SKRIPSI
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN
CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL
Oleh : JANATHAN
F 24103062
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SKRIPSI
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN
CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : JANATHAN
F 24103062
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Janathan. F24103062. Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul serta Optimasi Formula dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Campuran Susu Skim dan Tepung Bekatul. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS.
RINGKASAN
Peningkatan produksi beras di Indonesia selalu diupayakan dari tahun ke tahun, sehingga terjadi pula peningkatan hasil samping dari penggilingan dan penyosohan butir padi termasuk di dalamnya adalah dedak dan bekatul. Bekatul memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi dan mengandung komponen bioaktif oryzanol yang menjadikan bekatul sebagai bahan baku yang potensial untuk dijadikan pangan fungsional. Oleh karena itu para peneliti merekomendasikan untuk mengembangkan produk pangan dari bekatul awet yang memiliki palatibilitas tinggi.
Penelitian ini terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap penentuan karakteristik tepung bekatul dari berbagai perlakuan, tahap formulasi dan optimasi minuman campuran susu skim dan tepung bekatul, serta tahap pendugaan umur simpan formula optimum minuman yang dihasilkan. Pada tahap pertama dilakukan tiga jenis perlakuan pengeringan bekatul setelah distabilkan dengan otoklaf, yaitu (1) pengeringan dengan oven, (2) pengeringan dengan pengering drum, serta (3) pengeringan dengan pengering drum yang disertai dengan proses bleaching pada tepung.
Dari hasil analisis fisik, diketahui tepung dari perlakuan kedua dipilih untuk digunakan dalam tahap formulasi minuman, karena memiliki karakteristik yang sesuai untuk diaplikasikan pada produk minuman. Tepung terpilih kemudian dianalisis sifat kimianya berupa kenaikan asam lemak bebas serta kandungan total tokoferol. Dari tahap penelitian ini juga diketahui bahwa penstabilan dengan otoklaf dapat meningkatkan pembentukan warna cokelat dan diketahui pula bahwa perlakuan perendaman dengan H2O2 selama 18 jam pada tepung bekatul tidak menghasilkan perubahan kecerahan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan bekatul dalam bentuk segar.
Tepung bekatul pada perlakuan kedua ini memiliki densitas kamba sebesar 0.43 g/ml, densitas pemadatan 0.64 g/ml, aw 0.58, nilai kelarutan dalam air 1.44%, nilai daya serap air 301.33%, serta kadar air sebesar 5.12%. Sifat kimia yang diamati berupa kenaikan asam lemak bebas sebagai indikator ketengikan sebesar 0.07% yang didapat setelah tepung diinkubasi 144 jam pada 35OC, serta kandungan tokoferol sebesar 217.61 mg/100 g minyak.
Program merekomendasikan tiga formula optimum, namun dipilih formula yang memiliki nilai desirability tertinggi sebesar 0.681 yaitu formula yang terdiri dari karagenan sebanyak 0.25%, tepung bekatul sebanyak 16.083%, dan formula dasar sebanyak 83.667%. Formula ini kemudian diuji coba melalui uji organoleptik dan diketahui bahwa formula optimum terpilih ini memiliki nilai respon yang lebih besar dibanding nilai prediksi respon oleh program. Selain itu, formula optimum terpilih ini juga tidak berbeda nyata untuk semua respon yang diujikan jika dibandingkan dengan produk komersial sejenis yang ada di pasaran.
Dari hasil analisis proksimat, diketahui formula optimum terpilih ini memiliki kadar air sebesar 3.94%, kadar abu 5.16%, lemak 2.72%, protein 18.79%, karbohidrat 69.71%, serta memiliki kandungan serat pangan total sebesar 5.25%. Kandungan vitamin E minuman hasil konversi sebesar 4.79 mg per 100 gram produk, nilai aw sebesar 0.414, pH 5.50, serta mengandung total mikroba sebesar 8.6 x 103 koloni/ml.
Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah tahap pendugaan umur simpan produk minuman dengan metode percepatan (Arrhenius) menggunakan tiga perlakuan suhu, yaitu 35, 45, dan 55OC. Parameter yang digunakan dalam tahap pendugaan umur simpan ini adalah warna, aroma, dan penampakan fisik produk minuman dalam bentuk bubuk.
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN
CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL
Oleh : JANATHAN
F 24103062
Dilahirkan pada tanggal 12 Juni 1985 di Bagan Siapi-api
Tanggal lulus : 28 September 2007
Menyetujui,
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS. Dosen Pembimbing
Mengetahui,
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Bagan Siapi-api, Riau pada tanggal 12 Juni 1985. Penulis merupakan anak ke-7 dari tujuh bersaudara pasangan Ridwan Maryam dan Rosma. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di SD Negeri 007 Labuhbaru Pekanbaru pada tahun 1991-1997, dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan SLTP Negeri 3 Pekanbaru pada tahun 1997-2000, serta SMU Negeri 8 Pekanbaru pada tahun 2000-2003. Pada tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirobbil ’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor.
Selama melaksanakan penelitian dan menyusun skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis.
2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Dr. Ir. Sukarno, MSc atas kesediaannya sebagai dosen penguji.
3. Bapak, ibu, kakak-kakak, dan abang-abangku yang tiada henti-hentinya memberikan doa, kasih sayang, nasehat dan semangat.
4. Pakcik (Alm.), Makcik, dan keluarga di Jakarta, terimakasih atas bantuan dan nasehatnya selama ini.
5. Sahabat yang selalu ada dan setia mendengarkan : Widyanto, Mia, Yeni, Tika, Gilang, Adith, Helmi, Pegi, Zaldi, Mitoel, Tilo, Rucitra , serta Evanda. Terimakasih yang tak terhingga atas perhatiannya selama ini.
6. Teman-teman angkatan 40 : Wayan, Gonggo, Ade, Widi, Iin, Anis, Abdy, Martin, Ados, Arie, Adie, Dian, Olla, Nunu, Oboth, Tuti, Indah, Wati, Oneth, Rial, Steph, Nooy, Iin, Mona, Vina, Andal, Dion, serta teman-teman angkatan 41 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
7. Mbak Tina, terimakasih banyak atas bantuannya. Iis, Imel, Wili, dan Rama, terimakasih telah banyak mengingatkan. Ibnu, Lucia, Adam, serta teman-teman SMA : Asen, Ade, Choy, terimakasih pula atas bantuannya.
8. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan (Rina, Ican, dan Arga) terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama ini.
10. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan mungkin terdapat kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, September 2007
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. TUJUAN ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
A. BEKATUL ... 3
B. STABILISASI BEKATUL PADI ... 8
B. PRODUK PANGAN DARI BEKATUL ... 11
D. SUSU SKIM ... 13
E. UMUR SIMPAN ... 16
F. MIXTURE EXPERIMENT ... 18
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 21
A. BAHAN DAN ALAT ... 21
B. METODE PENELITIAN ... 21
1. Penentuan Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul ... 21
a. Analisis Sifat Fisik ... 22
1). Densitas Kamba ... 22
2). Densitas Padat ... 22
3). Kelarutan dalam Air ... 24
4). Daya Serap Air ... 24
5). Aktivitas Air (aw ) ... 24
6). Pengukuran Warna ... 25
b. Analisis Sifat Kimia ... 25
1). Penentuan Jumlah Asam Lemak Bebas ... 26
3). Analisis Kualitatif Residu H2O2 ... 26
2. Formulasi Minuman Fungsional ... 27
a. Kadar Air Metode Oven ... 28
b. Kadar Abu ... 28
c. Kadar Lemak ... 28
d. Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldhal ... 29
e. Kadar Serat Pangan ... 29
f. Total Mikroba dengan Metode Tuang... 31
g. Pengukuran Viskositas dengan Viskometer Brookefield .. 31
h. Uji Organoleptik ... 32
3. Pendugaan Umur Simpan Metode Arrhenius ... 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
A. Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul ... 35
B. Penentuan Variabel Minuman ... 50
1. Penetapan Formula Dasar ... 50
2. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Tepung Bekatul ... 51
3. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Karagenan ... 52
4. Konversi Input Formula Rancangan ... 53
C. Formulasi dan Optimasi Minuman ... 54
1. Rancangan Formulasi ... 54
2. Analisis Respon ... 55
a. Analisis Respon Warna Sebelum Diseduh ... 56
b. Analisis Respon Rasa Setelah Diseduh ... 61
c. Analisis Respon Lainnya ... 66
d. Optimasi Formula... 67
e. Uji Coba Formula Optimum ... 71
f. Uji Hedonik Produk Pembanding ... 72
g. Analisis Formula Optimum ... 74
D. Pendugaan Umur Simpan Produk ... 78
SKRIPSI
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN
CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL
Oleh : JANATHAN
F 24103062
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SKRIPSI
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN
CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : JANATHAN
F 24103062
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Janathan. F24103062. Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul serta Optimasi Formula dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Campuran Susu Skim dan Tepung Bekatul. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS.
