• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Keluarga Perokok dengan Ketersediaan Pangan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan pangan berdasarkan pendidikan ibu pada umumnya berada pada tingkat SMA sebanyak 21 orang (40,0%), dengan tingkat kelaparan sebanyak (85,4%) kelaparan tingkat ringan, kelaparan tingkat sedang, dan kelaparan tingkat berat. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu semakin rendah maka kelaparan pangan semakin tinggi, tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi akan memudahkan ibu atau keluarga untuk menyerap informasi dan mengimplemasikannya dalam periaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Namun pendidikan ibu didukung oleh pengetahuhan gizi ibu yang kurang.

Hal ini sejalan dengan pendapat Herman (1990), yang menyatakan bahwa pengetahuan gizi ibu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan. Ibu yang baik pengetahuan gizinya akan dapat memperhitungkan kebutuhan gizi anak balitanya agar dapat tumbuh kembang secara optimal, selain itu pengetahuan yang dimiliki ibu akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi anaknya.

Pengetahuan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang sesuatu hal, maka akan lebih cenderung mengambil keputusan yang tepat berkait Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan keluarga. Pengetahuan gizi terkit dengan keputusan ibu dalam

Memilih jenis dan jumlah yang akan dikonsumsi untuk anggota rumah tangga, semakin baik pengetahuan gizi ibu maka ketahanan pangan rumah tangga dapat dicapai. Senada dengan hasil penelitian Hidayati (2011) yang menyatakan bahwa pengetahuan gizi ibu rumah tangga berpenggaruh nyata terhadap tingkat ketersediaan pangan keluarga.

Pengelolaan pangan rumah tangga pada umumnya adalah ibu. Alderman & Gracia (1994) dalam Antang (2002), menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan ketahanan pangan rumah tangga dan pendidikan kepala keluarga turut mempengaruhi juga, akan tetapi tidak sebesar pengaruh tingkat pendidikan ibu.

Menurut Tanziha (2005), tingkat pendidikan yang tinggi juga berhubungan dengan pendapatan. Rumah tangga dengan ibu berpendidikan tinggi biasanya mempunyai lebih banyak uang yang dapat digunakan untuk pembelian pangan. Penelitian lainnya mengenai ketersediaan pangan yang dilakukan Khomsan menemukan bahwa indikator ketahanan pangan di jawa adalah konsumsi beras, tempe, tahu serta pendidikan ayah dan ibu. Khomsan juga menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan ayah dan ibu maka pendapatan keluarga juga semakin tinggi sehingga mereka memiliki daya beli pangan yang lebih besar (Khomsan, 1999 dalam Maisaroh, 2001).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan pangan berdasarkan pekerjaan orang tua pada umumnya berada pada kelompok petani sebanyak 43 orang (82,7%) dengan kelaparan sebanyak ( 60,5% ), dan pekerjaan ibu sebanyak 40 orang (76,9%) dengan tingkat ketersediaan pangan berada pada kelaparan sebanyak (92,5%) kelaparan tingkat ringan, kelaparan tingkat sedang, dan kelaparan tingkat berat.

43

Dalam penelitian ini ketersediaan pangan keluarga erat kaitnya dengan status ekonomi keluarga, dimana pekerjaan orangtua paling banyak adalah petani, wilayah tersebut merupakan daerah Trans Migrasi perkebunan kelapa sawit, dengan penghasilan rendah sebagaian petani tidak mempunyai lahan sendiri, disamping itu harga pupuk yang tinggi dan musim yang tidak menentu menentukan mempengaruhi hasil panen. Hal ini sejalan dengan pendapat dari UNDP China (2001), bahwa penyebab terjadinya rawan pangan keluarga antara lain rendahnya luas lahan pertanian, rendahnya kesuburan lahan, iklim, produksi pangan serta rendahnya daya beli keluarga sebagai akibat terbatasnya pendapatan.

Menurut FAO (1996), bahwa kunci ketersediaan pangan adalah kemampuan membeli atau pendapatan yang memadai dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup.

