• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan bekatul sebagai bahan pangan terbatas karena sifatnya tidak stabil, yaitu terjadinya kerusakan hidrolitik dan oksidatif pada minyak bekatul yang menyebabkan bau tengik. Stabilisasi bekatul sangat berhubungan dengan adanya enzim lipase yang terdapat pada lapisan biji dan lapisan melintang pada beras. Untuk memperoleh bekatul bersifat food grade dengan mutu yang tinggi, seluruh komponen penyebab kerusakan harus dikeluarkan atau dihambat. Stabilisasi bekatul untuk menghasilkan bekatul awet dilakukan dengan prinsip meniadakan aktivitas lipase. Proses penghilangan aktivitas enzim lipase harus lengkap dan bersifat tidak dapat balik.

Gambar 2. Proses pembuatan bekatul Gabah

Pengupasan pertama

Beras pecah kulit (1) Sekam (1)

Beras pecah kulit (2)

Pengupasan kedua

Sekam (2)

Beras sosoh (1) Dedak

Penyosohan pertama

Beras sosoh (2)

Penyosohan kedua

Bekatul (1)

Sekam dan menir Bekatul (2)

Pengayakan (60 mesh)

Mesin

Huller

Mesin

Proses pengupasan gabah dilakukan sebanyak dua kali menggunakan mesin huller yang bertujuan menghasilkan beras pecah kulit dengan cara memisahkan sekam dari gabah. Proses penyosohan dilakukan terhadap beras pecah kulit yang dihasilkan pada proses pengupasan menggunakan mesin

polisher. Proses penyosohan dilakukan sebanyak dua kali, karena pada penyosohan pertama dihasilkan beras sosoh dan dedak, sedangkan bekatul dihasilkan pada penyosohan kedua.

Bekatul yang dihasilkan pada proses penyosohan, selanjutnya diayak. Pengayakan dilakukan untuk memisahkan bekatul dari sekam dan menir, karena tercampurnya sekam dan menir dengan bekatul merupakan salah satu masalah dalam penggunaan bekatul sebagai bahan pangan. Pengayakan dilakukan dengan menggunakan ayakan yang berukuran 60 mesh. Penetapan kehalusan sebesar 60 mesh didasarkan pada kehalusan tepung terigu dan tepung beras yang banyak beredar di pasaran yang mempunyai kehalusan sekitar 60 mesh (Yuniarrahmani, 2001). Di dalam penelitian ini didapat rendemen bekatul sebesar 62.40% untuk pengayakan 60 mesh.

Terdapat tiga pendekatan dari segi teknik guna inaktivasi lipase bekatul. Pertama, pemanasan basah atau kering. Kedua, ekstraksi dengan pelarut organik untuk mengeluarkan minyak. Ketiga, denaturasi etanolik dari lipase bekatul dan lipase dari bakteri dan kapang (Champagne et al., 1992). Di dalam penelitian ini stabilisasi bekatul dilakukan dengan cara pemanasan basah menggunakan otoklaf dengan suhu 121 OC selama 3 menit. Proses ini dipilih berdasarkan penelitian Damayanthi (2002) yang menunjukkan bahwa lama pemanasan 3 menit merupakan lama pemanasan yang optimal berdasarkan hasil analisa asam lemak bebas dan total tokoferol yang masih terkandung dalam bekatul.

Setelah diotoklaf, bekatul dibagi menjadi tiga untuk tiga perlakuan yang berbeda. Perlakuan pertama, dilakukan pengeringan dengan oven bersuhu 105OC selama 1 jam. Pada perlakuan yang kedua dan ketiga, dilakukan penambahan natrium metabisulfit (NaHSO3) sebanyak 500 ppm untuk

meminimalkan pembentukan warna coklat sebelum penstabilan dengan otoklaf, yang dilanjutkan dengan penggunaan pengering drum bersuhu 120OC

dengan kecepatan 8 rpm pada proses pengeringannya. Pada perlakuan kedua, dilakukan penambahan air dengan rasio 2:1 untuk membentuk konsistensi setengah pasta hingga dapat dikeringkan dengan pengering drum. Hasil pengeringan drum ini kemudian diblender kering untuk mendapatkan tepung bekatul halus.

