• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1. Masa Kerja - Lama (> 5 tahun)

6.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan KVP .1Debu total

6.3.3 Karakteristik Gaya Hidup

a. Hubungan antara aktifitas merokok dengan KVP pada operator SPBU di Kecamatan Ciputat tahun 2014

Merokok diketahui mengganggu efektifitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi. Produk asap rokok diketahui merangsang produksi mucus dan menurunkan pergerakan silia. Dengan demikian terjadi akumulasi ulkus yang kental dan terperangkapnya partikel atau mikroorganisme di jalan nafas, yang menurunkan pergerakan udara dan

meningkatkan risiko pertumbuhan mikroorganisme. Batuk-batuk yang terjadi pada para perokok (smoker’s cough) adalah usaha untuk mengeluarkan ulkus kental yang sulit didorong keluar dari saluran nafas. Infeksi saluran nafas bawah lebih sering terjadi pada perokok aktif dan pasif (Corwin, 2009).

Bahaya merokok bagi kesehatan telah diakui dan dibicarakan secara luas. Penelitian yang dilakukan para ahli memberikan bukti nyata adanya bahaya merokok bagi kesehatan si perokok dan bahkan pada orang di sekitarnya. Para ahli dari WHO menyatakan bahwa negara dengan aktifitas merokok yang telah meluas, maka kebiasaan itu mengakibatkan terjadinya 80%-90% kematian akibat kanker paru di seluruh negara tersebut, 75% dari kematian akibat brokitis, 40% kematian akibat kanker kandung kencing dan 25% kematian akibat penyakit jantung iskemik serta 18% kematian pada stroke (Aditama, 1997).

Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran pernafasan dan jaringan paru. Aktifitas merokok akan mempercepat penurunan faal paru. Penurunan volume ekspirasi paksa per tahun adalah 28,7 mL untuk non perokok, 38,4 mL untuk bekas perokok dan 41,7 mL untuk perokok aktif (Anshar, 2005).

Dari hasil yang diperoleh pada operator SPBU yang melakukan aktifitas merokok dan ada gangguan KVP sebesar 86,4% (20 dari 23 responden), sedangkan operator SPBU yang tidak merokok namun ada gangguan KVP sebesar 55% (10 dari 9 responden). Berdasarkan hasil uji

statistik didapatkan nilai P-value sebesar 0,035 yang artinya pada α 5%

terdapat hubungan yang signifikan antara aktifitas merokok dengan KVP pada operator SPBU di Kecamatan Ciputat Tahun 2014.

Hal ini sejalan dengan penelitian Budiono (2007) tentang gangguan fungsi paru pada pekerja pengecatan mobil di Semarang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara aktifitas merokok dengan kapasitas vital paru.

Menurut Suyono (2001) asap rokok mengiritasi paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah. Merokok lebih merendahkan kapasitas vital paru dibandingkan beberapa bahaya kesehatan akibat kerja. Depkes RI (2003) menyatakan bahwa pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari pada pengaruh debu hanya sekitar sepertiga dari pengaruh buruk rokok.

Hal tersebut terdapat pada tabel 5.8 dimana ada sebagian besar pekerja yang tidak merokok tetapi mengalami gangguan, disini terbukti bahwa asap rokok dapat membahayakan kesehatan. Hal ini disebabkan asap rokok akan menghilangkan bulu-bulu silia di saluran pernafasan yang berfungsi sebagai penyaring udara yang masuk dalam pernafasan (Faidawati, 2003). Perokok pasif atau second hand smoke (SHS) istilah pada orang lain bukan perokok, terpapar asap rokok secara tidak sadar dari perokok aktif. Untuk menghindari gangguan kapasitas vital paru sebaiknya para pekerja yang merokok, untuk berhenti merokok karena asap rokoknya juga memberikan efek negatif untuk dirinya dan bagi pekerja yang tidak merokok.

Sebaiknya pekerja dapat menghentikan aktifitas merokok guna menjaga kesehatannya dengan menerapkan gaya hidup yang sehat untuk kualitas hidup yang lebih berkualitas dan produktif. Perusahaan membuat program yang berkaitan dengan kesehatan, sehingga meningkatkan kinerja dan produktifitas pekerja.

b. Hubungan antara aktifitas olahraga dengan KVP pada operator SPBU di Kecamatan Ciputat tahun 2014

Aktifitas olahraga akan mempengaruhi kapasitas vital paru. Latihan fisik sangat berpengaruh terhadap sistem kembang pernafasan. Aktifitas olahraga akan memberikan manfaat dalam meningkatkan kerja organ khususnya paru-paru, jantung dan pembuluh darah ditandai dengan denyut nadi istirahat menurun, kapasitas vital paru bertambah, penumpukan asam laktat berkurang, meningkatkan High Density Lipoprotein (HDL) kolesterol dan mengurangi aterosklerosis. Secara umum semua cabang olahraga, permainan dan aktifitas fisik membantu meningkatkan kebugaran fisik, namun tergantung dari jenis olahraga yang dilakukan (Mengkidi, 2006).

