• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekobiologi kerang sepetang (Pharella acutidens Broderip & Sowerby, 1828) di Ekosistem Mangrove Pesisir Kota Dumai Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekobiologi kerang sepetang (Pharella acutidens Broderip & Sowerby, 1828) di Ekosistem Mangrove Pesisir Kota Dumai Riau"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

EKOBIOLOGI KERANG SEPETANG

(

Pharella acutidens

Broderip & Sowerby, 1828) DI

EKOSISTEM MANGROVE PESISIR KOTA DUMAI

RIAU

EFRIYELDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Ekobiologi Kerang Sepetang (Pharella acutidensBroderip & Sowerby, 1828) di Ekosistem Mangrove Pesisir Kota Dumai Riau adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

Efriyeldi

(3)

ABSTRACT

ecosystem seemed to decrease due to the increase of mangrove degradation and clam exploitation. The aims of the study were todetermine the population and reproductive biology character of the“sepetang” (P. acutidens)clam and their relationship with biophysical and chemical characteristic of mangrove ecosystem.The study was carried out from November 2010 to October 2011 inDumai mangrove ecosystem. Population biology aspects such as patterns of the population growth, mortality and recruitment of the clam P. acutidens were determined.Reproductive biology aspects such as sex ratio, gonadal development,gonadosomatic index, fecundity and oocytes diameter were also studied.The “sepetang” clam habitat characteristic was evaluated based on biophysical and chemical parameters of mangrove environment at each station using principal component analysis. Descriptive analysis was used to evaluate relationship between “sepetang” biological character and mangrove ecosystem environment characteristics. Correspondence analysis was used to analyze spatial distribution of “sepetang” clam in relation with biological character. The results showed that the study area was classified into four groups of stations. First, consists of station SM1 and SM2 was characterized by high concentration of nitrate and phosphate, organic sediment, silt fraction, X. granatum andR. apiculata mangrove species density. Seconds, consists of station P1, P2 and P3 characterized by high salinity, sand and clay fraction, and H. littoralis mangrove species density. Third, consist of station SM3 characterized by high pH of water and sediment and plankton density. Fourth, consists of stasion SD1, SD2 and SD3 characterized by high density of B. gymnorrhiza and A. alba. The growth pattern of P. acutidens was negative allometric with asymptotic length (L ) was 92.71 mm. The annual growth coefficient (K) and total mortality were 0.59 and 1.87 per year, respectively. The recruitment occurred every month.Sex of the sepetang clam can be determined at the size more than 35 mm. The male to female ratio was 1 : 1.12 and no specimen hermaphroditism was observed. Histological analysis indicated that P. acutidenswas partially spawned. The fecundity increase with an increase of shell length and correlated significantly with shell length. The sepetang clam probably spawn continuously throughout the year with a peak spawning season between May-June. The results showed that high gonadosomatic index and fecundity of “sepetang” clam in station SM1, SM2 and SM3. The stations were characteristized by high organic sediment, silt fraction, andR. apiculata density.

(4)

Sowerby, 1828) di Ekosistem Mangrove Pesisir Kota Dumai Riau. Dibimbing oleh DIETRIECH G. BENGEN, RIDWAN AFFANDI dan TRI PRARTONO.

Pharellaacutidens Broderip dan Sowerby, 1828 merupakan salah satu jenis bivalvia/kerang (moluska) yang hidup di ekosistem mangrove. Bivalvia P. acutidens termasuk ke dalam Ordo Veneroida dan Famili Solenidae (Cultellidae). Belum banyak laporan tentang penyebaran kerang Pharella ini, terutama di Indonesia, salah satunya di ekosistem mangrove pesisir Dumai Barat Kota Dumai, Riau. Selain sebagai salah satu sumber protein bagi masyarakat, kerang sepetang juga mempunyai peran ekologis. Lubang-lubang yang dibangun kerang sepetang dapat membantu masuknya oksigen masuk ke dalam substrat hutan mangrove yang sering mengalami kondisi anoksik. Cara makan sepetang yang bersifat filter feeder dapat menurunkan tingkat kekeruhan perairan. Populasi kerang sepetang di ekosistem mangrove Dumai Barat saat ini menunjukkan gejala penurunan. Hal ini diperkirakan terkait dengan degradasi ekosistem mangrove, yaitu penurunan kerapatan vegetasi mangrove dan luasan hutan mangrove di Dumaidan penangkapan sepetang yang intensifoleh masyarakat. Perkembangan Kota Dumai sebagai kota industri dan pelabuhan telah menyebabkan bertambahnya limbah yang masuk ke perairan, termasuk ke ekosistem mangrove. Mengingat pentingnya peran ekologis kerang sepetang di ekosistem mangrove dan peran ekonomis kerang sepetang bagi masyarakat pesisir Dumai khususnya, masalah penurunan populasi kerang P. acutidens perlu segera diatasi, baik melalui tindakan konservasi maupun rehabilitasi.

Tujuan penelitian ini adalahmendeterminasi karakter biologi populasi dan karakter biologi reproduksi kerang sepetang (P. acutidens) serta menelaah hubungan antara karakteristik biofisik dan kimia ekosistem mangrove dan karakter biologi populasi dan biologi reproduksi kerang sepetang (P. acutidens) di ekosistem mangrove Dumai.

(5)

telur/oosit rata-rata tiap bulan diplotkan dengan bulan pengamatan untuk mengetahui musim pemijahan.

Hasil analisis komponen utama terhadap parameter biofisik kimia ekosistem mangrovemembentuk 4 kelompok stasiun, masing-masing memiliki karakteristik biofisik kimia yang berbeda.Kelompok I (pertama) terdiri atas stasiun SM1 dan SM2 dicirikan oleh nitrat dan fosfat air, kandungan organik sedimen, fraksi lumpur, jenis mangrove X. granatum dan R. apiculata yang tinggi.Kelompok II (kedua) yang terdiri dari stasiun PP1, PP2 dan PP3 dicirikan oleh salinitas air, fraksi pasir dan liat, serta jenis mangrove H. littoralisyang tinggi. Kelompok III (ketiga) terdiri dari stasiun SM3 yang dicirikan oleh pH air dan pH sedimen serta kelimpahan plankton yang tinggi. Kelompok IV (keempat) terdiri dari stasiun SD1, SD2 dan SD3, yang dicirikan oleh jenis mangrove B. gymnorrhizadan A. alba yang relatif tinggi dan tidak dicirikan oleh karakteristik fisika kimia tertentu.

Kerang sepetang menunjukkan kebiasaan hidup membenamkan diri dalam substrat lumpur. Bagian ujung anterior kerang ini berada pada bagian bawah menghadap ke substrat dan bagian ujung posterior menghadap ke atas (permukaan air).Kelimpahan rata-rata kerang sepetang (P. acutidens) pada setiap stasiun, tertinggi pada Stasiun SM, 10.2 ind/m2, diikuti Stasiun SD dan PP, masing-masing 7.4 dan 6.7 ind/m2. Nilai indeks sebaran Morisita yang diperoleh berkisar antara0.94-1.19, yang secara umum dapat dinyatakan kerang sepetang menyebar secara bergerombol. Pola pertumbuhan kerang sepetang jantan allometrik negatif dan betina isometrik.Panjang infinity (L ) dan koefisien pertumbuhan (K) kerang sepetang berturut-turut adalah 92.71 mmdan 0.59 per tahun dengan koefisien pertumbuhan (K) tertinggi didapatkan pada stasiun SM.Laju mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F) berturut-turutadalah 1.036 per tahun dan 0.834 per tahun. Secara umum mortalitas alami lebih tinggi dari mortalitas karena penangkapan.Laju eksploitasi (E) sepetang yang diperoleh pada penelitian ini adalah 0.44.Rrekrutmen kerang sepetang berlangsung setiap bulan dengan jumlah yang bervariasi.Kerang sepetang memilih plankton kelompok Bacillariophycea sebagai makanan yang disukai setelah detritus

Kerang sepetang (P. acutidens) dapat ditentukan jenis kelaminnya secara mikroskopis setelah kerang mempunyai ukuran panjang cangkang ± 35 mm, dengan warna gonad betina putih sampai krem dan jantan kecoklatan. Kerang sepetang bersifat dioeciousdengan nisbah kelamin jantan dan betina seimbang (1 : 1.12). Kerang sepetang memijah dengan cara bertahap (mengeluarkan gametnya sebagian, partially spawned).Kerang sepetang memijah sepanjang tahun dengan puncak pemijahan pada bulan Mei - Juni.

Hasil analisis hubungan antara karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove dan karakter biologi (populasi dan reproduksi) kerang sepetang secara deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata kelimpahan dan karakter biologi populasi dan reproduksi yang meliputi indeks kondisi, koefisien pertumbuhan, indeks kematangan gonad, fekunditas dan diameter telur kerang sepetang relatif lebih tinggi pada stasiun SM dengan kandungan nitrat, pH air, DO, organik sedimen, pH sedimen dan fraksi lumpur atau lanau yang tinggi. Selain itu pada stasiun SM ini juga mempunyai kelimpahan plankton, kerapatan mangrove X. granatum dan R. apiculata yang lebih tinggi dibandingkan stasiun PP dan SD.

