• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PROSES BLEACHING DAN NETRALISASI TERHADAP KARAKTERISTIK SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DARI METIL ESTER CPO (CRUDE PALM OIL)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PROSES BLEACHING DAN NETRALISASI TERHADAP KARAKTERISTIK SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DARI METIL ESTER CPO (CRUDE PALM OIL)"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PROSES BLEACHING DAN NETRALISASI TERHADAP KARAKTERISTIK SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DARI

METIL ESTER CPO (CRUDE PALM OIL)

Oleh

AHSAN ABDUH ANDI SIHOTANG F 34052023

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Ahsan Abduh Andi Sihotang. F34052023. Pengaruh Proses Bleaching dan Netralisasi terhadap Karakteristik Surfaktan Metil Ester Sulfonat dari CPO (Crude Palm Oil). Di bawah bimbingan Dwi Setyaningsih dan Erliza Hambali. 2010.

RINGKASAN

Surfaktan merupakan suatu senyawa aktif yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka. Dalam aplikasinya, surfaktan digunakan hampir di semua bidang industri. Selain dari turunan minyak bumi, surfaktan juga dapat disintesis dari minyak nabati. Berdasarkan gugus hidrofiliknya, surfaktan dibagi menjadi empat kelompok, yakni surfaktan kationik, anionik, amfoterik, dan non-ionik. Surfaktan anionik merupakan surfaktan yang paling banyak diproduksi di dunia. Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik berbasis minyak nabati yang sedang banyak dikembangkan karena kemampuannya yang bersaing dengan Linier Alkilbenzen Sulfonat (LAS), surfaktan anionik berbasis minyak bumi yang paling banyak diproduksi saat ini. Produksi MES pada penelitian ini menggunakan bahan baku CPO (minyak sawit kasar) untuk meningkatkan nilai tambah CPO sebagai komoditas unggulan Indonesia.

Penelitian ini melalui beberapa tahapan yang terdiri dari : (1) analisis fisiko-kimia CPO (2) pembuatan dan analisis metil ester CPO (3) proses sulfonasi ME CPO dengan reaktan gas SO3 pada suhu 1000 C menggunakan reaktor STFR serta (4) analisis surfaktan MES.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh proses bleaching dan netralisasi terhadap sifat fisiko kimia methyl ester sulfonates (MES) yang diproduksi dari metil ester CPO. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial dengan dua kali pengulangan. Faktor yang dikaji adalah tahapan proses. Taraf faktor tahapan proses pada penelitian ini adalah tanpa proses bleaching-netralisasi, dengan netralisasi dan dengan bleaching-netralisasi. MES yang dihasilkan memiliki tegangan antar muka MES 1,4 x 10-2 -1,4 x 10-1 mN/m, tegangan permukaan 35,33-47,17 dyne/cm, bahan aktif 15,32-19,10 %, bilangan iod 53,38-55,44 mg Iod/mg MES, CMC 2,6-3,5% dan pH 3,08-6,84.

(3)

Ahsan Abduh Andi Sihotang. F34052023. Influence of Bleaching and Neutralizing Process to Characteristics of Methyl Ester Sulfonate from CPO (Crude Palm Oil) . Supervissed by Dwi Setyaningsih and Erliza Hambali. 2010

SUMMARY

Surfactant is surface active agent that has ability to reduce surface and inter-facial tension. Based on its ability, surfactant is used almost in all sectors of industries. It can be synthesized from petroleum, microorganism, and vegetable oil. Based on the hydrophilic part, it is divided into four groups: cationic, anionic, non-ionic, and amphoteric. Anionic surfactant is the most produced compared to other groups. Methyl Ester Sulfonates (MES) is the anionic surfactant made from vegetable oil that is now being developed. MES has the similar, or even better, than Linear Alkylbenzene Sulfonates that is now the most produced anionic surfactant synthesized from petroleum. MES production in this research use CPO (Crude Palm Oil) as raw material to give added value for CPO as main commodity in Indonesia.

These research methods were divided into some steps: (1) analysis of physical-chemical characteristics of CPO (2) production and analysis of methyl ester of CPO (3) sulfonation process of methyl ester of CPO using SO3 with temperature of 1000C by STFR (Single Tube Falling Film Reactor) and (4) analysis of MES surfactant.

The purpose of this research is to find the effect of bleaching and neutralizing processes to the characteristics of Methyl Ester Sulfonates produced from methyl ester CPO. This research used factorial completely randomized design with two replications. The treatment used is process step with no neutralizing step, with neutralizing step, and with bleaching-neutralizing step. MES produced has inter-facial tension value from 1.4 x 10-2 to 1.4 x 10-1 mN/m, surface tension from 35.33 to 47.17 dyne/cm, active matter content from 15.32 to 19.10 %, iodine value from 53.38 to 55.44 mg Iod/mg MES, CMC from 2.6-3.5% and pH 3.08-6.84.

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan tanggal 28 Juni 1988. Menamatkan jenjang Sekolah Dasar di SDN Babakan Dramaga I tahun 1999, jenjang SMP di SMP Negeri 1 Dramaga tahun 2002 dan jenjang SMA di SMA Negeri 1 Bogor tahun 2005.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjadi mahasiswa, selain aktif di kegiatan akademik, juga aktif di kegiatan kewirausahaan, organisasi maupun kepanitiaan. Penulis terpilih sebagai Mahasiswa Berprestasi 1 Departemen TIN tahun 2009. Di organisasi, penulis ikut berbagai organisasi dari Forces (Forum for Scientific Studies), LDK DKM Al-Hurriyyah, BEM Fakultas Teknologi Pertanian, IAAS (International Association of Students in Agricultural and Related Sciences) dan BEM KM IPB. Penulis diamanahi sebagai Ketua (Director) IAAS IPB pada tahun 2008 dan Menteri PSDM BEM KM IPB Kabinet IPB Gemilang tahun 2009. Penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan seperti seminar dan workshop. Usaha yang sedang dirintis sekarang adalah Susu Jagung dan SIAGA photo, gift and souvenir.

(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Ahsan Abduh Andi Sihotang

NRP : F34052023

Departemen : Teknologi Industri Pertanian Fakultas : Teknologi Pertanian Universitas : Institut Pertanian Bogor

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul “Pengaruh Proses Bleaching dan Netralisasi terhadap Karakteristik Surfaktan Metil Ester Sulfonat dari Metil Ester CPO (Crude Palm Oil) “ merupakan karya tulis saya pribadi dengan bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas disebut rujukannya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa tekanan dari siapapun.

Bogor, Agustus 2010 Penulis,

(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH PROSES BLEACHING DAN NETRALISASI TERHADAP KARAKTERISTIK SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DARI

METIL ESTER CPO (CRUDE PALM OIL)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

AHSAN ABDUH ANDI SIHOTANG F 34052023

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul : Pengaruh Proses Bleaching dan Netralisasi terhadap Karakteristik Surfaktan Metil Ester Sulfonat dari Metil Ester CPO (Crude Palm Oil)

Nama : Ahsan Abduh Andi Sihotang

NRP : F34052023

Menyetujui : Dosen Pembimbing,

Dr.Ir. Dwi Setyaningsih, MSi Prof. Dr. Erliza Hambali NIP. 19700103 199412 2 001 NIP. 19620821 198703 2 003

Mengetahui :

Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP. 19621009 198903 2 001          

Tanggal lulus : 21 Mei 2010  

(8)

HALAMAN PERSEMBAHAN

“ Kejarlah kesempurnaan maka kesuksesan akan mengikutimu” (Rancho- 3 idiots)

Makhluk paling mulia Ibuku, Ibuku, Ibuku (Mamah Saadah), baru ayahku pewaris darah Sihotang, Mas agus, Akbar, Aisyah dan Faizah, mudah-mudahan kita bisa menjadi anak yang

membanggakan orang tua.

Sahabat-sahabatku Nadiyah Khaeriyyah, Agung Joko Suprihanto, Linda Mikowati, Amalia Riyanti, Nutriana Dinnuriah, dan Irvan Setya Adji yang selalu memberikan dukungan kepada

penulis selama melaksanakan penulis melaksanakan penelitian.

Doddy, Heri, Tina, Lizna, Sabila, Isma, Devi, Dito, Dion, Dewi, Indra Aming, Denis, Titis, Windarti, Devi, Olih, Dea (buat statistiknya), Daniel, Sarwar, V-bee, ifa, dan seluruh Keluarga

Besar IAAS IOP 13-17 yang merupakan keluarga kedua dan tempat berbagi susah dan senang selama di Bogor

Keluarga besar TIN 42 dan SAMURAI Hagatri (Amel, Rara, Linda, Tika, Rahma, Potta, Anas) atas kebersamaan dan persaudaraannya selama di IPB.

Rekan-rekan BEM Fateta Totalitas Perjuangan (mas Gema, Bung Eks, Otiz, Mbk Nona, Mbk Nova, Mbk Cicie, Cumi, dll ), Sospol (Fitrah ndut, Shelvi, Adi, Shafeeg, Pipi, Andri) BEM KM Kabinet Gemilang (Mas Wahyu, Bowo, Gadis, Murni dan Ryan, Ika Sesmenku, Rusdi-Ratna, Afif-Vica, Adnan-Indri, Widi-Ratna, Panji-Rifah, Lisma-Lela, Yuda-Zijah,

Irul-Nurdi, Yogi-Amel).