RINGKASAN
Peningkatan produksi beras di Indonesia selalu diupayakan dari tahun ke tahun, sehingga terjadi pula peningkatan hasil samping dari penggilingan dan penyosohan butir padi termasuk di dalamnya adalah dedak dan bekatul. Bekatul memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi dan mengandung komponen bioaktif oryzanol yang menjadikan bekatul sebagai bahan baku yang potensial untuk dijadikan pangan fungsional. Oleh karena itu para peneliti merekomendasikan untuk mengembangkan produk pangan dari bekatul awet yang memiliki palatibilitas tinggi.
Penelitian ini terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap penentuan karakteristik tepung bekatul dari berbagai perlakuan, tahap formulasi dan optimasi minuman campuran susu skim dan tepung bekatul, serta tahap pendugaan umur simpan formula optimum minuman yang dihasilkan. Pada tahap pertama dilakukan tiga jenis perlakuan pengeringan bekatul setelah distabilkan dengan otoklaf, yaitu (1) pengeringan dengan oven, (2) pengeringan dengan pengering drum, serta (3) pengeringan dengan pengering drum yang disertai dengan proses bleaching pada tepung.
Dari hasil analisis fisik, diketahui tepung dari perlakuan kedua dipilih untuk digunakan dalam tahap formulasi minuman, karena memiliki karakteristik yang sesuai untuk diaplikasikan pada produk minuman. Tepung terpilih kemudian dianalisis sifat kimianya berupa kenaikan asam lemak bebas serta kandungan total tokoferol. Dari tahap penelitian ini juga diketahui bahwa penstabilan dengan otoklaf dapat meningkatkan pembentukan warna cokelat dan diketahui pula bahwa perlakuan perendaman dengan H2O2 selama 18 jam pada tepung bekatul tidak menghasilkan perubahan kecerahan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan bekatul dalam bentuk segar.
Tepung bekatul pada perlakuan kedua ini memiliki densitas kamba sebesar 0.43 g/ml, densitas pemadatan 0.64 g/ml, aw 0.58, nilai kelarutan dalam air 1.44%, nilai daya serap air 301.33%, serta kadar air sebesar 5.12%. Sifat kimia yang diamati berupa kenaikan asam lemak bebas sebagai indikator ketengikan sebesar 0.07% yang didapat setelah tepung diinkubasi 144 jam pada 35OC, serta kandungan tokoferol sebesar 217.61 mg/100 g minyak.
Program merekomendasikan tiga formula optimum, namun dipilih formula yang memiliki nilai desirability tertinggi sebesar 0.681 yaitu formula yang terdiri dari karagenan sebanyak 0.25%, tepung bekatul sebanyak 16.083%, dan formula dasar sebanyak 83.667%. Formula ini kemudian diuji coba melalui uji organoleptik dan diketahui bahwa formula optimum terpilih ini memiliki nilai respon yang lebih besar dibanding nilai prediksi respon oleh program. Selain itu, formula optimum terpilih ini juga tidak berbeda nyata untuk semua respon yang diujikan jika dibandingkan dengan produk komersial sejenis yang ada di pasaran.
Dari hasil analisis proksimat, diketahui formula optimum terpilih ini memiliki kadar air sebesar 3.94%, kadar abu 5.16%, lemak 2.72%, protein 18.79%, karbohidrat 69.71%, serta memiliki kandungan serat pangan total sebesar 5.25%. Kandungan vitamin E minuman hasil konversi sebesar 4.79 mg per 100 gram produk, nilai aw sebesar 0.414, pH 5.50, serta mengandung total mikroba sebesar 8.6 x 103 koloni/ml.
Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah tahap pendugaan umur simpan produk minuman dengan metode percepatan (Arrhenius) menggunakan tiga perlakuan suhu, yaitu 35, 45, dan 55OC. Parameter yang digunakan dalam tahap pendugaan umur simpan ini adalah warna, aroma, dan penampakan fisik produk minuman dalam bentuk bubuk.
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN
CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL
Oleh : JANATHAN
F 24103062
Dilahirkan pada tanggal 12 Juni 1985 di Bagan Siapi-api
Tanggal lulus : 28 September 2007
Menyetujui,
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS. Dosen Pembimbing
Mengetahui,
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Bagan Siapi-api, Riau pada tanggal 12 Juni 1985. Penulis merupakan anak ke-7 dari tujuh bersaudara pasangan Ridwan Maryam dan Rosma. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di SD Negeri 007 Labuhbaru Pekanbaru pada tahun 1991-1997, dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan SLTP Negeri 3 Pekanbaru pada tahun 1997-2000, serta SMU Negeri 8 Pekanbaru pada tahun 2000-2003. Pada tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirobbil ’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor.
Selama melaksanakan penelitian dan menyusun skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis.
2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Dr. Ir. Sukarno, MSc atas kesediaannya sebagai dosen penguji.
3. Bapak, ibu, kakak-kakak, dan abang-abangku yang tiada henti-hentinya memberikan doa, kasih sayang, nasehat dan semangat.
4. Pakcik (Alm.), Makcik, dan keluarga di Jakarta, terimakasih atas bantuan dan nasehatnya selama ini.
5. Sahabat yang selalu ada dan setia mendengarkan : Widyanto, Mia, Yeni, Tika, Gilang, Adith, Helmi, Pegi, Zaldi, Mitoel, Tilo, Rucitra , serta Evanda. Terimakasih yang tak terhingga atas perhatiannya selama ini.
6. Teman-teman angkatan 40 : Wayan, Gonggo, Ade, Widi, Iin, Anis, Abdy, Martin, Ados, Arie, Adie, Dian, Olla, Nunu, Oboth, Tuti, Indah, Wati, Oneth, Rial, Steph, Nooy, Iin, Mona, Vina, Andal, Dion, serta teman-teman angkatan 41 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
7. Mbak Tina, terimakasih banyak atas bantuannya. Iis, Imel, Wili, dan Rama, terimakasih telah banyak mengingatkan. Ibnu, Lucia, Adam, serta teman-teman SMA : Asen, Ade, Choy, terimakasih pula atas bantuannya.
8. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan (Rina, Ican, dan Arga) terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama ini.
10. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan mungkin terdapat kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, September 2007
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. TUJUAN ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
A. BEKATUL ... 3
B. STABILISASI BEKATUL PADI ... 8
B. PRODUK PANGAN DARI BEKATUL ... 11
D. SUSU SKIM ... 13
E. UMUR SIMPAN ... 16
F. MIXTURE EXPERIMENT ... 18
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 21
A. BAHAN DAN ALAT ... 21
B. METODE PENELITIAN ... 21
1. Penentuan Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul ... 21
a. Analisis Sifat Fisik ... 22
1). Densitas Kamba ... 22
2). Densitas Padat ... 22
3). Kelarutan dalam Air ... 24
4). Daya Serap Air ... 24
5). Aktivitas Air (aw ) ... 24
6). Pengukuran Warna ... 25
b. Analisis Sifat Kimia ... 25
1). Penentuan Jumlah Asam Lemak Bebas ... 26
3). Analisis Kualitatif Residu H2O2 ... 26
2. Formulasi Minuman Fungsional ... 27
a. Kadar Air Metode Oven ... 28
b. Kadar Abu ... 28
c. Kadar Lemak ... 28
d. Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldhal ... 29
e. Kadar Serat Pangan ... 29
f. Total Mikroba dengan Metode Tuang... 31
g. Pengukuran Viskositas dengan Viskometer Brookefield .. 31
h. Uji Organoleptik ... 32
3. Pendugaan Umur Simpan Metode Arrhenius ... 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
A. Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul ... 35
B. Penentuan Variabel Minuman ... 50
1. Penetapan Formula Dasar ... 50
2. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Tepung Bekatul ... 51
3. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Karagenan ... 52
4. Konversi Input Formula Rancangan ... 53
C. Formulasi dan Optimasi Minuman ... 54
1. Rancangan Formulasi ... 54
2. Analisis Respon ... 55
a. Analisis Respon Warna Sebelum Diseduh ... 56
b. Analisis Respon Rasa Setelah Diseduh ... 61
c. Analisis Respon Lainnya ... 66
d. Optimasi Formula... 67
e. Uji Coba Formula Optimum ... 71
f. Uji Hedonik Produk Pembanding ... 72
g. Analisis Formula Optimum ... 74
D. Pendugaan Umur Simpan Produk ... 78
2. Uji Organoleptik Aroma ... 81
3. Uji Organoleptik Penampakan Fisik ... 83
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 86
A. KESIMPULAN ... 86
B. SARAN ... 87
DAFTAR PUSTAKA ... 88
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi kimia bekatul ... 4 Tabel 2. Kandungan protein pada susu skim ... 15 Tabel 3. Nilai zat gizi susu skim ... 15 Tabel 4. Perbandingan nilai L (Lightness) tepung bekatul ... 37 Tabel 5. Perbandingan nilai warna bekatul segar dan bekatul stabil .... 38 Tabel 6. Perbandingan nilai L (lightness) bekatul segar dan bekatul
yang distabilisasi ... 39 Tabel 7. Nilai densitas kamba tepung bekatul... 42 Tabel 8. Nilai densitas padat tepung bekatul... 43 Tabel 9. Nilai kadar air tepung bekatul ... 44 Tabel 10. Nilai aw tepung bekatul ... 45 Tabel 11. Nilai kelarutan dalam air tepung bekatul ... 46 Tabel 12. Nilai daya serap air tepung bekatul ... 47 Tabel 13. Karakteristik kimia tepung bekatul ... 49 Tabel 14. Konversi komponen minuman ... 54 Tabel 15. Formula optimum yang disarankan beserta nilai
desirabilitynya ... 68 Tabel 16. Nilai respon yang diprediksikan program Design Expert
version 7 ... 72 Tabel 17. Nilai skor produk optimal dan pembanding ... 73 Tabel 18. Mutu minuman campuran susu skim dan tepung bekatul ... 74 Tabel 19. Perbandingan beberapa kandungan zat gizi produk optimal
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Skema penstabilan bekatul ... 23 Gambar 2. Proses pembuatan bekatul ... 35 Gambar 3. Grafik uji hedonik parameter rasa pada variasi persentase
formula dasar ... 51 Gambar 4. Grafik uji penerimaan parameter rasa pada variasi
persentase tepung bekatul ... 52 Gambar 5. Grafik uji penerimaan terhadap parameter kekentalan pada
variasi persentase karagenan ... 53 Gambar 6. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon
warna sebelum diseduh ... 59 Gambar 7. Grafik countour plot hasil uji respon warna sebelum
diseduh ... 60 Gambar 8. Grafik tiga dimensi hasil uji respon warna sebelum
diseduh ... 61 Gambar 9. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon
rasa ... 64 Gambar 10. Grafik countour plot hasil uji respon rasa ... 65 Gambar 11. Grafik tiga dimensi hasil uji respon rasa ... 66 Gambar 12. Grafik countour plotdesirability formula optimum terpilih 70 Gambar 13. Grafik tiga dimensi desirability formula optimum terpilih . 70 Gambar 14. Minuman campuran susu skim dan tepung bekatul ... 78 Gambar 15. Grafik hubungan ln k uji organoleptik warna dengan suhu
(1/T) ... 80 Gambar 16. Grafik hubungan ln k uji organoleptik aroma dengan suhu
(1/T) ... 82 Gambar 17. Grafik hubungan ln k uji organoleptik penampakan fisik
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap
nilai L ... 95 Lampiran 2. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap
nilai a ... 96 Lampiran 3. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap
nilai b ... 97 Lampiran 4. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap
nilai ho ... 98 Lampiran 5. Hasil uji Anova nilai L bekatul segar dan bekatul
berbagai perlakuan stabilisasi ... 99 Lampiran 6. Hasil uji Anova densitas kamba berbagai perlakuan
stabilisasi ... 100 Lampiran 7. Hasil uji Anova densitas padat berbagai perlakuan
stabilisasi ... 101 Lampiran 8. Hasil uji Anova kadar air berbagai perlakuan stabilisasi .. 102 Lampiran 9. Hasil uji Anova nilai aw berbagai perlakuan stabilisasi .... 103 Lampiran 10. Hasil uji Anova kelarutan dalam air berbagai perlakuan
stabilisasi ... 104 Lampiran 11. Hasil uji Anova daya serap air berbagai perlakuan
stabilisasi ... 105 Lampiran 12. Hasil uji Anova pengaruh karagenan terhadap
viskositas ... 106 Lampiran 13. Formula yang disarankan beserta hasil responnya ... 107 Lampiran 14. Formulir uji hedonik produk sebelum diseduh ... 108 Lampiran 15. Formulir uji hedonik produk setelah diseduh... 109 Lampiran 15. Formulir uji hedonik produk setelah diseduh... 109 Lampiran 16. Fits summary respon warna sebelum diseduh ... 110 Lampiran 17. ANOVA dan persamaan polinomial respon warna
sebelum diseduh ... 111 Lampiran 18. Fits summary respon rasa ... 112 Lampiran 19. ANOVA dan persamaan polinomial respon rasa ... 113 Lampiran 20. Skor uji coba formula optimum dan uji hedonik produk
komersil untuk parameter sebelum diseduh ... 114 Lampiran 21. Skor uji coba formula optimum dan uji hedonik produk
komersil untuk parameter setelah diseduh ... 115 Lampiran 22. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 35°C ... 116 Lampiran 23. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 45 °C ... 116 Lampiran 24. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 55 °C ... 117 Lampiran 25. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai
L minuman fungsional ... 118 Lampiran 26. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai
a minuman fungsional ... 119 Lampiran 27. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai
Lampiran 28. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai
ho minuman fungsional ... 121 Lampiran 29. Formulir uji skoring ... 122 Lampiran 30. Nilai organoleptik penyimpanan (parameter warna) ... 123 Lampiran 31. Nilai organoleptik penyimpanan (parameter aroma) ... 124 Lampiran 32. Nilai organoleptik penyimpanan (parameter
penampakan fisik) ... 125 Lampiran33. Pendugaan umur simpan minuman fungsional
berdasarkan parameter warna ... 126 Lampiran 34. Pendugaan umur simpan minuman fungsional
berdasarkan parameter aroma ... 127 Lampiran 35. Pendugaan umur simpan minuman fungsional
berdasarkan parameter penampakan fisik ... 128 Lampiran 36. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter
organoleptik warna minuman fungsional ... 129 Lampiran 37. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter
organoleptik aroma minuman Fungsional ... 130 Lampiran 38. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter
organoleptik penampakan fisik minuman fungsional ... 131 Lampiran 39. Hasil uji t-test produk pembanding parameter warna
sebelum diseduh ... 132 Lampiran 40. Hasil uji t-test produk pembanding parameter aroma
sebelum diseduh ... 132 Lampiran 41. Hasil uji t-test produk pembanding parameter
penampakan fisik sebelum diseduh ... 133 Lampiran 42. Hasil uji t-test produk pembanding parameter aroma
setelah diseduh ... 133 Lampiran 43. Hasil uji t-test produk pembanding parameter rasa
setelah diseduh ... 134 Lampiran 44. Hasil uji t-test produk pembanding parameter
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemanfaatan sumber daya pertanian di beberapa negara berkembang
yang masih terbatas memerlukan peningkatan usaha pemberdayaan yang lebih
intensif. Salah satu usaha pemberdayaan sumber daya pertanian tersebut
adalah dengan rekayasa penganekaragaman cara pengolahan yang bertujuan
untuk meningkatkan pemanfaatannya sehingga penerimaan masyarakat
terhadap beberapa jenis bahan pangan tersebut meningkat.
Damardjati dan Oka (1989) melaporkan bahwa dalam penggilingan padi
dihasilkan produk utama berupa beras sebesar 60-66%, hasil samping berupa
bekatul 8-12% dan menir sebesar 5-8%. Beras merupakan bahan makanan
pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga banyak upaya
dilakukan untuk meningkatkan produksi beras dari tahun ke tahun. Sejalan
dengan peningkatan produksi beras, terjadi pula peningkatan hasil samping
dari penggilingan dan penyosohan butir padi termasuk di dalamnya adalah
dedak dan bekatul.
Proses penyosohan beras di Indonesia umumnya dilakukan dengan satu
tahap, dengan hasil samping dedak dan bekatul. Namun, sering dijumpai
adanya campuran serpihan sekam di dalam dedak. Hal ini mengakibatkan
konotasi yang kurang tepat untuk dedak apabila dihubungkan sebagai bahan
pangan. Bekatul merupakan bagian dedak yang telah diayak untuk
memisahkan bagian sekamnya (Damardjati et al., 1987).