(6)

karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove yang berbeda. Kelompok I (pertama) yang terdiri dari stasiun SM1, SM2 dan SM3 dicirikan oleh nilai indeks kematangan gonad(IKG) dan fekunditas sepetang yang lebih tinggi, dengan karakteristik ekosistem mangrove pada stasiun ini adalah fraksi lumpur, bahan organik sedimen, kerapatan mangrove R. apiculata dan X. granatum yang relatif tinggi.Kelompok II (kedua) yang terdiri dari stasiun SD1, SD2 dan SD3 dicirikan oleh nilai indeks kondisi (IK) yang relatif tinggi. Stasiun ini dicirikan oleh jenis mangrove B. gymnorrhizadan A. alba yang relatif tinggi dan tidak dicirikan oleh karakteristik fisika kimia tertentu

(7)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Perngutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

EKOSISTEM MANGROVE PESISIR KOTA DUMAI

RIAU

EFRIYELDI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASRJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc.

(10)

Nama : Efriyeldi

NIM. : C561070061

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Ketua

Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atassegala karunia-Nyasehingga disertasi ini berhasil diselesaikan dengan judul “Ekobiologi Kerang Sepetang (Pharella acutidensBroderip & Sowerby, 1828)di Ekosistem Mangrove Pesisir Kota Dumai Riau”.

Dalam menyelesaikan disertasi ini berbagai pihak telah banyak membantu, oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA, selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan dan arahan dalam penyelesaian disertasi ini.

2. Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kelautan beserta staf (khususnya Mbak Denti) yang telah banyak membantu penulis dalam hal administrasi akademik selama menempuh studi.

3. Bapak Prof. Dr. Ashaluddin Jalil, MS, selaku Rektor Universitas Riau yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor.

4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Bustari Hasan, M.Sc., sebagai Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau yang telah memfasilitasi penulis dalam pemakaian laboratorium di lingkungan Fak. Perikanan dan Ilmu Kelautan UR. 6. Ibu Dr. Windarti, M.Sc. Kepala Laboratorium Pelayanan Terpadu Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau yang telah banyak memberikan bantuan dan arahan dalam analisis sampel.

7. Kepada Miswantono, SPi,MSi dan Ernawati, SSos atas bantuan dan tumpangan di kediamannya selama penelitian di Kota Dumai.

8. Kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam pengumpulan sampel di lapangan, analisis sampel di laboratorium (khususnya sdr. Helvitri S.Farm), pengolahan dan analisis data serta penyusunan laporanyang tidak dapat disebutkan satu per satu tak lupa penulis ucapkan terimakasih.

9. Rekan-rekan mahasiswa IKL dan TEK 2007 (Supriadi, Syafyudin, Isni Nurruhwati, Maxi ET Parengkuan, Ahmad Najid, M. Banda Selamat, Syamsul Bahri Agus) atas dukungan, bantuan, semangat dan kebersamaannya.

10 Kepada Istri tercinta Sri Astutik Ambar Wahyuni, SEdan Athiyyah A. Diastuti ananda tercinta atas dukungan moral dan material serta doanya.

11Terkhusus buat kedua orang tua tercinta Bapak H. Syamsurijal dan Ibu Hj. Nurmayunis (Almh.) atas dorongan dan doanya.

Demikian, akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2012

(12)

pada tanggal 18 November 1966 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak H. Syamsurijal dan Ibu Hj. Nurmayunis (almh.). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau Pekanbaru, lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan universitas yang sama diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

(13)
(14)

Sowerby, 1828) Clamin Mangrove Ecosystem Dumai Coastal Riau. Under direction of DIETRIECH G. BENGEN, RIDWAN AFFANDI and TRI PRARTONO.

TheSepetang” (P. acutidens) clam population in Dumai mangrove ecosystem seemed to decrease due to the increase of mangrove degradation and clam exploitation. The aims of the study were todetermine the population and reproductive biology character of the“sepetang” (P. acutidens)clam and their relationship with biophysical and chemical characteristic of mangrove ecosystem.The study was carried out from November 2010 to October 2011 inDumai mangrove ecosystem. Population biology aspects such as patterns of the population growth, mortality and recruitment of the clam P. acutidens were determined.Reproductive biology aspects such as sex ratio, gonadal development,gonadosomatic index, fecundity and oocytes diameter were also studied.The “sepetang” clam habitat characteristic was evaluated based on biophysical and chemical parameters of mangrove environment at each station using principal component analysis. Descriptive analysis was used to evaluate

relationship between “sepetang” biological character and mangrove ecosystem

environment characteristics. Correspondence analysis was used to analyze spatial distribution of “sepetang” clam in relation with biological character. The results showed that the study area was classified into four groups of stations. First, consists of station SM1 and SM2 was characterized by high concentration of nitrate and phosphate, organic sediment, silt fraction, X. granatum andR. apiculata mangrove species density. Seconds, consists of station P1, P2 and P3 characterized by high salinity, sand and clay fraction, and H. littoralis mangrove species density. Third, consist of station SM3 characterized by high pH of water and sediment and plankton density. Fourth, consists of stasion SD1, SD2 and SD3 characterized by high density of B. gymnorrhiza and A. alba. The growth pattern of P. acutidens was negative allometric with asymptotic length (L) was 92.71 mm. The annual growth coefficient (K) and total mortality were 0.59 and 1.87 per year, respectively. The recruitment occurred every month.Sex of the sepetang

clam can be determined at the size more than 35 mm. The male to female ratio was 1 : 1.12 and no specimen hermaphroditism was observed. Histological analysis indicated that P. acutidenswas partially spawned. The fecundity increase with an increase of shell length and correlated significantly with shell length. The sepetang clam probably spawn continuously throughout the year with a peak spawning season between May-June. The results showed that high gonadosomatic index and fecundity of “sepetang” clam in station SM1, SM2 and SM3. The stations were characteristized by high organic sediment, silt fraction, andR. apiculata density.

Keywords : Ecobiology, mangrove ecosystem, population, reproduction,

(15)

RINGKASAN

EFRIYELDI. Ekobiologi Kerang Sepetang (Pharella acutidensBroderip & Sowerby, 1828) di Ekosistem Mangrove Pesisir Kota Dumai Riau. Dibimbing oleh DIETRIECH G. BENGEN, RIDWAN AFFANDI dan TRI PRARTONO.

Pharellaacutidens Broderip dan Sowerby, 1828 merupakan salah satu jenis bivalvia/kerang (moluska) yang hidup di ekosistem mangrove. Bivalvia P. acutidens termasuk ke dalam Ordo Veneroida dan Famili Solenidae (Cultellidae). Belum banyak laporan tentang penyebaran kerang Pharella ini, terutama di Indonesia, salah satunya di ekosistem mangrove pesisir Dumai Barat Kota Dumai, Riau. Selain sebagai salah satu sumber protein bagi masyarakat, kerang sepetang juga mempunyai peran ekologis. Lubang-lubang yang dibangun kerang sepetang dapat membantu masuknya oksigen masuk ke dalam substrat hutan mangrove yang sering mengalami kondisi anoksik. Cara makan sepetang yang bersifat filter feeder dapat menurunkan tingkat kekeruhan perairan. Populasi kerang sepetang di ekosistem mangrove Dumai Barat saat ini menunjukkan gejala penurunan. Hal ini diperkirakan terkait dengan degradasi ekosistem mangrove, yaitu penurunan kerapatan vegetasi mangrove dan luasan hutan mangrove di Dumaidan penangkapan sepetang yang intensifoleh masyarakat. Perkembangan Kota Dumai sebagai kota industri dan pelabuhan telah menyebabkan bertambahnya limbah yang masuk ke perairan, termasuk ke ekosistem mangrove. Mengingat pentingnya peran ekologis kerang sepetang di ekosistem mangrove dan peran ekonomis kerang sepetang bagi masyarakat pesisir Dumai khususnya, masalah penurunan populasi kerang P. acutidens perlu segera diatasi, baik melalui tindakan konservasi maupun rehabilitasi.

Tujuan penelitian ini adalahmendeterminasi karakter biologi populasi dan karakter biologi reproduksi kerang sepetang (P. acutidens) serta menelaah hubungan antara karakteristik biofisik dan kimia ekosistem mangrove dan karakter biologi populasi dan biologi reproduksi kerang sepetang (P. acutidens) di ekosistem mangrove Dumai.

(16)

mangrovemembentuk 4 kelompok stasiun, masing-masing memiliki karakteristik (ketiga) terdiri dari stasiun SM3 yang dicirikan oleh pH air dan pH sedimen serta kelimpahan plankton yang tinggi. Kelompok IV (keempat) terdiri dari stasiun SD1, SD2 dan SD3, yang dicirikan oleh jenis mangrove B. gymnorrhizadan A. alba yang relatif tinggi dan tidak dicirikan oleh karakteristik fisika kimia tertentu.