Berdasarkan hasil penelitian ketersediaan paangan berdasarkan penghasilan keluarga pada umumnya berada pada kelompok < Rp 1.605.000 atau Upah Minimum Kabupaten Padang Lawas sebanyak 38 orang (73,1%), dengaan tingkat ketersediaan pangan berada pada kelaparan sebanyak (94,7%), kelaparan tingkat ringan, kelaparan tingkat sedang, dan kelaparan tingkat berat.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan Khumaidi (1994), bahwa pada umumnya masyarakat yang berpendapatan rendah hanya mampu membeli bahan makanan yang harganya murah meskipun mutunya rendah, asalkan banyak dan menyenangkan. Bahkan mereka tidak dapat makan daging, telur, ikan atau minum susu setiap hari namun hanya sesekali saja dalam sebulan maupun setahun.

Hal tersebut sesuai dengan Aritonang (2000), bahwa kemampuan rumah tangga menjangkau pangan di pasar tergantung daya beli atau penghasilannya.

Kemampuan ekonomi rumah tangga pada umumnya saling berkaitan dengan status sosial, juga selanjutnya berkaitan pula dengan nilai suatu makanan. Dan menurut hasil penelitian lain dalam Suhardjo, (2009) yang menyatakan bahwa pada umumnya jika penghasilan naik, jumlah dan jenis makanan cendrung meningkat pula. Peningkatan penghasilan perorangan akan menyebabkan perubahan dalam susunan makanan. Namun pengeluaran yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya makanan yang dikonsumsi. Menurut hasil observasi dilapangan diketahui sebagian besar penghasilan rendah sehingga jenis makanan yang dikonsumsi kurang beragam baik dalam hal jenis serta susunan makanan tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan pangan berdasarkan pengeluaran rokok pada uumumnya berada pada kelompok < Rp 430.000 atau nilai median dari pengeluaran rokok yang ada di Desa Trans Pirnak Marenu sebanyak 29 orang (55,7%), dengan ketersediaan pangan berada pada tingkat kelaparan sebanyak (72,4%), kelaparan tingkat ringan, kelaparan tingkat sedang, dan kelaparan tingkat berat.

Pengeluaran rokok tersebut hanya dikonsumsi oleh kepala keluarga atau ayah. Sama halnya rokok yang memiliki efek adiksi atau kecanduan, para ayah selalu mengalihkan penghasilannya untuk rokok. Ketergantungan pada zat adiktif dalam rokok dalam keluarga rokok pada keluarga miskin terbukti meningkatkan kejadian kurang gizi pada balita (Soerejo, 2009 dalam TCSC-IAKMI, 2009).

Pengeluaran untuk rokok yang tidak diimbangi dengan penghasilan yang besar akan berdampak terhadap ketersediaan pangan keluarga dan asupan gizi keluarga. Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar penghasilan keluarga

45

ialah kurang dari UMK dan bisa dikatakan rendah. Ditambah dengan kebutuhan ayah membeli rokok maka akan semakin menekan pengeluaran pangan keluarga sehingga asupan gizi keluarga juga semakin berkurang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan merokok ayah dapat meningkatkan risiko gizi buruk dan kurang akibat belanja tembakau sangat menguras ketersediaan pangan keluarga. Pertumbuhan anak merupakan indeks kesejahteraan anak, dampak jangka panjang gizi buruk berdampak pada prestasi akademik, kebugaran, dan ketangkasan Tjiong, (2008). Ketergantungan terhadap rokok pada keluarga miskin terbukti meningkatkan kejadian kurang gizi pada anak balita. Dan tidak segera ditanggulangi maka kondisi ini mengancam hilangnya sebuah generasi. Balita gizi kurang, maka akan beresiko lebih tinggi mengalami keterlambatan perkembangan mental. Selain itu akan meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas akibat kerentanan terhadap penyakit.