Dengan pertimbangan ketersediaan yang cukup serta nilai gizi bekatul
yang tinggi yaitu protein 12.0-15.6%, lemak 15.0-19.7%, karbohidrat
34.1-52.3%, abu 6.6-9.9%, dan serat kasar 7.0-11.4% (Luh, 1991) serta kaya akan
vitamin, maka hasil samping itu cukup potensial untuk dikembangkan menjadi
bahan pangan. Penelitian Kahlon et al. (1994) juga melaporkan nilai tambah
bekatul berupa sifat fungsional penurunan kadar kolesterol dalam darah.
Menurut Juliano (1985), bahan pangan yang relatif banyak mengandung serat
bekatul akan mempermudah atau mempercepat transit time yaitu kecepatan
banyak serat memiliki transit time yang pendek yaitu 14-24 jam, dan
cenderung menyebabkan buang air besar lebih teratur.
Kebutuhan pasar terhadap produk alami yang sehat dan murni
diperkirakan akan terus meningkat, sehingga pemanfaatan bekatul sebagai
bahan baku minuman fungsional sangat potensial untuk dikembangkan.
Minuman fungsional yang disuplementasi tepung bekatul diharapkan dapat
dimanfaatkan sebagai minuman alternatif untuk kesehatan. Untuk itu perlu
diketahui formulasi dan metode yang tepat, serta sifat minuman selama
penyimpanan yang menentukan penerimaan konsumen terehadap minuman
ini.
B. TUJUAN
Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui karakteristik tepung bekatul hasil
beberapa metode penstabilan, menentukan formula yang tepat untuk
membuat minuman campuran susu skim dan tepung bekatul, menentukan
formula optimal dan pengujiannya, serta menentukan umur simpan produk
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BEKATUL
Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari
berbagai varietas padi. Varietas padi yang ditanam petani dapat
diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan genetik yaitu bulu (javanika),
indika lokal, dan pengembangan (unggul baru). Selama dua dasawarsa terakhir
varietas-varietas unggul berkembang dengan pesat sehingga areal penyebaran
varietas-varietas padi lokal makin terdesak (Siwi dan Kartowinoto, 1989).
Namun secara umum sifat fisik dan fisikokimia beras dari ketiga kelompok
padi tersebut tidak berbeda (Damardjati, 1983).
Sebutir gabah terdiri atas pembungkus pelindung luar, sekam, dan
karyopsis atau buah (beras pecah kulit). Beras pecah kulit terdiri atas lapisan
luar atau perikarp, seed coat dan nucellus, lembaga, dan endosperm.
Endosperm terdiri dari kulit ari (aleuron) dan endosperm sesungguhnya yang
terdiri dari lapisan sub-aleuron dan endosperm pati. Lapisan aleuron sendiri
berbatasan dengan lembaga. Sekam terdapat sekitar 20% dari berat padi,
dengan kisaran 16-28%. Penyebaran bobot beras pecah kulit adalah perikarp
1-2%, aleuron + nucellus dan pembungkus biji 4-6%, lembaga 1%, scutellum
2%, endosperm 90-91% (Juliano, 1993).
Pada proses penyosohan bagian perikarp, tegmen, lapisan aleron dan
lembaga dipisahkan dari beras sosoh (giling). Pada pengilingan padi di
Indonesia yang menggunakan satu tahap, dedak merupakan hasil penyosohan
pertama dan bekatul sebagai hasil penyosohan kedua atau akhir. Dedak lebih
sesuai sebagai bahan baku pakan, sedangkan bekatul sangat baik untuk bahan
pangan. Dedak terdiri atas lapisan dedak sebelah luar dari butiran-butiran padi
dengan sejumlah lembaga biji, sedangkan bekatul adalah lapisan dedak
sebelah dalam dari butiran padi termasuk sebagian kecil endosperm berpati
Tabel 1. Komposisi kimia bekatul
Komponen Jumlah
Protein (%) 12.0-15.6
Lemak (%) 15.0-19.7
Serat kasar (%) 7.0-11.4 Karbohidrat (%) 34.1-52.3
Abu (%) 6.6-9.9
Kalsium (mg/g) 0.3-1.2 Magnesium (mg/g) 5.0-13.0 Fosfor (mg/g) 11.0-25.0 Silika (mg/g) 5.0-11.0
Seng (µg/g) 43.0-258.0
Thiamin/B1 (µg/g) 12.0-24.0 Riboflavin/B2 (µg/g) 1.8-4.0 Sumber : Luh (1991)
Komponen kimia bekatul terdiri dari protein 12.0-15.6%, lemak
15.0-19.7%, karbohidrat 34.1-52.3%, abu 6.6-9.9%, dan serat kasar 7.0-11.4%
(Luh, 1991). Komponen kimia secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.
Kandungan lemak bekatul yang relatif tinggi menyebabkan bekatul kurang
tahan lama, cepat berbau dan menjadi tengik. Kandungan asam lemak bebas
akan meningkat 1% setiap jam pada penyimpanan di suhu kamar (Barber dan
Benedito de Barber, 1980). Reaksi ketengikan diakibatkan oleh hidrolisis
enzimatik lipase dan ketengikan oksidatif. Pada bekatul, ketengikan terjadi
akibat lipase yang menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol.
Asam lemak bebas dioksidasi oleh enzim lipoksigenase menjadi bentuk
peroksida, keton dan aldehid, sehingga bekatul menjadi tengik (Juliano, 1985).
Ketengikan yang tinggi berpengaruh terhadap penerimaan organoleptik
bekatul sebagai bahan pangan.
Lipase yang terdapat di dalam bekatul termasuk ke dalam golongan
triasilgliserol lipase, yang terdiri dari dua jenis yaitu lipase dengan bobot
molekul 40.000 dan lipase dengan bobot molekul 33.000. Lipase bekatul
memiliki sifat yang sama dengan lipase lapisan terluar biji padi tanpa sekam
(Mukherjee dan Hills, 1994).
Menurut Luh (1980), bekatul mengandung senyawa saponin yang dapat
busa jika dikocok di dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering
menyebabkan hemolisis sel darah merah (Robinson, 1991).
Saponin merupakan suatu senyawa yang termasuk ke dalam golongan
glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna akan menghasilkan gula
dan satu fraksi non gula yang disebut sapogenin atau genin. Gula yang
terdapat di dalam saponin jumlah dan jenisnya bervariasi, antara lain adalah
glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa, serta galakturonat dan glukoronat.
Sapogenin dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sapogenin triterpenida
dan streoida. Saponin streoida adalah turunan dari inti dasar metil tetrasiklik
terpenida dan mempunyai 27 atom karbon, sedangkan sapogenin triterpenida
mempunyai inti karbon naftalen, yaitu 1,2,7 trimetil naftalen (Cheeke dan
Shull, 1985).
Bekatul mempunyai sifat fungsional penurunan kolesterol dari status
hiperkolesterolemik, yang ditunjukkan oleh penelitian pada hewan percobaan
dan manusia. Mekanisme yang mendasari hal ini adalah absorbsi/reabsorbsi
dietary dan atau lipid endogenous pada jalur gastrointestinal dan peningkatan
ekskresi asam empedu. Efek kesehatan ini menimbulkan keinginan untuk
mengkomersialkan nilai tambah bekatul pada produk-produk seperti sereal
sarapan, extruded snack, roti, cookies, serta minuman (Kahlon et al., 1994).
Juliano (1985) melaporkan bahwa disamping mempunyai nilai gizi yang
tinggi, bekatul juga mengandung beberapa zat anti gizi. Menurut Luh (1991),
zat anti gizi tersebut adalah tripsin inhibitor, asam fitat, dan hemaglutinin.
Masalah gizi yang dapat ditimbulkan oleh asam fitat adalah : (1) senyawa ini
sulit dicerna, sehingga fosfor dalam asam fitat tidak dapat digunakan oleh
tubuh, (2) memiliki kemampuan untuk mengkelat elemen-elemen mineral (Ca,
Mg, Fe, dan Zn), dan (3) bereaksi dengan protein membentuk senyawa
kompleks. Tripsin inhibitor adalah senyawa yang mempunyai kemampuan
untuk menghambat aktivitas proteolitik dari enzim tripsin, sehingga
menurunkan kemampuan protein untuk dapat dicerna. Zat anti gizi terakhir
adalah hemaglutinin yang mampu mengaglutinasi sel darah merah (Muchtadi,
Dari segi gizi, bekatul merupakan bagian yang menghasilkan energi,
kaya akan serat, serta mengandung protein tertinggi, bahkan mengandung
asam amino lisin yang lebih tinggi dibandingkan beras (Damayanthi et al.,
2006). Di samping zat gizi, bekatul juga mengandung komponen bioaktif,
yaitu zat gizi yang di dalam tubuh bekerja di luar fungsi tradisionalnya
(sebagai karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral) untuk kesehatan
atau sering disebut dengan komponen bioaktif pangan.