Kerang sepetang menunjukkan kebiasaan hidup membenamkan diri dalam substrat lumpur. Bagian ujung anterior kerang ini berada pada bagian bawah menghadap ke substrat dan bagian ujung posterior menghadap ke atas (permukaan air).Kelimpahan rata-rata kerang sepetang (P. acutidens) pada setiap stasiun, tertinggi pada Stasiun SM, 10.2 ind/m2, diikuti Stasiun SD dan PP, masing-masing 7.4 dan 6.7 ind/m2. Nilai indeks sebaran Morisita yang diperoleh berkisar antara0.94-1.19, yang secara umum dapat dinyatakan kerang sepetang menyebar secara bergerombol. Pola pertumbuhan kerang sepetang jantan allometrik negatif dan betina isometrik.Panjang infinity (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K) kerang sepetang berturut-turut adalah 92.71 mmdan 0.59 per tahun dengan koefisien pertumbuhan (K) tertinggi didapatkan pada stasiun SM.Laju mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F) berturut-turutadalah 1.036 per tahun dan 0.834 per tahun. Secara umum mortalitas alami lebih tinggi dari mortalitas karena penangkapan.Laju eksploitasi (E) sepetang yang diperoleh pada penelitian ini adalah 0.44.Rrekrutmen kerang sepetang berlangsung setiap bulan dengan jumlah yang bervariasi.Kerang sepetang memilih plankton kelompok Bacillariophycea sebagai makanan yang disukai setelah detritus

Kerang sepetang (P. acutidens) dapat ditentukan jenis kelaminnya secara mikroskopis setelah kerang mempunyai ukuran panjang cangkang ± 35 mm, dengan warna gonad betina putih sampai krem dan jantan kecoklatan. Kerang sepetang bersifat dioeciousdengan nisbah kelamin jantan dan betina seimbang (1 : 1.12). Kerang sepetang memijah dengan cara bertahap (mengeluarkan gametnya sebagian, partially spawned).Kerang sepetang memijah sepanjang tahun dengan puncak pemijahan pada bulan Mei - Juni.

Hasil analisis hubungan antara karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove dan karakter biologi (populasi dan reproduksi) kerang sepetang secara deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata kelimpahan dan karakter biologi populasi dan reproduksi yang meliputi indeks kondisi, koefisien pertumbuhan, indeks kematangan gonad, fekunditas dan diameter telur kerang sepetang relatif lebih tinggi pada stasiun SM dengan kandungan nitrat, pH air, DO, organik sedimen, pH sedimen dan fraksi lumpur atau lanau yang tinggi. Selain itu pada stasiun SM ini juga mempunyai kelimpahan plankton, kerapatan mangrove X. granatum dan R. apiculata yang lebih tinggi dibandingkan stasiun PP dan SD.

(17)

pengelompokan titik pengamatan atas dua kelompok besar yang mempunyai keterkaitan erat antara kelompok karakter biologi (populasi dan reproduksi) menurut nilainya dengan stasiun pengamatan, yang masing-masing memiliki karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove yang berbeda. Kelompok I (pertama) yang terdiri dari stasiun SM1, SM2 dan SM3 dicirikan oleh nilai indeks kematangan gonad(IKG) dan fekunditas sepetang yang lebih tinggi, dengan karakteristik ekosistem mangrove pada stasiun ini adalah fraksi lumpur, bahan organik sedimen, kerapatan mangrove R. apiculata dan X. granatum yang relatif tinggi.Kelompok II (kedua) yang terdiri dari stasiun SD1, SD2 dan SD3 dicirikan oleh nilai indeks kondisi (IK) yang relatif tinggi. Stasiun ini dicirikan oleh jenis mangrove B. gymnorrhizadan A. alba yang relatif tinggi dan tidak dicirikan oleh karakteristik fisika kimia tertentu

(18)

DAFTAR TABEL ... xvi

2.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 9

2.2 Ekosistem Mangrove ... 10

2.3 Plankton ... 12

2.4 Faktor-faktor Lingkungan ... 12

2.5 Sistematika dan Morfologi Kerang Sepetang ... 14

2.6 Biologi Populasi Bivalvia ... 15

2.7 Biologi Reproduksi Bivalvia ... 17

3. METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.2 Bahan dan Alat ... 23

3.3 Prosedur Pengumpulan Data ... 23

3.4 Analisis Data ... 33

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1 Struktur Komunitas Vegetasi Mangrove ... 47

4.2 Jenis dan Kelimpahan Plankton ... 51

4.3 Karakteristik Fisik Kimia Lingkungan Ekosistem Mangrove ... 52

4.4 Sebaran Spasial Karakteristik Lingkungan Ekosistem Mangrove 60

4.5Biologi Populasi Kerang Sepetang (Pharella acutidens) ... 63

4.6 Biologi Reproduksi Bivalvia ... 90

4.7 Hubungan antara Karakteristik biofosik kimia ekosistem mangrove dan Karakter Biologi (Populasi dan reproduksi) ... 104

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Pharella acutidens ... 24 2. Jenis-jenis vegetasi mangrove yang terdapat pada Dumai Barat Kota

Dumai ... 47 3. Indeks Nilai Penting mangrove kelompok pohon pada setiap stasiun ... 49 4. Indeks Nilai Penting mangrove kelompok anakan pada setiap stasiun ... 50 5. Nilai parameter fisik kimia air dan sedimen pada setiap stasiun di

ekosistem mangrove pesisir Kota Dumai ... 56 6. Persentase rata-rata fraksi sedimen habitat kerang sepetang (P.

acutidens) ... 59 7. Indeks sebaran Morisita kerang sepetang pada di setiap stasiun per

bulan selama penelitian ... 70 8. Parameter hubungan panjang berat kerang sepetang P. acutidens

diekosistem mangrove pesisir Kota Dumai ... 76 9. Parameter pertumbuhan K, L dan t0 kerang sepetang (P. acutidens)

pada setiap stasiun ... 80 10. Laju mortalitas dan eksploitasi kerang sepetang (P. acutidens) di

ekosistem mangrove Kota Dumai ... 83 11. Persentase rekrutmen bulanan sepetang di ekosistem mangrove Kota

Dumai ... 85 12. Rata-rata kecepatan pertumbuhan spesifik panjang dan berat sepetang

per bulan selama lima bulan pemeliharaan ... 87

13. Nilai rata-rata Index Electivity (IE) plankton sebagai makanan P. acutidens ... 89

14. Nisbah kelamin kerang sepetang (P. acutidens) pada setiap stasiun ... 92 15. Nisbah kelamin kerang sepetang (P. acutidens) setiap bulan di 18. Matrik hubungan antara karakteristik lingkungan mangrove dan

karakter biologi (populasi dan reproduksi) kerang sepetang pada

(20)

1. Kerangka pendekatan pemecahan masalah penelitian ekobiologi

kerang Pharella acutidens ... 7

2. Kerang sepetang (Pharellaacutidens) ... 15

3. Daur hidup bivalvia Tridagna (Sumber: King 1995) ... 18

4. Peta lokasi penelitian dan penempatan stasiun ... 25

5. Ilustrasi petak contoh (plot) pengambilan sampel vegetasi mangrove untuk tingkat pohon, anakan dan semai ... 26

6. Pedoman pengukuran panjang, lebar dan tebal kerang sepetang ... 29

7. Kelimpahan plankton (sel/l) pada setiap stasiun selama penelitian ... 52

8. Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan sumbu 2 (A) dan diagram sebaran stasiun penelitian pada sumbu 1 dan 2 (B). ... 61

9. Kerang sepetang mengeluarkan sifonnya dalam wadah berisi air ... 64

10. Kelimpahan rata-rata kerang sepetang selama penelitian pada setiap stasiun... 65

11. Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan sumbu 2 (A) dan diagram sebaran stasiun penelitian pada sumbu 1 dan 2 (B) ... 67

12. Sebaran ukuran panjang cangkang kerang sepetang (P. acutidens). Data gabungan, B) Stasiun SM, C) Stasiun PP, D) Stasiun SD ... 71

13. Hubungan morfometrik cangkang kerang sepetang (P. acutidens). A) Hubungan panjang dengan lebar, B) Panjang dengan tebal, C) Lebar dengan tebal ... 72

14. Hubungan morfometrik antara panjang cangkang dengan lebar dan tebal kerang sepetang (P. acutidens). A) Betina dan B) Jantan ... 73

15. Grafik hubungan panjang berat kerang sepetang (P. acutidens) dari pesisir Dumai. A) Gabungan, B) Jantan, C) Betina ... 74

16. Grafik rata-rata Indeks Kondisi (%) kerang P. acutidens pada masing-masing stasiun. ... 77

17. Kurva pertumbuhan kerang P. acutidens hasil analisis program FISAT. L = 92.71 dan K = 0.59 ... 80

18. Kurva konversi hasil tangkapan panjang kerang P. acutidens ... 81

(21)

