• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formula merupakan suatu bentuk tetap, yang dalam hal ini dapat diartikan sebagai komponen-komponen tetap yang menyusun suatu produk. Untuk membuat sebuah formula maka perlu dilakukan formulasi atau rancangan dari formula. Oleh karena itu, rancangan formula emulsi VCO penting dilakukan untuk memperoleh formula yang akan digunakan dalam produk.

Tahap awal dalam rancangan formula emulsi VCO adalah menentukan jenis emulsifier yang akan digunakan pada tahap selanjutnya. Jenis emulsifier yang digunakan adalah lesitin kedelai dan polysorbate 80 yang dicoba secara terpisah pada berbagai rasio minyak dan air, yaitu 6 : 4, 7 : 3, dan 8 : 2. Pemilihan perbandingan minyak dan air tersebut dikarenakan semakin tinggi konsentrasi minyak (VCO), maka semakin tinggi pula kadar medium chain triglycerides (MCTs), seperti asam laurat, asam kaprat, dan komponen fungsional lainnya pada produk sehingga kualitas produk pun semakin baik.

Penstabil berupa skim ditambahkan sebanyak 8% sehingga dapat diketahui interaksi antara skim dan emulsifier. Konsentrasi skim tersebut dipilih berdasarkan konsentrasi maksimum yang efektif digunakan untuk menstabilkan minyak nabati (Sutrisno, 1987). Gambar 8 menunjukkan hasil pengamatan terhadap produk emulsi dengan menggunakan emulsifier yang berbeda.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tingkat kestabilan secara visual, maka emulsi dengan menggunakan emulsifier lesitin menunjukkan tingkat kestabilan yang berbeda untuk setiap rasio minyak dan air. Pada rasio minyak dan air 7 : 3, emulsi dapat stabil selama lebih dari 3 hari dengan tingkat kekentalan yang sangat tinggi. Namun, hasil pengamatan terhadap emulsi pada rasio minyak dan air 8 : 2 menunjukkan bahwa emulsi hanya stabil selama beberapa detik dengan intensitas pemisahan yang tinggi dan memiliki tingkat kekentalan yang sangat rendah. Begitu pula dengan emulsi

mengalami proses sedimentasi pada hari pertama penyimpanan, yaitu terjadinya pengendapan susu skim yang disertai pemisahan minyak dan air pada hari kedua penyimpanan.

Gambar 8. Tingkat kestabilan emulsi VCO berdasarkan jenis emulsifier yang digunakan

Emulsi yang dihasilkan dengan menggunakan emulsifier polysorbate 80 menunjukkan pula perbedaan tingkat kestabilan pada beberapa rasio minyak dan air. Hasil pengamatan secara visual terhadap emulsi pada rasio minyak dan air 6 : 4 menunjukkan ketidakstabilan yang secara jelas ditandai dengan terpisahnya komponen minyak dan air pada hari kedua penyimpanan dan memiliki tingkat kekentalan yang sangat rendah. Berbeda halnya dengan emulsi pada rasio minyak dan air 7 : 3 yang dapat stabil selama lebih dari 3 hari dan memiliki tingkat kekentalan yang agak rendah. Begitu pula dengan emulsi pada rasio minyak dan air 8 : 2 yang dapat stabil selama lebih dari 3 hari dengan tingkat kekentalan emulsi yang agak tinggi.

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, maka polysorbate 80 memberikan kestabilan yang lebih baik pada berbagai rasio minyak dan air yang dicoba. Hal ini didukung pula dengan penelitian Surfiana (2002) yang menunjukkan bahwa polysorbate 80 dapat menstabilkan emulsi dari minyak sawit merah selama lebih dari 30 hari dengan perbandingan minyak dan air sekitar 7 : 3. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Saputra (1996) menunjukkan bahwa polysorbate 80 sesuai untuk menstabilkan emulsi dari

0 1 2 3 4 Lesitin Polysorbate 80 Jenis Emulsifier Kest ab il an S ecara V isu al (H a ri ) 6 : 4 7 : 3 8 : 2

minyak sawit merah pada rasio minyak dan air yang tinggi, yaitu 7 : 3 dan 8 : 2. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ismail (1980) menunjukkan bahwa polysorbate 80 lebih efektif menstabilkan emulsi pasta santan kelapa dibandingkan dengan gliserol monostearat (GMS).