Adapun proses pengeringan dilakukan untuk menghasilkan bekatul awet, yaitu bekatul yang memiliki umur simpan lebih panjang. Selain itu, pengeringan juga dimaksudkan untuk meminimalkan kandungan air dalam bekatul sehingga memudahkan pengeluaran minyak pada saat ekstraksi dan waktu ekstraksi menjadi lebih singkat (Kao dan Luh, 1991). Dari hasil pengukuran kadar air terhadap tepung bekatul awet yang distabilkan dengan metode ini didapat nilai rata-rata kadar air sebesar 4.79%, dimana kadar air yang dikehendaki adalah sebesar 3-12% (Juliano, 1985).

Tabel 4. Perbandingan nilai L (Lightness) tepung bekatul Konsentrasi NaHSO3 (ppm) Nilai L 0 51.13 a 300 51.89 a,b 400 52.18 b 500 52.33 b

Keterangan : Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05)

Penggunaan natrium metabisulfit sebanyak 500 ppm dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan yang menunjukkan bahwa konsentrasi natrium metabisulfit berpengaruh nyata terhadap warna tepung bekatul yang dihasilkan. Nilai untuk masing-masing parameter warna terukur dapat dilihat pada Lampiran 1-4. Dari hasil uji Anova diketahui bahwa konsentrasi natrium metabisulfit berpengaruh nyata terhadap semua parameter warna, yaitu nilai L, b, dan ho, kecuali nilai a. Dengan mengetahui nilai kecerahan (Lightness) yang dihasilkan, konsentrasi natrium metabisulfit sebanyak 500 ppm digunakan dalam penstabilan bekatul selanjutnya karena menghasilkan nilai L yang

paling besar. Menurut Winarno dan Betty (1974), penggunaan natrium metabisulfit diperbolehkan hingga 500 ppm, sehingga penggunaan sulfit pada penelitian ini masih dianggap aman. Selain itu, menurut Chichester dan Tenner (1978), penggunaan sulfit di atas 500 ppm menyebabkan terdeteksinya rasa belerang yang mengganggu rasa produk.

Tabel 5. Perbandingan nilai warna bekatul segar dan bekatul stabil Parameter

warna Bekatul segar Bekatul stabil

L 56.34 53.58 a +4.18 +4.42 b +5.49 +6.91

ho 50.2 58.1

Tabel 5 menunjukkan perbandingan nilai warna bekatul segar dan bekatul yang telah distabilisasi dengan menggunakan pengering oven (perlakuan 1). Dari hasil pengukuran dengan chromameter, didapat nilai a (intensitas warna merah) dan b (kuning) meningkat setelah distabilisasi. Bekatul segar memiliki nilai a sebesar +4.18 dan b sebesar +5.49, sedangkan bekatul yang distabilkan dengan otoklaf dan dikeringkan dengan oven memiliki nilai a sebesar +4.42 dan b sebesar +6.91. Hal ini membuktikan bahwa setelah diotoklaf dan dikeringkan dengan oven, warna bekatul semakin coklat.

Penampakan fisik (warna) yang baik sangat diperlukan, terutama karena nantinya bekatul ini akan disuplementasi atau ditambahkan ke dalam susu skim yang berwarna putih sehingga diharapkan tidak mempengaruhi preferensi konsumen saat mengkonsumsinya. Ditambah lagi, proses stabilisasi yang digunakan, yaitu pemanasan basah menggunakan otoklaf, dapat meningkatkan pembentukan warna coklat. Hal ini terjadi karena terjadinya reaksi browning non-enzymatic atau reaksi Maillard pada bekatul yang terjadi saat pemanasan dalam keadaan lembab (Desrosier, 1988). Untuk itulah dilakukan penambahan natrium metabisulfit, dimana sulfit akan berikatan dengan gugus aldehid dari gula sehingga tidak dapat bereaksi dengan asam amino membentuk reaksi pencoklatan nonenzimatis (Buckle et al., 1987).

Perlakuan pemanasan basah ini meningkatkan komponen warna merah dan kuning serta menurunkan intensitas warna putih.