PSDMers terbaik yang pernah kerja bareng (Ika, Ayu, Tito, Ranu, Ayas, Tika, Hadi, Rithoh, Rama, Maria, Dwi, Achmad, Ade dan Syahid) dan Manajemen LES serta LES angkatan 3. PPSDMS Regional 5 Bogor dan Pusat yang menyiapkan peradaban besar untuk Indonesia emas (Ustd Musholli, Bang Ichsan, Bang Fahri, Pak Boni, dan tim pusat lainnya), Para penggores tinta

emas ( Mas: Gema, Shohib, Sigit, Bowo, Galih, Ari, Bung Dika, Najmi, dan para sahabat asrama yang tidak bisa disebutkan satu persatu)

Teman-teman seperjuangan di Wisma Al-Ahsan A, B dan C.

(9)

KATA PENGANTAR

Tak ada rasa yang pantas diucapkan selain Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang menciptakan alam dengan segala kesempurnaannya. Sungguh besar karunia Allah SWT sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini disampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Mamah dan Ayah tercinta, Mas Agus, Akbar, Aisah, Faizah dan Sabila Putri Dian serta keluarga besar tercinta, atas kasih sayang, dukungan dan doa yang sangat berharga bagi penulis.

2. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi dan Prof. Dr. Erliza Hambali selaku dosen pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu dan kesabaran dalam membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir.

3. Prof. Dr. Ani Suryani, DEA selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan masukan yang sangat berarti untuk perbaikan skripsi ini. 4. Pak Mulyanto, Mas Saiful, Bang Otto, Mbak Pipit dan Mbak Ami serta tim

penelitian SBRC yang membantu semasa penelitian di Laboratorium

5. Nutriana Dinnuriah, Amri Solechan, Ovi Yulianti, Fikri, Efrat dan Ninda yang senantiasa menemani dan membantu pelaksanaan penelitian penulis. 6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan

skripsi ini.

Akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya. AMIN.

Bogor, Agustus 2010

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v I. PENDAHULUAN ... 1 A. LATAR BELAKANG ... 1 B. TUJUAN ... 2 C. RUANG LINGKUP ... II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

3 1 D A. METIL ESTER CPO ... 4

B. SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) ... 8

III. BAHAN DAN METODE ... 5

A. BAHAN DAN ALAT ... 15

B. METODE PENELITIAN ... 15

1. Analisis Sifat Fisiko-kimia CPO ... 17

2. Pembuatan dan Analisis Fisiko-kima ME CPO ... 17

3. Produksi Surfaktan MES ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

A. ANALISIS FISIKO-KIMIA CPO ... 20

B. ANALISIS FISIKO-KIMIA ME CPO ... 21

C. ANALISIS METIL ESTER SULFONAT ... 26

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi asam lemak dari CPO ... 4

Tabel 2. Sifat fisik dan kimia CPO ... 4

Tabel 3. Syarat mutu metil ester ... 7

Tabel 4. Kisaran HLB dan aplikasi pengunaannya ... 9

Tabel 5. Karakteristik surfaktan metil ester sulfonat (MES) komersial... 10

Tabel 6. Hasil analisa sifat fisiko kimia CPO ... 20

Tabel 7. Sifat fisiko-kimia metil ester CPO yang dihasilkan ... 24

iv

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bagian–bagian buah kelapa sawit ... 5

Gambar 2. Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol ... 6

Gambar 3. Pengolahan metil ester lebih lanjut menjadi oleokimia ... 8

Gambar 4. Diagram alir prosedur penelitian ... 16

Gambar 5. Reaktor biodiesel pilot plant SBRC dengan kapasitas 100 L ... 22

Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan biodiesel dua tahap ... 23

Gambar 7. Reaktor STFR (Single Tube Film Sulfonation Reactor) untuk sulfonasi ... 26

Gambar 8. Mekanisme reaksi pembentukan MESA ... 27

Gambar 9. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi ... 28

Gambar 10. Metil ester sulfonat acid (MESA) hasil sulfonasi ... 29

Gambar 11. MES hasil netralisasi (kiri) dan hasil bleaching-netralisasi (kanan) ... 29

Gambar 12. Ilustrasi penambahan surfaktan yang mengurangi tegangan antarmuka dan permukaan ... 30

Gambar 13. Efek penambahan surfaktan dalam sistem (memperkecil sudut kontak) ... 30

Gambar 14. Histogram pengaruh konsentrasi surfaktan dan metode proses terhadap nilai tegangan antarmuka (IFT) ... 32

Gambar 15. Histogram pengaruh konsentrasi surfaktan dan metode proses terhadap nilai tegangan permukaan ... 34

Gambar 16. Ilustrasi pembentukan micelle ... 36

Gambar 17. Grafik hubungan antara konsentrasi surfaktan dengan tegangan permukaan dan antarmuka cairan ... 36

Gambar 18. Grafik tegangan perumukaan surfaktan MESA (tanpa bleaching-netralisasi) ... 36

Gambar 19. Histogram pengaruh metode proses terhadap bahan aktif ... 38

Gambar 20. Histogram pengaruh metode proses terhadap nilai pH ... 39

Gambar 21. Kurva standar HLB ... 41

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik sifat fisiko-kimia CPO ... 47

Lampiran 2. Prosedur analisis metil ester CPO ... 51

Lampiran 3. Prosedur analisis karakteristik MES ... 57

Lampiran 4. Hasil analisa CPO dan metil ester dari CPO ... 62

Lampiran 5. Hasil analisa tegangan antarmuka ... 63

Lampiran 6. Hasil analisa tegangan permukaan ... 64

Lampiran 7. Hasil analisa nilai CMC ... 65

Lampiran 8. Hasil analisa kadar bahan aktif ... 66

Lampiran 9. Hasil analisa nilai pH ... 67

Lampiran 10. Hasil analisa nilai bilangan iod ... 68

vii

(14)

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Saat ini Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia. Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 7,3 juta hektar dengan total produksi CPO diperkirakan mencapai 20,2 juta ton. Dari total produksi CPO nasional tersebut, sekitar 38,2% dikonsumsi untuk kebutuhan domestik dan sisanya sebesar 61,8% diekspor dalam bentuk CPO.

Pemanfaatan CPO untuk produk olahan di Indonesia masih terbatas untuk industri pangan (minyak goreng, margarin, shortening, cocoa butter substitutes, vegetable ghee) dan industri non pangan seperti oleokimia (fatty acid, fatty alcohol, gliserin), sabun dan biodiesel. Hingga saat ini potensi minyak sawit Indonesia maksimal baru termanfaatkan untuk produk oleokimia, sementara industri oleokima turunan belum banyak dikembangkan dengan baik di Indonesia. Padahal produk oleokimia turunan merupakan produk yang memiliki nilai tambah jauh lebih tinggi. Salah satu produk oleokimia turunan bernilai tambah tinggi adalah surfaktan.

Bahan aktif permukaan atau surface active agent (surfactant) merupakan salah satu produk oleokimia turunan yang banyak diaplikasikan pada produk detergen dan pembersih, personal care, konstruksi, agrokimia, farmasi, tinta dan cat, industri kertas, dan industri tekstil. Oleh karena itu, upaya pengembangan industri surfaktan dalam negeri sebagai salah satu produk oleokimia turunan akan sangat menjanjikan mengingat selama ini kebutuhan surfaktan dalam negeri sebagian besar dipenuhi melalui impor.

(15)

2

 

Surfaktan dapat dibagi atas empat kelompok, yaitu kelompok anionik, nonionik, kationik dan amfoterik. Menurut Matheson (1996), kelompok surfaktan terbanyak yang diproduksi dan digunakan oleh berbagai industri adalah surfaktan anionik. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa grup sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu alkilbenzen sulfonat linear (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), parafin (secondary alkane sulfonate, SAS), dan metil ester sulfonat (MES). Jenis-jenis surfaktan tersebut diperoleh melalui tahapan sulfonasi atau sulfatasi.

Metil ester sulfonat diperkirakan akan menjadi salah satu surfaktan yang sangat penting untuk tahun-tahun mendatang mengingat kebutuhan industri sabun dan deterjen akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsumsi masyarakat. Selain itu, MES juga memiliki beberapa keunggulan, yaitu bersifat terbarukan (renewable resources), lebih bersih dan ramah lingkungan, secara alami mudah terdegradasi (biodegradable) dan memiliki sifat deterjensi yang baik walaupun digunakan pada air dengan tingkat kesadahan yang cukup tinggi (Matheson, 1996)

Menurut Sadi (1993), surfaktan MES mempunyai prospek yang cukup baik sebagai bahan baku deterjen. Alasan utama belum mampunya MES menggantikan linear alkilbenzen sulfonat (LAS) dan alkohol sulfat (AS) sebagai surfaktan anionik terbesar adalah belum sempurnanya teknologi sulfonasi untuk memproduksi MES, padahal MES mempunyai banyak kelebihan dibandingkan LAS dan AS. Selain itu, surfaktan MES yang dihasilkan dengan reaktan gas SO3 menghasilkan warna hitam pekat yang tidak diinginkan. Studi tentang tahapan bleaching dalam pembuatan MES yang menghasilkan warna tidak gelap menjadi subjek penelitian yang sedang terus dikembangkan (Hovda, 1993).

  B. TUJUAN

(16)

3

 

C. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi:

1. Analisis sifat fisiko-kimia minyak sawit kasar atau CPO (Crude Palm Oil) yang meliputi uji kadar air, bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan, fraksi tak tersabunkan, nilai FFA, densitas dan viskositas.

2. Pembuatan metil ester CPO dengan kapasitas reaktor 100 liter dan analisis sifat fisiko kimia metil ester yang meliputi kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan dan densitas.