Komponen bioaktif tersebut adalah antioksidan tokoferol (vitamin E),
tokotrienol, oryzanol, dan pangamic acid (vitamin B15). Tokoferol,
tokotrienol dan oryzanol merupakan komponen penyusun minyak bekatul
padi, yang jumlahnya tidak besar, yaitu 2-5% dari minyak bekatul padi kasar,
tergabtung dari varietas padinya. Komponen ini bersifat sebagai antioksidan
dan memberikan manfaat bagi kesehatan manusia Serat pangan dan senyawa
antioksidan dalam bekatul berguna antara lain sebagai zat hipokolesterolemik
atau dapat menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah terjadinya kanker,
dan memperlancar sekresi hormonal (Kahlon et al.,1994).
Lemak merupakan komponen utama bekatul yang kadarnya sedikit lebih
tinggi dibanding protein. Sekitar 80% dari lemak padi terkonsentrasi di dalam
bekatul dan sepertiga darinya terdapat di dalam embrio. Minyak yang
diperoleh dari bekatul dolaporkan sebagai salah satu minyak makan yang
terbaik di antara minyak yang ada, dan sudah dijual di beberapa negara. Asam
lemak pada minyak bekatul menunjukkan kandungan asam lemak esensial
(oleat, linoleat, dan linolenat). Senyawa lain yang penting adalah kandungan
tokoferol yang bersifat antioksidan untuk mempertahankan ketengikan minyak
akibat oksidasi. Di samping tokoferol, antioksidan lain yang penting adalah
oryzanol yang merupakan ester dari asam ferulat (Damayanthi et al., 2006).
Tokoferol (vitamin E) ditemukan oleh Evans dan Bishop pada tahun
1922. Beberapa fungsi vitamin E yang erat hubungannya dengan sifat
antioksidan adalah memperlambat proses penuaan, melindungi vitamin A dari
oksidasi di dalam usus sehingga dapat meningkatkan proses penyerapan
antioksidan adalah mencegah kerusakan dinding-dinding sel seperti kerapuhan
sel-sel darah merah pada manusia sehingga mencegah terjadinya hemolisis.
Kebutuhan vitamin E direkomendasikan oleh National Research
Council (NRC) USA, di dalam Recommended Daily Allowance (RDA).
Besarnya kebutuhan dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan usia (Tabel 5).
Bahan pangan yang banyak mengandung vitamin E biasanya terdapat pada
bahan pangan nabati seperti minyak sayur-sayuran, sayuran hijau, biji-bijian
dan terutama berlimpah jumlahnya pada kecambah (deMan, 1997). Produk
pangan hewani yang umumnya mengandung vitamin E antara lain susu, telur,
dan sebagainya (deMan, 1997).
Oryzanol adalah komponen berharga dari bagian tidak tersabunkan.
Komponen ini memiliki sifat antioksidan dengan aktivitas yang lebih tinggi
dibanding tokoferol dan dinyatakan dapat memicu pertumbuhan manusia,
membantu sirkulasi \darah, dan memicu sekresi hormon. Struktur kimia γ
-oryzanol adalah keluarga dari ester asam ferulat dari triterpenoid alkohol tidak
jenuh. Pada minyak bekatul padi, γ-oryzanol telah diidentifikasi berfungsi
sebagai antioksidan dan bersifat menyembuhkan berbagai penyakit manusia.
Telah diidentifikasi, yang termasuk ke dalam γ-oryzanol adalah cycloartenyl
ferulate, campesteryl ferulate, cycloartanyl ferulate, beta sitosteryl ferulate,
dan 2,4 methylene cycloartenyl ferulate yang memiliki aktivitas tertinggi
(Damayanthi et al., 2006).
Saunders (1990) menyatakan bahwa keuntungan fisiologis dari bekatul
padi sebagai sumber bahan pangan adalah karena kandungan gizinya dan sifat
dari oryzanol. Efek hipokolesterolemik bekatul dan beberapa fraksinya
(neutral detergent fiber, hemiselulosa, minyak bekatul padi, dan bahan tak
tersabunkan) telah banyak diobservasi baik pada hewan percobaan maupun
manusia (Kahlon et al., 1996; Cheng, 1993; Nestel, 1990).
Seetharamaiah dan Chandrasekhara (1989) melaporkan minyak bekatul
padi menurunkan secara nyata kadar kolesterol total, bebas, esterifikasi, LDL,
dan VLDL serum dibandingkan dengan ransum minyak kacang tanah 10%,
sebaliknya kolesterol HDL menjadi lebih tinggi. Penambahan oryzanol 0.5%
lebih jauh secara nyata total kolesterol serum. Kemampuan minyak bekatul
padi menurunkan kadar kolesterol disebabkan adanya oryzanol dan komponen
lainnya dari bahan yang tidak dapat disabunkan.
B. STABILISASI BEKATUL PADI
Stabilisasi bekatul sangat berhubungan dengan adanya enzim lipase
yang terdapat pada lapisan biji dan lapisan melintang pada beras. Untuk
memperoleh bekatul bersifat food grade dengan mutu yang tinggi, seluruh
komponen penyebab kerusakan harus dikeluarkan atau dihambat. Stabilisasi
bekatul untuk menghasilkan bekatul awet dilakukan dengan prinsip
meniadakan aktivitas lipase. Proses penghilangan aktivitas enzim lipase harus
lengkap dan bersifat tidak dapat balik. Pada saat bersamaan, kandungan
komponen berharga harus dijaga.
Terdapat tiga pendekatan dari segi teknik guna inaktivasi lipase bekatul.
Pertama, pemanasan basah atau kering. Kedua, ekstraksi dengan pelarut
organik untuk mengeluarkan minyak. Ketiga, denaturasi etanolik dari lipase
bekatul dan lipase dari bakteri dan kapang (Champagne et al., 1992).
Dari ketiga perlakuan tersebut, tampaknya hanya perlakuan pemanasan
yang cocok dan aman untuk pengawetan bekatul. Ada tiga cara dalam proses
stabilisasi bekatul, yaitu : (a) pemanasan dengan kadar air tetap (
retained-moisture heating), bekatul dipanaskan di bawah tekanan tinggi untuk
mencegah penurunan panas sampai selesai pemanasan. (b) pemanasan dengan
penambahan air (added-moisture heating), kadar air bekatul meningkat selama
pemanasan (menggunakan uap), kemudian dikeringkan, dan (c) pemanasan
kering pada tekanan atmosfir (Sayre et al., 1982).
Dari ketiga metode pemanasan tersebut, pemanasan dengan tekanan
tinggi dan kadar air tetap dapat dianggap cara terbaik. Metode ini dilakukan
berdasarkan pemanfaatan kadar air bekatul sebagai perantara panas (heat
transfer), denaturasi enzim dan sterilisasi. Dua metode yang tergolong proses
ini adalah drum berputar dan ekstrusi. Dalam proses drum berputar, bekatul
dipanaskan pada suhu 110-120OC selama 5 menit dengan tekanan 0.3-0.5
didiamkan hingga dingin dan kering. Pada proses ekstrusi, suhu pemasak
ekstruder berkisar 130-140OC; densitas bekatul meningkat dari 0.3 menjadi
0.6 g/ml, dan kadar air menurun sebesar 5-8%. Keuntungan proses ini adalah
karena tidak membutuhkan aliran uap dari luar, peralatannya relatif kecil dan
kompak, serta mudah instalasi dan operasinya. Dengan demikian unit ini dapat
digabungkan dengan unit penggilingan beras dengan sedikit modifikasi
(Damardjati et al., 1990).
Stabilisasi bekatul padi komersial di Amerika Serikat dilakukan dengan
ekstruder pada suhu 125-135OC selama 1-3 detik, kadar air 11-15% (Randall
et al., 1985). Damardjati dan Luh (1986) berdasarkan prosedur Randall et al.
(1985) telah mempelajari pengawetan bekatul dengan ekstruder. Penggunaan
ekstruder sistem ulir tunggal dengan tipe alat Brady Crop Cooker, model
2160, dilengkapi dengan motor elektrik 100 HP, telah memberikan hasil yang
memuaskan dalam proses pengawetan bekatul. Kondisi proses yang optimal
adalah suhu 130OC pada kadar air bekatul 12-13%, dilanjutkan dengan
pemanasan pada suhu 97-99OC selama 3 menit, kemudian didinginkan dengan
hembusan udara suhu kamar.
Pemanasan kering dapat dilakukan dengan proses sangrai (roasting)
pada suhu 100-110 OC, dan proses ini relatif sederhana, mudah dan murah.
