oC) Salinitas air (‰) pH air DO (ppm) Nitrat (mg/l) Fosfat (mg/l) Suhu sedimen (oC) pH sedimen Organik sedimen (%) SM Rerata 28.4 21.0 7.1 5.38 0.072 0.062 25.8 6.7 17.9 SD 0.2 2.2 0.1 0.1 0.0 0.0 0.5 0.2 0.7 Min 27 18 7.0 5.21 0.032 0.035 25 6.5 16.97 Maks 29 25 7.3 6.62 0.133 0.078 28 7.0 18.60 PP Rerata 29.4 22.9 7.1 5.01 0.033 0.034 26.6 6.2 12.0 SD 0.7 1.9 0.0 0.1 0.0 0.0 0.7 0.2 1.5 Min 28 20 7.0 4.88 0.008 0.008 26 6.0 11.00 Maks 29 26 7.2 5.13 0.058 0.053 29 6.5 13.75 SD Rerata 29.6 20.9 6.9 4.17 0.049 0.072 27.3 5.1 16.4 SD 0.6 1.4 0.1 0.1 0.0 0.0 0.7 0.3 1.9 Mini 28 19 6.8 4.0 0.014 0.040 26 4.5 14.49 Maks 30 25 7.0 4.52 0.083 0.087 29 5.5 18.72

Catatan: Baku mutu : Suhu Air = 25-320C (Effendi 2003). pH=6.5-7.5 (Russel-Hunter 1983). DO = 4.1-6.6 ppm Clark (1977). Nitrat = 0.015 mg/l (KLH No. 51/2004). Fosfat = 0.008 mg/l (KLH No. 51/2004).

Nitrat dan Fosfat

Nitrat dan fosfat di perairan merupakan senyawa mikronutrien pengontrol produktivitas primer di lapisan permukaan daerah eufotik. Nitrat adalah hasil akhir dari proses oksidasi nitrogen. Plankton yang menjadi makanan bagi hewan penyaring seperti bivalvia akan dipengaruhi oleh konsentrasi nitrat dan fosfat di perairan. Nybakken (1992) menyatakan bahwa zat-zat hara anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak adalah nitrogen (sebagai nitrat, NO3-) dan fosfor (sebagai fosfat, PO42-).

Hasil pengukuran nitrat rata-rata di perairan pesisir Kota Dumai berkisar antara 0.034-0.072 mg/l (Tabel 5), dengan nilai tertinggi di stasiun SM dan terendah pada stasiun PP. Kandungan nitrat di perairan pesisir Dumai relatif tinggi. Hal ini diperkirakan selain berasal dari sumbangan vegetasi mangrove itu sendiri, juga masukan dari limbah perkotaan pemukiman dan perkotaan serta masukan dari sungai. Terdapat beberapa buah sungai yang bermuara di Selat Rupat ini, dua di antaranya bermuara di sekitar lokasi penelitian, yaitu S. Mesjid dan S. Dumai, yang melewati kawasan pemukiman dan kawasan perkebunan sawit. Menurut Kepmen LH No 51 Tahun 2004 bahwa nitrat dan fosfat yang diperbolehkan untuk biota perairansecara berturut-turut adalah 0.015 mg/l dan 0.008 mg/l.Artinya kandungan nitrat di perairan tersebut telah melewati nilai yang diperbolehkan, namun belum menyebabkan terjadinya eutrofikasi.Effendi (2003) menyatakan bahwa kandungan nitrat lebih 0.2 mg/l dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi.

Menurut Hutagalung dan Rozak (1997), kadar nitrat semakin tinggi menuju pantai, dan kadar tertinggi biasanya ditemukan di perairan muara. Salah satu penyebabnya peningkatan kadar nitrat adalah masuknya limbah domestik atau pertanian yang umumnya banyak mengandung nitrat. Kadar fosfat di perairan semakin meningkat dengan masuknya limbah domestik (deterjen dll.), industri dan pertanian/perkebunan (pupuk) yang banyak mengandung fosfat.

Kandungan organik total sedimen

Kandungan bahan organik sedimen rata-rata di ekosistem mangrove pesisir Dumai berkisar 12.0-17.9% (Tabel 5). Kandungan yang tinggi ditemukan pada stasium SM dan diikuti SD dan PP. Tingginya kandungan bahan organik total

58

sedimen pada stasiun yang berada di muara sungai, tidak terlepas dari adanya masukan bahan organik yang dibawa aliran sungai dan aktivitas masyarakat yang ada di sekitar perairan tersebut, selain itu juga sumbangan dari vegetasi mangrove itu sendiri. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini relatif sama dengan yang dikemukakan Amin et al. (2005), yaitu di sekitar muara S. Mesjid sebesar 11.88% dan di muara S. Dumai sebesar 9.85%.