3. Proses sulfonasi metil ester CPO menggunakan reaktor STFR (Single Tube Film Sulfonation Reactor) dan reaktan gas SO3 pada suhu 100 0C.

(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. METIL ESTER CPO

1. Minyak Sawit Kasar (CPO)

Minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) merupakan hasil olahan daging buah kelapa sawit melalui proses perebusan (dengan steam) Tandan Buah Segar (TBS), perontokan, dan pengepresan. CPO ini diperoleh dari bagian mesokarp buah kelapa sawit yang telah mengalami beberapa proses, yaitu sterilisasi, pengepresan, dan klarifikasi (Ketaren, 1986). Komposisi asam lemak yang terdapat dalam CPO disajikan pada Tabel 1 sedangkan sifat fisiko kimianya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi asam lemak dari CPO Asam Lemak Rantai C Komposisi (% b/b)

Asam Laurat 12:0 0,2 Asam Miristat 14:0 1,1 Asam Palmitat 16:0 44,0 Asam Stearat 18:0 4,5 Asam Oleat 18:1 39,2 Asam Linoleat 18:2 10,1 Sumber: Hui (1996)

Tabel 2. Sifat fisik dan kimia CPO

Sifat Fisiko Kimia Nilai

Trigliserida 95 %

Asam lemak bebas (FFA) 5-10 % Warna (5 ¼ ” Lovibond Cell) Merah orange Kelembaban & Impurities 0,15 – 3,0 % Bilangan Peroksida 1 -5,0 (meq/kg) Bilangan Anisidin 2 – 6 (meq/kg)

Kadar β-carotene 500-700 ppm

Kadar fosfor 10-20 ppm

Kadar besi (Fe) 4-10 ppm

Kadar Tokoferol 600-1000 ppm

Digliserida 2-6 %

Bilangan Asam 6,9 mg KOH/g minyak Bilangan Penyabunan 224-249 mg KOH/g minyak

Bilangan iod (wijs) 44-54

Titik leleh 21-24ºC

(18)

CPO dapat digunakan sebagai bahan baku industri minyak goreng, industri sabun, dan industri margarin. Dilihat dari proporsinya, industri yang selama ini menyerap CPO paling besar adalah industri minyak goreng (79%), kemudian industri oleokimia (14%), industri sabun (4%), dan sisanya industri margarin (3%). Pemisahan CPO dan PKO dapat menghasilkan oleokimia dasar yang terdiri atas asam lemak dan gliserol. Proses pemurnian minyak sawit akan menghasilkan RBDPO (Refined Bleached Deodorized Palm Oil) sebesar 94% dan PFAD (Palm Fatty Acid Distillate). Proses fraksinasi RBDPO akan menghasilkan olein sebesar 73% dan stearin sebesar 21%. Bagian-bagian buah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagian–bagian buah kelapa sawit

2. Metil Ester

Metil ester dapat dihasilkan melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi trigliserida minyak nabati seperti minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak pagar, minyak kedelai, dan lainnya. Transesterifikasi berfungsi untuk menggantikan gugus alkohol gliserol dengan alkohol sederhana seperti metanol atau etanol. Umumnya katalis yang digunakan adalah sodium metilat, NaOH atau KOH.

Molekul trigliserida pada dasarnya merupakan triester dari gliserol dan tiga asam lemak. Transformasi kimia lemak menjadi metil ester melibatkan transesterifikasi gliserida dengan alkohol membentuk alkil ester. Di antara alkohol yang mungkin, metanol lebih disukai karena berharga lebih murah (Lotero et al., 2004; Meher et al., 2005). Transesterifikasi merupakan suatu reaksi kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi agar bergerak ke kanan agar dihasilkan metil ester maka perlu digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang dihasilkan harus dipisahkan. Pada Gambar 2

(19)

disajikan reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol untuk menghasilkan metil ester.

Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor tergantung kondisi reaksinya (Meher el al., 2004). Faktor tersebut di antaranya adalah kandungan asam lemak bebas dan kadar air minyak, jenis katalis dan konsentrasinya, perbandingan molar antara alkohol dengan minyak dan jenis alkoholnya, suhu dan lamanya reaksi, intensitas pencampuran dan penggunaan cosolvent organik. Kualitas metil ester dipengaruhi oleh: kualitas minyak (feedstock), komposisi asam lemak dari minyak, proses produksi dan bahan lain yang digunakan dalam proses dan parameter pasca-produksi seperti kontaminan (Gerpen, 2004). Kontaminan tersebut diantaranya adalah bahan tak tersabunkan, air, gliserin bebas, gliserin terikat, alkohol, FFA, sabun, residu katalis (Gerpen, 1996).

Reaksi transesterifikasi secara batch lebih sederhana, dan dapat mengkonversi minyak menjadi metil ester hingga 80 - 94% dalam waktu 30 – 120 menit. Hasil yang diperoleh dipengaruhi oleh rasio molar minyak dengan alkohol, waktu reaksi, suhu, jenis katalis, konsentrasi katalis, karakteristik trigliserida dan intensitas pencampuran. Reaktor esterifikasi secara kontinyu telah dikembangkan untuk mengurangi ukuran reaktor dan waktu reaksi. Krisnangkura et al. (1992) melaporkan sebanyak 96% metil ester minyak sawit telah terbentuk dalam 60 menit pada rasio metanol dan minyak sawit 13:1 (minyak sawit dicampur toluen pada 1:1).

O

6 Gambar 2. Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol Trigliserida Metanol Gliserin Metil ester

(20)

7 Definisi metil ester menurut SNI (04-7182-2006) adalah ester lemak yang dibuat melalui proses esterifikasi asam lemak dengan metil alkohol, berbentuk cairan. Syarat mutu metil ester sebagai biodiesel dapat dilihat pada Tabel 3. Metil ester memiliki sifat tidak korosif (seperti halnya asam lemak nabati), lebih tahan terhadap oksidasi dan tidak mudah berubah warna (Darnoko et al., 2001).

Tabel 3. Syarat mutu biodiesel (SNI, 04-7182-2006)

No Parameter Satuan Nilai

1 Massa jenis pada 40 °C kg/m3 850 – 890

2 Viskositas kinematik pd 40 °C mm2/s (cSt) 2,3 – 6,0

3 Angka setana min. 51

4 Titik nyala (mangkok tertutup) °C min. 100

5 Titik kabut °C maks. 18

6 Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 °C)

maks. no 3 7 Residu karbon

- dalam contoh asli, atau - dalam 10 % ampas distilasi

%-massa maks 0,05 maks. 0,30

8 Air dan sedimen %-vol. maks. 0,05*

9 Temperatur distilasi 90 % °C maks. 360

10 Abu tersulfatkan %-massa maks.0,02

11 Belerang ppm-m (mg/kg) maks. 100

12 Fosfor ppm-m (mg/kg) maks. 10

13 Angka asam mg-KOH/g maks.0,8

14 Gliserol bebas %-massa maks. 0,02

15 Gliserol total %-massa maks. 0,24

16 Kadar ester alkil %-massa min. 96,5

17 Angka iodium %-massa

(g-I2/100 g)

maks. 115

18 Uji Halphen Negatif

Catatan dapat diuji terpisah dengan ketentuan kandungan sedimen maksimum

(21)

Distilasi Fraksinasi

Gambar 3. Pengolahan metil ester lebih lanjut menjadi oleokimia (Darnoko et al., 2001; Matheson, 1996)

B. SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) 1. Surfaktan MES

Surfaktan sodium metil ester sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Struktur kimia sodium metil ester sulfonat (MES) adalah sebagai berikut (Watkins, 2001).

Menurut Swern (1979), kemampuan surfaktan dalam hubungannya untuk meningkatkan kestabilan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik), yang dapat dilihat dari ukuran HLB (Hydrophile Lyphophile Balance). Semakin rendah nilai HLB maka surfaktan cenderung semakin larut dalam minyak. Sebaliknya, semakin tinggi nilai HLB maka surfaktan semakin cenderung larut dalam air. Kisaran HLB dan aplikasi penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 4.

O R-CH-C-OCH3

SO3Na

(22)

9 Tabel 4. Kisaran HLB dan aplikasi penggunannya

Kisaran Aplikasi Penggunaan

3 – 6 Emulsifier water in oil (W/O) 7 – 9 Bahan pembasah

8 – 15 Emulsifier oil in water (O/W) 13 – 15 Deterjen

15 – 18 Bahan pelarut

Sumber : Swern (1979)

Menurut Watkins (2001) jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan metil ester sulfonat (MES) adalah kelompok minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, atau tallow. MES dari minyak nabati yang mengandung atom karbon C10, C12 dan C14 biasa digunakan untuk light duty dishwashing detergent, sedangkan MES dari minyak nabati dengan atom karbon C16-C18 dan tallow biasa digunakan untuk deterjen bubuk dan deterjen cair (liquid laundry detergent). Menurut Yuliasari et al. (1997), minyak sawit dipilih sebagai bahan baku karena komponen asam lemak penyusun trigliseridanya, yaitu asam lemak C16-C18 mampu berperan terhadap kekerasan dan sifat deterjensinya, sedangkan asam lemak C12-C14 berperan terhadap efek pembusaan.

Panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon (Swern, 1979).

(23)

10 baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability).

