• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor yang Memengaruhi Kejadian Anemia pada Ibu Hamil

2.1.1 Karakteristik Individu

Karakteristik individu adalah perbedaan individu dengan individu lainnya. Setiap manusia memiliki karakteristik individu yang berbeda antara satu dengan lainnya. Mathiue & Zajac (1990) menyatakan bahwa karakteristik personal (individu) mencakup usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, suku bangsa dan kepribadian.

Kareketristik manusia sebagai individu yang utuh tidak dapat dibagi (undivided), tidak dapat dipisahkan yang memiliki ciri-ciri yang khas. Karena adanya ciri-ciri yang khas itulah yang menyebabkan manusia satu dengan yang lainnya dikatakan individu yang berbeda (perbedaan individual).

Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Karakteristik yang berkaitan dengan perkembangan biologis cendrung lebih bersifat tetap, sedang karakteristik yang berkaitan dengan sosial psikologis lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Febriandiniharja, 2012).

Perbedaan individual menyangkut variasi yang terjadi baik pada aspek fisik maupun psikologis. Perbedaan fisik : usia, jenis kelamin, berat badan, pendengaran,

penglihatan dan kemampuan bertindak, perbedaan sosial: termasuk sosial ekonomi, agama, hubungan keluarga dan suku, perbedaan kepribadian: termasuk watak, motif, minat, dan sikap, perbedaan inteligensia dan kemampuan dasar .

Banyak karakteristik yang ada pada individu yang dapat mempengaruhi terjadinya anemia. Tubuh berada pada resiko tinggi untuk menjadi anemia selama kehamilan jika hamil terlalu muda (umur < 20 tahun), hamil terlalu tua (umur > 35 tahun), mengalami dua kali kehamilan yang berdekatan, hamil lebih dari satu anak, pendidikan yang rendah, pekerja berat (Proverawati, 2011). Pada penelitian ini kakakteristik individu yang dapat memepengaruhi anemia adalah sebagai berikut: 1. Umur

Umur ibu untuk mengalami suatu kehamilan dan persalinan yang baik adalah 20-35 tahun. Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau terlalu muda, perkembangan organ-organ reproduksi belum maksimal, kematangan emosi dan kejiwaan yang kurang serta fungsi fisiologis organ reproduksi yang belum optimal sehingga lebih sering terjadi komplikasi yang tidak diinginkan selama kehamilan. Sebaliknya pada umur ibu yang terlalu tua telah terjadi kemunduran fungsi fisiologis organ reproduksi secara umum sehingga lebih sering terjadi akibat yang merugikan bagi bayi dan ibu hamil. Wintrobe (1987) menyatakan bahwa usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah kadar hemoglobinnya.

Hal ini ditegaskan kembali dalam suatu penelitian oleh Ridwanamiruddin (2007) di wilayah Puskesmas Bantimurung Maros yang memperoleh hasil dari 27

orang ibu hamil yang berusia < 20, > 35 tahun 74,1% yang menderita anemia dan yang tidak anemia 25,9%. Ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun lebih beresiko menderita anemia dari pada ibu hamil usia 20-35 tahun.

Dari hasil penelitian (Sarimawar, 1994), ibu hamil yang berumur 35 tahun keatas 5,8% menderita anemia berat dan 71,6% menderita anemia ringan, sedangkan ibu hamil yang berumur 20-35 tahun 3,9% menderita anemia berat dan 68,5% menderita anemia ringan. Terdapat hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan status anemia. Proporsi anemia pada golongan umur < 20 tahun dan > 30 tahun lebih tinggi (77,4%) dari pada golongan umur 20-30 tahun (63,2%). Data SKRT (2001) menunjukkan bahwa anemia umumnya terjadi pada wanita usia subur yaitu umur 19- 35 tahun sebesar 22-23%, sedangkan umur 10-19 tahun proporsi anemia sebesar 30%.