Akan tetapi proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama (20-30 menit),
pemanasannya tidak merata, disamping kemungkinan terjadi kerusakan bahan,
juga mikroba dan serangga tidak terbasmi semua, serta enzim lipase juga tidak
rusak sehingga apabila kadar air bahan meningkat selama penyimpanan (>7%)
akan terjadi lagi kegiatan hidrolisa lemak (Juliano, 1985).
Perlakuan pemanasan basah umumnya lebih efektif dibandingkan
pemanasan kering. Inaktivasi lipase pada bekatul basah dapat dilakukan pada
suhu 100OC selama 3 menit (Barber dan Benedito de Barber, 1980). Proses
pemanasan bekatul basah umumnya dilakukan dengan pengukusan
(pemanasan dengan uap) selama 10-30 menit, pengeringan produk hingga
kadar air 3-12% dan pendinginan. Pengukusan optimum adalah selama 15
menit pada suhu 100OC atau selama 5 menit pada suhu 115OC. Pengeringan
Otoklaf telah dikenal sejak tahun 1830 sebagai suatu alat untuk
memanaskan makanan kaleng dan merupakan gabungan dari ketel bertutup
dengan uap panas. Otoklaf digunakan untuk sterilisasi alat dan bahan pangan.
Pada bahan pangan, sterilisasi harus cukup mematikan mikroorganisme yang
paling tahan panas yaitu spora bakteri patogen tanpa menimbulkan kerusakan
gizi dan penampakan (Winarno, 1992).
Uap panas yang dihasilkan sangat baik digunakan untuk mendestruksi
mikroba dengan cara menginaktivasi beberapa enzim penting yang terdapat
pada mikroba. Untuk menginaktifkan enzim dan membunuh mikroba pada
bahan pangan digunakan otoklaf dengan suhu 121OC selama 15-20 menit
(Winarno, 1992).
Proses pemanasan basah menggunakan otoklaf memberikan waktu
pemanasan yang lebih pendek, lebih efektif dalam sterilisasi dan pencegahan
kegiatan enzim yang permanen. Namun proses pemanasan basah
membutuhkan investasi yang mahal dan membutuhkan keterampilan yang
tinggi (Damardjati et al., 1990). Proses stabilisasi ini harus segera dilakukan
segera setelah bekatul diperoleh dari penggilingan gabah.
Aktivitas enzim lipase dan lipoksigenase akan hancur akibat denaturasi
oleh proses panas selama proses stabilisasi bekatul. Namun, panas dapat
meningkatkan reaksi oksidasi non enzimatik. Pengolahan panas menyebabkan
penyebaran kembali minyak, penghancuran antioksidan endogenous dan
peningkatan luas permukaaan yang terpapar oksigen. Denaturasi hemoprotein
katalase dan peroksidase ditemukan pada beras pecah kulit yang mengalami
pemanasan. Pembukaan lipatan enzim ini menyebabkan pemaparan lebih
besar dari grup heme ke substrat minyak, sehingga zat besi mengawali
oksidasi. Kerusakan oksidasi enzimatik dan non enzimatik di dalam padi
diperlambat dengan menjaga kadar oksigen yang rendah melalui pengemasan
C. PRODUK PANGAN DARI BEKATUL
Terdapat hubungan yang kuat antara jenis pangan yang dikonsumsi
dengan kesehatan tubuh seseorang. Salah satu contohnya adalah konsumsi
lemak khususnya asam lemak jenuh yang terlalu banyak, tetapi sebaliknya
konsumsi serat, sayuran, dan buah yang rendah dapat mengakibatkan penyakit
jantung dan kanker. Saat ini pengetahuan tentang peranan berbagai komponen
pangan pada pencegahan dan pengobatan penyakit tertentu, yang disebut
dengan komponen bioaktif pangan, telah berkembang sedemikian pesatnya.
Seiring dengan hal tersebut, teknologi-termasuk bioteknologi dan rekayasa
genetik-telah menciptakan penemuan sains, inovasi produk dan produksi
massal. Pengembangan ini menghasilkan bertambah besarnya jumlah produk
yang berpotensi bagi kesehatan, yang disebut dengan pangan fungsional.
Istilah pangan fungsional ditujukan bagi makanan yang dapat melindungi dan
mengobati penyakit (Goldberg, 1994).
Bekatul memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi dan ditambah
dengan komponen bioaktif oryzanol menjadikan bekatul sebagai bahan baku
yang berpotensi untuk dijadikan pangan fungsional. Oleh karena itu para
peneliti merekomendasikan untuk mengembangkan produk pangan dari
bekatul awet yang memiliki palatibilitas tinggi (Damardjati et al., 1987).
Secara khusus juga direkomendasikan untuk memanfaatkan minyak bekatul di
dalam bahan pangan karena adanya kandungan tokoferol dan oryzanol
(McCaskill dan Zhang, 1999).
Selama ini bekatul padi sebagai hasil samping penggilingan padi
bersifat limbah dan dimanfaatkan sebagai makanan ternak (pakan) dengan
nilai ekonomi yang rendah. Sebenarnya bekatul padi dapat dipakai sebagai
bahan baku industri farmasi dan makanan manusia. Dengan penemuan
lembaga Eykman Jakarta, bekatul padi dapat diekstrak untuk sumber vitamin
B. Untuk makanan manusia, bekatul padi dapat dicampur dengan bahan lain
pada pembuatan biskuit, kue dan minuman fungsional. Penggunaan bekatul
secara komersial di luar negeri baru pada pengekstrakan bekatul untuk minyak
Pemanfaatan bekatul yang telah diawetkan dengan ekstruder sebagai
makanan sarapan sereal dilaporkan oleh Damardjati dan Luh (1986). Tepung
beras : bekatul dari perbandingan 90 : 10 sampai dengan 30 : 70 dicampur lalu
diekstrusi pada kadar air 21%. Hasilnya berbentuk ekstrudat yang terbagi dua
yaitu irregular round untuk kadar bekatul sedang (10-30%) dan oblonglong
rectangular untuk kadar bekatul tinggi (50-70%). Peningkatan penambahan
bekatul sampai 30% akan menurunkan viskositas awal, indeks penyerapan air,
sebaliknya meningkatkan indeks kelarutan air dan densitas kamba.
Substitusi bekatul padi 15% pada terigu dilaporkan memberikan hasil
yang optimal terhadap penerimaan cookies dan roti manis metode dough
sponge dan straight dough. Substitusi ini meningkatkan kandungan serat
pangan (hemiselulosa, selulosa, dan lignin) dan niasin pada produk (Muchtadi
et al., 1995). Substitusi tepung bekatul padi varietas IR 64 terhadap tepung
terigu atau tepung beras pada bolu kukus memberikan penerimaan yang baik
dengan substitusi hingga 45% sedangkan besar substitusi pada risoles,
nagasari, dan cucur masing-masing sebesar 55% (Damayanthi et al., 2001).
Terdapat lebih dari 100 perusahaan yang menjual atau mengembangkan
produk pangan fungsional dan lebih dari 70% produk tersebut berupa
minuman. Penyebaran kandungan dalam berbagai pangan fungsional yang
potensial adalah serat pangan (40%), kalsium (20%), oligosakarida (20%),
bakteri asam laktat (10%) dan bahan lain (10%) (Goldberg, 1994).
Kebanyakan pangan fungsional dikembangkan dalam bentuk minuman,
seperti Fibe Min yang merupakan minuman ringan terlaris di Jepang produksi
Otsuka Pharmaceuticals. Minuman ini mengandung suplemen serat pangan,
mineral, dan vitamin. Bekatul sebagai sumber serat dan vitamin yang cukup
baik dapat dikembangkan sebagai minuman fungsional yang dapat
memberikan efek fisiologis bagi tubuh.
Pangan, termasuk minuman fungsional didefinisikan sebagai suatu
makanan atau minuman yang dimodifikasi dengan ditambahkan satu atau
lebih komponen bahan alami. Minuman fungsional, dapat menguntungkan
kesehatan di samping adanya zat-zat nutrisi, dan secara tidak langsung
Departemen Kesehatan Jepang telah mengidentifikasi minimal terdapat 12
komponen yang dipertimbangkan dapat meningkatkan kesehatan, yaitu serat
kasar makanan, oligosakarida, gula alkohol, asam amino, peptida dan protein,
glikosida, alkohol, isoprenoid, vitamin, kolin, bakteri asam laktat, mineral,
PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid), fitokimia, dan antioksidan (Goldberg,
1994).
