SKRIPSI
OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN EMULSI VIRGIN COCONUT OIL
Oleh
RINA ANGGRAENI F24103066
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN EMULSI VIRGIN COCONUT OIL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
RINA ANGGRAENI F24103066
2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN EMULSI VIRGIN COCONUT OIL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
RINA ANGGRAENI F24103066
Dilahirkan pada tanggal 20 Agustus 1985 Di Bandung, Jawa Barat
Tanggal Lulus : 5 Oktober 2007
Menyetujui,
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Rina Anggraeni. F24103066. Optimasi Formula dan Pendugaan Umur Simpan Emulsi Virgin Coconut Oil. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS.
RINGKASAN
Buah kelapa yang diolah menjadi virgin coconut oil (VCO) sebagai suplemen pangan memiliki nilai tambah yang lebih tinggi dibandingkan jika diolah menjadi minyak goreng biasa. Hal ini dikarenakan kandungan medium chain triglycerides (MCTs) yang tersusun atas asam kaproat (C6:0), asam kaprilat (C8:0), asam kaprat (C10:0), dan asam laurat (C12:0) sebagai salah satu komponen fungsional pada VCO terdapat dalam kadar yang lebih tinggi. MCTs khususnya asam kaprilat dan asam kaprat bermanfaat dalam mengatasi obesitas. Selain itu, asam kaprat dan asam laurat bermanfaat sebagai antimikroba. Kandungan MCTs terbesar pada VCO adalah asam laurat yang dapat mencapai 50% dari total asam lemak. Selain bermanfaat sebagai antimikroba, asam laurat bermanfaat dalam mengatasi diabetes dan hiperkolestrolemia. Namun, manfaat yang begitu besar dari VCO tidak didukung dengan karakteristik organoleptik khususnya rasa dan mouthfeel VCO.
Tujuan dari penelitian ini adalah memperbaiki karakteristik organoleptik VCO melalui teknik emulsifikasi dengan mengoptimasi formula emulsi VCO sehingga diperoleh respon yang optimal berupa rasa, mouthfeel, aroma, kekentalan, dan kestabilan. Selain itu, pendugaan umur simpan dilakukan terhadap formula dengan respon yang optimal.
Penelitian ini terbagi menjadi penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri atas lima tahap. Tahap pertama dilakukan untuk menentukan jenis emulsifier berupa lesitin dan polysorbate 80. Tahap kedua dilakukan untuk menentukan rasio minyak dan air, yaitu rasio 6 : 4, 7 : 3, dan 8 : 2. Tahap ketiga hingga kelima dilakukan untuk menentukan konsentrasi maksimum dan minimum skim, fruktosa, asam sitrat, serta asam laktat. Penelitian utama dilakukan untuk mengoptimasi formula emulsi VCO dengan menggunakan program design expert 7 (DX 7) serta menduga umur simpannya melalui metode akselerasi dengan pendekatan Arrhenius.
Hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan secara trial and error menunjukkan bahwa jenis emulsifier yang digunakan pada tahap selanjutnya adalah polysorbate 80 serta rasio minyak dan air sebesar 8 : 2. Selain itu, ditentukan pula beberapa komponen yang menjadi variabel uji dalam tahap optimasi formula dengan DX 7, yaitu susu skim, fruktosa, asam sitrat, dan asam laktat dengan kisaran konsentrasi masing-masing komponen sebesar 6% – 8%, 9.03% – 11.33%, 0.3% – 0.4%, dan 0.5% – 0.7%. Total konsentrasi dari keempat variabel uji adalah sebesar 18.13%. Nilai tersebut diperoleh dari selisih total konsentrasi komponen tetap, yaitu minyak 64%, air 16%, polysorbate 80 0.25%, flavor 1.5%, BHT 0.02%, dan natrium benzoat 0.1% sehingga total persentase seluruh formula adalah 100%.
fruktosa, asam sitrat, dan asam laktat berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan untuk respon rasa, mouthfeel, dan kekentalan, serta skor kestabilan pada selang kepercayaan 95%. Namun, komponen-komponen tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan untuk respon aroma pada selang kepercayaan 95%. Respon yang signifikan diolah lebih lanjut sehingga diperoleh formula terpilih yang terdiri atas 8% skim, 9.23% fruktosa, 0.4% sitrat, dan 0.5% laktat dengan nilai desirability sebesar 0.884.
Hasil analisis fisik terhadap formula terpilih menunjukkan bahwa emulsi VCO memiliki kisaran warna kuning merah, tingkat kecerahan sebesar 70.13, dan viskositas sebesar 4450 cp. Hasil uji kualitas menunjukkan bahwa emulsi VCO memiliki bilangan asam sebesar 6.62 mg KOH/g sampel, bilangan peroksida sebesar 0.9619 meq/kg sampel, total mikroba kurang dari 3 x 102 koloni/ml, dan pH sekitar 4.14. Analisis asam lemak dilakukan pula terhadap emulsi VCO dan VCO asli. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar MCT sebesar 18.08% atau sebesar 95 mg asam lemak/g sampel.
Hasil uji hedonik terhadap VCO asli dan emulsi VCO dari formula terpilih menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap atribut rasa dan mouthfeel untuk kedua sampel berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Selain itu, berdasarkan atribut rasa, VCO asli memiliki skor kesukaan 2.8 yang berarti antara tidak suka hingga biasa, sedangkan emulsi VCO memiliki skor kesukaan yang lebih besar, yaitu 4.0 yang berarti suka. Berdasarkan atribut mouthfeel, VCO asli memiliki skor kesukaan sebesar 2.8 yang berarti antara tidak suka hingga biasa, sedangkan emulsi VCO memiliki skor kesukaan 3.6 yang berarti antara biasa hingga suka.
Pendugaan umur simpan terhadap formula terpilih menunjukkan bahwa berdasarkan uji organoleptik aroma (off flavor), maka emulsi VCO memiliki umur simpan selama 7.09 bulan jika disimpan pada suhu 27oC. Berdasarkan uji organoleptik warna, maka umur simpan emulsi VCO adalah selama 13.32 bulan jika disimpan pada suhu 27oC. Dengan mengacu pada umur simpan yang paling pendek, maka emulsi VCO memiliki umur simpan selama 7.09 bulan pada penyimpanan suhu 27oC. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap skor organoleptik aroma (off flavor) maupun warna pada selang kepercayaan 95%.
Plot skor organoleptik aroma dengan bilangan asam atau TBA selama penyimpanan diperlukan untuk memperoleh bilangan asam dan TBA saat produk sudah tidak dapat diterima lagi dari segi aroma atau telah tercapai skor 3 yang diasumsikan sebagai titik kritis. Bilangan asam dan TBA emulsi VCO saat tercapai titik kritis adalah sekitar 7.8379 mg KOH/g sampel dan 0.3673 mg malonaldehid/kg sampel. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap bilangan asam dan TBA pada selang kepercayaan 95%.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 20 Agustus 1985. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Dodi Heryadi, SE dan Kori Tresnawati. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1991-1997 di Sekolah Dasar Negeri Pengadilan II Bogor. Tahun 1997, penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 4 Bogor dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan tingkat pendidikannya di Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2003.
Tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selain mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis juga aktif di Organisasi HIMITEPA serta aktif di berbagai kegiatan kepanitiaan. Berbagai kegiatan kepanitiaan yang diikuti penulis adalah BAUR 2005, LCTIP XIII, serta Seminar Pangan Nasional dan Konferensi I Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat, karunia, dan bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian dan studi literatur yang penulis lakukan.