Aktifitas olahraga akan meningkatkan kapasitas vital paru sebesar 30% - 40% (Guyton, 1997). Latihan fisik yang teratur atau olahraga yang rutin sesuai dengan anjuran yang diperbolehkan sesuai kemampuan fisik dapat meningkatkan faal paru. Olahraga yang teratur akan terjadi peningkatan kesegaran dan ketahanan fisik yang optimal, pada saat latihan terjadi kerjasama berbagai otot, kelenturan otot, kecepatan reaksi, ketangkasan

koordinasi gerakan dan daya tahan system kardiorespirasi. KVP dan olahraga mempuyai hubungan yang timbal balik, gangguan KVP dapat mempengaruhi kemampuan olahraga (Hadi, 2003).

Dari hasil yang diperoleh pada operator SPBU yang tidak berolahraga dan mengalami gangguan KVP sebesar 76,5% (13 dari 17 responden), sedangkan operator SPBU yang berolahraga namun mengalami gangguan KVP sebesar 68,0% (17 dari 25) responden. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai P-value sebesar 0,731 yang berarti bahwa pada α 5%

tidak terdapat hubungan yang signifikan antara aktifitas olahraga dengan KVP pada operator SPBU di Kecamatan Ciputat Tahun 2014.

Pada penelitian ini aktifitas olahraga dicurigai sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi KVP pada operator SPBU. Berdasarkan tabel 5.8 secara persentase jumlah pekerja yang olahraga lebih banyak jika dibandingkan dengan pekerja yang tidak rutin olahraga. Namun, di dalam penelitian kali ini tidak ada hubungan antara aktifitas olahraga dengan KVP. Hal ini diperkirakan karena prevalensi responden yang berolahraga, namun ada gangguan KVP lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak berolahraga. Ini juga dapat dikarenakan kurangnya keakuratan instrumen dalam menggali informan, sehingga menimbulkan asumsi yang salah dengan pertanyaan mengenai aktifitas olahraga.

Padahal menurut Sahab (1997) faal paru dan olahraga mempunyai hubungan yang timbal balik, gangguan faal paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga. Sebaliknya, latihan fisik yang teratur atau olahraga

dapat meningkatkan faal paru. Seseorang yang aktif dalam latihan akan mempunyai kapasitas aerobik yang lebih besar dan kebugaran yang lebih tinggi serta kapasitas paru yang meningkat.

c. Hubungan antara status gizi dengan KVP pada operator SPBU di Kecamatan Ciputat tahun 2014

Penimbunan lemak dapat terjadi pada bagian tubuh manapun dari manusia. Penumpukan lemak yang berlebihan di bawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernapasan dan sesak napas, meskipun penderita hanya melakukan aktifitas yang ringan. Semua otot termasuk otot diafragma dan otot-otot pernafasan lainnya, mengalami atrofi struktural dan fungsional yang akhirnya menyebabkan penurunan tekanan inspirasi dan ekspirasi serta kapasitas vital paru (Harison, 1999).

Dari hasil yang diperoleh pada operator SPBU yang memiliki status gizi berisiko sebesar 18 (42,9%). Namun dari variabel status gizi berisiko yang ada gangguan KVP, yaitu 66,7% (12 dari 18) responden. Untuk operator SPBU yang memiliki status gizi normal sebesar 24 (57,1%). Pada variabel status gizi normal yang mengalami gangguan KVP, yaitu 75,0% (18 dari 24 responden). Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai P-value sebesar 0,554% yang berarti bahwa pada α 5% tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan KVP pada operator SPBU di Kecamatan Ciputat Tahun 2014.

Jika kita lihat dari distribusi data diatas dapat dipahami dan tersimpulkan bahwa sebanyak 24 responden dengan status gizi normal, diantaranya sebanyak 18 responden ada gangguan KVP. Ini dapat terjadi di karenakan prevalensi dengan status gizi normal yang ada gangguan KVP lebih besar dari status gizi berisiko yang ada gangguan KVP. Hal inilah yang mungkin menunjukkan bahwa status gizi tidak mempengaruhi KVP operator SPBU. Ini juga bisa dikarenakan oleh operator SPBU yang memiliki status gizi normal mempunyai aktifitas merokok. Berdasarkan data kuesioner terdapat 12 dari 24 operator SPBU yang memiliki status gizi normal melakukan aktifitas merokok.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Khumaidah (2009) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan nilai KVP dibawah normal (p value = 0.667). Hasil penelitian ini juga hampir serupa dengan penelitian Halvani (2008) yang dilakukan pada industri keramik di Yadz (Iran). Pada penelitian ini variabel penelitian bukanlah status gizi namun berupa tinggi badan dan berat badan pekerja. Hasil penelitian Halvani (2008) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara gangguan fungsi paru (nilai KVP dibawah normal) dengan berat badan dan tinggi badan baik pada kasus maupun kontrol.

Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori bahwa kekurangan makanan yang terus menerus akan menyebabkan susunan fisiologis terganggu dan dapat mengganggu kapasitas vital seseorang (Depkes RI, 1990). Status gizi seseorang dapat mempengaruhi KVP.