Terdapat tiga faktor utama yang menentukan bekatul padi layak digunakan sebagai bahan pangan, yaitu cita rasa dan warna, sifat fungsional, serta kandungan gizi. Seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, kandungan gizi dan sifat fungsional bekatul sangat baik untuk kesehatan manusia. Dari segi rasa, sebenarnya bekatul memiliki cita rasa lembut dan agak manis; jika telah distabilkan secara benar, selain rasa pahit yang cukup dominan. Warna bekatul padi bervariasi dari cokelat muda sampai cokelat tua. Untuk menghasilkan respon penampakan yang lebih baik, maka dilakukan proses bleaching pada bekatul untuk meningkatkan warna putih atau tingkat kecerahan.

Tabel 6. Perbandingan nilai L (lightness) bekatul segar dan bekatul yang distabilisasi

Bahan Nilai L Rata-rata nilai L Ulangan 1 Ulangan 2

Bekatul segar 56.49 56.19 56.34 a Perlakuan 1 53.50 53.66 53.58 b Perlakuan 2 52.34 52.31 52.33 c Perlakuan 3 56.18 56.22 56.20 a Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven

Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum

dan mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05)

Nilai L bekatul segar sebesar 56.34 merupakan nilai L tertinggi, sehingga dapat diketahui semua metode stabilisasi tidak dapat mengembalikan warna secerah sebelum distabilkan, bahkan untuk perlakuan 3 yang telah mengalami proses bleaching. Pada perlakuan ketiga ini, setelah diotoklaf, bekatul direndam dalam larutan H2O2 3% selama 18 jam yang didasarkan atas

penelitian Hidayati (2003) untuk mengoksidasi zat-zat warna atau pigmen penyebab warna coklat pada bekatul. Namun, dari Tabel 6 diketahui nilai L yang dihasilkan cukup mendekati warna bekatul segar, namun belum cukup

memenuhi kebutuhan warna putih cerah yang diinginkan. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai L rata-rata kedua bahan yang tidak berbeda nyata dalam taraf kepercayaan 95%.

Dua komponen pigmen utama dalam tepung yang dihasilkan dari serealia adalah karotenoid dan flavonoid. Karotenoid ditemukan dalam endosperm dan memberikan warna kekuningan. Jumlah karotenoid ini sangat bervariasi tergantung jenis dan kultivar dari serealia tersebut. Karotenoid dapat dengan mudah dibleaching dan dirusak oleh bleaching agent yang ditambahkan ke dalam tepung, seperti benzoyl peroksida (Hoseney, 1998). Menurut Bhattacharya dan Sowbhagya (2007), jenis pigmen ini lebih banyak terdapat di lapisan bagian luar. Semakin ke lapisan dalam biji, jumlahnya semakin berkurang. Hal ini berarti warna beras (endosperm) dan tepung bekatul sangat dipengaruhi oleh tingkat penyosohan yang dilakukan pada beras.

Namun sebaliknya, pigmen flavonoid yang banyak terdapat pada bran

atau kulit bagian dalam biji, tidak dapat dibleaching oleh bleaching agent

biasa. Jenis pigmen ini relatif stabil, dapat menjadi tidak berwarna pada pH asam, namun akan menjadi berwarna kuning pada pH tinggi (Hoseney, 1998). Hal inilah yang menyebabkan proses bleaching dengan hidrogen peroksida yang dilakukan tidak berlangsung seperti yang diharapkan.

Diperkirakan bleaching agent yang memiliki kekuatan pemutih yang lebih baik jika diaplikasikan ke dalam tepung adalah benzoyl peroksida. Zat ini juga biasa digunakan sebagai agen pemutih pada tepung terigu yang baru digiling (Saiz et al., 2007). Namun karena bahan ini relatif sulit untuk didapat serta memiliki harga yang mahal, digunakan bahan peroksida yang lebih mudah didapat yaitu hidrogen peroksida. Bahan lain yang juga dapat digunakan sebagai pemutih tepung adalah nitrogen peroksida, klorin, dan nitrogen triklorida. Namun banyak negara yang melarang penggunaan bahan pemutih untuk makanan disebabkan oleh residu hidrokarbon terklorinasi yang bersifat racun yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan tersebut. Selain itu, proses bleaching ini juga dapat merusak banyak vitamin yang sebenarnya tidak rusak akibat panas saat penggilingan (Saiz et al., 2007). Oleh sebab itu,

tepung bekatul hasil proses bleaching (perlakuan 3) tidak digunakan dalam analisis dan formulasi produk pada tahap selanjutnya, karena lebih banyak kerugian yang ditimbulkan dibandingkan manfaat yang diperoleh.