Selama pelaksanaan penelitian, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS 2. Ir. Budi Nurtama, M.Agr
3. Ir. Sutrisno Koswara, MSi 4. Dr. Ir. Sukarno, MSc 5. Elvira Syamsir, STP, MSi
6. Kedua orang tua, Ka Mira, Ka Riri, Haura, dan Ika 7. PT. Firmenich, Indonesia
8. Ka Anita dan para karyawan BBIA 9. Ka Vivi 39
10.Sahabat terbaik (Yeny, Tuti, Dion, dan Dun2) 11.Lasty, Her2, dan Hay2
12.Asih, Tilo, Fina, Oneth, Dey, Tya, Wayan, Dian, Olla, Mitoel, Anis, Arga, Andal, Aji, Erik, Tatan, Martin, Kanin, Ican, dan teman-teman angkatan 40 lainnya
13.Para teknisi laboratorium
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi pangan.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. TUJUAN ... 3
C. MANFAAT ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
A. MINYAK KELAPA ... 4
B. VIRGIN COCONUT OIL (VCO) ... 6
C. SISTEM EMULSI DAN EMULSIFIER ... 9
1. Lesitin ... 11
2. Polysorbate 80 ... 12
D. HIDROKOLOID ... 13
E. ASAM SITRAT DAN ASAM LAKTAT ... 15
F. FRUKTOSA ... 16
G. KERUSAKAN MINYAK KELAPA ... 16
H. PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN ... 18
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 24
A. BAHAN DAN ALAT ... 24
B. METODE PENELITIAN ... 24
1. Penelitian Pendahuluan ... 24
a. Tahap Satu ... 24
b. Tahap Dua ... 26
c. Tahap Tiga ... 28
d. Tahap Empat ... 28
2. Penelitian Utama ... 29
a. Tahap Satu ... 29
b. Tahap Dua ... 30
c. Tahap Tiga ... 30
d. Tahap Empat ... 30
C. ANALISIS ... 31
1. Bilangan Asam ... 31
2. Bilangan Peroksida ... 32
3. Thiobarbituric Acid (TBA) ... 33
4. Total Mikroba ... 33
5. Asam lemak ... 34
6. Derajat Keasaman (pH) ... 35
7. Warna ... 35
8. Viskositas ... 36
9. Uji Organoleptik ... 37
10.Pendugaan Umur Simpan ... 38
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40
A. RANCANGAN FORMULA EMULSI VCO ... 40
B. OPTIMASI FORMULA ... 47
C. UJI FISIK, KIMIA, DAN MIKROBIOLOGI ... 58
D. UJI HEDONIK ... 61
E. PENDUGAAN UMUR SIMPAN ... 62
1. Uji Organoleptik Aroma Emulsi VCO ... 63
2. Uji Organoleptik Warna Emulsi VCO ... 67
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
A. KESIMPULAN ... 71
B. SARAN ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 74
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak kelapa ... 5
Tabel 2. Standar mutu VCO berdasarkan APCC serta virgin fats and oils berdasarkan Codex Stan 210-1999... 6
Tabel 3. Komposisi asam lemak pada VCO ... 7
Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses oksidasi minyak kelapa ... 18
Tabel 5. Formula emulsifikasi VCO ... 26
Tabel 6. Perbandingan konsentrasi asam sitrat dan asam laktat ... 29
Tabel 7. Keterangan warna oHue ... 36
Tabel 8. Faktor untuk setiap spindle dan speed ... 37
Tabel 9. Hasil uji pH emulsi VCO pada berbagai konsentrasi asam ... 46
Tabel 10. Desain aktual dan rata-rata skor uji organoleptik emulsi VCO ... 48
Tabel 11. Hasil ANOVA untuk respon rasa... 49
Tabel 12. Hasil ANOVA untuk respon mouthfeel ... 51
Tabel 13. Hasil ANOVA untuk respon kekentalan ... 53
Tabel 14. Hasil ANOVA untuk respon kestabilan ... 55
Tabel 15. Empat formula optimum DX 7 ... 56
Tabel 16. Hasil uji fisik emulsi VCO ... 58
Tabel 17. Hasil uji kualitas emulsi VCO ... 59
Tabel 18. Kadar asam lemak VCO asli dan emulsi VCO ... 61
Tabel 19. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan untuk parameter aroma secara organoleptik... 63
SKRIPSI
OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN EMULSI VIRGIN COCONUT OIL
Oleh
RINA ANGGRAENI F24103066
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN EMULSI VIRGIN COCONUT OIL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
RINA ANGGRAENI F24103066
2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN EMULSI VIRGIN COCONUT OIL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
RINA ANGGRAENI F24103066
Dilahirkan pada tanggal 20 Agustus 1985 Di Bandung, Jawa Barat
Tanggal Lulus : 5 Oktober 2007
Menyetujui,
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Rina Anggraeni. F24103066. Optimasi Formula dan Pendugaan Umur Simpan Emulsi Virgin Coconut Oil. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS.
RINGKASAN
Buah kelapa yang diolah menjadi virgin coconut oil (VCO) sebagai suplemen pangan memiliki nilai tambah yang lebih tinggi dibandingkan jika diolah menjadi minyak goreng biasa. Hal ini dikarenakan kandungan medium chain triglycerides (MCTs) yang tersusun atas asam kaproat (C6:0), asam kaprilat (C8:0), asam kaprat (C10:0), dan asam laurat (C12:0) sebagai salah satu komponen fungsional pada VCO terdapat dalam kadar yang lebih tinggi. MCTs khususnya asam kaprilat dan asam kaprat bermanfaat dalam mengatasi obesitas. Selain itu, asam kaprat dan asam laurat bermanfaat sebagai antimikroba. Kandungan MCTs terbesar pada VCO adalah asam laurat yang dapat mencapai 50% dari total asam lemak. Selain bermanfaat sebagai antimikroba, asam laurat bermanfaat dalam mengatasi diabetes dan hiperkolestrolemia. Namun, manfaat yang begitu besar dari VCO tidak didukung dengan karakteristik organoleptik khususnya rasa dan mouthfeel VCO.
Tujuan dari penelitian ini adalah memperbaiki karakteristik organoleptik VCO melalui teknik emulsifikasi dengan mengoptimasi formula emulsi VCO sehingga diperoleh respon yang optimal berupa rasa, mouthfeel, aroma, kekentalan, dan kestabilan. Selain itu, pendugaan umur simpan dilakukan terhadap formula dengan respon yang optimal.
Penelitian ini terbagi menjadi penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri atas lima tahap. Tahap pertama dilakukan untuk menentukan jenis emulsifier berupa lesitin dan polysorbate 80. Tahap kedua dilakukan untuk menentukan rasio minyak dan air, yaitu rasio 6 : 4, 7 : 3, dan 8 : 2. Tahap ketiga hingga kelima dilakukan untuk menentukan konsentrasi maksimum dan minimum skim, fruktosa, asam sitrat, serta asam laktat. Penelitian utama dilakukan untuk mengoptimasi formula emulsi VCO dengan menggunakan program design expert 7 (DX 7) serta menduga umur simpannya melalui metode akselerasi dengan pendekatan Arrhenius.
Hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan secara trial and error menunjukkan bahwa jenis emulsifier yang digunakan pada tahap selanjutnya adalah polysorbate 80 serta rasio minyak dan air sebesar 8 : 2. Selain itu, ditentukan pula beberapa komponen yang menjadi variabel uji dalam tahap optimasi formula dengan DX 7, yaitu susu skim, fruktosa, asam sitrat, dan asam laktat dengan kisaran konsentrasi masing-masing komponen sebesar 6% – 8%, 9.03% – 11.33%, 0.3% – 0.4%, dan 0.5% – 0.7%. Total konsentrasi dari keempat variabel uji adalah sebesar 18.13%. Nilai tersebut diperoleh dari selisih total konsentrasi komponen tetap, yaitu minyak 64%, air 16%, polysorbate 80 0.25%, flavor 1.5%, BHT 0.02%, dan natrium benzoat 0.1% sehingga total persentase seluruh formula adalah 100%.
fruktosa, asam sitrat, dan asam laktat berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan untuk respon rasa, mouthfeel, dan kekentalan, serta skor kestabilan pada selang kepercayaan 95%. Namun, komponen-komponen tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan untuk respon aroma pada selang kepercayaan 95%. Respon yang signifikan diolah lebih lanjut sehingga diperoleh formula terpilih yang terdiri atas 8% skim, 9.23% fruktosa, 0.4% sitrat, dan 0.5% laktat dengan nilai desirability sebesar 0.884.
Hasil analisis fisik terhadap formula terpilih menunjukkan bahwa emulsi VCO memiliki kisaran warna kuning merah, tingkat kecerahan sebesar 70.13, dan viskositas sebesar 4450 cp. Hasil uji kualitas menunjukkan bahwa emulsi VCO memiliki bilangan asam sebesar 6.62 mg KOH/g sampel, bilangan peroksida sebesar 0.9619 meq/kg sampel, total mikroba kurang dari 3 x 102 koloni/ml, dan pH sekitar 4.14. Analisis asam lemak dilakukan pula terhadap emulsi VCO dan VCO asli. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar MCT sebesar 18.08% atau sebesar 95 mg asam lemak/g sampel.
Hasil uji hedonik terhadap VCO asli dan emulsi VCO dari formula terpilih menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap atribut rasa dan mouthfeel untuk kedua sampel berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Selain itu, berdasarkan atribut rasa, VCO asli memiliki skor kesukaan 2.8 yang berarti antara tidak suka hingga biasa, sedangkan emulsi VCO memiliki skor kesukaan yang lebih besar, yaitu 4.0 yang berarti suka. Berdasarkan atribut mouthfeel, VCO asli memiliki skor kesukaan sebesar 2.8 yang berarti antara tidak suka hingga biasa, sedangkan emulsi VCO memiliki skor kesukaan 3.6 yang berarti antara biasa hingga suka.
Pendugaan umur simpan terhadap formula terpilih menunjukkan bahwa berdasarkan uji organoleptik aroma (off flavor), maka emulsi VCO memiliki umur simpan selama 7.09 bulan jika disimpan pada suhu 27oC. Berdasarkan uji organoleptik warna, maka umur simpan emulsi VCO adalah selama 13.32 bulan jika disimpan pada suhu 27oC. Dengan mengacu pada umur simpan yang paling pendek, maka emulsi VCO memiliki umur simpan selama 7.09 bulan pada penyimpanan suhu 27oC. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap skor organoleptik aroma (off flavor) maupun warna pada selang kepercayaan 95%.