Daya deterjensi linear alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS) dan MES selain dipengaruhi oleh panjang rantai karbon juga dipengaruhi oleh kesadahan air yang digunakan. Semakin panjang rantai karbon asam lemak, maka daya deterjensinya semakin meningkat. MES palmitat (C16) mempunyai daya deterjensi paling tinggi dibandingkan dengan LAS dan AS, yaitu sekitar 76%, sedangkan LAS dan AS masing-masing hanya sebesar 70% dan 60%. Semakin tinggi kesadahan air yang digunakan, maka daya deterjensi LAS, AS dan MES semakin rendah. Pada tingkat kesadahan 360 ppm CaCO3 daya deterjensi dari MES lebih tinggi (56%) dibandingkan dengan LAS (20%) dan AS (38%) (Yamane and Miyawaki, 1990).

MES (C16) bersifat lebih mudah terbiodegradasi dibandingkan dengan LAS dan AS. Pada hari ke-5, MES (C16) terbiodegradasi sempurna dan tidak meninggalkan residu karbon organik, sedangkan AS terbiodegradasi secara sempurna setelah hari ke-5,5, sedangkan LAS, walaupun senyawa tersebut mengandung rantai karbon pendek tetapi relatif lebih sulit terbiodegradasi secara sempurna. Hal ini disebabkan karena LAS mengandung senyawa karbon aromatik (rantai karbon berbentuk cincin). Biodegradasi maksimum dari LAS terjadi setelah hari ke-10 dengan menghasilkan residu C organik sebesar 34% (Yamane and Miyawaki, 1990). Karakteristik surfaktan metil ester sulfonat (MES) komersial dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik surfaktan metil ester sulfonat (MES) komersial

Spesifikasi MES (C16 – C18)

Metil ester sulfonat (MES), (% b/b) a 83,0

Disodium karboksi sulfonat (di-salt), (% b/b) a 3,5

Air, (% b/b) a 2,3

Nilai pH a 5,3

Warna Klett, 5% aktif (MES + di-salt) a 45

Tegangan permukaan (mN/m) b 39,0 - 40,2 Tegangan antarmuka (mN/m) b 8,4 – 9,7 Sumber : a Sheats (2002)

(24)

11 2. Proses Sulfonasi

Sadi (1994) menyatakan bahwa pada umumnya surfaktan dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester asam lemak dan fatty alkohol. Salah satu proses untuk menghasilkan surfaktan adalah proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat. MES termasuk golongan surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active).

Proses sulfonasi menghasilkan produk turunan yang terbentuk melalui reaksi kelompok sulfat dengan minyak, asam lemak (fatty acid), ester, dan alkohol lemak (fatty alcohol). Jenis minyak yang biasanya disulfonasi adalah minyak yang mengandung ikatan rangkap ataupun grup hidroksil pada molekulnya. Bahan baku minyak yang digunakan pada industri adalah minyak berwujud cair yang kaya akan ikatan rangkap (Bernardini, 1983).

Proses sulfonasi dapat dilakukan dengan mereaksikan asam sulfat, sulfit, NaHSO3, atau gas SO3 dengan ester asam lemak (Bernardini, 1983; Watkins 2001). Menurut Foster (1996), proses sulfonasi berbeda dengan sulfatasi, walaupun secara struktur memiliki kesamaan. Pada proses sulfonasi, SO3 terikat langsung pada atom karbon C sedang pada sulfatasi membentuk ikatan karbon-oksigen-sulfur. Proses sulfonasi dengan gas SO3 menghasilkan produk dengan kualitas yang tinggi, namun kelemahannya yaitu proses ini bersifat kontinyu dan paling sesuai untuk volume produksi yang besar, membutuhkan peralatan yang mahal dengan tingkat ketepatan yang tinggi, dan mensyaratkan personel pengoperasian yang memiliki skill tinggi (highly trained), selain itu memiliki sifat yang sangat reaktif sehingga diperlukan kontrol yang sangat ketat agar tidak terbentuk produk intermediet dan warna yang dihasilkan berwarna hitam sehingga memerlukan proses pemucatan.

(25)

12 pengeringan. Bahan baku metil ester dimasukkan ke reaktor pada suhu 40 - 56 0C, dengan konsentrasi gas SO3 adalah 7 persen dan suhu gas SO3 sekitar 42 0C. Nisbah mol antara reaktan SO3 dan metil ester sekitar 1,2 - 1,3. MES segera ditransfer ke digester pada saat mencapai suhu 85 0C, dengan lama waktu pencampuran adalah 0,7 jam (42 menit). Proses pemucatan dilakukan dengan mencampurkan MES hasil digester dengan pelarut metanol sekitar 31 - 40 persen (b/b, MES basis) dan H2O2 50 persen sekitar 1 - 4 persen (b/b, MES basis) pada suhu 95 - 100 0C selama 1 - 1,5 jam. Ditambahkan oleh Sheats dan Foster (2003) bahwa bleached MES secara kontinyu dinetralisasi hingga mencapai nilai pH 6,5-7,5. Proses netralisasi dilakukan dengan mencampurkan bleached MES dengan pelarut NaOH 50 persen pada suhu 55 0C.

Untuk menghasilkan MES yang memiliki daya kinerja yang lebih baik perlu dilakukan proses pemurnian. Proses pemurnian dilakukan menggunakan metanol. Metanol berfungsi untuk mengurangi pembentukan disalt, mengurangi viskositas, dan mampu meningkatkan transfer panas dalam proses pemutihan. Proses pemurnian palm C16-18 kalium metil ester sulfonat (KMES) yang diteliti oleh Sherry et al. (1995) dilakukan tanpa melalui proses pemucatan. Pemurnian produk dilakukan dengan mencampurkan ester sulfonat dengan 10-15 persen metanol di dalam digester, dan dilanjutkan dengan proses netralisasi berupa penambahan 50 persen KOH.

Sheats dan Mac Arthur (2002) menggunakan metanol 31 sampai 40% dan hidrogen peroksida 1-4% dengan suhu 95 sampai 100 oC selama 1 sampai 1,5 jam pada proses pembuatan MES dengan menggunakan pereaksi gas SO3.

(26)

13 sulfat yang ditambahkan (SO3, NaHSO3, asam sulfit), waktu netralisasi, pH dan suhu netralisasi (Foster, 1996).

Mekanisme reaksi yang terjadi selama reaksi sulfonasi dapat dijelaskan sebagai berikut. Urutan proses yang terjadi adalah metil ester (I) bereaksi dengan gas SO3 membentuk senyawa intermediet (II), pada umumnya berupa senyawa anhidrad. Dalam kondisi reaksi yang setimbang, senyawa intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk senyawa intermediet (III). Selanjutnya, senyawa intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi dengan melepaskan gugus SO3. Gugus SO3 yang dilepaskan bukanlah gugus yang terikat pada ikatan alfa. Dengan terlepasnya gas SO3 selama proses post digestion tersebut, maka terbentuklah MESA (IV) (MacArthur et al., 1998).

Suhu dan rasio mol reaktan merupakan faktor penting dalam proses sulfonasi dimana peningkatan suhu dapat mempercepat laju reaksi dengan meningkatkan jumlah fraksi molekul yang mencapai energi aktivasi (Steinfeld, 1989) sedangkan rasio mol reaktan harus dikendalikan dalam proses sulfonasi karena kelebihan reaktan (SO3) akan menyebabkan pembentukan produk samping. Penelitian tentang pengaruh suhu dan rasio mol reaktan dalam proses sulfonasi untuk menghasilkan MES telah dilakukan oleh Sheats dan Arthur (2002) dengan mereaksikan gas SO3 dan metil ester dalam tubullar falling film reactor pada perbandingan reaktan gas SO3 dan metil ester 1,2:1 hingga 1,3:1 pada suhu 50-60 oC sedangkan Baker (1995) telah memperoleh paten (US Patent No. 5.475.134) tentang proses pembuatan sulfonated fatty acid alkyl ester dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Bahan baku yang digunakan berasal dari asam lemak minyak nabati komersial. Proses sulfonasi dilakukan dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO3 dalam falling film reactor, dengan perbandingan reaktan antara SO3 dan alkil ester yaitu 1,1:1 hingga 1,4:1, pada suhu 75–95 oC selama 20-90 menit.

(27)

14 dalam falling film reactor pada suhu 80-90 oC. Proses sulfonasi ini akan menghasilkan produk berwarna gelap, sehingga dibutuhkan proses pemurnian meliputi pemucatan dan netralisasi. Untuk mengurangi warna gelap tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan metanol dan H2O2 yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan larutan alkali (KOH atau NaOH), setelah melewati tahap netralisasi, produk yang berbentuk pasta dikeringkan sehingga produk akhir yang dihasilkan berbentuk pasta, serpihan, atau granula.

Sheats dan Mac Arthur (2002) melakukan proses sulfonasi dengan menggunakan Falling Film Reactor (FFR) dengan laju sekitar 0,1 kg mol perjam. Suhu masuk gas SO3 ke dalam reaktor adalah 42 oC dan suhu masuk untuk metil ester sekitar 40-56 oC. Proses pemucatan dan pemurnian dilakukan dengan menggunakan metanol (31 sampai 41% (w/w) dan hidrogen peroksida (1-4% w/w) pada suhu 95-100 oC selama 1-1,5 jam. Hasil tersebut dinetralisasi dengan menggunakan NaOH 50% pada suhu 55 oC sampai mencapai nilai pH 5,5–7,5. Proses pengeringan dilakukan dengan menggunakan suhu inlet 145 oC dengan kondisi vakum 120 atau 200 Torr.