Kebiasaan merokok yang didukung oleh lingkungan bahkan oleh adat istiadat akan sangat sulit untuk diubah. Sehingga Dinas Kesehatan perlu melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh agama untuk bekerja sama mencari solusi guna menurunkan kebiasaan merokok masyarakat di Desa Trans Pirnak Marenu. Karena tokoh masyarakat dan tokoh agama merupakan figur yang dihormati dan diteladani oleh masyarakat. Oleh sebab itu diharapkan bahwa dengan melibatkan mereka, masyarakat akan lebih mudah untuk menerima dan melakukan hal-hal yang perlu mereka lakukan guna mengurangi kebiasaan merokok tersebut.

Beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu memberikan penyuluhan mengenai bahaya rokok dengan disertai gambar-gambar yang menunjukkan akibat dari

konsumsi rokok dalam waktu yang cukup lama. Memberikan gambaran mengenai gizi kurang atau gizi buruk yang bisa dialami oleh anak akibat kekurangan pangan. Bekerja sama dengan Dinas Pertanian untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan serta menyediakan bibit gratis bagi masyarakat agar dapat memanfaatkan pekarangan mereka menjadi tempat untuk bercocok tanam, sehingga bisa menambah ketersediaan pangan keluarga. Selanjutnya yaitu memberikan penyuluhan mengenai pangan beragam, bergizi, dan berimbang.

Hasil penelitian bahwa Ketersediaan pangan berdasarkan pengeluaran pangan pada umumnya berada pada kelompok < Rp 500.000 atau nilai median dari pengeluaran pangan yang ada di Desa Trans Pirnak Marenu sebanyak 36 orang (69,2%) dengan tingkat ketersediaan pangan berada pada kelaparan sebanyak (91,6%) kelaparan tingkat ringan, kelaparan tingkat sedang, dan kelaparan tingkat berat. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran pangan keluarga setiap bulannya hanya dapat membeli bahan makananan yang harganya murah, dan banyak, tanpa memperhatikan bahan makanan yang dibelanjakan mengandung zat gizi, dan dari hasil penelitian dilapangan keluarga makan hanya dengan sayur, atau makan hanya dengan sambal, dan mereka beranggapan makan itu untuk bisa beraktivitas.

Hasil penelitian bahwa Ketersediaan pangan berdasarkan pengeluaran non pangan pada umumnya berada pada kelompok Rp 225.000 atau nilai median dari pengeluaran pangan yang ada di Desa Trans Pirnak Marenu sebanyak 28 orang (53,8%) dengan tingkat ketersediaan pangan berada pada kelaparan sebanyak (71,4%) kelaparan tingkat ringan, kelaparan tingkat sedang, dan kelaparan tingkat berat. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran non pangan

47

yang dikeluarkan berupa iuran listrik, biaya sekolah, uang jajan anak, kredit barang-barang rumah tangga berupa alat-alat masak, dan perlengkapan rumah tangga.

Hasil penelitian bahwa Ketersediaan pangan berdasarkan penggolongan perokok, pada umuunya berada pada kelompok perokok berat sebanyak 26 orang (50,0%) dengan tingkat ketersediaan pangan berada pada kelaparan sebanyak (80.8%) kelaparan tingkat ringan, kelaparan tingkat sedang, dan kelaparan tingkat berat.

Penggunaan rokok dapat meningkatkan kemiskinan melalui kerentanan timbulnya risiko karena sumber pendapatan keluarga yang terbatas justru dibelanjakan untuk konsumsi rokok, yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok lainnya, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga (Irawan, 2009).