Suatu produk dapat dikategorikan dalam kelompok pangan fungsional
bila berupa pangan dan dikonsumsi sebagai bahan pangan sehari-hari,
mempunyai fungsi tertentu saat dicerna atau selama proses metabolisme di
dalam tubuh dan mengandung komponen bioaktif. Suatu produk pangan
fungsional juga harus memiliki 3 fungsi dasar yaitu : (1) sensorik (warna dan
penampilan menarik, serta citarasa enak); (2) nutrisional (bernilai gizi tinggi);
dan (3) fisiologis (dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi
tubuh). Fungsi fisiologis tersebut meliputi pencegahan timbulnya penyakit,
peningkatan daya tahan tubuh, pengatur kondisi ritme fisik tubuh, perlambatan
proses aging, dan penyembuhan kembali (Goldberg, 1994).
Menurut Hilliam (2000), pemasaran produk pangan fungsional memiliki
kecepatan pertumbuhan sebesar 15-20% per tahun. Hal tersebut didukung oleh
semakin banyaknya masyarakat yang tertarik akan pangan fungsional.
Menurut Milner (2000), hal tersebut dikarenakan biaya kesehatan makin
mahal, banyaknya penemuan-penemuan oleh ilmuwan di bidang pangan dan
kesehatan yang menarik, serta adanya perundang-undangan yang melindungi
dan mengatur tentang penggunaan makanan sehat.
D. SUSU SKIM
Susu terbagi atas dua bagian utama yaitu krim susu dan skim susu.
Pemisahan krim dan skim susu dapat dilakukan dengan cara mekanik atau
gravitasi. Krim adalah bagian susu yang muncul ke permukaan sewaktu susu
didiamkan pada suhu tertentu atau dengan pemisahan secara mekanik. Krim
dapat diolah lebih lanjut menjadi mentega atau es krim.
Susu skim diproses dengan cara menghilangkan kebanyakan atau semua
lemak susu dan vitamin larut lemak, secara proporsional lebih besar
dibandingkan komponen susu utuh yang menjadi bahan bakunya. Standar susu
skim bervariasi dengan rentang jumlah lemak susu maksimum 0.1 sampai
0.5% (Hargrove dan Alford, 1983).
Susu skim kering disebut juga susu kering non lemak. Produk ini dibuat
dari susu skim yang telah dipanaskan sampai 75-95OC, kemudian
dikonsentrasikan sampai mengandung 35-45% padatan, dan selanjutnya
dikeringkan menggunakan spray drier. Suhu pengeringan yang digunakan
adalah 260OC dengan waktu yang relatif singkat setelah susu disemprotkan
dengan tekanan yang tinggi, sehingga terbentuk kabut dalam ruang pengering
(Warner, 1975).
Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil
sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi dari
susu yang tidak dipisahkan, kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut
dalam lemak (Buckle et al., 1987).
Karena telah dipisahkan dari lemaknya, maka susu skim hanya
mengandung 0.5-2% lemak (Varnam dan Sutherland, 1994). Protein susu
merupakan penyusun terbesar pada susu skim. Protein susu dapat
diklasifikasikan menjadi dua grup utama, yaitu kasein dan protein whey.
Kasein merupakan fraksi utama protein yang mengendap saat susu segar
diasamkan pada pH 4.6 pada suhu 20oC. Kasein menyusun 76-86% dari total
protein susu skim dan terdapat pada susu dalam bentuk partikel koloidal,
misel, yang mengandung kalsium, fosfat, sitrat, dan magnesium (Thomphson
et al., 1965).
Protein non-kasein yang tertinggal setelah pengendapan kasein disebut
protein whey atau serum protein. Whey protein ini menyusun 14-24% dari
total protein susu skim (Thomphson et al., 1965). Protein whey bersifat labil
terhadap panas di mana denaturasi protein terjadi pada suhu 80oC. Hal ini
berbeda dengan kasein yang stabil pada suhu diatas 140oC. Kandungan protein
Tabel 2. Kandungan protein pada susu skim
Protein Jenis Jumlah (% skim total)
Kasein αs-kasein 45-55
-kasein 25-35
Γ- kasein 3-7
kappa-kasein 8-15
Whey - lactoglobuline 7-12
- lactalbumin 2-5
Blood serum albumin 0.7-1.3
Sumber : Rimbawan, 1977
Penggunaan susu skim dalam berbagai produk makanan memiliki
keuntungan yaitu (1) mudah dicerna dan dapat dicampur dengan makanan
padat atau semi padat, (2) susu skim mengandung nilai gizi yang tinggi,
protein susu mengandung asam amino esensial (3) susu skim dapat disimpan
lebih lama daripada whole milk karena kandungan lemaknya yang sangat
rendah. Walaupun susu skim merupakan sumber protein yang baik, susu skim
memiliki kekurangan yaitu rendahnya energi yang dikandung (Anonim, 1983
[image:40.612.233.414.492.700.2]yang dikutip Liana, 1987). Nilai gizi susu skim dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai zat gizi susu skim Nilai gizi Jumlah
Kalori (cal) 36
Protein (g) 3.5
Lemak (g) 0.1
Karbohidrat (g) 5.1
Kalsium (mg) 123
Fosfor (mg) 97
Besi (mg) 0.1
Vitamin B1 (mg) 0.04
Vitamin C (mg) 1
Susu skim dapat dikonsumsi oleh orang yang menginginkan nilai kalori
rendah di dalam makanannya, karena susu skim hanya mengandung 55% dari
seluruh energi susu, dan skim juga digunakan dalam pembuatan keju dengan
lemak rendah dan yoghurt. Susu skim seharusnya tidak digunakan untuk
makanan bayi tanpa adanya pengawasan gizi karena tidak adanya lemak dan
vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (Buckle et al., 1987).
E. UMUR SIMPAN
Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam
produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan,
sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan
tidak dapat diterima lagi (Syarief dan Halid, 1993). Jangka waktu akumulasi
hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima ini
disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Lebih lanjut ditambahkan bahwa
bahan pangan tersebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa,
yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan
tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus.
Institut of Food Technologist mendefinisikan umur simpan sebagai
selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk masih
berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa,
aroma, tekstur, dan nilai gizi. Adapun National Food Processor Association
mendefinisikan umur simpan sebagai berikut: suatu produk dianggap berada
pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk tersebut secara umum
dapat diterima untuk tujuan seperti diinginkan oleh konsumen dan selama
bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan
(Arpah, 2001).
Pentingnya penentuan umur simpan adalah untuk menyampaikan dan
menunjukkan kepada konsumen bahwa industri memberikan kepastian atau
jaminan kepada konsumen bahwa hanya produk-produk dengan kualitas
(mutu) yang tertentu saja yang dijual ke pasar, yaitu produk yang masih
kadaluarsa ini berkaitan dengan tingkat keyakinan industri terhadap tingkah
laku mutu yang diproduksinya (Hariyadi, 2004).
Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan
dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan
yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Syarief dan Halid (1993)
menyatakan bahwa penurunan mutu makanan terutama dapat diketahui dari
perubahan faktor tersebut. Oleh karena itu, dalam menentukan daya simpan
suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk
tersebut.
Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis
produknya. Untuk produk berlemak parameternya berupa ketengikan. Produk
yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin (misalnya susu
pasteurisasi) parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Produk berwujud
bubuk, cair atau kering yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk,
yang diuji tidak semua parameter, melainkan salah satu saja, yaitu yang paling
cepat mempengaruhi penerimaan konsumen.
Sistem penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan
waktu yang lama karena penetapan kadaluarsa pangan dengan metode ESS
(Extended Storage Studies) dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri
produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan
terhadap penurunan mutunya sehingga tercapai mutu kadaluarsa. Untuk
mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut, maka digunakan
metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) atau metode akselerasi. Pada
metode ini kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk
dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah
dan Syarief, 2000). Penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan
keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan.
Salah satu metode ASLT adalah metode Arrhenius. Metode ini
dilakukan dengan menyimpan bahan atau produk pangan dengan kemasan
akhir pada minimal tiga suhu, yaitu 37OC, 45OC, dan 55OC. Kemudian tabulasi
data dari penurunan mutu berdasarkan parameter mutu tertentu tersebut
k = ko . e-Ea/RT
dimana k = konstanta penurunan mutu
ko = konstanta (tidak tergantung pada suhu)
Ea = energi aktivasi
T = suhu mutlak (OK)
R = konstanta gas (1.986 kal/molOK)
Dengan mengubah persamaan di atas menjadi :
ln k = ln ko + (-Ea/R) 1/T
dapat ditentukan nilai k dan umur simpan masing-masing bahan atau
produk pangan pada berbagai suhu penyimpanan.