Akan tetapi, produk tetap terasa agak pahit yang berasal dari polysorbate 80. Dengan demikian, pada tahap selanjutnya digunakan polysorbate 80 dengan konsentrasi yang lebih rendah, yaitu 0.25%.

Setelah ditentukan jenis emulsifier yang akan digunakan, maka perlu dilakukan penetapan rasio minyak dan air yang dilakukan dengan menggabungkan seluruh komponen yang terdiri atas minyak dan air dengan berbagai rasio, skim, fruktosa, sitrat, laktat, polysorbate 80, flavor, BHT, dan natrium benzoat dengan persentase keseluruhan untuk masing-masing formula sebesar 100%. Konsentrasi bahan tambahan lain tetap sehingga terdapat 3 kombinasi formula yang diuji.

Penentuan rasio minyak dan air dilakukan dengan uji kesukaan berdasarkan overall atribut dengan skala 1-7 terhadap panelis terbatas. Gambar 9 menunjukkan hasil dari uji organoleptik yang dilakukan terhadap 8 penelis.

Gambar 9. Skor kesukaan terhadap emulsi VCO pada berbagai rasio minyak dan air

Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa sampel dengan rasio minyak dan air 8 : 2 mendapat skor tertinggi, yaitu 5.9 yang berarti agak suka hingga

0 1 2 3 4 5 6 7 6 : 4 7 : 3 8 : 2

Rasio Minyak dan Air

S k o r k esu kaa n

berarti antara netral hingga agak suka. Berdasarkan skor kesukaan tertinggi, maka rasio minyak dan air 8 : 2 akan digunakan pada tahap selanjutnya.

Untuk mendukung kestabilan emulsi, maka digunakan skim yang banyak mengandung protein susu yang berperan penting dalam menurunkan tegangan permukaan (Ennis dan Mulvihill, 2000). Hal ini dikarenakan protein tersusun atas molekul yang bersifat hidrofilik (histidin, serin, arginin, asam aspartat) dan hidrofobik (tryptophan, fenilalanin, prolin, leusin) (Dalgleish, 2001). Selain itu, skim dapat mempengaruhi karakteristik mouthfell maupun rasa. Oleh karena itu, skim merupakan salah satu variabel yang akan diuji dalam tahap optimasi formula. Berikut ini hasil pengamatan terhadap kestabilan emulsi yang dilakukan secara subjektif melalui pengamatan secara visual.

Gambar 10. Tingkat kestabilan emulsi VCO pada berbagai konsentrasi skim

Konsentrasi skim yang digunakan dalam penentuan batas minimum dan maksimum adalah 2%, 4%, 6%, 8%, dan 10%. Namun, skim dengan konsentrasi 10% tidak dilakukan uji kestabilan karena produk tidak homogen selama tahap homogenisasi. Hal ini dikarenakan produk terlalu kental sehingga bahan-bahan lain tidak dapat tercampur dengan baik.

Hasil uji kestabilan menunjukkan bahwa skim dengan konsentrasi 2% hanya dapat menstabilkan emulsi selama 2 hari. Kestabilan emulsi terus meningkat dengan meningkatnya konsentrasi skim. Menurut Ennis dan Mulvihill (2000), protein susu dapat meningkatkan area permukaan lemak

0 5 10 15 20 25 30 35 2% 4% 6% 8% Konsentrasi Skim Kes tab il a n S e cara V isu al (H a ri )

yang berarti menurunkan ukuran globula sehingga dapat mencegah terjadinya agregasi yang menyebabkan ketidakstabilan emulsi. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, maka konsentrasi skim yang dapat menstabilkan emulsi selama 30 hari adalah 6% dan 8% sehingga akan digunakan sebagai batas minimum dan maksimum pada tahap optimasi formula dengan DX 7.