Plot skor organoleptik aroma dengan bilangan asam atau TBA selama penyimpanan diperlukan untuk memperoleh bilangan asam dan TBA saat produk sudah tidak dapat diterima lagi dari segi aroma atau telah tercapai skor 3 yang diasumsikan sebagai titik kritis. Bilangan asam dan TBA emulsi VCO saat tercapai titik kritis adalah sekitar 7.8379 mg KOH/g sampel dan 0.3673 mg malonaldehid/kg sampel. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap bilangan asam dan TBA pada selang kepercayaan 95%.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 20 Agustus 1985. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Dodi Heryadi, SE dan Kori Tresnawati. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1991-1997 di Sekolah Dasar Negeri Pengadilan II Bogor. Tahun 1997, penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 4 Bogor dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan tingkat pendidikannya di Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2003.
Tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selain mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis juga aktif di Organisasi HIMITEPA serta aktif di berbagai kegiatan kepanitiaan. Berbagai kegiatan kepanitiaan yang diikuti penulis adalah BAUR 2005, LCTIP XIII, serta Seminar Pangan Nasional dan Konferensi I Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat, karunia, dan bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian dan studi literatur yang penulis lakukan.
Selama pelaksanaan penelitian, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS 2. Ir. Budi Nurtama, M.Agr
3. Ir. Sutrisno Koswara, MSi 4. Dr. Ir. Sukarno, MSc 5. Elvira Syamsir, STP, MSi
6. Kedua orang tua, Ka Mira, Ka Riri, Haura, dan Ika 7. PT. Firmenich, Indonesia
8. Ka Anita dan para karyawan BBIA 9. Ka Vivi 39
10.Sahabat terbaik (Yeny, Tuti, Dion, dan Dun2) 11.Lasty, Her2, dan Hay2
12.Asih, Tilo, Fina, Oneth, Dey, Tya, Wayan, Dian, Olla, Mitoel, Anis, Arga, Andal, Aji, Erik, Tatan, Martin, Kanin, Ican, dan teman-teman angkatan 40 lainnya
13.Para teknisi laboratorium
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi pangan.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. TUJUAN ... 3
C. MANFAAT ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
A. MINYAK KELAPA ... 4
B. VIRGIN COCONUT OIL (VCO) ... 6
C. SISTEM EMULSI DAN EMULSIFIER ... 9
1. Lesitin ... 11
2. Polysorbate 80 ... 12
D. HIDROKOLOID ... 13
E. ASAM SITRAT DAN ASAM LAKTAT ... 15
F. FRUKTOSA ... 16
G. KERUSAKAN MINYAK KELAPA ... 16
H. PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN ... 18
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 24
A. BAHAN DAN ALAT ... 24
B. METODE PENELITIAN ... 24
1. Penelitian Pendahuluan ... 24
a. Tahap Satu ... 24
b. Tahap Dua ... 26
c. Tahap Tiga ... 28
d. Tahap Empat ... 28
2. Penelitian Utama ... 29
a. Tahap Satu ... 29
b. Tahap Dua ... 30
c. Tahap Tiga ... 30
d. Tahap Empat ... 30
C. ANALISIS ... 31
1. Bilangan Asam ... 31
2. Bilangan Peroksida ... 32
3. Thiobarbituric Acid (TBA) ... 33
4. Total Mikroba ... 33
5. Asam lemak ... 34
6. Derajat Keasaman (pH) ... 35
7. Warna ... 35
8. Viskositas ... 36
9. Uji Organoleptik ... 37
10.Pendugaan Umur Simpan ... 38
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40
A. RANCANGAN FORMULA EMULSI VCO ... 40
B. OPTIMASI FORMULA ... 47
C. UJI FISIK, KIMIA, DAN MIKROBIOLOGI ... 58
D. UJI HEDONIK ... 61
E. PENDUGAAN UMUR SIMPAN ... 62
1. Uji Organoleptik Aroma Emulsi VCO ... 63
2. Uji Organoleptik Warna Emulsi VCO ... 67
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
A. KESIMPULAN ... 71
B. SARAN ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 74
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak kelapa ... 5
Tabel 2. Standar mutu VCO berdasarkan APCC serta virgin fats and oils berdasarkan Codex Stan 210-1999... 6
Tabel 3. Komposisi asam lemak pada VCO ... 7
Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses oksidasi minyak kelapa ... 18
Tabel 5. Formula emulsifikasi VCO ... 26
Tabel 6. Perbandingan konsentrasi asam sitrat dan asam laktat ... 29
Tabel 7. Keterangan warna oHue ... 36
Tabel 8. Faktor untuk setiap spindle dan speed ... 37
Tabel 9. Hasil uji pH emulsi VCO pada berbagai konsentrasi asam ... 46
Tabel 10. Desain aktual dan rata-rata skor uji organoleptik emulsi VCO ... 48
Tabel 11. Hasil ANOVA untuk respon rasa... 49
Tabel 12. Hasil ANOVA untuk respon mouthfeel ... 51
Tabel 13. Hasil ANOVA untuk respon kekentalan ... 53
Tabel 14. Hasil ANOVA untuk respon kestabilan ... 55
Tabel 15. Empat formula optimum DX 7 ... 56
Tabel 16. Hasil uji fisik emulsi VCO ... 58
Tabel 17. Hasil uji kualitas emulsi VCO ... 59
Tabel 18. Kadar asam lemak VCO asli dan emulsi VCO ... 61
Tabel 19. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan untuk parameter aroma secara organoleptik... 63
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur kimia lesitin ... 11
Gambar 2. Struktur kimia polysorbate 80 ... 12
Gambar 3. Reaksi kimia hidrolisis minyak ... 17
Gambar 4. Diagram alir emulsifikasi VCO dengan emulsifier lesitin ... 25
Gambar 5. Diagram alir emulsifikasi VCO dengan emulsifier polysorbate 80 ... 25
Gambar 6. Diagram alir pembuatan emulsi VCO dengan emulsifier polysorbate 80 ... 27
Gambar 7. Botol gelap sebagai pengemas sampel... 31
Gambar 8. Tingkat kestabilan emulsi VCO berdasarkan jenis emulsifier yang digunakan ... 41
Gambar 9. Skor kesukaan terhadap emulsi VCO pada berbagai rasio minyak dan air ... 42
Gambar 10. Tingkat kestabilan emulsi VCO pada berbagai konsentrasi skim ... 43
Gambar 11. Contour plot tingkat desirability terhadap penerimaan rasa, mouthfeel, kekentalan, dan kestabilan ... 57
Gambar 12. Tiga dimensi surface tingkat desirability terhadap penerimaan rasa, mouthfeel, kekentalan, dan kestabilan ... 57
Gambar 13. Skor kesukaan VCO asli dan emulsi VCO... 62
Gambar 14. Grafik hubungan nilai k uji organoleptik aroma dengan suhu (1/T) ... 64
Gambar 15. Grafik hubungan skor organoleptik aroma dengan nilai bilangan asam ... 66
Gambar 16. Grafik hubungan skor organoleptik aroma dengan nilai TBA ... 66
Gambar 18. Grafik hubungan skor organoleptik warna dengan tingkat
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Kuesioner uji organoleptik (atribut rasa, mouthfeel,
kekentalan, dan aroma) untuk optimasi formula ... 79 Lampiran 2. Kuesioner uji organoleptik (atribut kestabilan) untuk
optimasi formula ... 80 Lampiran 3. Hasil analisis model ordo, persamaan polinomial, dan
ANOVA dengan DX 7 ... 81 Lampiran 4. Kuesioner uji organoleptik atribut rasa dan mouthfeel
untuk membandingkan formula optimum dengan VCO asli .. 91 Lampiran 5. Skor organoleptik hedonik VCO asli dan emulsi VCO
berdasarkan atribut rasa... 92 Lampiran 6. Hasil uji T-test VCO asli dan emulsi VCO berdasarkan
atribut rasa ... 93 Lampiran 7. Skor organoleptik hedonik VCO asli dan emulsi VCO
berdasarkan atribut mouthfeel ... 94 Lampiran 8. Hasil uji T-test VCO asli dan emulsi VCO berdasarkan
atribut mouthfeel... 95 Lampiran 9. Standar FAME (Fatty Acids Methyl Esters) ... 96 Lampiran 10. Hasil analisis asam lemak VCO asli dengan kromatografi
gas ... 97 Lampiran 11. Hasil analisis asam lemak emulsi VCO dengan kromatografi gas ... 98
Lampiran 12. Kuesioner uji organoleptik (atribut aroma dan warna) sebagai parameter mutu dalam pendugaan umur simpan ... 99
Lampiran 13. Skor organoleptik aroma (off flavor) pada berbagai tingkat
suhu selama penyimpanan... 100 Lampiran 14. Pendugaan umur simpan emulsi VCO berdasarkan parameter aroma (off flavor) ... 101 Lampiran 15. Hasil ANOVA uji organoleptik aroma (off flavor) pada
Lampiran 16. Bilangan asam emulsi VCO pada berbagai tingkat suhu
selama penyimpanan ... 103 Lampiran 17. Hasil ANOVA bilangan asam emulsi VCO pada berbagai
tingkat suhu selama penyimpanan ... 104 Lampiran 18. Nilai TBA emulsi VCO pada berbagai tingkat suhu selama
penyimpanan ... 105 Lampiran 19. Hasil ANOVA TBA emulsi VCO pada berbagai tingkat suhu selama penyimpanan ... 106 Lampiran 20. Skor organoleptik warna pada berbagai tingkat suhu
selama penyimpanan ... 107 Lampiran 21. Pendugaan umur simpan emulsi VCO berdasarkan parameter warna ... 108 Lampiran 22. Hasil ANOVA uji organoleptik warna pada berbagai tingkat suhu selama penyimpanan ... 109 Lampiran 23. Nilai tingkat kecerahan (L) pada berbagai tingkat suhu selama penyimpanan ... 110 Lampiran 24. Hasil ANOVA tingkat kecerahan (L) pada berbagai tingkat
suhu selama penyimpanan ... 111 Lampiran 25. Gambar emulsi VCO pada berbagai tingkat suhu selama
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki iklim tropis. Satu dari sekian banyak tanaman yang tumbuh di negara beriklim tropis adalah tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) yang sering disebut sebagai pohon kehidupan karena sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hampir semua bagian tanaman kelapa memberikan manfaat bagi manusia. Hal ini merupakan peluang untuk pengembangan kelapa menjadi aneka produk yang bermanfaat.