20. Gonad betina kerang P. acutidens yang berwarna putih-krem (A) dan jantan yang berwarna kecoklatan (B) ... 91 21. Persentase tahap perkembangan gonad kerang sepetang (P.

acutidens) selama penelitian ... 97 22. Grafik nilai rata-rata IKG selama penelitian. SM : muara S. Mesjid, PP :

Pantai Purnama, SD : muara S. Dumai... 98 23. Hubungan antara IKG dengan curah hujan, salinitas dan suhu air ... 101 24. Grafik hubungan panjang (A) dan berat (B) kerang sepetang dengan

fekunditas ... 100 25. Diameter rata-rata oosit kerang sepetang setiap bulan pada

masing-masing stasiun. SM : muara S. Mesjid, PP : Pantai Purnama, SD : muara S. Dumai ... 103 26. Distribusi frekuensi diameter telur (µm) setiap bulan selama penelitian .. 104 27. Diagram analisis faktorial koresponden antara stasiun pengamatan dan

karakter biologi (populasi dan reproduksi) sepetang (P. acutidens) pada sumbu 1 dan sumbu 2 ... 107

(22)

1. Skema penempatan transek dan petakan kuadrat untuk pengamatan vegetasi mangrove dan kerang sepetang di ekosistem mangrove Dumai . 123 2. Klasifikasi ukuran butiran sedimen berdasarkan skala Wentworth

(English et al. 1994) ... 124 3. Gambar kurungan tempat pemeliharaan kerang sepetang (P. acutidens)

dan penempatannya di ekosistem mangrove ... 125 4. Prosedur pembuatan preparat histologis dengan metode irisan (Rao

dalam Natan 2008) ... 126 5. Kriteria yang digunakan untuk menentukan tahap perkembangan gonad

pada preparat histologis menurut Porter (1964); Ropes (1968) dan 8. Jenis dan kerapatan (ind./ha) vegetasi mangrove dari kelompok semaian

di pesisir Dumai ... 133 9. Struktur komunitas plankton di perairan hutan mangrove Kota Dumai . 134 10. Curah hujan dan jumlah hari hujan di Kota Dumai pada bulan

November 2010 sampai Oktober 2011 ... 136 11. Daftar pasang surut di perairan Dumai ... 137 12. Data yang diolah dan hasil analisis komponen utama karakteristik

biofisik kimia ekosistem mangrove ... 139 13. Kelimpahan (ind./m2) rata-rata kerang sepetang (P. acutidens) pada

masing-masing stasiun di perairan pesisir Dumai Barat ... 142 14. Hasil Analisis Variansi (ANOVA) kelimpahan kerang sepetang antar

stasiun di ekosistem mangrove pesisir Kota Dumai ... 143 15. Data yang diolah dan hasil analisis komponen utama fisik kimia

sedimen, mangrove dan sepetang... 144 16. Nilai 2 indeks Morisita masing-masing stasiun setiap bulan ... 147 17. Grafik hubungan panjang berat kerang sepetang dari ekosistem

mangrove pesisir Dumai menurut stasiun dan jenis kelamin ... 148 18. Kurva pertumbuhan kerang P. acutidens hasil analisis program FISAT.

(23)

19. Nilai Index Electivity (Indek pilihan) plankton sebagai makanan Pharella acutidens ... 150 20. Jenis kelamin kerang sepetang berdasarkan kelas ukuran panjang ... 151 21. Hasil analisis faktorial koresponden kerang sepetang berdasarkan

(24)

1.1 Latar Belakang

Pharella acutidens Broderip dan Sowerby, 1828 merupakan salah satu jenis

bivalvia/kerang (moluska) yang hidup di ekosistem mangrove. Menurut Carpenter

dan Niem (1998) bivalvia P. acutidens termasuk ke dalam Ordo Veneroida dan

Famili Solenidae (Cultellidae). Genus Pharella ini selain terdiri dari jenis P.

acutidens atau dikenal Sharp razor clam, juga jenis P. javanica atau Javanese razor

clam.

Belum banyak laporan tentang penyebaran kerang Pharella ini, terutama di

Indonesia. Salah satu lokasi yang memiliki sumberdaya P. acutidens adalah

ekosistem mangrove di Dumai Barat Kota Dumai Provinsi Riau, dan oleh masyarakat

pesisir Dumai disebut sipetang/sepetang (Tanjung et al. 2005; Disnakkanla Kota

Dumai 2008). Kerang sepetang ini sudah lama menjadi bahan makanan bagi

masyarakat pesisir Dumai. Menurut Tanjung (2005) kerang sepetang merupakan

salah satu sumber protein hewani dan digemari penduduk pesisir Dumai Barat.

Analisis proksimat kerang sepetang menunjukkan bahwa kerang ini mengandung

protein relatif tinggi, yaitu 13.25%. Kandungan protein ini lebih tinggi dibandingkan

pada kerang lumpur (Anodontia edentula) yang diperoleh Natan (2008), yaitu

sebesar 10.8%, namun lebih rendah dibandingkan yang didapat Trisyani et al. (2007)

pada kerang lorjuk (Solen vaginalis), yaitu sebesar 18.67%.

Selain sebagai salah satu sumber protein bagi masyarakat, kerang sepetang juga

mempunyai peran ekologis. Lubang-lubang yang dibangun kerang sepetang dapat

membantu masuknya oksigen ke dalam substrat hutan mangrove yang sering

mengalami kondisi anoksik. Cara makan sepetang yang bersifat filter feeder dapat

menurunkan tingkat kekeruhan perairan karena mengabsorpsi partikel seston organik

dan anorganik, sehingga cahaya yang mencapai dasar menjadi meningkat (Newell

2007). Bivalvia juga memainkan peranan penting lainnya dalam ekosistem laut, yaitu

mengontrol aliran material dan energi (Dame 1996 ; Gosling 2003 diacu dalam

(25)

2

Populasi kerang sepetang di ekosistem mangrove Dumai Barat saat ini

menunjukkan gejala penurunan. Berdasarkan informasi dari masyarakat yang sering

menangkap kerang sepetang, kerang ini semakin sulit didapat. Untuk mendapatkan 2

kg kerang sepetang saja sekarang ini dibutuhkan waktu berjam-jam, sehingga jarang

dijual di pasar. Hal ini diperkirakan terkait dengan tekanan pada ekosistem mangrove

sebagai habitat kerang sepetang seperti penebangan hutan mangrove, pencemaran dan

penangkapan oleh masyarakat yang intensif. Degradasi ekosistem mangrove berupa

penurunan kerapatan vegetasi mangrove dan luasan hutan mangrove di pesisir Dumai

terjadi akibat penebangan vegetasi mangrove dan konversi hutan mangrove menjadi

peruntukan lainnya seperti untuk kawasan industri, pelabuhan dan pertanian.

Perkembangan Kota Dumai sebagai kota industri dan pelabuhan telah menyebabkan

bertambahnya limbah yang masuk ke perairan, termasuk ke ekosistem mangrove.

Menurut Yayasan Laksana Samudera dan Bappeko Dumai (2003) hutan

mangrove di wilayah pesisir Kota Dumai memiliki luas 5.330.56 ha dan telah

mengalami penurunan luasan hutan mangrove sebesar 553.379 ha (9.39%) dalam

rentang waktu tahun 1998 - 2002. Perkembangan Dumai sebagai kota industri dan

pelabuhan telah menyebabkan semakin beratnya tekanan terhadap lingkungan

perairan pesisir Kota Dumai termasuk ekosistem mangrove dan biota yang hidup di

dalamnya.

Mengingat pentingnya peran ekologis kerang sepetang di ekosistem mangrove

dan peran ekonomis kerang sepetang bagi masyarakat pesisir Dumai khususnya,

masalah penurunan populasi kerang P. acutidens perlu segera diatasi, baik melalui

tindakan konservasi maupun rehabilitasi. Upaya perbaikan populasi kerang sepetang

telah dimulai oleh kelompok Pencinta Alam Bahari di kawasan Muara Sungai Dumai

pada tahun 2007 (Issfad 2009), namun belum menunjukkan hasil yang nyata. Hal ini

terkait dengan terbatasnya informasi yang dapat dijadikan panduan pada kegiatan

tersebut, terutama informasi ekologi dan biologi kerang sepetang itu sendiri.

Sejauh ini publikasi tentang spesies kerang Pharella acutidens masih sangat

terbatas. Davy dan Graham (1982) melaporkan kerang P. acutidens sebagai komoditi

(26)

acutidens sebagai salah satu jenis bivalvia di ekosistem mangrove semenanjung

Leizhou, China dan Tang et al. (2007) tentang keberadaan P. acutidens di hutan

mangrove Zhanziang Teluk Yingluo Provinsi Guangdong, China. Tanjung (2005)

mendeskripsikan tingkat kematangan gonad sepetang secara kualitatif serta beberapa

aspek biologi lainnya. Febrita et al. (2006) mendapatkan kerang sipetang

mengakumulasi logam Pb dan Cu dengan nilai faktor konsentrasi biologi secara

berturut-turut 34.17-49.96 dan 455.17-4032.50.