2. Suku Bangsa

Koentjaraningrat (1990) dalam Herimanto (2008) menyatakan suku bangsa sebagai kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang memiliki sistem interaksi, yang ada karena kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri. Etnik atau suku bangsa merupakan identitas sosial budaya, artinya identifikasi seseorang dapat dikenali dari bahasa, tradisi, budaya, kepercayaan dan pranata yang dijalaninya yang bersumber dari etnik mana dia berasal.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengaruh budaya antara lain sikap terhadap makanan. Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu

kompleks kegiatan masak memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantangan pantangan serta tahyul yang berkaitan dengan persiapan dan komsumsi makanan (Herimanto, 2011). Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa mempunyai perbedaan dalam hal tersebut. Kebiasaan dalam persiapan dan komsumsi makanan ini dapat mempengaruhi terjadinya anemia pada ibu hamil.

3. Agama

Agama adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktek yang berhubungan dengan berbagai hal yang suci, yang mana kepercayaan dan praktek tersebut mempersatukan setiap orang yang mempercayai kedalam komunitas moral yang dinamakan umat. Setiap agama mempunyai praktek-praktek keagamaan, seperti berdoa, bersembahyang, berpuasa, atau pantang berpergian pada waktu-waktu tertentu, pantang makan daging dan lain sebagainya (Badrujaman, 2008).

Seluruh manusia berharap senantiasa sehat dan tidak ada satu pun penyakit hinggap di tubuhnya. Pertumbuhan yang normal dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan baik sangat dipengaruhi oleh asupan gizi yang seimbang. Terkait hal ini, "Tidak ada kehidupan tanpa kesehatan.".

Tindakan yang dilakukan oleh manusia atau masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Berdasarkan suatu agama tertentu memandang salah satu faktor

penting yang menjaga kesehatan adalah menghindari makanan haram, karena menjadi pemicu sejumlah penyakit fisik serta mental. Pantangan makanan ini terutama sumber makanan protein ini dapat mempengaruhi terjadinya anemia pada ibu hamil.

4. Pendidikan

Pendidikan yang baik akan mempermudah untuk mengadopsi pengetahuan tentang kesehatan, tingkat pendidikan formal yang pernah dilalui ibu hamil dan menamatkannya. Biasanya seseorang yang berpendidikan lebih tinggi mempunyai pengertian dan wawasan yang lebih luas akan pengetahuan-pengetahuan dan informasi-informasi formal dan informal termasuk pengetahuan dan informasi tenaga kesehatan, gizi dan hidup yang lebih baik.

Tingkat pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan baik buruknya status kesehatan keluarga dan dirinya. Dengan berbekal pengetahuan yang cukup, seorang ibu akan lebih banyak memperoleh informasi yang dibutuhkan, dengan demikian mereka dapat memilih serta menentukan alternativ terbaik untuk kepentingan kehidupan rumah tangganya.

Hasil penelitian Sarimawar (1994) presentase ibu hamil yang menderita anemia berat maupun anemia ringan lebih tinggi pada ibu yang tidak bersekolah dibandingkan dengan yang tamat SLTP. Ibu tidak sekolah 5,1% menderita anemia berat dan 73,9% menderita anemia ringan, sedangkan para ibu yang tamat SLTP 1,4% menderita anemia berat dan 57,5% menderita anemia ringan.

Penelitian Surbakti (1986) terlihat bahwa proporsi anemia pada kelompok ibu dengan pendidikan < SLTP sebesar 44,16%, > SLPT sebesar 12,5%. Menurut

penelitian Yenni (2003) ibu dengan pendidikan < SLTP mempunyai resiko menderita anemia 2,5 kali di bandingkan dengan yang berpendidikan > SLTP.

5. Pekerjaan

Melakukan pekerjaan yang berat disaat hamil memang menjadi salah satu penyebab dari berkurangnya kemampuan tubuh dalam memenuhi kebutuhan gizi untuk ibu dan janin yang dikandungnya. Cadangan energi terkuras habis untuk memenuhi aktivitas ibu hamil. Energi yang seharusnya bisa didapat dari konsumsi makanan ternyata tidak didapatkan, karena kehamilan dianggap biasa saja. Akibatnya, seorang ibu hamil bisa mengalami anemia dalam kehamilan (Daulay, 2007).

Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri (peran reproduktif). Terlebih-lebih jika si perempuan tersebut harus bekerja mencari penghasilan (peran produktif), maka ia memikul beban ganda. Kesehatan ibu hamil akan terganggu jika ibu harus bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan keluarga, disamping tetap dituntut melaksanakan pekerjaan rumah tangga (Kelompok studi wanita FISIP UI, 1990).

Menurut Penelitian Pusat Pengembangan Gizi (1998), mengemukakan bahwa kegiatan jasmani orang dewasa terbagi tiga golongan yaitu kegiatan berat, kegiatan sedang, dan kegiatan kurang. Wanita yang bekerja tergolong kegiatan berat seperti memecah batu, mencangkul dan lain sebagainya mempunyai resiko lebih besar menderita anemia.

6. Paritas (Jumlah Anak)

Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu baik hidup maupun lahir mati. Semakin tinggi paritas, maka semakin tinggi pula kematian maternal dan resiko yang akan terjadi baik dalam kehamilan sampai dengan masa postpartum. Ditinjau dari tingkatannya paritas dikelompokkan menjadi tiga antara lain : paritas rendah atau primipara meliputi nullipara dan primipara, paritas sedang atau multipara digolongkan pada hamil dan bersalin dua sampai tiga kali. Pada paritas sedang ini, sudah masuk kategori rawan terutama pada kasus-kasus obstetrik yang jelek, serta interval kehamilan yang terlalu dekat kurang dari 2 tahun. Paritas tinggi atau grandemulti adalah ibu hamil dan melahirkan 4 kali atau lebih. Paritas tinggi merupakan paritas rawan oleh karena paritas tinggi banyak kejadian-kejadian obstetri patologi yang dapat tejadi, antara lain: plasenta previa, perdarahan postpartum, dan lebih memungkinkan lagi terjadinya atonia uteri (Manuaba, 1999).

Anemia juga bisa dicegah dengan mengatur jarak kehamilan atau kelahiran bayi. Makin sering seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan, akan makin banyak kehilangan zat besi dan menjadi makin anemis. Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap kehamilan akan menguras persediaan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar jarak antar kehamilan tidak terlalu pendek, minimal lebih dari 2 tahun (Arisman, 2010).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hoo Swie Tjiong mengatakan apabila prevalensi anemia dihubungkan dengan paritas, terlihat bahwa semakin

banyak jumlah anak yang dilahirkan, wanita dewasa kemungkinan untuk menderita anemia cukup besar (Prawirohardjo, 2002). Penelitian Surbakti (1986), ditemukan kejadian anemia lebih tinggi pada kelompok dengan paritas lebih dari tiga (36,13%) dibanding paritas kurang dari tiga (26,68%), sedangkan penelitian Hasibuan (1997) anemia ibu hamil pada kelompok paritas lebih dari tiga (35,96%) dan paritas kurang dari tiga (17,98%) berarti semakin tinggi paritas semakin tinggi kejadian anemia pada ibu hamil.

7. Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan akibat dari konsumsi zat gizi dan pemanfaatannya dalam tubuh. Status gizi merupakan salah satu faktor penentu kesehatan manusia yang akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia dan produktivitas kerja. Status gizi yang optimal merupakan salah satu kunci dalam proses pembangunan, sekaligus merupakan aspek penting dalam pembangunan, sosial ekonomi (Soekirman,2000). Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada ibu antara lain: anemia, pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena penyakit infeksi. Status gizi dapat dinilai dengan pengukuran antropometri seperti lingkar lengan atas (LILA), Indeks Massa Tubuh (IMT). Sesuai standar yang sering dilakukan pada ibu hamil di lapangan adalah ukuran LILA, yang ditentukan pada angka < 23,5 cm adalah LILA yang tidak normal. Dari penelitian Suwandi (2004) menyatakan bahwa status gizi ibu hamil yang di tetapkan berdasarkan ukuran lingkar lengan atas (LILA) dengan kejadian anemia mempunyai OR sebesar 5,3 dan berdasarkan IMT OR sebesar 2,47

Dokumen terkait