Orang kurus panjang biasanya kapasitasnya lebih dari orang gemuk pendek (Supariasa, 2001). Pada dasarnya 80% otot perut terletak di dekat diafragma sehingga jika terjadi penumpukan lemak pada perut, maka diafragma akan tertekan dan menyebabkan perkembangan paru-paru menjadi kurang maksimal.

Diharapkan bagi peneliti selanjutnya agar melakukan kalibrasi alat ukur timbangan berat badan. Ini diharpkan agar mendapatkan hasil yang akurat pada variabel status gizi.

d. Hubungan antara riwayat penyakit dengan KVP pada operator SPBU di Kecamatan Ciputat tahun 2014

Seseorang yang pernah mengalami penyakit gangguan pada fungsi paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga alveolus akan terlalu sedikit mengalami pertukaran udara dan mengakibatkan menurunnya kadar oksigen dalam darah. Ventilasi adalah proses keluar masuknya udara dari dan ke paru. Ventilasi paru mencakup gerakan dasar atau kegiatan bernafas atau inspirasi dan ekspirasi. Sedangkan perfusi paru adalah gerakan darah yang melewati sirkulasi paru untuk dioksigenasi, dimana pada sirkulasi paru adalah darah deoksigenasi yang mengalir dalam arteri pulmonaris dari ventrikel kanan jantung. Adekuatnya pertukaran gas dalam paru dipengaruhi oleh keadaan ventilasi dan perfusi. Emfisema diketahui merupakan penyakit utama yang mempengaruhi volume paru karena dapat merusak jaringan paru

sehingga mempengaruhi kekenyalan jaringan paru (Mengkidi, 2006; Budiono, 2007).

Kondisi kesehatan saluran pernafasan dapat mempengaruhi KVP seseorang. Kekuatan otot-otot pernafasan dapat berkurang akibat sakit (Ganong, 2002). Nilai kapasitas paru otomatis akan berkurang pada penyakit paru-paru, penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti paru) dan pada kelemahan otot pernafasan (Price, 1995). Selain itu juga, adanya riwayat pekerjaan yang menghadapi debu akan mengakibatkan pneumunokiosis dan salah satu pencegahannya dapat dilakukan dengan menghindari diri dari debu dengan cara memakai masker saat bekerja

(Suma’mur 1996).

Dari data yang diperoleh mengenai variabel riwayat penyakit, didapatkan hasil pada operator SPBU yang pernah mempunyai riwayat penyakit berhubungan dengan KVP atau ada gangguan KVP sebesar 83,3% (5 dari 6 responden), sedangkan pada operator SPBU yang tidak pernah mempunyai riwayat penyakit yang berhubungan dengan KVP namun ada gangguan KVP sebesar 69,4% (25 dari 36 responden). Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai P-value sebesar 0,665 yang berarti bahwa pada α 5% tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara riwayat penyakit dengan KVP pada operator SPBU di Kecamatan Ciputat Tahun 2014.

Tentunya hasil ini berbeda dengan teori penelitian yang telah di kemukakan sebelumnya. Tidak adanya hubungan antara riwayat penyakit

dengan KVP dimungkinkan karena prevalensi responden yang pernah mempunyai riwayat penyakit lebih sedikit, jika dibandingkan dengan prevalensi yang tidak mempunyai riwayat penyakit berkaitan dengan paru-paru sebesar 36 (85,7%).

Hal ini jelas tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Budiono, 2007), dari hasil analisis menunjukkan ada hubungan antara riwayat penyakit paru dengan gangguan fungsi paru (p = 0,015). Perhitungan rasio prevalensi menunjukkan besar risiko riwayat penyakit paru adalah 2,188 (95% CI = 1,293 – 3,702). Ini terlihat dari data, bahwa proporsi subyek dengan riwayat penyakit yang mengalami gangguan fungsi paru lebih besar daripada proporsi subyek tanpa riwayat penyakit yang mengalami gangguan fungsi paru, yaitu sebesar 62,5%.

Seseorang yang pernah mengidap penyakit paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga alveolus akan terlalu sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan menurunkan kadar oksigen dalam darah. Banyak ahli berkeyakinan bahwa penyakit emfisema kronik, pneumonia, asma bronkioli, tuberkulosis (TBC/flak paru) dan sianosis akan memperberat kejadian gangguan fungsi paru pada pekerja yang terpapar oleh debu organik dan anorganik (Price, 1995).

Dapat disimpulkan, bahwasanya riwayat penyakit memiliki potensi yang tidak cukup baik bagi kesehatan pekerja. Maka daripada itu, dengan kejadian ini sebaiknya perusahaan rutin memberikan pelayanan kesehatan berupa pemeriksaan berkala terhadap operator SPBU. Perusahaan juga

wajib melakukan promosi kesehatan bagi para pekerja agar mengetahui potensi ataupun bahaya yang mereka terima selama bekerja.

Dokumen terkait