Sehubungan dengan masih sangat terbatasnya informasi tentang P. acutidens,

maka perlu dilakukan kajian ekobiologi kerang sepetang pada ekosistem mangrove

dengan berbagai kondisi. Karakter biologi kerang sepetang yang dikaji meliputi

biologi populasi dan biologi reproduksi. Selanjutnya informasi ini dapat digunakan

dalam konservasi dan rehabilitasi dalam upaya peningkatan populasi kerang sepetang,

khususnya di pesisir Kota Dumai.

1.2 Perumusan Masalah

Penurunan populasi kerang Pharella acutidens di ekosistem mangrove pesisir

Dumai Barat diperkirakan terkait dengan degradasi lingkungan mangrove akibat

penebangan dan konversi hutan mangrove oleh masyarakat dan penurunan kualitas

lingkungan mangrove karena masukan limbah dari industri, perkotaan dan pelabuhan

yang semakin meningkat. Selain itu eksploitasi kerang sepetang secara intensif juga

diperkirakan turut menyebabkan menurunnya populasi kerang sepetang di pesisir

Dumai.

Menurut Nasution (1994) kerapatan mangrove di pesisir Dumai rata-rata 3.135

phn/ha, sedangkan Hamidy (2002) mendapatkan di lokasi yang sama 2.823 phn/ha.

Menurut Prianto et al. (2006), kerapatan mangrove di pesisir Kota Dumai pada 2003

berkisar antara 1.741-2.742 phn/ha. Riau Pos (2009) memuat tentang rusaknya hutan

mangrove di Dumai akibat pembukaan lahan industri di sepanjang pesisir. Penurunan

kualitas lingkungan mangrove karena limbah industri dan aktivitas pelabuhan,

(27)

4

Pengambilan kerang sepetang secara terus menerus tanpa memperhatikan ukuran

yang diambil dan cara pengambilan yang mengaduk-aduk substrat, diperkirakan juga

menjadi faktor menurunnya populasi kerang sepetang di pesisir Dumai Barat. Upaya

peningkatan populasi kerang sepetang yang telah dilakukan di ekosistem mangrove

pesisir Dumai Barat sejauh ini belum menunjukkan hasil yang nyata.

Upaya konservasi dan rehabilitasi dalam rangka meningkatkan populasi kerang

sepetang memerlukan informasi yang memadai, terutama mengenai aspek ekobiologi

kerang sepetang. Saat ini informasi tentang hal tersebut masih sangat terbatas.

Penelitian yang sudah dilakukan belum mengkaji secara lebih mendalam dan

menyeluruh. Untuk itu perlu dilakukan kajian tentang habitat kerang sepetang serta

karakter biologi populasi dan biologi reproduksinya.

1.3 Pendekatan Pemecahan Masalah

Untuk mendapatkan informasi tentang ekobiologi kerang sepetang P.acutidens

yang belum terungkap sebelumnya, perlu dilakukan beberapa pendekatan. Data

tentang ekobiologi kerang sepetang diperoleh dengan melakukan pengamatan,

pengukuran dan pengambilan sampel. Untuk itu dilakukan analisis parameter

biofisik kimia pada habitat kerang yang terdapat di kawasan hutan mangrove,

meliputi parameter fisika-kimia perairan (air dan sedimen) dan parameter biologi,

yaitu struktur komunitas vegetasi mangrove dan plankton. Analisis isi lambung

dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran apa jenis makanan sepetang. Untuk itu

dilakukan pengambilan sampel pada kawasan intertidal hutan mangrove Dumai yang

mencakup zona bawah, tengah dan atas.

Informasi tentang kelimpahan sepetang diperlukan untuk menentukan sebaran

spasial-temporal kerang. Untuk mendapatkan kelimpahan kerang sepetang secara

spasial dilakukan pengambilan sampel kerang dengan menggunakan metode petak

dalam jalur (garis berpetak), tegak lurus dengan garis pantai, mulai ditemukan

vegetasi mangrove sampai mangrove terakhir, mencakup zona atas, tengah dan

bawah. Sebaran temporal diperoleh melalui pengamatan dan pengambilan sampel

(28)

Data ukuran panjang, lebar, tebal dan berat dibutuhkan untuk menentukan

morfometrik, hubungan panjang berat, dan parameter pertumbuhan populasi kerang

sepetang. Data berat daging (berat kering dan berat kering bebas abu) dan berat

cangkang kering, diperlukan untuk mendapatkan indeks kondisi kerang sepetang.

Melalui analisis data kelimpahan sampel kerang yang diperoleh pada setiap stasiun

secara teratur selama satu tahun diketahui pola distribusi spasial sepetang. Data

kelimpahan kerang sepetang yang diperoleh, bila dipisahkan atas beberapa frekuensi

panjang untuk mendapatkan parameter pertumbuhan kerang sepetang.

Melalui pembedahan atau pembukaan cangkang dan pengamatan gonad kerang

sepetang setiap bulan dapat dikumpulkan data tentang biologi reproduksi kerang yang

mencakup, seksualitas, nisbah kelamin, tahap perkembangan gonad (histologis),

fekunditas dan diamater telur/oosit. Melalui pengamatan selama satu tahun, diketahui

ukuran kerang mulai dapat dibedakan jenis kelamin, waktu kerang matang gonad dan

memijah, dan potensi reproduksi.

Selanjutnya akan didapatkan informasi parameter biofisik kimia lingkungan

mangrove, karakter biologi populasi dan reproduksi kerang sepetang yang sangat

diperlukan dalam konservasi dan rehabilitasi dalam rangka meningkatkan populasi

kerang sepetang. Diagram pendekatan pemecahan masalah penelitian ekobiologi

kerang P.acutidens dapat dilihat pada Gambar 1.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeterminasi karakter biologi populasi kerang sepetang (P. acutidens) di

ekosistem mangrove Dumai.

2. Mendeterminasi karakter biologi reproduksi kerang sepetang (P. acutidens) di

ekosistem mangrove Dumai

3. Menelaah hubungan antara karakter biologi (populasi dan reproduksi) kerang

sepetang (P. acutidens) dan karakteristik biofisik kimia lingkungan ekosistem

(29)

6

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar

dalam upaya konservasi dan rehabilitasi dalam rangka meningkatkan populasi kerang

sepetang (P.acutidens) di ekosistem mangrove Dumai.

1.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah karakter biologi populasi

dan biologi reproduksi kerang sepetang (P. acutidens) terkait dengan karakteristik

biofisik kimia ekosistem mangrove.

1.6 Kebaruan (Novelty)

1. Jenis kelamin kerang sepetang dapat ditentukan secara mikroskopis setelah

berukuran panjang ± 35 mm. Secara makroskopis jenis kelamin dapat ditentukan

setelah berukuran lebih dari ukuran tersebut dan sudah matang gonad (ripe)

dengan warna gonad betina putih - krem, jantan berwarna kecoklatan. Secara

histologis diketahui kerang sepetang bersifat dioecious, bukan hermaprodit.

2. Karakter biologi kerang sepetang berupa indeks kematangan gonad dan fekunditas

mempunyai hubungan yang positif dengan jenis dan kerapatan mangrove

(30)

Kerang Sepetang (Pharella acutidens) Eksploitasi Degradasi Lingkungan

Penurunan Populasi Kerang Sepetang

Upaya pengelolaan (Konservasi dan Rehabilitasi)

Ekosistem Mangrove dan Populasi Sepetang Populasi Sepetang Lestari

Parameter Biofisikkimia Lingkungan Mangrove :

• Struktur Komunitas Mangrove • Jenis dan Kelimpahan Plankton • Curah Hujan dan Pasang Surut

Kualitas Air dan Sedimen

Biologi Populasi Sepetang :

• Kelimpahan • Distribusi

• Pola Pertumbuhan • Koefisien Pertumbuhan • Indek Kondisi

Biologi Reproduksi Sepetang :

• Nisbah kelamin

• Indek Kematangan Gonad • Tahap Perkembangan Gonad • Fekunditas

• Diameter Telur •

Kajian Ekobiologi Kerang Sepetang

Ekosistem Mangrove

(31)
(32)

2.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Kota Dumai yang merupakan lokasi penelitian berada pada posisi 1o34’25” - 1o44’08” LU dan 101o22’03” - 101o29’05” BT. Wilayahnya berupa daratan rendah dengan ketinggian 0 - 4 meter dari permukaan laut. Daerah ini pada umumnya mengalami dua musim setiap tahunnya, yaitu musim hujan pada bulan Nopember - April dan musim kemarau Mei - Oktober. Kota Dumai berbatasan dengan Selat Rupat di sebelah utara, sebelah timur dengan Kabupaten Bengkalis, sebelah barat dengan Kabupaten Rokan Hilir dan sebelah selatan dengan Kecamatan Mandau (Kab. Bengkalis) (Badan Pusat Statistik Kota Dumai, 2007).