(28)

III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO). Minyak sawit kemudian dibuat menjadi metil ester kemudian disulfonasi dengan reaktan gas SO3 menjadi MESA. MESA dibleaching dengan pelarut metanol, H2O2 kemudian dinetralisasi dengan NaOH menjadi MES. Sedangkan bahan yang digunakan untuk analisa antara lain air distilata, air formasi, KOH, H2SO4, metanol, NaOH, HCl, penolphtalein, pati, sikloheksan, asam asetat glasial, KI, Na2S2O3, larutan wijs, toluene, kloroform, petroleum eter, indikator metilen blue dan cetyltrimetilammoniumbromida (CTAB).

2. Alat

Peralatan yang digunakan adalah reaktor sulfonasi (single tube falling film reactor), hotplate, termometer, labu leher tiga, tabung reaksi, pH meter, timbangan analitik, peralatan gelas, pipet dan oven atau pemanas. Peralatan yang digunakan untuk analisa surfaktan adalah spinning drop interfacial tensiometer, pH meter, vortex mixer, pipet dan hotplate stirer.

B. METODE PENELITIAN

(29)

kimia dan kinerja surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) yang dihasilkan. Diagram alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

CPO Analisa CPO

16 Gambar 4. Diagram alir prosedur penelitian

FFA > 5% Uji Reaksi Esterifikasi FFA FFA < 5% Reaksi Transesterifikasi Metil ester CPO

Analisa Metil ester CPO Proses Sulfonasi T=100 C0 MESA Bleaching (+Metanol ,H2O2) Tanpa Perlakuan (MESA) Netralisasi (+ NaOH) Netralisasi (+ NaOH)

(30)

17 1. Analisis sifat fisiko-kimia CPO

Bahan baku dari surfaktan MES pada penelitian ini adalah CPO (Crude Palm Oil) yang diperoleh dari Asian Agri Group. CPO yang akan digunakan dianalisis terlebih dahulu. Analisis sifat fisiko kimia yang dilakukan meliputi uji kadar air, bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan, fraksi tak tersabunkan, nilai FFA, densitas, dan viskositas. Adapun prosedur analisis CPO dapat dilihat pada Lampiran 1.

2. Pembuatan dan Analisis fisiko kimia metil ester CPO

Metil ester CPO diproduksi melalui dua tahapan reaksi. Tahap pertama adalah reaksi esterifikasi dan kemudian dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi. Pada reaksi esterifikasi, CPO yang telah diketahui nilai FFA-nya direaksikan dengan metanol dan digunakan H2SO4 sebagai katalis. CPO ditambahkan metanol sebesar 225% dan H2SO4 5% terhadap total nilai FFA sehingga diperoleh reaksi yang sempurna. Reaksi esterifikasi dilakukan selama 1 jam dengan kecepatan 300-500 rpm pada suhu antara 50-60 0C. Tahapan ini bertujuan untuk mengubah asam lemak bebas (FFA) menjadi alkil ester (metil ester). Hasil akhir proses esterifikasi merupakan campuran metil ester dan trigliserida CPO.

Selanjutnya dilakukan proses transesterifikasi. Proses transesterifikasi dilakukan dengan mereaksikan CPO setelah proses esterifikasi dengan 15%-v/v metanol. Reaksi transesterifikasi dipercepat dengan penambahan katalis KOH sebesar 1%-v/v. Warna kecoklatan menandai terbentuknya gliserol yang menujukkan reaksi telah berjalan. Selanjutnya dilakukan pemisahan gliserol dari metil ester.

(31)

18 Analisis yang dilakukan untuk mengetahui sifat fisiko kimia metil ester meliputi : kadar air, bilangan asam, bilangan iod, nilai FFA, bilangan penyabunan dan densitas. Prosedur analisis metil ester disajikan pada Lampiran 2.

3. Produksi Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES)

Produksi MES dillakukan dengan menggunakan metode falling film menggunakan reaktor STFR (Single Tube Falling Film Reactor) dengan panjang 6 meter. Prinsip falling film reactor adalah gas SO3 dipompakan pada sebuah tabung di mana pada dinding tabung tersebut dialirkan secara co-current metil ester dalam bentuk lapis tipis sehingga membentuk tabung yang menyelimuti gas yang mengalir ditengahnya.

Produk antara yang terbentuk dari hasil sulfonasi dengan reaktor ini dinamakan MESA (methyl ester sulfonate acid). Suhu umpan pada proses sulfonasi diatur konstan pada suhu 1000C dengan laju alir bahan dan SO3 diatur konstan. Kondisi proses yang digunakan pada tahap sulfonasi merujuk pada Watkins (2001) dan Sheats dan Foster (2003). Produk MESA yang dihasilkan kemudian dikaji pengaruhnya terhadap faktor bleaching dan netralisasi (faktor tahapan proses). Faktor tahapan proses ini meliputi MESA (tanpa bleaching dan netralisasi), dengan netralisasi dan dengan bleaching dan netralisasi. Kondisi proses yang digunakan pada tahap bleaching dan netralisasi merujuk pada penelitian tentang produksi MES skala pilot plant secara sinambung telah dilakukan oleh Chemiton Corporation di Amerika Serikat Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan satu faktor (tiga taraf). Ulangan dilakukan sebanyak dua kali. Model rancangan percobaannya adalah:

Yij = μ + Ai + εij Keterangan:

Yij = Nilai pengamatan akibat pengaruh faktor A taraf ke-i, pada ulangan ke-j

μ = Nilai rata-rata

(32)

19 Sifat fisiko kimia produk hasil proses yang ingin dianalisis dari rancangan percobaan ini meliputi viskositas, densitas, bahan aktif, bilangan asam, pH, dan bilangan iod.

Uji kinerja tegangan permukaan dan tegangan antarmuka (IFT) menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu tahapan proses dengan 3 taraf yaitu tanpa bleaching dan netralisasi (MESA), dengan netralisasi serta dengan bleaching dan netralisasi. Faktor kedua yaitu konsentasi surfaktan. Uji kinerja tegangan permukaan memiliki 4 taraf konsentrasi yaitu 0,1% ; 0,3% ; 0,5% dan 1% sedangkan tegangan antarmuka (IFT) memiliki 2 taraf konsentrasi yaitu 0,3% dan 1%. Model Rancangan percobaannya adalah:

Yijk = μ + Ai + Bj + ABij + εijk Keterangan:

Yijk = Nilai pengamatan akibat pengaruh faktor proses taraf ke-i, faktor konsentrasi taraf-j pada ulangan ke-k

μ = Nilai rata-rata

Ai = Pengaruh faktor tahapan proses pada taraf ke-i Bj = Pengaruh faktor konsentrasi pada taraf ke-j

ABij = Pengaruh interaksi antara faktor proses taraf ke-i dengan faktor konsentrasi taraf ke-j

εijk = Pengaruh kesalahan percobaan

(33)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis sifat fisiko-kimia CPO

Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Asian Agri Grup. Analisis sifat fisiko kimia CPO meliputi uji kadar air, bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan, fraksi tak tersabunkan, nilai FFA, komposisi asam lemak, densitas, dan viskositas. Hasil analisis CPO dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil analisa sifat fisiko kimia CPO

Karakteristik Satuan Nilai ± SD Rujukan

Bilangan Asam mg KOH/g minyak 9,26 ± 0,17 6,9 a

Nilai FFA % 4,66 ± 0,07 Max 0,5% b

Bilangan Penyabunan mg KOH/g minyak 206,44 ± 1,20 224-249 a

Densitas g/cm3 0,9097 ± 0,0003 0,900

Bilangan Iod mg iod/g minyak 51,4 ± 1,95 50-55 b Fraksi tak tersabunkan Fraksi massa 0,5 ± 0,06 -

Viskositas cP 110 -

Kadar Air % 0,16 Max 0,5 b

Sumber : a Hui (1996)

b SNI 01-2901-2006

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa minyak sawit kasar (CPO) yang digunakan pada penelitian ini memenuhi standar dari SNI (01-2901-2006) untuk nilai kadar air dan bilangan iod, namun tidak memenuhi untuk nilai FFA (Free Fatty Acid) dan bilangan asam.

(34)

21   

lemak bebas dan gliserol dalam reaksi hidrolisis. Hal ini juga menyebabkan nilai kadar asam lemak bebas atau Free Fatty Acid (FFA) dari hasil analisa memiliki nilai yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan SNI.

Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodin yang diserap oleh 100 gram minyak atau lemak. Bilangan iod bergantung kepada komposisi asam lemak penyusunan minyak/lemak ataupun produk turunannya. Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak atau lemak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau tidak jenuh (Ketaren,1986). Penetapan bilangan iod dilakukan untuk mengetahui keberhasilan adisi gugus sulfat ke dalam rantai lemak dan membentuk gugus sulfonat. Bilangan iod yang dianalisa memiliki nilai 51,4 mg iod/g minyak. Nilai ini sesuai dengan analisa Hui (1996) yaitu 44-54 mg iod/g minyak untuk nilai bilangan iod CPO.

Berdasarkan hasil analisa GC (Gas Chromatography), komponen asam lemak CPO memiliki rasio persentase yang hampir sama antara komponen asam lemak tak jenuh (ALTJ) dan asam lemak jenuh (ALJ). Komponen ALTJ tertinggi dari CPO yaitu asam oleat sebesar 39,32% sedangkan komponen ALJ tertinggi yaitu asam palmitat sebesar 42,63%. Nilai ini tidak berbeda jauh dari literatur menurut Hui (1996) sebesar 39,2% untuk asam oleat dan sebesar 44% untuk asam palmitat. Hasil analisa GC untuk komponen asam lemak dapat dilihat pada Lampiran 4.