Menurut Yawadio et al. (2007) bekatul mengandung komponen fenol yang terkandung dalam beras pecah kulit. Dua jenis fenol tersebut adalah asam ferulat (85.7%) dan tokol (14.3%). Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa kemungkinan juga terjadi pencoklatan enzimatis yang dikatalis oleh polifenol-oksidase. Reaksi ini juga dapat memberi pengaruh warna pada bekatul sehingga warnanya menjadi semakin coklat, selain juga memberi pengaruh pada rasa sepat (astringent) pada bekatul (Ho, 1992). Namun reaksi ini dapat terjadi pada bekatul yang masih segar, karena bekatul yang telah mengalami penstabilan kandungan polifenol-oksidasenya telah hilang akibat proses pemanasan.

Analisis kadar residu H2O2 pada tepung bekatul hasil bleaching

(perlakuan 3) dilakukan secara kualitatif. Penambahan KI 25% secara langsung pada sampel menunjukkan tidak terbentuknya warna ungu kehitaman. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan residu H2O2 sudah hilang

akibat pencucian dan perendaman dengan air, serta pengeringan dengan pengering drum. Menurut Young et al. (1980), residu H2O2 dapat dihilangkan

antara lain dengan cara pencucian dengan air, penggunaan enzim katalase, penggunaan Na2SO3, dan kombinasi antara perlakuan tersebut. Proses

pencucian dan perendaman yang lama dapat menurunkan dan bahkan menghilangkan residu H2O2.

Penentuan karakteristik terhadap ketiga jenis tepung bekatul yang dihasilkan terdiri dari karakteristik fisik dan karakteristik fisik-fungsional. Sifat fisik tepung yang diukur meliputi densitas kamba, densitas padat, kadar air, aw, dan warna. Sedangkan sifat fisik-fungsionalnya terdiri dari daya serap

air dan kelarutan dalam air. Karakterisasi tepung ini dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mutu tepung yang berhubungan dengan penyimpanan, transportasi/distribusi, maupun penggunaannya.

Tabel 7. Nilai densitas kamba tepung bekatul Perlakuan Densitas kamba (g/ml) Rata-rata

Ulangan 1 Ulangan 2

1 0.46 0.47 0.47 a

2 0.41 0.45 0.43 a

3 0.30 0.32 0.31 b

Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum

dan mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05)

Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya dan dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas kamba menunjukkan porositas dari suatu bahan (Khalil, 1999). Tepung bekatul yang menggunakan pengering oven (perlakuan 1) memiliki densitas kamba terbesar yaitu 0.47 g/ml, diikuti oleh tepung bekatul yang dihasilkan dari pengering drum (perlakuan 2) sebesar 0.43 g/ml, serta tepung bekatul yang dihasilkan dari pengering drum dengan perlakuan bleaching

sebesar 0.31 g/ml.

Nilai densitas kamba yang besar menunjukkan produk lebih ringkas (Khalil, 1999). Tepung dari pengering oven dengan densitas kamba 0.47 g/ml memiliki keringkasan tertinggi yang menggambarkan bahwa porositas yang dimiliki tepung ini paling kecil, yaitu rongga-rongga yang terdapat di antara partikel lebih kecil ataupun lebih sedikit jumlahnya. Jumlah rongga yang banyak maupun besar ukurannya (tidak sebesar partikelnya) akan menyebabkan banyak ruang kosong tersisa yang seharusnya terisi oleh partikel-partikel tersebut. Hal ini akan menyebabkan jumlah partikel yang menempati suatu volume ruang akan menjadi lebih sedikit.

Dengan mengetahui densitas kamba, kita dapat memperkirakan keefektifan dan keefisienan volume ruang yang dibutuhkan suatu bahan pangan dengan berat tertentu. Tepung bekatul yang dihasilkan dari pengering oven yang memiliki densitas kamba yang besar akan lebih efektif dan efisien dalam menempati suatu ruang, karena dengan jumlah (bobot) yang lebih

banyak dapat menempati ruang dengan volume yang sama daripada kedua tepung lainnya. Hal ini dapat berperan penting seperti pada proses pengisian silo, alat pencampur, maupun konveyor. Oleh karena itu, nilai densitas kamba juga dapat digunakan dalam perencanaan gudang penyimpanan, volume alat pengolahan ataupun sarana transportasinya.