Perairan Kota Dumai yang berada di Selat Rupat termasuk kawasan dengan lalu lintas laut yang ramai. Wilayah ini terlindungi oleh keberadaan Pulau Rupat dan pulau-pulau kecil lainnya yang menyebabkan kondisi perairan relatif tenang. Perairan ini memiliki kedalaman mencapai 30 meter. Kondisi ini sangat mendukung bagi lalu lintas kapal dan kegiatan kepelabuhan. Tipe pasang di perairan Kota Dumai adalah pasang semi-diurnal, terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari semalam dengan tinggi antara pasang yang satu berbeda dengan yang lainnya. Pasang surut berperanan menciptakan kelancaran arus transportasi pelayaran terutama di muara sungai yang mengalami sedimentasi yang cukup tinggi (Bappeko Dumai 2002).

(33)

10

Hutan mangrove di Kota Dumai diperkirakan seluas 2.125 ha, meliputi wilayah pesisir pantai Kecamatan Medang Kampai dengan luas yang telah banyak berkurang dan tingkat kerapatannya telah menurun, di Kecamatan Dumai Barat, yaitu di Kelurahan Pangkalan Sesai dan Kelurahan Purnama, dan Kecamatan Sungai Sembilan dengan sebaran yang paling tinggi, walaupun saat ini telah banyak mengalami penurunan (Dinasnakkanla Kota Dumai 2008).

2.2 Ekosistem Mangrove

Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Avicenniaceae (Avicennia), Sonneraticeae (Sonneratia), dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen 2002). Issfad (2009) mencatat sebanyak 15 jenis mangrove di ekosistem mangrove sekitar muara Sungai Dumai, meliputi Avicenia alba, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera parviflora, Ceriop tagal, Gymnanthera paludosa, Heritiera littoralis, Lumnitzera littorea, Lumnitzera racemosa, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Scyphiphora hydrophyllacea, Sonneratia alba, Sonneratia ovata, Xylocarpus granatum.

(34)

yang datar/landai, 5) keberadaan air laut, 6) fluktuasi pasang surut yang cukup besar dan 7) keberadaan lumpur dan tanah vulkanik (Chapman 1975b diacu dalam Kusmana 1996).

Fungsi biologi ekosistem mangrove adalah sebagai daerah asuhan bagi larva dan individu muda, tempat mencari makan, tempat bertelur, serta habitat alami berbagai jenis biota yang beberapa di antaranya memiliki nilai komersil. Daun-daun mangrove yang berjatuhan dan berakumulasi pada sedimen mangrove sebagai “leaf litter” (lapisan dan sisa-sisa daun), mendukung komunitas organisme detrital yang besar jumlahnya. Organisme ini bertindak sebagai pengurai daun-daun dan mengubahnya menjadi energi yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah moluska, krustase, kepiting, ikan, reptilia laut, mamalia serta burung (Dahuri 1996).

Bagian tumbuhan mangrove yang gugur, seperti daun, bunga, buah, cabang dan ranting dikenal sebagai guguran serasah (litterfall), penting sebagai sumber detritus bahan organik yang menyokong rantai makanan di laut. Serasah mangrove merupakan sumber hara bagi daerah muara dan sungai (Odum & Heald 1974).

Nybakken (1992) menyatakan bahwa kelompok hewan lautan yang dominan dalam hutan bakau adalah moluska, udang-udangan tertentu dan beberapa ikan khas. Moluska diwakili oleh sejumlah siput, suatu kelompok yang umumnya hidup pada akar dan pohon bakau (Littorinidae) dan lainnya pada lumpur di dasar akar mencakup sejumlah pemakan detritus (Ellobiidae dan Potamididae). Kelompok kedua adalah dari moluska, termasuk bivalva.

(35)

12

2.3 Plankton

Plankton merupakan salah satu komponen utama dalam sistem mata rantai makanan (food chain) dan jaring makanan (food web). Plankton ini menjadi pakan bagi sejumlah konsumer dalam sistem mata rantai makanan dan jaring makanan. Keberadaan plankton sangat mempengaruhi kehidupan di perairan karena memegang peranan penting sebagai makanan bagi berbagai organisme laut. Plankton ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu fitoplankton (plankton tumbuhan) dan plankton hewani (zooplankton) (Fachrul 2007). Fungsi fitoplankton di perairan selain sebagai makanan bagi zooplankton juga makanan bagi berbagai jenis ikan serta larva biota yang masih muda, mengubah zat anorganik menjadi organik dan mengoksigenasi air (Wardiatno diacu dalam Fachrul 2007).

2.4 Faktor-faktor Lingkungan

Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa bivalvia yang berada di sedimen hutan mangrove dapat mentoleransi dalam periode yang panjang suhu yang tinggi dan oksigen yang rendah, dan sebagai hasilnya hanya sedikit grup yang dapat beradaptasi terhadap kondisi ini. Bivalva menjadi komponen bentik yang dominan pada bagian ke arah laut dari hutan mangrove yang dicirikan oleh hamparan lumpur intertidal (mud flat intertidal) yang luas.

(36)

Salinitas perairan pesisir sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi 2003). Dwiono (2003) menyatakan bahwa kemampuan mentoleransi salinitas dan temperatur Geloina expansa lebih sempit dibandingkan G. erosa. Kebanyakan moluska yang hidup di daerah estuari akan mengalami tekanan atau stress jika salinitas terlalu rendah (Wells dan Lens 1977 diacu dalam Russel-Hunter 1983).

Derajat keasaman (pH) perairan merupakan parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme. Setiap organisme mempunyai pH optimal, pH optimal untuk kehidupan moluska adalah 6.5-7.5 (Russel-Hunter 1983). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH 7.0-8.5 (Effendi 2003).

Oksigen merupakan salah satu gas terlarut yang memegang peranan penting untuk menunjang kehidupan organisme dalam proses respirasi dan metabolisme sel. Kandungan oksigen terlarut optimum untuk moluska berkisar antara 4.1-6.6 ppm. A granosa tunduk terhadap tekanan oksigen yang rendah di habitat alami (Bayne 1973 diacu dalam Broom 1985). Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg/l mengakibatkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik

Nitrat dan fosfat di perairan merupakan senyawa mikronutrien pengontrol produktivitas primer di lapisan permukaan daerah eufotik. Nitrat adalah hasil akhir dari proses oksidasi nitrogen. Plankton yang menjadi makanan bagi hewan penyaring seperti bivalvia akan dipengaruhi oleh konsentrasi nitrat dan fosfat di perairan. Pada umumnya fosfat di perairan alami tidak lebih dari 0.1 mg/l. Apabila kandungan fosfat cukup tinggi maka akan terjadi eutrofikasi (Goldman & Horne 1983). Ortofosfat (PO4-P) terlarut merupakan fosfor dalam bentuk anorganik yang dapat langsung dimanfaatkan dan mudah diserap oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya (Lind 1979).

(37)

14

akan dipengaruhi oleh gerakan pasang surut. Selama air pasang, kerang akan secara aktif menyaring makanan yang melayang dalam air, sedangkan selama air surut kegiatan pengambulan makanan akan sangat menurun bahkan mungkin akan terhenti sama sekali.

Sedimen di ekosistem mangrove adalah lumpur dan pasir berlumpur (Bengen 2002). Vermeij (1974) diacu dalam Morton (1983) mencatat bahwa tanah mangrove sangat asam dan menunjukkan bahwa dalam jumlah persentase yang besar dari moluska mangrove mengalami resorpsi. Well dan Slack-Smith (1981) diacu dalam Morton (1983) menyatakan bahwa sedikit bivalvia yang membenamkan diri dalam hutan mangrove. Hal ini terkait sedimen yang mungkin terlalu halus untuk moluska membenamkan diri. Menurut Budiman (1991), moluska dari kelas bivalvia banyak ditemukan pada substrat dengan kandungan liat rendah dan pasir yang sedang.

Seluruh spesies Anadara yang mempunyai nilai ekonomis penting membenamkan diri dalam substrat lunak. Anadara granosa dapat ditemukan pada substrat lumpur berpasir tetapi paling tinggi populasinya ditemukan pada lumpur lunak intertidal berbatasan dengan hutan mangrove (Pathansali 1966 diacu dalam Broom 1985). Kandungan air dari lumpur tempat ditemukan populasi alami A. granosa adalah 55-65% (Broom 1985).

2.5 Sistematika dan Morfologi Kerang Sepetang

Bivalvia yang termasuk ke dalam filum moluska terbagi ke dalam lima subklas, yaitu subklas Palaeotaxodonta, Palaeoheterodonta, Pteriomorpha, Anomalodesmata dan Heterodonta. Heterodonta memiliki superfamili Solenacea (Arnold 1989).