B. Analisis Sifat Fisiko Kimia Metil Ester CPO

(35)

Gambar 5. Reaktor metil ester pilot plant sbrc dengan kapasitas 100 L

Metil ester CPO diproduksi melalui dua tahapan reaksi. Tahap pertama adalah reaksi esterifikasi dan kemudian dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi. Pada reaksi esterifikasi, CPO yang telah dianalisis nilai FFA-nya direaksikan dengan metanol dan digunakan H2SO4 sebagai katalis. Diketahui bahwa FFA CPO adalah sebesar 4,7%, maka ditambahkan metanol sebesar 10,5% dan H2SO4 0,23% terhadap total bahan baku CPO sehingga diperoleh reaksi yang sempurna. Reaksi esterifikasi dilakukan selama 1 jam dengan kecepatan 300-500 rpm pada suhu antara 50-60 0C. Tahapan ini bertujuan untuk mengubah asam lemak bebas (FFA) menjadi alkil ester (metil ester). Hasil akhir proses esterifikasi merupakan campuran metil ester dan trigliserida CPO. Setelah reaksi berhenti, campuran didiamkan hingga terjadi separasi antara campuran minyak dengan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) di bagian bawah dengan sisa alkohol, gum, serta sabun di bagian atas.

(36)

23   

Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan metil ester dua tahap

Transesterifikasi trigliserida diawali dengan protonisasi satu gugus karbonil pada molekul trigliserida menghasilkan senyawa intermediet II berupa senyawa karboksi. Bentuk karboksi kemudian akan bereaksi dengan alkohol membentuk senyawa intermediet III berupa molekul tetrahedral. Senyawa intermediet tetrahedral kemudian akan terpecah menjadi ester yang baru dan digliserida. Langkah ini terjadi berulang pada molekul digliserida dan molekul monogliserida (Schuchardt et al., 1998).

Proses esterifikasi kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi untuk menyempurnakan konversi trigliserida menjadi alkil ester. Proses transesterifikasi dilakukan dengan mereaksikan CPO setelah proses esterifikasi dengan 15%-v/v methanol. Reaksi transesterifikasi dipercepat dengan penambahan katalis KOH sebesar 1%-v/v. Reaksi transesterifikasi diawali dengan penyerangan ion alkoksida pada atom karbon gugus karbonil dalam molekul

(37)

24   

trigliserida menghasilkan senyawa intermediet berbentuk tetrahedral. Pada tahap kedua, senyawa intermediet ini akan terpecah menjadi metil ester dan anion digliserida. Anion digliserida kemudian akan bereaksi dengan metanol membentuk molekul digliserida. Molekul digliserida kemudian akan dikonversi menjadi molekul monogliserida dan gliserol melalui mekanisme yang sama.

Sifat fisiko kimia metil ester penting diketahui untuk mengetahui kesesuaian bahan baku untuk pembuatan metil ester sulfonat (MES) CPO. Pada Tabel 7 disajikan sifat fisiko kimia metil ester CPO yang dihasilkan.

Tabel 7. Sifat fisiko kimia metil ester CPO yang dihasilkan No Sifat fisiko kimia Satuan Nilai SNI (04-7182-2006)

1 Kadar air % 0,13 maks. 0,05

2 Bilangan asam mg KOH/g ME 0,32 maks. 0,8 3 Bilangan iod mg Iod/g ME 38,66 maks.115 4 Bilangan penyabunan mg KOH/g ME 204,52 -

5 FFA % 0,16 -

6 Densitas g/cm3 0,8725 0,850-0,890 (suhu 400C)

7 Viskositas cP 6 -

Berdasarkan data pada Tabel 7 di atas, dapat diperoleh informasi bahwa parameter densitas, bilangan asam dan bilangan iod masih memenuhi standar yang telah disyaratkan oleh SNI Bodiesel (04-7182-2006). Sifat fisiko kimia metil ester CPO juga relatif berbeda dengan sifat fisiko kimia bahan bakunya (CPO). Perubahan mencolok yang terjadi dengan proses trans-esterifikasi adalah adanya perubahan pada parameter bilangan asam, FFA dan viskositas. Bilangan asam metil ester CPO (0,32 mg KOH/g minyak) jauh lebih rendah dari bilangan asam CPO (9,26 mg KOH/g minyak) sedangkan nilai FFA berkurang menjadi 0,16% dari 4,66%. Terjadinya fenomena tersebut menunjukkan bahwa reaksi transesterifikasi bersifat menurunkan bilangan asam. Asam lemak merupakan komponen penyusun minyak dan terdeteksi sebagai bilangan asam. Dengan terjadinya penurunan bilangan asam tersebut maka asam lemak telah mengalami konversi menjadi ester (dalam hal ini metil ester).

(38)

25   

rantai cabang tiga (garpu) menjadi metil ester dengan rantai lurus. Hal ini membuat pergerakan antarmolekul menjadi semakin tinggi sehingga viskositasnya menjadi berkurang pada metil ester.

Salah satu kriteria yang penting dari metil ester CPO untuk pembuatan MES adalah kadar air. Semakin kecil kadar air metil ester maka semakin baik MES yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena kadar air dapat mempengaruhi proses sulfonasi. Kandungan air dalam bahan dapat bereaksi dengan SO3 saat proses sulfonasi dan membentuk asam sulfat (H2SO4). Gas SO3 berlebih ditambah dengan asam sulfat dalam reaksi dapat menyebabkan desulfonasi surfaktan. Desulfonasi mempengaruhi degradasi surfaktan di kemudian hari dimana surfaktan kehilangan komponen aktifnya. Menurut Rossen (1999), pada surfaktan yang mengandung gugus ester, degradasi berlangsung lebih cepat dimana surfaktan akan terurai menjadi alkohol dan asam. Kedua produk hasil degradasi ini sangat bersifat tidak aktif permukaan. Nilai kadar air dari metil ester yang dihasilkan yaitu 0,13% sedangkan SNI biodiesel mensyaratkan maksimum 0,05%. Hal ini disebabkan saat proses pengeringan metil ester berlangsung kurang sempurna sehingga masih terkandung air dalam senyawa metil ester. Selain itu juga proses penyimpanan hasil di tempat terbuka dapat mengakibatkan kadar airnya menjadi meningkat.

Densitas diukur dengan menggunakan piknometer menghasilkan nilai 0,8725 g/cm3, masih masuk dalam nilai rentang SNI sebesar 0,850-0,890 g/cm3. Terdapat penurunan densitas dari bahan bakunya CPO yaitu 0,9097 g/cm3. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi transesterifikasi mengurangi nilai densitas. Asam lemak (trigliserida) dari CPO dengan bobot molekul yang tinggi bertransformasi menjadi gliserin dan metil ester. Metil ester ini memiliki bobot molekul yang lebih rendah sehingga densitasnya lebih rendah.

(39)

Berdasarkan komposisi asam lemak penyusunnya yang mengandung asam lemak dominan C16 (asam lemak palmitat) dan C18 (asam lemak oleat), CPO merupakan bahan baku yang prospek untuk pembuatan MES. Menurut Hui (1996), C18 mempunyai daya deterjensi yang baik, sehingga metil ester C16-C18, minyak sawit merupakan sumber bahan baku yang tepat dan murah untuk produksi metil ester sulfonat (MES).

C. Analisis Fisiko kimia dan kinerja Metil Ester Sulfonat

Metil ester sulfonat pada penelitian ini dihasilkan dari proses sulfonasi metil ester CPO dengan reaktan gas SO3. Kondisi proses produksi surfaktan MES hingga tahap bleaching dan netralisasi merujuk pada Watkins (2001), Sheats dan MacArthur (2002), Sheats dan Foster (2003) serta adaptasi penelitian mengenai produksi MES skala pilot plant secara sinambung telah dilakukan oleh Chemiton Corporation di Amerika Serikat.

Proses sulfonasi metil ester dilakukan di dalam Singletube Film Sulfonation Reactor (STFR). Terdapat tiga reaksi yang terjadi dalam reaktor, yaitu : kontak antara fase gas dan liquid, penyerapan gas SO3 dari fase gas dan reaksi dalam fase liquid. Metil ester dipompakan ke head reactor, masuk ke liquid chamber dan mengalir turun membentuk liquid film dengan ketebalan tertentu yang dibentuk oleh corong head yang didisain khusus untuk keperluan ini. Reaktor STFR yang digunakan mempunyai panjang reaktor sekitar 6 meter dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Reaktor STFR (Single Tube Film Sulfonation Reactor) untuk sulfonasi

(40)

27   

+ SO3 (II)

Reaksi sulfonasi pada penelitian ini memiliki parameter yang dijaga antara lain: (a) Rasio mol SO3 terhadap metil ester adalah 1,2 – 1,8, (b) Temperatur inlet diatur pada suhu 1000C sehingga kontak reaksi terjadi sekitar suhu 80 - 85 0C, (c) Konsentrasi SO3 dalam aliran 5% - 6%. Konsentrasi gas SO3 yang dihasilkan dari pabrik H2SO4 pada lokasi penelitian adalah sekitar 26%. Untuk proses sulfonasi, gas SO3 yang dibutuhan hanya 5-7%. Oleh karena itu, gas SO3 didilusikan dengan udara kering. Udara kering ini berfungsi untuk mengencerkan gas SO3 yang pekat.

Tiga tahapan reaksi yang disebut sebelumnya yaitu kontak antara fase gas dan liquid, penyerapan gas SO3 dari fase gas dan reaksi dalam fase liquid. Mekanisme reaksi yang terjadi selama reaksi sulfonasi dapat dijelaskan pada Gambar 8 berikut (dalam hal ini dijelaskan dengan menggunakan salah satu asam lemak penyusun yang dominan dari ME CPO yaitu asam lemak oleat).