Selain komponen-komponen yang berperan penting dalam meningkatkan kestabilan produk, maka perlu adanya komponen yang berperan penting dalam meningkatkan palatabilitas produk. Salah satu komponen yang dapat meningkatkan palatabilitas produk adalah pemanis. Jenis pemanis yang digunakan adalah fruktosa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini fruktosa digunakan sebagai salah satu variabel uji dalam rancangan formula karena dapat mempengaruhi mutu organoleptik.

Konsentrasi fruktosa yang dicoba dalam penentuan batas minimum dan maksimum adalah 6%, 8%, 10%, 12%, dan 15%. Pada konsentrasi fruktosa sebesar 8%, 10%, dan 12%, rasa manis mulai terasa. Konsentrasi fruktosa 15% sudah terasa sangat manis. Dengan demikian, batas minimum dan maksimum penggunaan fruktosa adalah 8%-12%.

Mengingat banyaknya kandungan nutrisi dalam produk emulsi VCO seperti protein, lemak, dan karbohidrat yang dapat dimanfaatkan oleh pertumbuhan mikroba, maka perlu dilakukan proses termal terhadap produk akhir yang telah dikemas. Jenis proses termal yang dilakukan adalah pasteurisasi yang efektif dalam membunuh mikroba patogen (Wilbey, 1999). Karena produk dikemas dalam botol, maka diterapkan pasteurisasi dalam botol, yaitu memanaskan produk pada suhu 63-65.5oC selama 30 menit (Block, 1983). Akan tetapi, produk yang telah dipasteurisasi umumnya masih mengandung mikroba lain, seperti Lactobacillus, kapang, dan khamir serta bakteri pembentuk spora (Wilbey, 1999). Oleh karena itu, diperlukan teknik pengawetan lain untuk mengoptimalkan penghambatan pertumbuhan mikroba. Teknik pengawetan lain yang dilakukan adalah penggunaan natrium benzoat sebagai bahan pengawet. Cahyadi (2006) mengemukakan bahwa natrium benzoat berbentuk serbuk berwarna putih, tidak berbau, stabil di udara, dan mudah larut dalam air sehingga dalam proses pembuatan emulsi

VCO, natrium benzoat dilarutkan terlebih dahulu dalam air. Konsentrasi natrium benzoat yang ditambahkan pada produk emulsi VCO disesuaikan dengan konsentrasi maksimum yang diperbolehkan oleh Dirjen POM dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88, yaitu sebesar 1 g/kg (Cahyadi, 2006).

Natrium benzoat dipilih sebagai pengawet karena pada pH rendah natrium benzoat efektif dalam mengatasi bakteri pembentuk spora, bakteri asam laktat, kapang, dan khamir (Ogbadu, 1999). Selain itu, meskipun natrium benzoat sangat larut (Cahyadi, 2006) dan bekerja efektif dalam fase air, pengawet ini dapat efektif pula pada pangan yang mengandung fase air dan minyak sekaligus, seperti margarin maupun mentega (Ogbadu, 1999).

Ogbadu (1999) menyatakan bahwa efektifitas natrium benzoat didasarkan pada molekul yang tidak terdisosiasi (non-ionaized acid) yang meningkat seiring dengan menurunnya pH. Disosiasi konstan natrium benzoat terdapat pada pH 4.2, artinya terjadi kesetimbangan antara molekul yang tidak terdisosiasi dan yang terdisosiasi, sehingga semakin rendah pH akan semakin banyak molekul yang tidak terdiosiasi dan pengawet dapat bekerja lebih efektif. Oleh karena itu, produk emulsi VCO ini menggunakan natrium benzoat karena memiliki pH sekitar 4 akibat adanya penambahan asam sitrat dan asam laktat.