Sistematika kerang sepetang (Pharella acutidens) menurut Carpenter dan Niem (1998) adalah sebagai berikut.

Phylum : Moluska

Klas : Bivalvia Subklas : Heterodonta

Ordo : Veneroida

Superfamili : Solenacea

(38)

Tanjung (2005) mengelompokkan kerang Pharella acutidens ini ke dalam famili Pharidae. P. acutidens mempunyai cangkang yang sangat tipis dan memanjang, kira-kira lima kali lebarnya. Umbo yang rendah terletak di belakang anterior, sepertiga dari panjang cangkang, hinge dengan sedikitnya dua gigi cardinal tiap cangkup. P. acutidens mempunyai periostrakum coklat terang sampai kehijauan, sedangkan P. javanica mempunyai cangkang agak tipis dan memanjang, empat kali lebar ; periostrakum kecoklatan, sering gelap bagian tengah cangkang. Pharella acutidens dapat mencapai ukuran maksimum 8 cm dan pada umumnya berukuran 6 cm (Carpenter & Niem 1998). Sementara Tanjung (2005) mendapatkan ukuran P. acutidens ini mencapai lebih dari 9 cm. Morfologi kerang sepetang (P. acutidens) seperti pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Kerang sepetang (Pharellaacutidens) (Sumber : Dokumentasi penulis)

2.6 Biologi Populasi Bivalvia

Morfometrik adalah bentuk-bentuk luar dari bagian-bagian tubuh tertentu yang dijadikan dasar untuk membandingkan, seperti lebar, panjang dan lainnya. Morfometrik ini merupakan salah satu cara yang digunakan dalam membedakan subpopulasi (Effendie 1979). Panjang dan berat merupakan dua komponen dasar dalam biologi spesies pada tingkat individu dan populasi. Informasi hubungan panjang berat penting untuk manajemen dan perkiraan yang tepat dalam perikanan (Park & Oh 2002).

(39)

16

untuk memonitoring pertumbuhan Polymesoda erosa pada populasi alami. Park dan Oh (2002), mendapatkan pola pertumbuhan isometrik dari hubungan panjang berat untuk delapan spesies kerang dari 12 spesies kerang yang dianalisis, sementara spesies Solen strictus menunjukkan pola allometrik negatif (nilai b 2.55 ± 0.08). Widowati et al. (2005) memperoleh pola pertumbuhan allometrik positif antara panjang dan tinggi cangkang terhadap berat total (r2= 0.9437-0.9578) dan pola pertumbuhan allometrik negatif antara lebar terhadap berat total (r2= 0.9585) pada kerang totok (Polymesoda erosa) yang hidup di daerah hutan bakau Segara Anakan Cilacap. Mzighani (2005) memperoleh pertumbuhan Anadara antiquata dengan laju yang sama pada semua dimensi, yang merupakan pertumbuhan isometrik. Natan (2008) mendapatkan pola pertumbuhan kerang lumpur (Anodontia edentula) adalah allometrik positif (nilai b lebih besar dari 3).

Mariani et al. (2002) menyatakan bahwa perbedaan pola pertumbuhan ini diduga disebabkan oleh perbedaan strategi hidup dan kondisi lingkungan. Bachok dan Tsuchiya (2007) memperoleh hubungan yang signifikan dan korelasi yang kuat antara panjang cangkang dengan berat basah dan berat kering pada Psammotaea elongata dan Quidnipagus palatum. Panjang maksimum yang tercatat selama sampling untuk spesies P. elongata dan Quidnipagus palatum adalah 80.1 mm dan 54.9 mm secara berturut-turut.

(40)

dibandingkan yang jantan (Asif, 1979; Kayombo & Mainoya, 1987 diacu dalam Mzighani 2005).

Parameter pertumbuhan berdasarkan fungsi pertumbuhan Von Bertalanffy dari kerang Tellina foliacea adalah L = 7.70 mm, K = 1.200 per tahun dan t0 = 0.9 tahun (Negar et al. 2008). Parameter pertumbuhan von Bertalanffy K dan L dari Anadara tuberculosa adalah 0.14 per tahun dan 63.15 mm secara berturut-turut (Pirlot & Wolff 2006), sementara Natan (2009) mendapatkan parameter pertumbuhan kerang lumpur tropis Anodonda edentula, meliputi panjang asimtot (L ) jantan, betina dan gabungan 65.63 mm, 70.88 mm dan 70.58 mm, dan nilai koefisien pertumbuhan (K) kerang jantan, betina dan gabungan berturut-turut 1.3, 1.5, dan 1.5 per tahun.

Indeks kondisi bivalvia menunjukkan adanya variasi musiman dan sangat dipengaruhi oleh suhu air, makanan yang cukup dan siklus perkembangan gamet (Seed & Suchanek 1992; Karayucel & Karayucel 1999 diacu dalam Yildiz 2006). Perubahan musiman kondisi mussel (Mytilus galloprovinsialis L. 1819) merupakan resultan dari interaksi yang kompleks berbagai faktor, meliputi makanan, suhu, salinitas, aktivitas metabolisme dari mussel, terutama sekali proses pertumbuhan dan reproduksi (Hickman dan Illingworth 1980 diacu dalam Yildiz et al. 2006). Yildiz et al. (2006) mendapatkan indeks kondisi Mytilus galloprovinsialis L. 1819 tertinggi pada bulan Mei, yaitu 17.23 ± 0.89% dan terendah pada bulan Juli, yaitu 8.09 ± 0.91%. Sahin et al. (2006) memperoleh nilai indeks kondisi tertinggi kerang Anadara inaequivalvis pada bulan Mei (11.27 ± 0.667) dan terendah pada Agustus (4.68 ± 0.240).

2.7 Biologi Reproduksi Bivalvia

(41)

18

terlihat ada yang mempunyai gonoduct yang sama untuk jantan dan betina, tetapi ada juga yang terpisah (Mackie 1984).

Pelecypoda umumnya dioecious, mempunyai sepasang gonad yang terletak berdampingan dengan usus, kopulasi tidak terjadi. Pada protobranchia, gonoduct bermuara dalam ginjal, telur serta sperma dikeluarkan melalui nephridiopore. Pada lamellabranchia, gonoduct bermuara dalam rongga suprabranchia. Beberapa jenis pelecypoda bersifat hermaprodit, menghasilkan telur dan sperma pada bagian yang berbeda dalam gonad yang sama dan mempunyai gonoduct yang sama. Keadaan ini terdapat pada Tridacnidae, Pectinidae, Teredinidae, Sphaeriiadae air tawar. Gonad pada Pectin terbagi dua, di bagian ventral terdapat ovari dan bagian dorsal terdapat testes. Ostrea edulis dan Crassostrea virginica bersifat hermafrodit protandri. O. edulis dapat berubah kembali dari betina menjadi jantan. Pembuahan umumnya eksternal, gamet dikeluarkan melalui sifon ekshalant. Faktor yang mempengaruhi pemijahan antara lain adalah suhu, pasang surut dan zat yang dihasilkan oleh gamet dari lawan jenisnya. Pembuahan eksternal, merupakan kekhasan pelecypoda laut, menghasilkan larva trochopore, kemudian menjadi larva veliger yang berenang bebas sebagai meroplankton. Veligernya mempunyai dua keping cangkang. Masa hidup larva veliger sebagai plankton bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa bulan tergantung spesiesnya, sebelum turun ke substrat. Metamorfosa dicirikan oleh lepasnya velum dengan tiba-tiba, untuk kemudian menjadi kerang muda (Suwignyo et al. 2005). Daur hidup bivalvia seperti pada Gambar 3 berikut.

(42)

Sastry (1979) diacu dalam Calow (1983) menyatakan bahwa kebanyakan bivalvia bersifat gonochoristic. Selanjutnya digambarkannya hubungan antara tipe perkembangan, kecepatan perkembangan dan ukuran telur dari bivalvia : 1) planktotrofik (yang dominan) berhubungan dengan periode perkembangan berupa plankton yang panjang (>3 bulan) dan produksi jumlah telur yang banyak (>103) dengan ukuran yang kecil (diameter <100 µm); 2) lesitotrofik, berhubungan dengan masa hidup pelagik yang pendek (<3 bulan) dan produksi jumlah telur yang berukuran besar hanya sedikit (<103), kuning telur (diameter 150-200 µm) ; 3) perkembangan bentik secara langsung berhubungan dengan telur yang besar (diameter > 100 µm) dieramkan dalam marsupium dari ctenidia.

Gonad yang mengatur sistem reproduksi terletak dekat permukaan tubuh di antara ventrikula sebelah atas dan epitel sebelah luar. Gonad yang telah matang memiliki jaringan-jaringan canalis genitalis yang halus dan terlihat di permukaan karena pada saat itu permukaannya menjadi tipis. Semakin mendekati ductus (saluran ova atau sperma) yang lebar, diameter canalis semakin membesar. Organ seks betina adalah ovari sedangkan jantan adalah testis. Produksi kelenjer kelamin disalurkan keluar melalui saluran-saluran kelamin. Penentuan jenis kelamin sulit ditentukan secara eksternal maupun internal, sebab gonad jantan dan betina mempunyai warna yang sama yaitu krem (Cahn 1949 diacu dalam Natan 2008).