Suhu dan pH sedimen

Suhu sangat dipengaruhi oleh penyinaran matahari serta adanya masukan energi suhu dari berbagai aktivitas seperti buangan limbah panas dan sebagai. Suhu sedimen rata-rata selama penelitian berkisar antara 25.8-27.3oC (Tabel 5). Suhu sedimen atau substrat di ekosistem mangrove stasiun PP lebih tinggi dibandingkan stasiun SM dan SD disebabkan kerapatan mangrove yang jarang. Cahaya matahari lebih banyak menyinari sedimen dasar karena kurang yang menghalangi. Pada stasiun SD, selain vegetesi mangrove yang juga relatif kurang, juga akibat aktvitas pelabuhan dan industri yang berada tidak jauh dari muara S. Dumai. Suhu sedimen berpengaruh langsung terhadap kehidupan kerang sepetang yang berada dalam sedimen atau substrat. Nybakken (1992) menyatakan bahwa daerah intertidal biasanya dipengaruhi oleh suhu udara selama periode yang berbeda-beda, dan suhu itu mempunyai kisaran yang luas, baik secara harian maupun musiman. Kisaran ini dapat melebihi batas toleransi organisme laut. Ketika suhu udara maksimum, batas letal dapat terlampaui dan organisme semakin lemah. Suhu juga mempunyai pengaruh tidak langsung. Organisme laut dapat mati karena kehabisan air. Kehabisan air dapat dipercepat dengan meningkatnya suhu.

Hasil pengukuran rata-rata pH sedimen selama penelitian berkisar antara 5.1-6.7 (Tabel 5). pH sedimen pada hutan mangrove muara S. Dumai yang lebih rendah disebabkan banyaknya buangan limbah yang masuk ke lingkungan mangrove berasal dari perkotaan, dan industri. Amin et al. (2005) memperoleh nilai pH sedimen di ekosistem mangrove S. Mesjid sebesar 6.5 dan S. Dumaisebesar 5.0. Vermeij (1974) diacu dalam Morton (1983) mencatat bahwa tanah mangrove sangat asam dan menunjukkan bahwa dalam jumlah persentase besar dari moluska mangrove mengalami resorpsi. Trisyani et al. (2007)

menyatakan bahwa razor clam (Solen vaginalis) menyenangi substrat pasir berlumpur, bahan organik dan pH yang rendah. Derajat keasaman atau pH sedimen rata-rata yang tercata selama penelitian di habitat Solen vaginalis adalah 4.07.

Dilihat dari nilai pH sedimen yang rendah dan kerang masih ditemukan dalam jumlah yang relatif banyak, menunjukkan bahwa kerang sepetang dapat hidup pada kisaran pH yang asam. Hal ini diperkirakan terkait dengan keberadaan kerang ini dalam lubang, yang senantiasa turun dan naik untuk memperoleh makanan, menghindar dari pemangsaan dan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan.

Fraksi sedimen

Berdasarkan analisis fraksi terhadap sampel sedimen yang menjadi habitat kerang sepetang yang berasal dari ke tiga stasiun di pesisir Kota Dumai menurut Skala Wentworth, didapatkan persentase rata-rata ukuran partikel seperti pada Tabel 6.

Tabel 6Persentase rata-rata fraksi sedimen habitat kerang sepetang (P. acutidens) Stasiun Persentase rata-rata ukuran partikel Total (%)

Pasir (%) Lanau (%) Lempung (%)

SM 5.19± 1.86 80.49± 3.24 14.32± 1.66 100.00 PP 8.09± 3.29 64.67± 3.49 27.23± 1.37 100.00 SD 6.63± 2.25 77.36± 4.21 16.02± 2.81 100.00

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa secara keseluruhan fraksi sedimen yang terdapat pada ekosistem mangrove didominasi fraksi lanau. Kondisiini merupakan hal yang umum karena vegetasi mangrove menyenangi substrat dengan fraksi lanau yang tingggi. Fraksi lanau tertinggi didapatkan pada stasiun SM (muara S. Mesjid). Hal ini terkait dengan Sungai Mesjid lebih panjang dari S. Dumai, dan melewati kawasan pertanian yang merupakan sumber sedimen dari darat yang dibawa aliran sungai. Nybakken

60

(1992) menyatakan bahwa kebanyakan perairan estuari didominasi oleh substrat lumpur yang sangat lunak. Substrat tersebut berasal dari sedimen yang dibawa ke estuari, baik oleh air laut, maupun air tawar. Sungai yang merupakan sumber air tawar mengikat partikel lumpur dalam bentuk tersuspensi. Ketika partikel tersuspensi tersebut bercampur dengan air laut di estuari, maka ion yang berasal dari air laut akan menyebabkan partikel lumpur menggumpal, membentuk partikel yang lebih berat dan besar, kemudian mengendap dan membentuk dasar lumpur yang khas.

Sedimen di ekosistem mangrove adalah lumpur dan pasir berlumpur (Bengen 2002).Well dan Slack-Smith (1981) diacu dalam Morton (1983) menyatakan bahwa sedikit bivalvia yang membenamkan diri dalam hutan mangrove. Hal ini terkait sedimen yang mungkin terlalu halus untuk moluska membenamkan diri.

Dokumen terkait