(I) + SO3 (II)

Gambar 8. Mekanisme reaksi pembentukan MESA (MacArthur et al., 1996) Metil ester CPO (I) dalam hal ini menggunakan senyawa asam lemak yang dominan yaitu oleat C18 bereaksi dengan gas SO3 membentuk senyawa intermediet (II), pada umumnya berupa senyawa anhidrad. Dalam kondisi reaksi yang setimbang, senyawa intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk senyawa intermediet (III). Selanjutnya, senyawa intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi dengan melepaskan gugus SO3 (yang bukan terikat pada gugus alfa) sehingga menjadi senyawa (IV). Kemudian setelah gugus SO3 terikat pada gugus alfa, gugus SO3 berikutnya terikat pada rantai rangkap lalu diikuti dengan gugus SO3 yang terikat pada gugus karboksil.

Pada mekanisme reaksi ini, lokasi terjadinya proses sulfonasi adalah pada bagian α-atom karbon. Menurut Jungermann (1979), terdapat tiga lokasi terjadinya reaksi sulfonasi molekul ester dengan basis asam lemak yaitu (1) gugus

CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)7‐(C‐OCH3):SO3  O 

CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)7‐C‐OCH3  O 

(41)

28   

O

karboksil; (2) bagian α-atom karbon; (3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap). Kemungkinan terikatnya pereaksi SO3 dalam proses sulfonasi dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Adaptasi dari Jungermann, 1979)

Penambahan gugus SO3 pada ikatan alfa terjadi lebih dahulu karena karbokation gugus alfa lebih stabil dibandingkan dengan karbokation dengan ikatan rangkap dan karbokation pada gugus karboksil. Setelah penambahan gugus SO3 pada ikatan alfa, baru terjadi penambahan gugus SO3 yang memecah ikatan rangkap, kemudian dilanjutkan dengan penambahan gugus SO3 pada gugus karboksil seperti pada senyawa (IV). Hal ini sesuai dengan aturan Markonikov (Hart et al., 2003), yaitu reaksi adisi terjadi lebih dahulu pada karbokation yang stabil karena reaksi pada karbokation stabil membutuhkan energi yang lebih rendah sehingga lebih mudah terjadi dibandingkan dengan yang tidak stabil seperti pada ikatan rangkap.

Penampakan visual secara fisik, MESA yang terbentuk berwarna hitam dengan viskositas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan metil ester. Berikut disajikan Gambar 10, Metil Ester Sulfonat Acid (MESA) yang dihasilkan dari proses sulfonasi dengan gas SO3.

(42)

Gambar 10. Metil Ester Sulfonat Acid (MESA) hasil sulfonasi

Selanjutnya MESA hasil proses sulfonasi dibleaching dan netralisasi. Kondisi proses ini masih merujuk pada Sheats dan Foster (2003) serta penelitian tentang MES oleh Chemiton Amerika Serikat. Proses pemucatan (bleaching) dilakukan dengan mencampurkan MESA dengan pelarut metanol 31% (v/v, MESA basis) dan H2O2 50% sekitar 4% (v/v, MESA basis) pada suhu 95 - 100 0C selama 1-1,5 jam. Selanjutnya secara kontinyu dinetralisasi hingga mencapai nilai pH 6,5 – 7,5. Proses netralisasi dilakukan dengan mencampurkan bleached MES dengan pelarut NaOH 50% pada suhu 55 0C.

Penampakan visual secara fisik, MES yang telah melalui proses pemucatan dan netralisasi memiliki warna yang lebih cerah dengan viskositas yang lebih tinggi dari metil ester dan MESA. Gambar MES yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. MES hasil netralisasi (kiri) dan hasil bleaching-netralisasi (kanan)

1. Tegangan Antarmuka/IFT (Inter Facial Tension)

Dua cairan yang tidak saling mencampur cenderung bergabung dengan fasa yang sama, bagian yang hidrofilik akan bergabung dengan bagian

(43)

hidrofilik dan bagian hidrofobik akan bergabung dengan hidrofobik. Batasan antara dua fasa yang tidak saling bercampur itu disebut antarmuka (Rosen, 1999).

Tegangan antar muka didefinisikan sebagai tegangan yang terbentuk pada lapisan antarmuka dalam campuran dua zat yang tidak saling bercampur (immiscible). Lapisan antarmuka terbentuk karena gaya antarmolekul dalam satu fasa berusaha untuk saling berikatan secara lebih kuat (gaya kohesi) daripada gaya adhesi. Pada Gambar 12 berikut dapat dilihat ilustrasi yang menggambarkan fenomena tersebut. Akibat tidak bercampurnya dua macam zat (cairan) maka terbentuklah sudut kontak. Surfaktan bekerja dengan cara menurunkan gaya kohesi tersebut sehingga sudut kontak menjadi lebih kecil. Pada Gambar 13 berikut diperlihatkan ilustrasi yang menggambarkan kinerja surfaktan dengan memperkecil sudut kontak antara dua macam zat yang tidak saling bercampur.

 diletakkan pada suatu   (gaya 

Penambahan  surfaktan  akan menurunkan tegangan antarmuka TANPA SURFAKTAN  PENAMBAHAN SURFAKTAN    Cairan ketika permukaan/fasa cairan kuat kohesi  pada

Gambar 12. Ilustrasi penambahan surfaktan yang mengurangi tegangan antarmuka dan permukaan

Gambar 13. Efek penambahan surfaktan dalam sistem (memperkecil sudut kontak) dari gambar A ke B dan C pada permukaan S

30   

θ  θ

(44)

31   

Analisis tegangan antarmuka dilakukan dengan menggunakan alat spinning drop tensiometer. Penggunaan spinning drop tensiometer ini dilakukan karena tesiometer ini mampu mengukur tegangan antarmuka yang rendah (µN/m). Prinsip pengukuran tegangan antarmuka dengan metode spinning drop adalah dengan menginjeksikan tetes cairan sampel dalam tabung yang berisi cairan yang tidak bercampur dengan cairan sampel dengan densitas yang lebih tinggi. Ketika tabung diputar pada bagian panjangnya, tetes sampel terdorong ke tengah akibat gaya sentrifugal sehingga bentuknya menjadi memanjang. Tegangan antarmuka diukur dari kecepatan angular tabung dan bentuk (panjang dan diameter) dari tetes sampel yang ada dalam tabung (Farn, 2006).

Pengukuran tegangan antarmuka (IFT) pada penelitian ini menggunakan surfaktan dengan dua konsentrasi (0,3% dan 1%) yang dilarutkan ke dalam air formasi dengan salinitas 30.000 ppm. Salinitas adalah konsentrasi total ion-ion (Na+, K+, Ca2+, Mg2+, NO3-, Cl-, HCO3-, SO42-) yang ada di air (Boyd, 1982). Penggunaan salinitas 30.000 ppm dikarenakan sebagian reservoir mengandung salinitas 20.000 ppm dan bahkan bisa mencapai sekitar 65.000 ppm (SPE, 2004).

Dari hasil analisa statistik diperoleh gambaran bahwa sampel yang diuji memiliki nilai IFT terendah 0,0145 mN/m dan IFT tertinggi adalah 0,1438 mN/m. Nilai terendah tersebut diperoleh pada perlakuan tahapan proses Netralisasi dengan konsentrasi sebesar 0,3%, sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan tahapan proses Bleaching-Netralisasi dengan konsentrasi sebesar 1%.

(45)

diketahui bahwa faktor tahapan proses berpengaruh nyata terhadap nilai tegangan antarmuka/IFT sedangkan konsentrasi surfaktan dan interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai IFT.

Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat apakah setiap taraf dari faktor tahapan proses berbeda secara signifikan atau tidak. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa faktor tahapan proses netralisasi berbeda nyata dengan faktor yang lain (MESA dan bleaching-netralisasi) sementara tahapan proses MESA tidak berbeda nyata dengan bleaching-netralisasi. Data hasil pengukuran dan analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 5.

Hasil pengukuran tegangan antarmuka disajikan dalam bentuk histogram seperti yang ditampilkan pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat bahwa hanya perlakuan MESA yang mengalami penurunan nilai tegangan antarmuka. Penurunan dari konsentrasi 0,3% ke 1% pada MESA sebesar 54,5%. Namun pada perlakuan Netralisasi dan Bleaching-Netralisasi terjadi kenaikan nilai tegangan antarmuka, padahal menurut Farn (2006), kenaikan konsentrasi akan meningkatkan jumlah molekul surfaktan dan menurunkan tegangan permukaan.

Gambar 14. Histogram pengaruh konsentrasi surfaktan dan tahapan proses terhadap nilai tegangan antarmuka (MESA= Tanpa bleaching dan netralisasi, N= Netralisasi, BN= Bleaching-Netralisasi)

(46)

33   

2. Tegangan Permukaan

Tegangan permukaan merupakan batas antara dua fasa yang berbeda antara air dan udara. Gaya tarik menarik antara molekul cairan adalah sama ke segala arah. Hal ini tidak berlaku bagi molekul cairan yang berada di permukaan. Molekul yang berada di permukaan mempunyai energi potensial lebih besar dibanding molekul yang berada di dalam karena molekul-molekul tersebut berikatan lebih erat. Hal ini membuat bagian atas membutuhkan kerja yang lebih besar untuk menarik ke dalam cairan (Rosen, 1999). Molekul air yang cenderung untuk tertarik pada sesama molekul air disebut gaya kohesi. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya tegangan permukaan (Suryani et al., 2003 dan Farn, 2006).