Rahman (2006) mengemukakan bahwa potensi tanaman kelapa di Indonesia mencapai 3.8 juta hektar. Seluruh areal milik pantai dan dataran rendah dipenuhi oleh tanaman kelapa yang lebih dari 98% diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat. Dengan luas lahan perkebunan tersebut, Indonesia merupakan pemilik areal tanaman kelapa terbesar di dunia. Luas areal kelapa di seluruh dunia saat ini hanya sekitar 12 juta hektar dan Filipina memiliki areal tanaman kelapa sebesar 3.1 juta hektar. Meskipun luas areal kelapa di Indonesia lebih besar daripada Filipina, Indonesia masih jauh tertinggal dalam hal pengembangan komoditas ini (Anonim, 2005 c).
Salah satu komoditas kelapa yang berkembang adalah minyak kelapa. Menurut Syafa’at et al (2005), permintaan minyak kelapa di Indonesia selama periode 1970-2004 meningkat sebesar 2.8% per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8% per tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita sebesar 1.2% per tahun. Kebutuhan kelapa diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya ragam pengembangan produk kelapa yang sangat baik bagi kesehatan, yaitu virgin coconut oil (VCO).
Nilai tambah VCO yang lebih tinggi tersebut dikarenakan kandungan medium chain triglycerides (MCTs) sebagai salah satu komponen fungsional pada VCO terdapat dalam kadar yang lebih tinggi. Menurut Johnson (2001), MCTs tersusun atas asam kaproat (C6:0), asam kaprilat (C8:0), asam kaprat (C10:0), dan asam laurat (C12:0). MCTs khususnya asam kaprilat dan asam kaprat bermanfaat dalam mengatasi obesitas (Onge et al, 2003). Selain itu, asam kaprat dan asam laurat bermanfaat sebagai antimikroba (Anonim, 1999 b). Kandungan MCTs terbesar pada VCO adalah asam laurat (C 12:0) dengan persentase sekitar 45-50% (Syah, 2005).
Hasil penelitian terhadap tikus menunjukkan bahwa konsumsi VCO selama 45 hari dapat menurunkan total kolesterol, trigliserida, fosfolipid, LDL, dan VLDL serta meningkatkan HDL kolesterol di serum dan jaringan. Secara in vitro, VCO juga dapat mencegah oksidasi LDL (Nevin dan Rajamohan, 2004). Hal tersebut sangat bermanfaat bagi para penderita kolesterol maupun diabetes, mengingat Indonesia menempati urutan keempat dengan jumlah penderita diabetes terbesar di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat (Depkes, 2005). Selain itu, hasil survei yang dilakukan di beberapa kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa 1 dari 4 peserta tes kolesterol menderita penyakit hiperkolestrolemia (Indarini, 2006). Oleh karena itu, konsumsi VCO diharapkan dapat mengurangi penderita kolesterol maupun diabetes khususnya di Indonesia.
Saat ini banyak produsen VCO yang berlomba-lomba dalam memproduksi berbagai jenis VCO melalui diversifikasi produk. Sebagian besar produk VCO yang ada di pasaran hanya tersedia dalam bentuk dan rasa asli dengan berbagai jenis merk. Selain itu, tersedia pula produk VCO yang dikombinasi dengan tanaman berkhasiat lainnya, seperti Pandanus Cocos Oil yang merupakan produk olahan VCO dan buah merah serta telah diproduksi pula VCO rasa jeruk.
diharapkan dapat meningkatkan mutu organoleptik, khususnya karakteristik mouthfeel serta rasa dari produk VCO.
Produk emulsi sejenis yang sudah ada di pasaran adalah emulsi dari minyak hati ikan cod. Selain itu, dikembangkan pula produk emulsi dari minyak zaitun. Produk emulsi tersebut memiliki mutu organoleptik yang lebih baik dan disukai konsumen. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan formulasi emulsi VCO yang diharapkan lebih disukai konsumen serta menduga umur simpannya melalui metode akselerasi dengan pendekatan Arrhenius.
B. TUJUAN PENELITIAN
1. Memperbaiki karakteristik sensori VCO melalui pembuatan produk emulsi
2. Menduga umur simpan emulsi VCO melalui metode akselerasi dengan pendekatan Arrhenius
C. MANFAAT PENELITIAN
1. Sebagai salah satu pengembangan produk kelapa menjadi produk yang bermanfaat
2. Meningkatkan nilai tambah produk kelapa
3. Menghasilkan emulsi VCO sebagai suplemen pangan yang lebih disukai sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh banyak orang
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MINYAK KELAPA
Berdasarkan SNI 01-2902-1992, minyak kelapa diartikan sebagai
minyak yang diperoleh dengan cara mengepres kopra yang telah dikeringkan
atau hasil ekstraksi bungkil kopra. Menurut Ketaren (1986), metode umum
dalam pembuatan kopra adalah pengeringan dengan sinar matahari,
pengeringan dengan bara atau pengasapan di atas api, pengeringan dengan
pemanasan secara tidak langsung, dan gabungan ketiganya.
Secara kimiawi, minyak kelapa terbentuk dari rantai karbon, hidrogen,
dan oksigen yang disebut dengan asam lemak. Komponen-komponen asam
lemak tersebut akan membentuk gliserida saat bergabung dengan gliserol.
Gliserida yang umum terdapat pada lemak dan minyak adalah trigliserida.
Sebuah molekul trigliserida dibentuk dari tiga molekul asam lemak yang
dikombinasikan dengan satu molekul gliserol. Gliserida yang terdapat pada
minyak kelapa merupakan campuran dari dua atau tiga asam lemak (Syah,
2005).
Berdasarkan ada tidaknya ikatan rangkap, maka asam lemak dapat
digolongkan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam
lemak jenuh dan tidak jenuh dapat digolongkan kembali menjadi tiga
kelompok berdasarkan proses pencernaan dan metabolisme di dalam tubuh,
yaitu short chain triglycerides (SCTs), medium chain triglycerides (MCTs), dan long chain triglycerides (LCTs). Asam lemak yang terdapat pada minyak
kelapa secara umum terdiri atas 90% asam lemak jenuh dan 10% asam lemak
tidak jenuh. Selain itu, sebagian besar minyak kelapa mengandung MCTs
yang dapat mencapai 63.5% (Syah, 2005).
Pada golongan asam lemak jenuh dan MCTs, asam laurat merupakan
komponen utama karena memiliki persentase yang paling besar dibandingkan
dengan asam lemak lainnya (Syah, 2005). Oleh karena itu, minyak kelapa
digolongkan ke dalam minyak asam laurat (C12:0) (Ketaren, 1986). Asam
miristat (C14:0) dan asam palmitat (C16:0) yang tergolong LCTs (Syah,
2005). Berikut ini komposisi asam lemak dalam minyak kelapa.
Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak kelapa
Asam lemak Persentase
C6:0 ND-0.7
C8:0 4.6-10.0
C10:0 5.0-8.0
C12:0 45.1-53.2
C14:0 16.8-21.0
C16:0 7.5-10.2
C16:1 ND
C17:0 ND
C17:1 ND
C18:0 2.0-4.0
C18:1 5.0-10.0
C18:2 1.0-2.5
C18:3 ND-0.2
C20:0 ND-0.2
C20:1 ND-0.2
Keterangan : ND = Non Detectable Sumber : FAO Codex-Stan 210-1999
Komponen lain yang terkandung dalam minyak kelapa diantaranya
adalah sterol, tokoferol, dan tokotrienol. Berdasarkan Codex-Stan 210-1999,
sterol yang terdapat dalam minyak kelapa sebagian besar berupa beta
sitosterol (C29H50O) dan stigmasterol (C29H48O). Sterol bersifat tidak
berwarna, tidak berbau, stabil, dan berfungsi sebagai stabilizer dalam minyak
(Ketaren 1986). Berdasarkan Codex-Stan 210-1999, tokoferol dan tokotrienol
yang terdapat dalam minyak kelapa adalah α-tokoferol, β-tokoferol, –
tokoferol, α-tokotrienol, dan –tokotrienol. Persenyawaan tokoferol dan
Zat warna alamiah pada minyak kelapa adalah karoten yang merupakan
hidrokarbon tidak jenuh dan tidak stabil pada suhu tinggi. Proses pengolahan
minyak kelapa dengan udara panas menyebabkan warna kuning akibat karoten
mengalami degradasi. Selain itu, warna minyak kelapa dipengaruhi oleh bahan
dasar dan suhu selama proses pengolahan. Pada pemrosesan suhu tinggi,
daging kelapa yang mengandung protein dan karbohidrat akan menghasilkan
minyak kelapa dengan warna kecoklatan (Syah, 2005). Hal ini disebabkan
terjadinya reaksi antara karbonil (berasal dari pemecahan peroksida) dan asam
amino dari protein (Ketaren, 1986).
B. VIRGIN COCONUT OIL (VCO)
Pengertian virgin fats and oils menurut Codex-Stan 210-1999 adalah lemak dan minyak sayuran yang dihasilkan tanpa mengubah sifat alami dari
minyak tersebut dengan menggunakan prosedur mekanis tertentu seperti
pengepresan dan perlakuan dengan panas saja dan minyak yang dihasilkan
dapat dimurnikan dengan cara dicuci menggunakan air, didiamkan, disaring,
serta disentrifusi. Berdasarkan APCC (Asian Pacific Coconut Community),
virgin coconut oil merupakan minyak yang berasal dari biji kelapa segar atau matang yang diberi perlakuan secara mekanik atau alami dengan atau tanpa
dilakukan proses pemanasan tanpa mengubah sifat minyak. Berikut ini standar
mutu VCO berdasarkan APCC serta virgin fats and oils berdasarkan Codex
Stan 210-1999.
Tabel 2. Standar mutu VCO berdasarkan APCC serta virgin fats and oils berdasarkan Codex Stan 210-1999
Karakteristik Kandungan (batas maksimum)
APCC Codex Stan 210-1999
Bilangan asam 0.5 mg KOH/g sampel 4.0 mg KOH/g sampel
Bilangan peroksida 3 meq/kg sampel 15 meq/kg sampel
Besi (Fe) 5.0 mg/kg 5.0 mg/kg
VCO mengandung asam laurat dan MCTs lainnya dengan persentase
yang lebih tinggi dari minyak kelapa biasa. Menurut Johnson (2001), asam
laurat termasuk MCTs, yaitu ester asam lemak rantai sedang atau medium
chain fatty acids (MCFAs) dari gliserol. MCFAs merupakan asam lemak yang tersusun atas 6 hingga 12 atom karbon. Tabel 3 menunjukkan komposisi asam
[image:31.612.229.439.239.470.2]lemak pada VCO menurut standar APCC.
Tabel 3. Komposisi asam lemak pada VCO
Asam Lemak Persentase (%)
C 6:0 – Asam kaproat 0.4-0.6
C 8:0 – Asam kaprilat 5.0-10.0
C 10:0 – Asam kaprat 4.5-8.0
C 12:0 – Asam laurat 43.0-53.0
C 14:0 – Asam miristat 16.0-21.0
C 16:0 – Asam palmitat 7.5-10.0
C 18:0 – Asam stearat 2.0-4.0
C 18:1 – Asam oleat 5.0-10.0
C 18:2 – Asam linoleat 1.0-2.5
C 18:3 – C 24:1 <0.5
Sumber : APCC (2006)
Teknologi pengolahan VCO terdiri atas beberapa jenis. Salah satu
metode yang banyak dikembangkan adalah metode penggilingan basah.
Metode ini mengekstrak minyak kelapa dari daging kelapa segar tanpa proses
pengeringan terlebih dahulu dengan pemerasan. Selanjutnya, minyak
dipisahkan dari air. Metode pemisahan yang dapat digunakan adalah
perebusan, pendinginan, dan sentrifugasi dengan menggunakan peralatan
mekanis (Syah, 2005).
VCO memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Hal ini dikarenakan
kandungan MCTs sebagai komponen fungsional. Dalam tubuh manusia,
MCTs diserap secara cepat dari usus halus diikuti dengan proses hidrolisis
acyl CoA dan ditransport menuju mitokondria yang akan mengalami metabolisme menjadi acetoacetate dan beta-hydroxybutyrate. Dalam hati,
acetoacetate dan beta-hydroxybutyrate mengalami metabolisme menghasilkan CO2, H2O, dan energi. Sangat sedikit hasil metabolisme MCTs yang disimpan
dalam bentuk lemak. Berbeda halnya dengan LCTs, maka MCTs tidak
membutuhkan enzim pankreas, garam empedu, maupun karnitin dalam
pencernaannya maupun penyerapannya (Johnson, 2001). Oleh karena itu,
MCTs lebih mudah diserap tubuh dan menyediakan sedikit kalori
dibandingkan dengan lemak lain.
Lemak jenuh rantai sedang yang ada dalam minyak kelapa murni sangat
bermanfaat dalam mengontrol berat badan. Obesitas merupakan suatu kondisi
yang diakibatkan oleh rendahnya metabolisme tubuh. Dengan mengkonsumsi
VCO, masalah obesitas akan teratasi karena asam lemak jenuh yang ada dalam
VCO akan langsung dibakar oleh tubuh dan menghasilkan energi (Fife, 2001).
Pernyataan tersebut terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Onge et al
(2003) terhadap 24 pria yang mengalami obesitas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa MCTs berpotensi mencegah obesitas dan dapat
menstimulasi penurunan berat badan melalui penurunan jaringan adiposa
secara signifikan serta meningkatkan energy expenditure.
Hasil penelitian terhadap tikus menunjukkan bahwa konsumsi VCO
selama 45 hari dapat menurunkan total kolesterol, trigliserida, fosfolipid,
LDL, dan VLDL serta meningkatkan HDL kolesterol di serum dan jaringan.
Secara in vitro, kandungan polifenol pada VCO juga dapat mencegah oksidasi
LDL (Nevin dan Rajamohan, 2004).
Asam laurat sebagai komponen tertinggi pada VCO, di dalam tubuh
manusia akan diubah menjadi monolaurin, yaitu suatu bentuk senyawa
monogliserida. Senyawa ini bersifat antivirus, antibakteri, dan antijamur.
Monolaurin dapat merusak membran lipida (lapisan pembungkus virus) pada
virus HIV, herpes simplex virus-1 (HSV-1), vasicular stomatitis virus (VSV),
visna virus, cytomegalovirus (CMV), dan influenza. Bakteri yang dapat
aureus, dan Helicobacter pylorid (bakteri penyebab sakit maag) serta protozoa seperti Giardia lamblia (Rindengan dan Novarianto, 2005).
VCO juga mengandung asam kaprat yang berantai sedang dengan
jumlah atom karbon 10. Jenis asam lemak ini bermanfaat bagi kesehatan tubuh
manusia. Di dalam tubuh manusia asam kaprat akan diubah menjadi
monocaprin yang sangat bermanfaat mengatasi berbagai penyakit gangguan
seksual, seperti HIV dan HSV-2 serta bakteri Neisseria gonorrhoeae
(Rindengan dan Novarianto, 2005).
Berdasarkan penelitian Bergsson et al (2001), Candida albicans yang diinaktivasi secara terpisah oleh asam laurat dan asam kaprat serta grup
Streptococci yang dapat diinaktivasi oleh monocaprin menunjukkan terjadinya
kerusakan membran sel tanpa mengubah struktur dari dinding sel. Hal ini
kemungkinan dikarenakan terjadinya tekanan turgor, yaitu tekanan isi sel
terhadap dinding sel mikroba yang dapat meningkat dengan menurunnya
kerapatan air di dalam sel akibat meningkatnya konsentrasi asam lemak
maupun monogliserida dalam sel. Oleh karena itu, kondisi tersebut dapat
memecah sel tanpa merusak dinding sel.
C. SISTEM EMULSI DAN EMULSIFIER
Menurut Winarno (1982), emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi
suatu cairan dalam cairan lain, yang mana molekul-molekul kedua cairan
tersebut tidak saling berbaur, tetapi saling antagonistik. Pengertian emulsi
menurut Fardiaz (1988) adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas dua
macam cairan yang tidak dapat bercampur, salah satu fasenya merupakan
globula yang tersebar merata di dalam fase lainnya. Banyak jenis emulsi yang
dapat ditemukan dalam makanan, seperti mayonnaise, kuning telur, susu, dan
termasuk santan.