Gametogenesis dimulai secara singkat setelah pertumbuhan dan pematangan gonad. Pematangan gamet di bawah kontrol beberapa faktor eksogenous (meliputi suhu, periode matahari, kedalaman, faktor mekanik, kelimpahan dan tersedianya makanan, intensitas cahaya) dan faktor endogenous (meliputi genetik, hormonal) (Mackie 1984).

Gonad betina Anadara yang matang berwarna oranye terang, sementara yang jantan berwarna putih. Empat tahapan yang ditetapkan yakni developing atau maturing (pematangan), mature (matang), partially spent (dikeluarkan sebagian) dan spent (dikeluarkan), yang disebutkan sebagai tingkat I - IV. Spesimen yang jenis kelaminnya tidak dapat ditentukan, ditempatkan pada tingkat I (Mzighani 2005).

(43)

20

tahap pertumbuhan (growth) dan tahap pematangan (maturation). Pada tahap early gametogenesis folikel mempunyai diameter rata-rata 180.29 ± 41.91 µm dan ditutupi oleh tisu konekting dalam jumlah besar. Lumen folikel berisikan oosit previtellogenic rata-rata dengan diameter 18.66 ± 6.85 µm dan beberapa oosit vitellogenic. Pada tahap growth ditandai oleh sejumlah kecil tisu konekting interfolikuler. Diameter folikel berukuran rata-rata 218.02 ± 43.19 µm. Oosit previtellogenic sedikit ditemukan dan didominasi oosit vitellogenic. Diameter oosit rata-rata berukuran 25.92 ± 9.94 µm. Beberapa oosit yang matang ditandai oleh lumen folikel yang bebas juga ditemukan. Pada tahap maturation, oosit ditandai oleh jumlah kecil tisu konekting dengan dinding folikel yang tipis. Folikel rata-rata berukuran 298.16 ± 99.24 µm, beberapa oosit vitellogenik dan sejumlah besar oosit yang matang berukuran rata-rata 35.27 ± 9.94 µm. Disebutkan terakhir ditandai oleh bentuk bulat, volume yang besar, nucleus yang besar dan nucleus sedikit tranparan.

Tahap perkembangan gonad Anadara inaequivalvis betina menurut Sahin et al. (2006) : tahap resting, gonad dan area interfolikel penuh ditutupi oleh tisu konektif, tahap developing (immature), diameter folikel-folikel meningkat dan terisi oosit, tahap maturing (mature), folikel-folikel terisi dengan oosit yang sepenuhnya matang, tahap spent (spawn), folikel-folikel mulai kehilangan strukturnya, tahap full spent, folike-folikel mengecil, tisu konektif terbentuk kembali, dan oosit dalam folikel-folikel diserap. Tahap perkembangan gonad Anadara inaequivalvis jantan adalah : tahap resting, area gonad secara penuh ditutupi oleh tisu konekting, tahap beginning (primordial), tahap pembentukan folikel dalam tisu konekting dan tahap membawa spermatozoid secara intensif dalam folikel, tahap developing (immature), gerombolan spermatozoid terbentuk dan tisu konekting berkurang, tahap maturing (mature), tisu konekting interfolikel menghilang dan folikel mencapai ukuran maksimum, tahap spent (spawn), dinding folikel menipis, struktur mulai tak berbentuk dan jumlah spermatozoa meningkat, tahap full spent, destruksi terjadi secara sempurna, dinding folikel dan volume gonad dengan cepat ditutupi oleh tisu konekting.

(44)

berbeda secara signifikan dengan 1 : 1, yaitu dengan rasio betina jantan 1.33 : 1. Rasio betina dan jantan meningkat pada ukuran cangkang di atas 41 mm (Mzighani (2005). Menurut Sahin et al. (2006), nisbah kelamin Anadara inaequivalvis dari sampel yang dikumpulkan tiap bulan berdasarkan slide histologis adalah 1.04 : 1, yang artinya tidak berbeda nyata.

(45)

3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di ekosistem mangrove pesisir Kota Dumai Propinsi

Riau. Penelitian ini dilaksanakan selama satu tahun, mulai bulan November 2010

sampai Oktober 2011, meliputi pengamatan, pengukuran, pengambilan sampel di

lapangan dan analisis di laboratorium. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium

Biologi Laut, Laboratorium Kualitas Air, Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium

Layanan Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau dan

Laboratorium Kesehatan Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut

Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sampel kerang sepetang

(Pharella acutidens), sampel air, sampel sedimen, sampel plankton, vegetasi

mangrove, yang diambil dari lokasi penelitian, akuades dan beberapa bahan kimia

lainnya yang diperlukan dalam analisis sampel. Alat dan bahan yang diperlukan

dalam penelitian ekobiologi kerang sepetang (P. acutidens) seperti pada Tabel 1.

3.3 Prosedur Pengumpulan Data

3.3.1 Penentuan Stasiun Penelitian

Kondisi hutan mangrove di pesisir Dumai Barat telah banyak mengalami

kerusakan berupa penebangan dan pengurangan luasan akibat alih fungsi oleh

manusia serta terabrasi oleh gelombang. Penentuan stasiun pengamatan dan

pengambilan sampel kerang sepetang didasarkan pada kondisi ekosistem mangrove

yang berbeda, yaitu zona alami dan pemanfaatan. Stasiun 1 (Stasiun SM : Sungai

Mesjid, 01o 42’ 48.7” LU dan 101o 23’ 19.3” BT) merupakan lokasi yang berada di

Kelurahan Purnama di sekitar kawasan Stasiun Kelautan Dumai (muara Sungai

Mesjid), ± 8 km dari pusat kota. Kondisi hutan mangrovenya relatif terjaga dari

(46)

LU dan 101o 23’ 36.7” BT), berada di pantai Kelurahan Purnama dengan jarak ± 5

km dari pusat kota, dengan kondisi vegetasi mangrove paling banyak mendapat

gangguan oleh masyarakat dibandingkan dua stasiun lainnya karena terbuka bagi

masyarakat dan milik masyarakat (pemanfaatan). Stasiun 3 (Stasiun SD : Sungai

Dumai, 01o 41’ 16.6” LU dan 101o25’ 57.6” BT), berada di Kelurahan Pangkalan

Sesai (muara Sungai Dumai) dengan jarak ± 0.7 km dari pusat kota, berada di

kawasan PT. Pelabuhan Indonesia Cabang Dumai dengan kondisi mangrove sebagian

relatif terjaga dari gangguan manyarakat (Gambar 4). Pada setiap stasiun terdiri dari

tiga substasiun, dengan jarak ± 50 m, yang dinyatakan sebagai SM (SM1, SM2,

SM3), PP (PP1, PP2, PP3) dan SD (SD1, SD2, SD3).

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ekobiologi kerang sepetang

(47)

2

5

Gambar

Gambar 1. Kerangka pendekatan pemecahan masalah penelitian ekobiologi kerang Pharella  acutidens
Gambar 3. Daur hidup kerang giant clam Tridagna (Sumber: King 1995)
Tabel 1  Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ekobiologi kerang sepetang
Gambar  4  Peta lokasi penelitian dan penempatan stasiun�
+7

Referensi

Dokumen terkait

Orang, poses, atau sistem lain yang berinteraksi dengan sistem informasi yang akan dibuat di luar sistem informasi yang akan dibuat itu sendiri, jadi walaupun simbol dari

Memahami letak geografis yang sanggat mengancam rasa nasionalisme peserta didik maka pak Purnomo selaku guru sejarah turut aktif dalam pengembangan rasa

Hal ini sesuai dengan Sunarya dkk (1991) dalam Antari dan Sundra (2005) kandungan Pb lebih banyak pada tanaman tepi jalan yang padat kendaraan bermotor di- bandingkan dengan

Selanjutnya skema ini juga digunakan untuk mensimulasikan gelombang panjang interface yang berpropagasi melalui topografi dengan kedalaman yang berbeda

45 Unit Aktivitas Bridge (UAB) 67 Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA) 46 Unit Bulu Tangkis (UBT) 68 Keluarga Mahasiswa Islam (GAMAIS) 47 Unit Aktivitas Tenis Meja (UATM) 69

Dalam peresmian SIBI yang menjadi bahasa isyarat yang diakui oleh pemerintah tidak melibatkan para penyandang tunarungu, hal tersebut yang mengakibatkan konflik atas kebijakan

selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu dengan memberikan arahan, bimbingan serta masukan yang sangat bermanfaat bagi mahasiswa dari awal hingga akhir

Walaupun kajian lepas di atas ini memberikan gambaran bagi keadaan tekanan, penyesuaian diri serta kerelaan mendapatkan perkhidmatan kaunseling dalam kalangan pelajar universiti