Tegangan permukaan, disebut juga energi bebas permukaan, didefinisikan sebagai usaha minimum yang dibutuhkan utuk memperluas permukaan cairan per satuan luas (Rosen, 1999 dan Shaw, 1980). Bird (1993) menyatakan Satuan tegangan permukaan sama dengan tegangan antarmuka yaitu dinyatakan dalam dyne/cm atau erg/m2. Dalam satuan SI dinyatakan dalam N/m. kedua besaran tersebut saling berhubungan dengan 1 dyne/cm = 1 mN/m.

Tegangan permukaan ini diukur dengan menggunakan alat tensiometer Du Noy seperti yang disarankan oleh Parkinson (1985). Metode tensiometer cincin Du Noy dilakukan dengan merendam cincin platina dengan diameter kawat 0,3 mm dan berdiameter cincin 2,4 atau 6 sentimeter pada cairan. Cincin tersebut kemudian diangkat melewati permukaan cairan yang diukur. Tegangan permukaan memberikan gaya pada cincin sehingga berat cincin meningkat. Gaya vertikal maksimum yang diberikan untuk mengangkat cincin hingga terlepas dari permukaan cairan itulah yang diukur sebagai nilai tegangan permukaan (Farn, 2006).

(47)

terendah tersebut diperoleh pada perlakuan tahapan proses Bleaching-Netralisasi dengan konsentrasi sebesar 1%, sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan tahapan proses MESA (tanpa bleaching-netralisasi) dengan konsentrasi sebesar 0,1%.

Dari hasil analisa keragaman (ANOVA) dengan selang kepercayaan 95% (α = 0,05) diketahui bahwa faktor tahapan proses dan konsentrasi surfaktan berpengaruh nyata terhadap nilai tegangan permukaan sedangkan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai tegangan permukaan.

Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat apakah setiap taraf dari faktor tahapan proses dan konsentrasi surfaktan berbeda secara signifikan atau tidak. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa faktor tahapan proses bleaching-netralisasi berbeda nyata dengan MESA tetapi tidak berbeda nyata dengan tahapan proses netralisasi. Hasil uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi surfaktan menunjukkan konsentrasi 1% berbeda secara nyata dengan konsentrasi 0,1% namun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 0,3% dan 0,5 %. Analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil disajikan dalam bentuk histogram seperti yang ditampilkan pada Gambar 15 berikut.

Gambar 15. Histogram pengaruh konsentrasi surfaktan dan tahapan proses terhadap nilai tegangan permukaan (MESA= Tanpa bleaching dan netralisasi, N= Netralisasi, BN= Bleaching-Netralisasi)

(48)

35   

Dari grafik histogram terlihat bahwa dengan semakin bertambah konsentrasi surfaktan maka nilai tegangan permukaan juga semakin menurun. Menurunnya tegangan permukaan ini diakibatkan oleh semakin banyaknya molekul surfaktan. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan maka semakin banyak molekul surfaktan yang terbentuk.

Semakin banyak molekul surfaktan yang terbentuk dapat membuat tegangan permukaan semakin menurun. Semakin banyaknya molekul surfaktan, maka gaya kohesi air akan menurun. Molekul-molekul surfaktan mempunyai kecenderungan untuk berada pada permukaan sebuah cairan. Akibat dari adanya surfaktan adalah secara signifikan menurunkan jumlah total kerja untuk memperluas permukaan karena molekulnya mengikat fasa polar, yaitu air, dan non-polar, yaitu udara (Farn, 2006).

Gugus hidrofilik MES adalah gugus sulfonat. Menurut Myers (2006) gugus ini merupakan gugus anionik. Gugus sulfonat yang berikatan dengan metil ester inilah yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Semakin banyak gugus sulfonat yang bereaksi dengan metil ester, maka semakin banyak molekul surfaktan yang terbentuk dan semakin tinggi kemampuannya untuk menurunkan tegangan permukaan.

3. Nilai CMC

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah menentukan critical micelle concentration (CMC) dari MES yang dihasilkan. Pada konsentrasi yang cukup tinggi, molekul-molekul surfaktan akan beragregat membentuk sebuah struktur melingkar yang disebut micelle, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi keluar micelle. Agregasi molekul surfaktan didorong oleh adanya gaya Van der Waals yang terjadi sepanjang ekor lipofilik dan gaya tolak ionik dari gugus hidrofilik. Ilustrasi pembentukan micelle dapat dilihat pada Gambar 16. Pada kondisi tersebut konsentrasi surfaktan disebut dengan critical micelle concentration (CMC).

(49)

penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah (Schueller dan Romanousky, 1998). Grafik hubungan antara konsentrasi surfaktan dengan tegangan permukaan dan antar muka cairan disajikan pada Gambar 17.

Gambar 16. Ilustrasi Pembentukan Micelle (Hargreaves, 2003) micelle  Gaya Van der Waals  Gaya tolak ionik  CMC Tegangan  Permukaan  Dan Antar  muka  Tegangan Permukaan  Tegangan Antar muka  Konsentrasi Surfaktan 

Gambar 17. Grafik Hubungan antara Konsentrasi Surfaktan dengan Tegangan Permukaan dan Antarmuka Cairan (Tadros, 1992)

Pengukuran nilai CMC diperoleh dengan mengukur tegangan permukaan. Surfaktan MES yang ditambahkan dengan berbagai konsentrasi hingga tegangan permukaan tidak lagi mengalami penurunan dan stabil. Hasil pengukuran tegangan permukaan pada surfaktan MESA memiliki nilai CMC yaitu 2,75%, surfaktan MES (Netralisasi) yaitu 3,5% dan surfaktan MES (Bleaching-Netralisasi) yaitu 2,6%. Hasil pengukuran CMC untuk surfaktan MESA, Netralisasi dan Bleaching-Netralisasi dapat dilihat pada Gambar 18. Data hasil pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 7.

(50)

Gambar 18. Grafik tegangan permukaan surfaktan (MESA= Tanpa bleaching dan netralisasi, N= Netralisasi, BN= Bleaching-Netralisasi)

4. Bahan aktif

Bahan aktif merupakan salah satu mutu yang dinilai dari banyak surfaktan. Kinerja surfaktan mempunyai korelasi yang nyata pada kadar bahan aktif. Semakin banyak bahan aktif sebuah surfaktan maka akan semakin baik kinerjanya. Menurut Cox dan Weerasooriya (1997), Industri surfaktan menjadikan pengujian bahan aktif sebagai salah satu standar kualitas untuk menilai surfaktan lolos uji kualitas atau tidak.

Prosedur yang digunakan untuk menguji kadar bahan aktif yang diterima secara universal adalah metode titrasi dua fasa, atau sering dikenal dengan metode epton. Menurut Stache (1995) prinsip dasar dari uji ini adalah titrasi bahan aktif anionik menggunakan cetylpiridinium bromide, yang merupakan salah satu jenis surfaktan kationik. Indikator yang digunakan adalah methylen blue. Campuran surfaktan dengan indikator ditambahi kloroform sehingga tercipta dua fasa yaitu fasa kloroform di bagian bawah dan fasa larutan surfaktan dan methylen blue yang berada di bagian atas. Bahan aktif yang larut pada methylen blue akan memberikan warna biru pekat pada larutan surfaktan. Langkah selanjutnya adalah dititrasi dengan surfaktan kationik. Dalam proses titrasi ini warna biru akan berpindah ke fasa kloroform hingga warna dua fasa tersebut seragam. Bila titrasi diteruskan maka fasa kloroform akan menjadi lebih pucat lalu lama-kelamaan akan menjadi bening.

Dari hasil analisa keragaman (ANOVA) dengan selang kepercayaan 95% (α = 0,05) diketahui bahwa faktor tahapan proses berpengaruh nyata terhadap nilai bahan aktif. Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat apakah setiap taraf dari faktor tahapan proses berbeda secara signifikan atau tidak.

Gambar

Gambar 1. Bagian–bagian buah kelapa sawit  2.  Metil Ester
Gambar 3. Pengolahan metil ester lebih lanjut menjadi oleokimia  (Darnoko et al., 2001; Matheson, 1996)
Gambar 5. Reaktor metil ester pilot plant sbrc dengan kapasitas 100 L  Metil ester CPO diproduksi melalui dua tahapan reaksi
Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan metil ester dua tahap
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Tujuan dari Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus yang Berorientasi Profesional adalah untuk memberikan kualifikasi yang berbasis penelitian dan berorientasi karir untuk

Namun, penting bagi kita untuk memahami bahwa kita perlu menetapkan standar tolak ukur perilaku untuk melindungi reputasi dan kelangsungan finansial perusahaan kita.Semua prinsip

Simpanan zat besi yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk sel- sel darah merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di bawah

Terbukti perhitungan manual dengan metode moving averages memiliki hasil akhir yang sama dengan aplikasi untuk periode akan datang pada bulan 1 tahun 2013 dengan hasil

Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa prosedur penelitian terbagi ke dalam 5 tahap yakni; (1) Karakterisasi kimia buah vanili segar dan kering, (2) Penentuan suhu inkubasi

Namun berdasarkan analisa data menunjukan bahwa semakin baik informasi dari keluarga mengenai menstruasi belum berarti semakin baik pula pengetahuan remaja putri tentang menstruasi,

Upaya – upaya yang telah dilakukan untuk pemenuhan standar dimaksud melalui kerjasama operasional dengan Universitas Hasanuddin Makasar serta Universitas Sam