Tabel 8. Nilai densitas padat tepung bekatul Perlakuan Densitas padat (g/ml) Rata-rata

Ulangan 1 Ulangan 2

1 0.64 0.68 0.66 a

2 0.63 0.64 0.64 a

3 0.49 0.54 0.52 b

Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum

dan mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05)

Seperti halnya densitas kamba, densitas padat juga merupakan parameter penting bahan pangan (tepung-tepungan). Densitas padat adalah perbandingan antara berat bahan terhadap volume yang ditempati setelah melalui proses pemadatan seperti penggoyangan (Khalil, 1999). Besarnya nilai densitas padat dapat dipengaruhi oleh bentuk maupun ukuran partikel suatu bahan.

Besarnya nilai densitas padat ketiga jenis tepung yang diuji sejalan dengan nilai densitas kambanya. Secara umum tepung yang memiliki nilai densitas kamba yang besar akan memiliki nilai densitas padat yang besar pula. Nilai densitas padat yang lebih besar dibanding densitas kamba terjadi karena densitas padat diukur dengan memadatkan sejumlah tepung yang dimasukkan ke dalam wadah sampai volume tertentu. Hal ini menyebabkan terisinya ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel tepung (yang ada pada pengukuran densitas kamba) sehingga tepung yang dapat tertampung dalam volume ruang yang sama akan lebih banyak.

Nilai densitas padat sama halnya dengan densitas kamba yang berperan dalam penentuan keefektifan dan keefisienan volume ruang yang dibutuhkan

untuk ditempati tepung. Pengetahuan mengenai besarnya nilai densitas padat dapat bermanfaat pada saat pengisian bahan ke dalam wadah yang diam dan bergetar terutama pada saat transportasi. Selain itu, kapasitas silo, kontainer, maupun kemasan seperti karung dapat diperkirakan dengan mengetahui besarnya nilai densitas padat.

Tabel 9. Nilai kadar air tepung bekatul

Perlakuan Kadar air (%) Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2

1 4.84 4.74 4.79 a

2 5.07 5.17 5.12 b

3 3.53 3.73 3.63 c

Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan

mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05)

Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa nahan pangan. Winarno (2002) menyatakan bahwa kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut.

Kadar air yang dihasilkan dari ketiga jenis tepung bervariasi tergantung pada jumlah air yang ditambahkan dan metode pengeringan yang dilakukan. Pada perlakuan 1, bekatul segar yang telah diayak langsung diotoklaf dengan suhu 121OC selama 3 menit lalu dikeringkan dengan oven bersuhu 105OC selama 1 jam. Dari hasil pengukuran kadar air menunjukkan bahwa tepung ini memiliki kandungan air yang paling kecil dibanding kedua jenis tepung lainnya. Hal ini disebabkan tidak adanya penambahan air dalam proses stabilisasi yang dilakukan, serta adanya pengeringan suhu tinggi dalam waktu yang cukup lama, serta pemaparan bahan yang cukup terhadap udara pemanas pada oven. Pemaparan tepung terhadap panas dilakukan dengan cara menempatkan tepung dalam loyang dan disebarkan merata dengan ketebalan tidak lebih dari 2 cm sehingga pengeringan dapat dimaksimalkan.

Tabel 10. Nilai aw tepung bekatul

Perlakuan Nilai aw Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2

1 0.37 0.37 0.37 a

2 0.58 0.59 0.58 b

3 0.55 0.55 0.55 c

Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering

drum dan mendapat perlakuan

bleaching.

Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05)

Aktivitas air adalah jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Istilah aktivitas air digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi. Air yang terkandung dalam bahan pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air akan lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia dan hidrolitik (Syarief dan Khalid, 1992).