Ini mengindikasikan bahwa rumah tangga rawan pangan telah mengalihkan pendapatannya yang terbatas untuk membeli rokok dibandingkan dengan kebutuhan pangan untuk ketahanan pangan keluarga. Pengeluaran rokok masyarakat yang cukup besar sebenarnya mempunyai opportunity cost yang dapat digunakan untuk membeli kebutuhan yang lebih esensial seperti makanan bergizi untuk keluarganya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan pangan berdasarkan jumlah anggota keluarga, pada umumnya berada pada kelompok 5-6 orang sebanyak 25 orang (48,1%) dengan tingkat ketersediaan pangan berada pada tingkat kelaparan sebanyak (88,0%) kelaparan tingkat ringan, kelaparan tingkat sedang dan kelaparan tingkat berat, dibandingkan jumlah anggota kecil, ada

kecenderungan antara ketersediaan pangan dengan jumlah anggota keluarga. semakin banyak anggota keluarga maka semakin besar pula pengeluaran sehingga anggaran ketersediaan pangan semakin kecil.

Sturuktur rumah tangga juga berhubungan dengan ketersediaan pangan keluarga. Struktur keluarga yang dimaksud adalah komposisi rumah tangga yang terdiri dari jumlah anggota berhubungan dengan pengeluaran pangan. Suharjo (1989) dalam Tanziha (2005) mengemukakan bahwa meningkatnya jumlah anggota keluarga tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan, maka pendistribusian konsumsi pangan semakin sedikit sehingga konsumsi pangan keluarga tersebut tidak cukup. Jumlah anggota keluarga yang paling banyak ada pada kategori jumlah 5-8 orang dalam satu keluarga juga dapat mempengaruhi pembagian makanan pada keluarga.

Menurut Khumadi 1994, distribusi makanan sering di hubungkan dengan status yang terjalin antara anggota keluarga daripada kebutuhan gizinya. Anggota keluarga pria yang lebih tua (Ayah) mendapatkan jumlah dan mutu susunan makanan yang lebih baik daripada anak kecil dan perempuan. Pembagian makan harus disesuaikan dengan kebutuhan gizi dalam tubuh. Untuk anak balita, meskipun jumlah makanannya lebih sedikit, namun membutuhkan kandungan gizi yang lebih dalam makanan.

5.2 Ketersediaan Pangan dengan Status Gizi Anak Balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan pangan berdasarkan status gizi anak balita (BB/U) pada umumnya berada pada kelompok kelaparan tingkat sedang sebanyak 17 orang (32,7%) dengan status gizi anak balita buruk dan kurang sebanyak (64,7%).

49

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan pangan berdasarkan status gizi anak balita (TB/U) pada umumnya berada pada kelompok kelaparan tingkat sedang sebanyak 17 orang (32,7%) dengan status gizi anak balita sangat pendek dan pendek sebanyak (76,4%).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan pangan berdasarkan status gizi anak balita (BB/TB) pada umunya berada pada kelompok kelaparan tingkat sedang sebanyak 17 orang (32,7%) dengan status gizi anak balita sangat kurus dan kurus sebanyak (58,8%).

Status gizi berdasarkan indek BB/U baik untuk mengukur status gizi akut maupun kronis dan sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil. Sedangkan status gizi berdasarkan indeks PB/U atau TB/U menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahann umur. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defesiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Status gizi berdasarkan indeks BB/TB merupakan indeks yang baik untuk menilai status gizi saat kini (sekarang), serta dapat memberikan gambaran lingkungan yang tidak baik, kemiskinan, dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes RI, 2004 dalam Marisa dan Supariasa, dkk, 2002).

Kekurangan zat gizi pada anak balita disebabkan karena anak balita mendapat makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan badan anak balita atau adanya tidak keseimbangan antara konsumsi zat gizi yang dipengaruhi oleh kualitas maupun kuantitas makanan dan juga dipengaruhi daya beli keluarga.

dan keadaan kesehatan. Kuantitas dan kualitas makanan tergantung pada zat gizi makanan tersebut, ada tidaknya pemberian makanan tambahan di keluarga, daya beli keluarga dan karakteristik makanan dan kesehatan. Keadaan balita juga berhubungan dengan karakteristik ibu terhadap makanan dan kesehatan, daya beli keluarga, ada tidaknya penyakit infeksi dan jangkauan terhadap pelayanan kesehatan ( Supariasa, 2001).

Dokumen terkait