Winarno (1982) menyatakan bahwa suatu emulsi umumnya terdiri atas
tiga bagian utama. Bagian pertama adalah bagian yang terdispersi, atau
disebut dengan non continuous phase. Bagian kedua disebut media
pendispersi yang juga dikenal sebagai continuous phase. Bagian ketiga adalah
Emulsifier dapat didefinisikan sebagai senyawa yang mempunyai
aktivitas permukaan (surfaktan) sehingga dapat menurunkan tegangan
permukaan (surface tension) antara udara-cairan dan cairan-cairan yang
terdapat dalam suatu sistem pangan (Hasenhuettle, 1997; Sibuea, 2003).
Kemampuannya menurunkan tegangan permukaan menjadi hal menarik
karena surfkatan memiliki keajaiban struktur kimia yang mampu menyatukan
dua senyawa yang berbeda polaritasnya.
McClements (1999) menyatakan bahwa daya kerja surfaktan dalam
menurunkan tegangan permukaan berhubungan dengan struktur molekulnya
yang tersusun atas bagian ekor atau lipofilik yang memiliki kemampuan untuk
bergabung dengan minyak (nonpolar) dan bagian kepala atau hidrofilik yang
memiliki kemampuan untuk bergabung dengan air (polar). Menurut Winarno
(1982), cara kerja surfaktan tersebut dapat dijelaskan melalui suatu ilustrasi
bahwa dalam suatu sampel oil in water, maka butir-butir lemak yang terpisah
karena adanya tenaga mekanik menyebabkan butir-butir lemak yang
terdispersi segera terselubung oleh surfaktan. Bagian molekul surfaktan yang
nonpolar larut dalam lapisan luar butir-butir lemak, sedangkan bagian yang
polar menghadap ke pelarut (air atau continuous phase).
Ukuran relatif bagian hidrofilik dan lipofilik zat pengemulsi menjadi
faktor utama yang menentukan perilakunya dalam pengemulsian. Penggunaan
pengemulsi yang sesuai untuk pemakaian pada produk pangan olahan tertentu,
maka telah dikembangkan apa yang disebut dengan sistem HLB
(hidrofilik/lipofilik balance atau perimbangan hidrofilik/lipofilik). Menurut McClements (1999), surfaktan dengan HLB yang rendah (3 – 6) dominan
bersifat hidrofobik, yaitu larut sempurna dalam minyak, sesuai untuk
menstabilkan emulsi air dalam minyak, serta membentuk reverse micelle di
minyak (bagian kepala di dalam dan ekor di luar). Surfaktan dengan nilai HLB
tinggi (8 – 18) dominan bersifat hidrofilik, yaitu larut dengan baik di air,
sesuai menstabilkan emulsi minyak dalam air, serta membentuk micelle di air
(bagian kepala di luar dan ekor di dalam).
Jenis emulsifier yang dapat digunakan dalam bahan pangan ada dua,
(fosfatidil kolin), sedangkan contoh emulsifier buatan adalah monogliserida,
seperti gliserol monostearat (GMS) dan polysorbate atau tween (Winarno,
1982).
1. Lesitin
Lesitin merupakan surfaktan yang bersifat non-toksik. Oleh Badan
Pengawasan Pangan dan Obat Amerika Serikat (FDA), lesitin diberi status
aman (Anonim, 2006 e). Lesitin merupakan bagian integral membran sel,
dan bisa sepenuhnya dicerna, sehingga dapat dipastikan aman bagi
manusia. Namun, penggunaannya sebagai emulsifier baik secara tunggal
atau campuran, maka kadarnya tidak melebihi 1% dari bobot produk akhir
(Burdock, 1997).
Menurut Winarno (1982), lesitin merupakan grup fosfat yang
teresterifikasi dengan OH grup dari kolin. Lesitin berperan sebagai water
in oil emulsifier dengan nilai HLB sekitar 3. Lesitin dapat diekstrak dari kedelai maupun kuning telur.
O
║ CH2 ─ O ─ C─ R1
O ║ CH ─ O ─ C ─ R2
O ║
CH2 ─ O ─ P ─ O ─ CH2 ─ CH2─ N+(CH3)3 ║
O-
Gambar 1. Struktur kimia lesitin Sumber : Winarno (1982)
Lesitin tergolong surfaktan zwitterionic, yaitu suatu senyawa yang
terdapat grup positif dan negatif dalam satu molekul (McClements, 1999).
Berdasarkan struktur kimia lesitin pada Gambar 1, maka lesitin memiliki
PO43- (polar) yang larut dalam air. Oleh karena sifat itulah, lesitin dapat
berperan sebagai emulsifier (Winarno, 1982).
Lesitin digunakan secara komersil untuk keperluan pengemulsi
dan/atau pelumas, dari farmasi hingga bahan pengemas. Sebagai contoh,
lesitin merupakan pengemulsi yang menjaga cokelat dan margarin pada
permen tetap menyatu (Anonim, 2006 e).
2. Polysorbate 80
Polysorbate 80 (Polyoxyethylene (20) sorbitan monooleat) yang
memiliki nama dagang tween 80 merupakan surfatktan non ionic dengan
rumus molekul C64H124O26. Sifat hidrofilik dari polysorbate 80 diberikan
oleh gugus hidroksil bebas dari oxyethylene, sedangkan bagian lipofilik
diberikan oleh asam lemak rantai panjang yang digunakan, yaitu asam
[image:36.612.218.464.378.444.2]oleat (Anonim, 1976 a).
Gambar 2. Struktur kimia polysorbate 80 Sumber : Anonim (2005 d)
Polysorbate 80 merupakan bahan yang digunakan sebagai emulsifier
dan dispersing agent bagi produk obat-obatan. Selain itu, polysorbate 80 digunakan pula pada produk emulsi pangan, seperti es krim. Peranan
polysorbate 80 pada es krim adalah menghasilkan tekstur yang lembut
serta mencegah protein susu menyelimuti droplet lemak yang
menyebabkan bergabungnya droplet lemak tersebut (Anonim, 2006 f).
Nilai HLB dari polysorbate 80 adalah sekitar 15. Sifat lain dari
polysorbate 80 adalah berwarna kuning, berat jenisnya sekitar 1.06-1.10
g/ml, viskositasnya sebesar 270-430 centistrokes, sangat larut dalam air,
metanol, dan toluen, tetapi tidak larut dalam minyak mineral (Anonim,
2006 f).
Polysorbate 80 merupakan bahan aditif yang diperbolehkan oleh
Badan Pengawas Pangan dan Obat Amerika Serikat (USFDA). Emulsifier
tersebut dinyatakan non toksik sehingga aman digunakan dalam bahan
pangan. Namun, terdapat batasan penggunaan untuk polysorbate 80, yaitu
sebagai emulsifier pada shortening atau minyak yang digunakan secara
tunggal, maka penggunaannya tidak boleh melebihi 1% dari bobot produk
akhir (Burdock, 1997). Berdasarkan WHO, maka ADI (acceptable daily
intake) dari polysorbate 80 adalah 25 mg per kg berat badan untuk jangka panjang tanpa adanya potensi keracunan.
D. HIDROKOLOID
Menurut Williams dan Phillips (2000), istilah hidrokoloid ditujukan pada
polisakarida dan protein yang secara luas digunakan pada berbagai jenis sektor
industri untuk menghasilkan sejumlah manfaat yang mencakup pembentuk
gel, penstabil emulsi, busa, dan dispersi, menghambat pembentukan kristal
gula, serta mengontrol hilangnya flavor. Hidrokoloid dapat berasal dari
berbagai jenis sumber, yaitu nabati, hewani, alga, dan mikroba. Protein whey
pada susu skim merupakan salah satu jenis hidrokoloid yang berasal dari
hewan.
Buckle et al (1987) menyatakan bahwa susu skim merupakan bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu
skim mengandung zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin-vitamin
larut lemak. Komposisi rata-rata susu skim adalah 0.1% lemak, 3.7% protein,
5% lemak, 0.8% abu, dan 90.4% air. Dengan demikian, persentase protein
pada susu skim jauh lebih tinggi dibandingkan dengan susu pada umumnya.
Protein susu terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kasein yang dapat
diendapkan oleh asam dan enzim renin serta whey yang dapat mengalami
denaturasi oleh panas pada suhu diatas 70oC. Kasein adalah protein utama
Ennis dan Mulvihill (2000) menyatakan bahwa protein susu memiliki
beberapa sifat fungsional yang sangat penting dalam produk pangan. Daya
ikat air atau hidrasi merupakan sifat fungsional penting dari protein susu untuk
diaplikasikan dalam produk pangan. Kasein memiliki tingkat hidrasi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan protein whey. Daya ikat air pada beberapa
produk protein susu dalam bentuk serbuk adalah sekitar 0.96-3.45 g H2O/g
produk.