Peranan air dalam bahan pangan biasanya dinyatakan sebagai kadar air dan aktivitas air. Peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif (RH) dan kelembaban mutlak (H). Dalam bahan pangan, air terutama berperan sebagai pelarut yang digunakan selama proses metabolisme. Tingkat mobilitas dan peranan air bagi proses kehidupan biasanya dinyatakan dalam besaran aktivitas air (water activity = aw), yaitu perbandingan tekanan parsial uap air

dalam bahan dengan tekanan uap air jenuh. Selain itu aktivitas air dapat pula dinyatakan sebagai RH kesetimbangan dibagi 100. Semakin tinggi nilai aw

suatu bahan, semakin tinggi pula kemungkinan tumbuhnya jasad renik dalam bahan pangan tersebut (Syarief dan Khalid, 1992).

Kandungan air dalam bahan pangan mempunyai peranan besar dalam reaksi kimia yang terjadi, antara lain reaksi oksidasi lipida dan pencoklatan non enzimatis (Maillard). Adapun aktivitas air merupakan faktor penting dalam pengendali mikroba pada pangan semi basah (Soekarto, 1979). Nilai aw

yang dihasilkan sejalan dengan kadar airnya, dimana perlakuan kedua memiliki nilai aw terbesar yaitu 0.58.

Tabel 11. Nilai kelarutan dalam air tepung bekatul Perlakuan Kelarutan dalam air (%) Rata-rata

Ulangan 1 Ulangan 2

1 0.50 0.51 0.51 a

2 1.42 1.46 1.44 b

3 1.50 1.58 1.54 b

Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum

dan mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05)

Kelarutan dalam air atau dispersibility adalah kemampuan tepung untuk didistribusikan dalam air, yang merupakan kemampuan gumpalan aglomerat untuk jatuh dan menyebar dalam air (Khalil, 1999). Nilai dispersibility

menunjukkan indikasi tingkat kemudahan suatu tepung untuk dapat larut dalam air. Nilai dispersibility yang tinggi mengindikasikan bahwa tepung lebih mudah larut dalam air dan sebaliknya. Hal ini disebabkan partikel- partikel yang tidak larut dalam air akan lebih sedikit yang didispersikan.

Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa tepung bekatul yang dikeringkan dengan pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching

(perlakuan 3) memiliki nilai kelarutan dalam air yang paling tinggi yaitu sebesar 1.54%, diikuti oleh tepung bekatul dengan pengering drum (perlakuan 2) sebesar 1.44%, serta tepung bekatul pengering oven (perlakuan 1) sebesar 0.51%. Menurut Damayanthi et al. (2001), tepung bekatul memiliki nilai kelarutan dalam air yang rendah bila dibandingkan dengan tepung terigu yang memiliki nilai kelarutan dalam air sebesar 30.84%. Hal ini disebabkan tingginya kandungan serat makanan tidak larut dalam tepung bekatul dan kandungan protein yang relatif lebih rendah dibanding terigu.

Tabel 12. Nilai daya serap air tepung bekatul Perlakuan Daya serap air (%) Rata-rata

Ulangan 1 Ulangan 2

1 248.94 255.18 252.06 a

2 299.71 302.95 301.33 b

3 374.09 366.21 370.15 c

Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum

dan mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05)

Daya serap air menunjukkan kemampuan produk untuk mengikat air. Nilai untuk masing-masing jenis tepung yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 12. Nilai daya serap air dan nilai kelarutan dalam air yang besar disebabkan oleh adanya perlakuan pemanasan awal yang dilakukan terhadap tepung, terutama pemanasan yang cukup tinggi seperti penggunaan pengering drum.

Menurut Gomez dan Aguilera (1983), nilai daya serap air tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik dan kapasitas pembentukan gel dari makromolekul yaitu pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi. Semakin banyak pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi, semakin besar kemampuan produk menyerap air. Nilai kelarutan dalam air sebanding jumlahnya dengan nilai daya serap air.

Eliason (1981) menyatakan bahwa granula pati dapat basah dan secara spontan dapat terdispersi dalam air atau minyak. Hal ini menunjukkan bahwa granula dapat memberikan gugus hidrofilik dan atau hidrofobik. Daya absorbsi air dari pati perlu diketahui karena jumlah air yang ditambahkan pada pati mempengaruhi sifat-sifat dari sistem pati. Granula pati yang utuh tidak larut dalam air dingin, akan tetapi granula dapat menyerap air dan membengkak (Fennema, 1985).

Menurut Pontoh (1986), semakin besar nilai derajat gelatinisasi, kelarutan dalam air akan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pati

Dokumen terkait