Asam sitrat merupakan asam organik lemah yang ditemukan pada buah citrus (Anonim, 2007 h) sehingga penggunaannya pada penelitian ini untuk mempertegas cita rasa jeruk. Penambahan asam juga berperan dalam meningkatkan kestabilan karena dapat meningkatkan viskositas. Hal ini dikarenakan interaksinya dengan skim. Namun, penggunaan asam dapat menurunkan kestabilan apabila tercapai titik isoelektrik (pI) protein, yaitu sekitar pH 4.6 untuk kasein (Ennis dan Mulvihill, 2000) dan pH 5 untuk whey (McClements, 1999).

Untuk mencapai pH dibawah pI serta meningkatkan kerja bahan pengawet, maka perlu penambahan asam sitrat dalam jumlah yang cukup banyak. Namun, asam sitrat memiliki rasa asam yang kuat sehingga perlu dikombinasi dengan jenis asam lain yang memiliki rasa asam lebih lembut,

yaitu asam laktat. Hasil uji pH dan karakteristik organoleptik pada berbagai tingkat keasaman dapat dilihat pada Tabel 9.

Berdasarkan hasil pengamatan, maka kisaran konsentrasi asam sitrat dan asam laktat yang akan digunakan pada tahap utama adalah 0.3%-0.4% dan 0.5%-0.7%. Kisaran konsentrasi tersebut dipilih berdasarkan pH produk, yaitu pH produk tidak ≥ 4.2. Hal ini dikarenakan pada pH 4.2 telah terjadi disosiasi konstan natrium benzoat (Ogbadu, 1999) serta berada dibawah pI dari kasein maupun whey (Ennis dan Mulvihill, 2000). Selain itu, penentuan batas minimum dan maksimum asam sitrat dan asam laktat didasarkan pada tingkat keasaman. Hal ini diperlukan untuk menentukan batas maksimum penggunaan asam sittat dan asam laktat, yaitu saat produk mulai terasa sangat asam.

Tabel 9. Hasil uji pH emulsi VCO pada berbagai konsentrasi asam

No Asam Sitrat Asam Laktat pH Karakteristik organoleptik 1 0.3% 0.4% 4.36 Agak asam 2 0.3% 0.5% 3.90 Asam 3 0.3% 0.6% 3.78 Asam 4 0.3% 0.7% 3.74 Sangat asam 5 0.3% 0.8% 3.64 Sangat asam 6 0.4% 0.5% 3.87 Asam

Untuk mendukung rasa asam akibat adanya penambahan asam sitrat dan asam laktat, maka produk ditambah dengan flavor buah dari kelompok buah citrus, yaitu jeruk. Jenis flavor yang digunakan adalah flavor emulsion colorized dan decolorized dengan konsentrasi sebesar 1.5%. Pemilihan konsentrasi tersebut didasarkan pada penelitian Surfiana (2002) mengenai produk emulsi minyak sawit.

Komponen lain yang perlu ditambahkan dalam produk minyak adalah antioksidan. Hal ini dikarenakan produk minyak sensitif terhadap keberadaan oksigen, cahaya, maupun panas yang dapat menyebabkan terjadinya

hidroksitoluen (BHT). Penambahan BHT pada produk emulsi VCO diperlukan sebagai antioksidan primer, yaitu suatu zat yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi oksidasi (Winarno, 1982).

Penambahan BHT pada produk emulsi VCO didasarkan pada batas maksimum penggunaan yang diizinkan oleh Dirjen POM dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88. Untuk jenis bahan pangan lemak dan minyak pangan, seperti minyak kacang dan minyak kelapa, maka batas maksimum penggunaan BHT adalah sebesar 200 mg/kg (Cahyadi, 2006).

Dokumen terkait