Sifat fungsional lainnya dari protein susu pada umumnya dan kasein
pada khususnya adalah peranannya sebagai emulsifier lemak yang sangat baik
dan digunakan secara luas dalam pangan emulsi. Protein susu dapat
meningkatkan area permukaan lemak atau menurunkan ukuran globula dengan
meningkatkan kekuatan input selama emulsifikasi dan peningkatan tersebut
terkait pada penurunan derajat agregasi. Selain itu, protein susu berperan
penting dalam menurunkan tegangan permukaan (Ennis dan Mulvihill, 2000).
Hal ini dikarenakan protein tersusun atas molekul yang bersifat hidrofilik
(histidin, serin, arginin, asam aspartat) dan hidrofobik (tryptophan, fenilalanin,
prolin, leusin) sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan suatu emulsi
(Dalgleish, 2001). Natrium kaseinat dapat menurunkan tegangan permukaan
lebih efektif dibandingkan dengan protein whey, gelatin, maupun protein
kedelai. Hal ini dikarenakan penyebaran kasein terjadi lebih cepat menuju
bagian interface dan penyerapan di bagian interface terjadi lebih cepat pula dibandingkan dengan protein lain (Ennis dan Mulvihill, 2000).
Keberadaan protein dalam suatu emulsi sangat berperan penting untuk
meningkatkan stabilitas emulsi. Menurut McClements (1999), emulsifier akan
terserap ke bagian permukaan membentuk membran pelindung yang
mencegah droplet-droplet bergabung dan saat agen thickening (seperti protein
susu) ditambahkan ke dalam emulsi, maka akan terjadi peningkatan fase
kontinyu sehingga droplet-droplet yang saling bertabrakan akan menurun.
Dalgleish (2001) menyatakan bahwa surfaktan yang berikatan dengan protein
dapat mengubah konformasi menjadi lebih surface active (aktivitas
E. ASAM SITRAT DAN ASAM LAKTAT
Stratford (1999) menyatakan bahwa berdasarkan tujuannya maka
penambahan asam dalam pangan dapat dibagi menjadi empat kategori.
Pertama, penambahan asam untuk meningkatkan atau memberi rasa asam
yang disebut sebagai acidulan. Kedua, penambahan asam sebagai artificial
flavor. Ketiga, penambahan asam untuk mencegah terjadinya oksidasi dalam pangan atau sebagai antioksidan. Keempat, penambahan asam untuk
melindungi pangan dari kerusakan akibat mikroorganisme atau sebagai
pengawet.
Terdapat beberapa jenis asam yang sering digunakan dalam bahan
pangan, diantaranya adalah asam sitrat, asam malat, asam tartarat, asam asetat,
asam laktat, dan asam fumarat. Banyaknya asam yang ditambahkan dalam
bahan pangan dipengaruhi oleh jenis asam, jenis pangan, rasa yang
diinginkan, dan tujuan dari penambahan asam (Stratford, 1999).
Asam sitrat (C6H8O7) yang memiliki nama sistematis 2-hydroxypropane-
1,2,3-tricarboxylic acid adalah asam organik lemah yang banyak ditemukan
pada buah citrus (Anonim, 2007 h). Selain itu, asam sitrat merupakan jenis
asam organik yang paling banyak digunakan pada berbagai jenis pangan
seperti minuman, confectionery, keju, produk roti, sayuran dalam kaleng, dan
saos. Hal ini dikarenakan asam sitrat memiliki rasa fruity yang ringan, mudah
larut dalam air, murah, dan mudah diperoleh (Stratford, 1999).
Berbeda dengan asam sitrat, maka asam laktat memiliki rasa yang lebih
lembut dibandingkan dengan jenis asam lainnya (Stratford, 1999). Asam laktat
(C3H6O3) yang memiliki nama sistematis 2-hydroxypropanoic acid bersifat
sangat higroskopis sehingga selalu tersedia dalam bentuk larutan (Anonim,
2007 g). Asam laktat banyak digunakan dalam produk susu dan minyak salad
(Stratford, 1999).
Interaksi antara asam dan protein susu dapat meningkatkan dan
menurunkan viskositas maupun kelarutan dari protein susu. Ennis dan
Mulvihill (2000) menyatakan bahwa tingkat denaturasi yang menyebabkan
ketidaklarutan protein susu dapat terjadi pada pH 7 dan 4.6 yang didukung
(2.5 – 3.5) maka viskositas akan meningkat. Viskositas minimum protein susu
khususnya whey dapat terjadi pada IP sebesar 4.5.
McClements (1999) menyatakan bahwa pengaruh pH terhadap emulsi
yang distabilkan dengan protein sangat besar dalam menghambat
ketidakstabilan fisik emulsi khususnya flocculation, yaitu suatu proses dimana
dua atau lebih droplet bergabung membentuk agregat dan droplet tersebut
membentuk integritas masing-masing. Pada pH dibawah atau diatas
Isoelectric Point (IP) dari protein whey, yaitu 5, maka pengaruh droplet cukup besar untuk mencegah terjadinya flocculation karena isoelectric repulsion
(gaya tolak menolak) sangat kuat diantara droplet. Nilai pH mendekati IP
menyebabkan droplet tidak cukup kuat untuk mencegah flocculation.
F. FRUKTOSA
Gula adalah suatu istilah umum yang sering diartikan bagi setiap
karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan
biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa. Beberapa jenis pemanis yang
sering digunakan dalam industri pangan diantaranya adalah sirup glukosa,
fruktosa, gula invert, maltosa, sorbitol, sakarin, dan siklamat (Buckle et al,
1987).
Fruktosa merupakan gula sederhana (monosakarida) yang memiliki
rumus empiris C6H12O6 dan merupakan isomer dari glukosa. Fruktosa
memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan dengan sukrosa. Apabila
kemanisan fruktosa dibandingkan dengan sukrosa yang memiliki nilai
kemanisan sama dengan 1, maka fruktosa memiliki nilai kemanisan sebesar
1.32 (Winarno, 1982). Fruktosa banyak ditemukan dalam bahan pangan
seperti madu, melon, berry, bit, dan bawang bombay (Anonim, 2007 i).
G. KERUSAKAN MINYAK KELAPA
Menurut Djatmiko et al (1985), air dapat menghidrolisa minyak menjadi
gliserol dan asam lemak bebas. Proses hidrolisa ini akan dibantu oleh adanya
menyebabkan terjadinya hidrolitik enzimatik, yaitu terbentuknya flavor dan
rasa yang tengik pada minyak.
Reaksi hidrolisa bersifat reversible apabila terdapat keseimbangan antara
zat yang bereaksi dan yang dibentuk serta tidak keluar dari keadaan tersebut.
Penguraian trigliserida akan lebih sempurna apabila tersedia air yang cukup
banyak. Efek dari proses hidrolisa ini adalah asam lemak yang terbentuk
bersifat mempercepat reaksi autokatalis dan kerja enzim pada minyak tersebut.
Bagi minyak kelapa, proses hidrolisa memiliki arti penting karena hampir
90% dari trigliseridanya memiliki asam lemak berantai hidrokarbon pendek
yang apabila lepas dari ikatan ester pada suhu kamar akan memiliki bau dan
rasa yang tidak enak. Gambar 3 menunjukkan Reaksi hidrolisa lemak.
O O ║ ║ CH2―O―C―R1 CH2―OH OH―C―R1 O O ║ ║ CH ―O―C―R2 + 3H2O CH ―OH + OH―C―R2 O O ║ ║ CH2―O―C―R3 CH2―OH OH―C―R3
[image:41.612.153.512.317.466.2]Trigliserida Air Gliserol Asam lemak (bebas)
Gambar 3. Reaksi kimia hidrolisis minyak
Sumber : Djatmiko et al (1985)
Kerusakan minyak dapat pula terjadi akibat kontak antara oksigen dan
minyak yang terjadi melalui reaksi oksidasi. Tahap pertama dari oksidasi
minyak adalah terbentuk peroksida yang merupakan senyawa tidak stabil.
Asam lemak jenuh juga dapat teroksidasi oleh oksigen apabila suhu lebih
tinggi dari 100oC atau pada suhu kamar dan terdapat cahaya yang diserap oleh
klorofil atau oleh enzim peroksidase. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
ketengikan pada minyak. Berikut ini faktor-faktor yang mempengaruhi proses
Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses oksidasi minyak kelapa
Faktor yang mempercepat Faktor yang memperlambat
Suhu tinggi Suhu rendah
Cahaya (ultraviolet, ultrablue) Tempat tidak tembus cahaya
Sinar alpha, beta, gamma Bebas dari oksigen
Peroksida Blanching
Enzim lipoksidase Antioksidan
Logam katalis (Fe, Cu) Logam tidak aktif
Sumber : Djatmiko et al (1985)
Menurut Ketaren (1986), penyebab kerusakan minyak lainnya adalah
mikroba. Kerusakan lemak oleh mikroba umumnya terjadi pada lemak yang
masih terdapat dalam jaringan dan dalam bahan pangan berlemak. Minyak
yang telah dimurnikan umumnya masih mengandung mikroba berjumlah
maksimum 10 organisme untuk setiap satu gram lemak dan hal tersebut masih
dikatakan steril. Mikroba yang menyerang bahan pangan berlemak dapat
merusak lemak dengan menghasilkan cita rasa yang tidak enak serta
menimbulkan perubahan warna.
H. PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN
Institute of Food Technologist mendefinisikan umur simpan sebagai waktu yang dibutuhkan suatu produk untuk mengalami kerusakan hingga
tingkat yang tidak dapat diterima pada kondisi penyimpanan, proses, dan
pengemasan yang spesifik. Menurut Syarief et al (1989), faktor-faktor yang
mempengaruhi umur simpan pangan yang dikemas adalah :
1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya
perubahan, seperti kepekaan terhadap perubahan kimia internal dan fisik
2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume
3. Kondisi atmosfir terutama suhu dan kelembaban
4. Ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas,
Pendugaan umur simpan bahan pangan atau produk pangan sangat
penting untuk mengetahui masa kadaluarsa suatu produk, yaitu suatu masa
bagi produk tidak layak untuk dikonsumsi atau produk tersebut sudah terdapat
dalam kondisi yang tidak sesuai dengan keterangan yang tertera pada label
kemasan.
Umur simpan suatu produk pangan dapat diduga dan ditetapkan waktu
kadaluwarsanya dengan menggunakan konsep studi penyimpanan produk
pangan. Metode-metode yang umumnya digunakan dalam pendugaan umur
simpan tersebut adalah metode Extended Storage Studies (ESS) dan
Accelerated Storage Studies (ASS).
ESS disebut juga dengan metode konvensional, yaitu penentuan tanggal
kadaluwarsa dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal
sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya
(usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat
dan tepat, tapi memerlukan waktu yang panjang serta analisa parameter mutu
yang relatif banyak.
Berbeda halnya dengan metode ESS, metode AAS membutuhkan waktu
pengujian yang relatif singkat, tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi
yang tinggi. Hal ini dikarenakan, metode ASS menggunakan suatu kondisi
lingkungan yang dapat mempercepat (accelerated) reaksi deteriorasi
(penurunan mutu) produk pangan. Oleh karena itu, kerusakan yang
berlangsung dapat diamati dengan cermat dan diukur. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati parameter
perubahan yang berlangsung.
Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang
disesuaikan untuk produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada
penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan. Pertama adalah
pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara
pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar
air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluwarsa. Kedua adalah pendekatan
pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya
mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2001).
Menurut Arpah (2001), pendekatan semi empiris dawali dengan
menganggap bahwa perubahan mutu produk pangan akan mengikuti pola
reaksi sebagai berikut :
A produk intermediet B
Dalam kondisi tersebut konsentrasi mutlak A maupun B tidak dianalisa. Akan
tetapi, yang diukur adalah perubahan konsentrasi produk intermediet terhadap
waktu. Perubahan konsentrasi ini dianggap proporsional terhadap penurunan
konsentrasi produk A maupun peningkatan konsentrasi produk B. Secara
matematis laju reaksi dinyatakan sebagai :
dA
- — = k [A]n...Persamaan 1
dt
atau,
dB
- — = k [B]n...Persamaan 2
dt
keterangan :
[A] = penurunan konsentrasi A yang dikorelasikan dengan mutu produk
[B] = peningkatan konsentrasi B yang dikorelasikan dengan mutu produk
k = konsentrasi laju reaksi
n = ordo reaksi
t = waktu
Persamaan 2 diterapkan pada suatu kondisi suhu, Aw, dan intensitas
cahaya dibuat konstan. Penerapan persamaan ini untuk penentuan umur
simpan dilakukan dengan menentukan konsentrasi kritis A atau B yang mana
pengaruhnya terhadap mutu mencapai tingkat kerusakan yang tidak dapat
diterima oleh konsumen (Arpah, 2001).
Pendugaan umur simpan dapat dilakukan dengan cara memantau
penurunan mutu produk selama penyimpanan melalui teori kinetika reaksi.
Laju reaksi pada ordo nol tidak dipengaruhi oleh konsentrasi reaksi
sehingga laju reaksi ordo nol hanya dipengaruhi oleh konstanta laju reaksi
yang dinyatakan sebagai k (Syarief et al, 1989). Laju perubahan A menjadi B
dapat dinyatakan sebagai berikut :
d[A]
- = k...Persamaan 3
dt
Persamaan tersebut diintegralkan menjadi sebagai berikut :
A0∫ At
dA = -k to∫t dt...Persamaan 4
A0 – Ac = kt...Persamaan 5
Apabila konsentrasi kritis komponen A = Ac, maka umur simpan produk
sama dengan :
A0-Ac
= t...Persamaan 6
k
Plot antara perubahan konsentrasi [A] dan waktu (t) untuk reaksi ordo nol,
memberikan garis lurus dengan nilai kemiringan (slope) = k (Arpah, 2001).
Penurunan mutu mengikuti reaksi ordo nol diantaranya adalah oksidasi lemak
(ketengikan pada snacks, dry foods, dan frozen foods), pencoklatan enzimatis dan non-enzimatis (Labuza, 1982).
Penurunan mutu yang mengikuti reaksi ordo satu diantaranya adalah
ketengikan pada minyak sayur, pertumbuhan mikroba pada pada daging
maupun ikan segar, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein, dan off flavor
akibat mikroba pada daging dan ikan (Labuza, 1982). Persamaan pada laju
reaksi ordo 1 adalah sebagai berikut :
dA
= - k dt... Persamaan 7 [A]
Persamaan tersebut diintegralkan menjadi sebagai berikut :
A0∫ A
dA = - k t0∫ t
[A]... Persamaan 8
dt
ln A - ln Ao = - kt... Persamaan 9
A = A0 e-kt... Persamaan 10
Ac = A0 e-kts... Persamaan 11
Ts merupakan umur simpan produk dan plot antara perubahan logaritma
konsentrasi [A] dengan waktu t, untuk reaksi ordo satu, memberikan garis
lurus dengan slope –k (Arpah, 2001).
Untuk mengkuantifikasi pengaruh temperatur terhadap reaksi
deteriorasi, maka dapat dilakukan pendekatan Arrhenius. Pada model
Arrhenius, suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap produk pangan.
Semakin tinggi suhu, maka semakin tinggi laju reaksi berbagai senyawa kimia
yang akan mempercepat pula penurunan mutu produk. Dengan demikian, suhu
penyimpanan diusahakan dalam keadaan tetap. Laju penurunan mutu dengan
metode Arrhenius adalah sebgai berikut :
k = ko e-Ea/RT
ln k = ln ko e-Ea/RT
ln k = ln ko + e-Ea/RT
ln k = ln ko - Ea/RT ln e
ln k = ln ko - Ea/RT... Persamaan 12
Keterangan :
k = konstanta penurunan suhu
ko = konstanta
Ea = energi aktivasi
R = konstanta gas (1.986 kal/mol)
T = suhu mutlak (K)
Interpretasi energi aktivasi dapat memberikan gambaran mengenai
besarnya pengaruh suhu terhadap reaksi. Nilai Ea diperoleh dari slope grafik
garis lurus hubungan ln k dengan 1/T. Dengan demikian, energi aktivasi yang
besar mempunyai arti bahwa nilai ln k berubah cukup besar dengan hanya
perubahan beberapa derajat dari suhu sehingga nilai slope akan besar (Arpah,
Model Arrhenius memiliki asumsi-asumsi yang diterapkan dalam
pendugaan umur simpan. Asumsi-asumsi tersebut adalah perubahan faktor
mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja, tidak terjadi faktor lain
yang mengakibatkan perubahan mutu, proses perubahan mutu dianggap bukan
merupakan akibat dari proses yang terjadi sebelumnya, dan suhu selama
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah VCO yang
diperoleh dari Balai Besar Industri Agro (BBIA). Bahan tambahan yang
digunakan dalam formulasi adalah lesitin yang diperoleh dari Cargill
Texturizing Solutions, polysorbate 80, asam sitrat, larutan asam laktat, BHT, dan natrium benzoat yang diperoleh dari toko kimia Setia Guna, fruktosa yang
diperoleh dari toko Yoek, susu skim bubuk dengan merk dagang Sunlac yang
diperoleh dari toko Grand, serta flavor emulsion yang diperoleh dari PT.
Firmenich Indonesia. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam analisis
diantaranya adalah TBA (thiobarbituric acid), asam asetat glasial, HCL,
etanol 95%, KOH, pati, KI, asam oksalat, Na2SO4, NaOH, asam margarat,
BF3/metanol, gas nitrogen, aquades, NaCl, dan PCA (plate count agar).
Alat-alat yang digunakan dalam tahap formula adalah homogen