F. MIXTURE EXPERIMENT
Penggabungan beberapa ingredien atau bahan baku untuk menghasilkan
suatu produk pangan yang dapat dinikmati, di mana hasil akhir dari produk
tersebut dipengaruhi oleh persentase atau proporsi relatif masing-masing
ingredien yang ada dalam formulasi. Selain itu, penggabungan beberapa
ingredien dalam mixture experiment bertujuan melihat apakah pencampuran
dua komponen atau lebih tersebut dapat menghasilkan produk akhir dengan
sifat yang lebih diinginkan dibandingkan dengan penggunaan ingredien
tunggalnya dalam menghasilkan produk yang sama (Cornell, 1990).
Penggunaan mixture experiment dalam merancang percobaan untuk
memperoleh kombinasi yang optimal ini mampu menjawab permasalahan jika
dilihat dari segi waktu (mengurangi jumlah trial and error) dan biaya
(Cornell, 1990). Menurut Ma’arif et al. (1989), optimasi adalah suatu
pendekatan normatif untuk mengidentifikasikan penyelesaian terbaik dalam
pengambilan keputusan suatu permasalahan. Melalui optimasi, permasalahan
akan diselesaikan untuk mendapatkan hasil yang terbaik sesuai dengan batasan
yang diberikan.
Mixture experiment (ME) merupakan suatu metode perancangan
percobaan yang merupakan kumpulan dari teknik matematika dan statistika
dimana variabel respon diasumsikan hanya tergantung pada proporsi relatif
tersebut. Salah satu tujuan penggunaan perancangan percobaan ini adalah
untuk mengoptimalkan respon yang diinginkan. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa variabel respon merupakan fungsi dari proporsi relatif setiap
komponen atau bahan penyusun dalam suatu formula (Cornell,1990).
Menurut Cornell (1990), ME terdiri atas enam tahap utama, yaitu
menentukan tujuan percobaan, memilih komponen-komponen penyusun
campuran, mengidentifikasi batasan-batasan pada komponen campuran,
mengidentifikasi variabel respon yang akan dihitung, membuat model yang
sesuai untuk mengolah data dari respon, dan memilih desain percobaan yang
sesuai. ME ini sering digunakan untuk menentukan dan menyelesaikan
persamaan polinomial secara simultan. Persamaan tersebut, dapat ditampilkan
dalam suatu contour plot, baik berupa gambar dua dimensi (2-D) maupun
grafik tiga dimensi (3-D) yang dapat menggambarkan bagaimana variabel uji
mempengaruhi respon, menentukan hubungan antar variabel uji, dan
menentukan bagaimana kombinasi seluruh variabel uji mempengaruhi respon.
Persamaan polinomial ME dapat memiliki berbagai macam orde, antara
lain mean, linear, quadratic, cubic, dan special cubic. Namun model
persamaan polinomial yang sering digunakan adalah model polinomial ordo
linear dan quadratic. Model ordo linear dengan dua variabel uji dapat dilihat
pada persamaan (1) sedangkan model ordo quadratic dengan dua variabel uji
dapat dilihat pada persamaan (2).
Y = b0 + b1X1 + b2X2 ... (1)
Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b11X12 + b22X22 + b12X1X2 ...(2)
Persamaan model polinomial dengan ordo linear seringkali
memberikan deskripsi bentuk geometri (3-D) permukaan respon yang kurang
memadai. Oleh karena itu, penggunaan model polinomial dengan ordo
quadratic lebih dianjurkan dalam formulasi (Cornell, 1990).
Rancangan mixture experiment ini dalam program komputer Design
Expert version 7 dinamakan dengan mixture design. Program Design Expert
version 7 ini adalah suatu program yang mempunyai berbagai metode
rancangan percobaan dan analisis data untuk statistik. Metode rancangan
mixture design techniques, dan combine design. Desain faktorial merupakan
suatu rancangan percobaan untuk mengidentifikasi faktor perlakuan yang
sangat penting dan berpengaruh pada suatu penelitian. Response Surface
Methodology (RSM) yaitu suatu metode rancangan percobaan untuk
menemukan rancangan proses yang ideal. Mixture design techniques yaitu
rancangan untuk mencari formula optimal pada berbagai formula yang dibuat.
D-optimal combine design yaitu suatu metode pada program DX 7 yang
bertujuan untuk menggabungkan (combine) variabel-variabel proses,
campuran komponen, dan faktor yang berpengaruh dalam satu desain,
sehingga dapat menghasilkan suatu kondisi proses dan formula yang optimal.
Rancangan D-optimal combine merupakan gabungan antara RSM
dengan optimal combine. Rancangan ini berfungsi menemukan formula
optimum yang diinginkan formulator. Untuk mencapai kondisi tersebut, harus
ditentukan respon atau parameter produk yang menjadi ciri penting sehingga
dapat meningkatkan mutu produk. Respon yang dipilih ini menjadi input data
yang selanjutnya diproses oleh rancangan RSM D-optimal combine sehingga
II. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan dalam tahap penentuan karakteristik
fisikokimia tepung bekatul adalah bekatul segar, natrium metabisulfit, H2O2,
serta alumunium foil. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam analisisnya
adalah n-heksana, etanol netral 95%, KOH 0.1 N, toluen, 2 2’ bypiridin,
FeCl3.6H2O, indikator fenolftalein, α-tokoferol murni, akuades, serta KI 25%.
Bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi minuman fungsional
adalah susu skim, maltodekstrin, tepung bekatul awet, sukrosa, flavor vanilla,
serta karagenan sebagai bahan penstabil. Bahan untuk analisis kimia meliputi
K2SO4, CuSO4, HgO, H3BO3, HCl, H2SO4 pekat, H2SO4 1.25% heksana,
NaOH pekat, NaOH 3.25%, etanol 96%, kertas saring Whatman 54, buffer
fosfat 0.1 M pH 6.0, α-amilase (Termamyl 120L), pepsin, pankreatin, aseton,
etanol 90%, etanol 78%, serta indikator merah metil dan metil biru. Untuk
analisis mikrobiologi diperlukan media Plate Count Agar dan larutan
fisiologis NaCl 0.85%. Adapun bahan yang digunakan untuk menentukan
umur simpan produk adalah kemasan foil alumunium yang dilaminasi Low
Density Polyethylene (LDPE).
Peralatan yang digunakan adalah otoklaf, penering drum, ayakan 60
mesh, kain saring, refrigerator, oven pengering, rotavapor vakum, labu
kjeldahl, labu lemak, tanur, ekstraktor soxhlet, gelas ukur, gelas piala,
erlenmeyer, labu volumetrik, mikropipet, buret, spektrofotometer, cawan petri,
botol semprot, Chromameter Minolta CR-200, pH meter Orion model 210A,
viskometer Brookefield, Shibaura aw meter WA-360, blender, mixer, neraca
analitik, sudip, freezer, serta inkubator.
B. METODE
1. Penentuan Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul
Bekatul segar diayak menggunakan ayakan 60 mesh untuk
menghilangkan campuran sekam dan pengotor lainnya, kemudian
distabilisasi dengan menggunakan otoklaf bersuhu 121OC selama 3 menit
Perlakuan pertama adalah pengeringan oven bersuhu 105OC selama 1 jam
(Damayanthi, 2002); perlakuan kedua menggunakan pengering drum
bersuhu 120OC dengan kecepatan 8 rpm; serta perlakuan ketiga yang masih
menggunakan pengering drum namun bekatul mendapat perlakuan
bleaching sebelum dikeringkan.
Dari ketiga jenis tepung yang dihasilkan, dilakukan analisis fisik yang
meliputi densitas kamba, densitas padat, kelarutan dalam air, daya serap air,
nilai aw, warna, serta kadar air. Khusus untuk tepung yang dihasilkan dari
proses bleaching, dilakukan analisis residu H2O2 secara kualitatif untuk
mengetahui kandungan residu H2O2 yang terdapat pada tepung yang
dihasilkan. Dari sifat-sifat fisik yang diinginkan, kemudian dipilih jenis
tepung yang akan digunakan pada tahapan penelitian selanjutnya. Tepung
terpilih diinkubasi menggunakan inkubator dengan suhu 35OC selama 144
jam (6 hari) untuk dilihat perubahan sifat kimianya. Sifat kimia yang
diamati berupa kadar asam lemak bebas serta total tokoferol yang
terkandung di dalamnya.
a. Analisis Sifat Fisik
1. Densitas Kamba (Khalil, 1999)
Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan tepung ke
dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan,
kemudian berat tepung ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan
cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati.
Densitas kamba dinyatakan dalam satuan g/ml.
2. Densitas Padat (Khalil, 1999)
Densitas padat diukur dengan cara memasukkan tepung ke
dalam gelas ukur dan dipadatkan sampai volumenya konstan,
kemudian berat tepung ditimbang. Densitas padat dihitung dengan
cara membagi berat tepung de