• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2. Karakteristik Keterlibatan Kerja

Ada beberapa karakteristik dari karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi dan yang rendah, antara lain:

a. Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi: 1) Menghabiskan waktu untuk bekerja

2) Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dan perusahaan 3) Puas dengan pekerjaannya

4) Memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi 5) Memberikan usaha-usaha yang terbaik untuk perusahaan

6) Tingkat absen dan intensi turnover rendah 7) Memiliki motivasi yang tinggi

b. Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah: 1) Tidak mau berusaha keras untuk kemajuan perusahaan

2) Tidak peduli dengan pekerjaan maupun perusahaan 3) Tidak puas dengan pekerjaan

4) Tidak memiliki komitmen terhadap pekerjaan maupun perusahaan 5) Tingkat absen dan intensi turnover tinggi

6) Memiliki motivasi kerja yang rendah 7) Tingkat pengunduran diri yang tinggi

3. Dimensi Keterlibatan Kerja

Menurut Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003), keterlibatan kerja memiliki dua dimensi, yaitu:

a. Performance self-esteem contingency

Keterlibatan kerja merefleksikan tingkat dimana rasa harga diri seseorang dipengaruhi oleh performansi kerjanya. Aspek ini mencakup tentang seberapa jauh hasil kerja seorang karyawan (performance) dapat mempengaruhi harga dirinya (self-esteem). Vroom (dalam Kanungo, 1982) mengatakan bahwa keterlibatan kerja muncul ketika performansi yang baik meningkatkan harga diri seseorang. Harga diri didefinisikan sebagai suatu indikasi dari tingkat dimana individu mempercayai dirinya mampu, cukup, dan berharga (Harris & Hartman, 2002).

b. Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu

Dimensi ini merujuk pada tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya secara psikologis pada pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri totalnya (Lodahl & Kejner dalam Kanungo, 1982). Dubin (dalam Kanungo, 1982) mengatakan bahwa orang yang memiliki keterlibatan kerja adalah orang yang menganggap pekerjaan sebagai bagian yang paling penting dalam hidupnya. Ini berarti bahwa dengan bekerja, ia dapat mengekspresikan diri dan menganggap bahwa pekerjaan merupakan aktivitas yang menjadi pusat kehidupannya. Karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan (Robbins, 2009).

Keterlibatan kerja dapat dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu variabel personal dan variabel situasional (Kanungo, 1982).

a. Variabel personal

Variabel personal yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja meliputi variabel demografi dan psikologis. Variabel demografi mencakup usia, pendidikan, jenis kelamin, status pernikahan, jabatan, dan senioritas.

Cherrington (dalam Kanungo, 1982) mengatakan bahwa karyawan yang usianya lebih tua cenderung untuk memiliki keterlibatan kerja lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan yang umurnya lebih muda. Moynihan dan Pandey (2007) juga menemukan bahwa usia memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan keterlibatan kerja, dimana karyawan yang usianya lebih tua cenderung lebih puas dan terlibat dengan pekerjaan mereka, sedangkan karyawan yang usianya lebih muda kurang tertarik dan puas dengan pekerjaan mereka. Siegal dan Ruh (dalam Kanungo, 1982) menemukan bahwa karyawan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi menunjukkan keterlibatan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Selanjutnya, pria menunjukkan keterlibatan kerja yang lebih tinggi dibandingkan wanita.

Hickling (2001) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengukur pengaruh variabel demografi dan status karyawan (part-time atau full-time) menemukan bahwa variabel demografi dan status karyawan memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa karyawan

full-time dan part-time berbeda dalam karakteristik demografi, dimana wanita memiliki tingkat absen yang lebih tinggi daripada pria, yang mengindikasikan bahwa wanita memiliki keterlibatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. ia juga menemukan bahwa karyawan yang bekerja full-time lebih terlibat dalam pekerjaannya dibandingkan dengan karyawan yang bekerja part-time. Westhuizen (2008) dalam penelitiannya menambahkan bahwa variabel-variabel demografi lainnya seperti gaji memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja.

Sedangkan variabel psikologis mencakup intrinsic/extrinsic need strength, nilai-nilai kerja, locus of control, kepuasan terhadap karakteristik/hasil kerja, usaha kerja, performansi kerja, absensi, dan intensi turnover.

Yaktiningsih (1994) dalam studinya mengenai makna bekerja dan hubungan antara makna bekerja dengan keterlibatan kerja pada karyawan perusahaan industri, konstruksi, dan manufaktur milik negara di lini manajerial dan lini nonmanajerial menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari makna bekerja dengan keterlibatan kerja seseorang.

Bazionelos (2004) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja pada manajer menemukan bahwa ada hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja ditinjau dari teori 5 Faktor, dimana tipe kepribadian extraversion, openness, agreeableness berhubungan dengan keterlibatan kerja. Ia menemukan bahwa manajer yang memiliki karakteristik aggreableness yang rendah menunjukka n keterlibatan kerja yang tinggi. Selain itu, ia juga menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara extraversion dan openness dengan keterlibatan kerja.

Variabel situasional yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja mencakup pekerjaan, organisasi, dan lingkungan sosial budaya. Variabel pekerjaan mencakup karakteristik/hasil kerja, variasi, otonomi, identitas tugas, feedback, level pekerjaan (status formal dalam organisasi), level gaji, kondisi pekerjaan (work condition), job security, supervisi, dan iklim interpersonal. Mehta (dalam Srivastava, 2005) mengatakan bahwa faktor-faktor seperti otonomi, hubungan pertemanan, perilaku pengawas, kepercayaan, dan dukungan menuntun pada keterlibatan kerja yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas.

Dollah (1994) dalam penelitiannya mengenai keterlibatan kerja pegawai sektor awam menemukan bahwa karakteristik pekerjaan dapat mempengaruhi keterlibatan kerja seseorang, dimana pekerjaan yang memberikan otonomi bagi karyawannya dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut akan meningkatkan keterlibatan kerja pegawai.

Dollah (1994) juga menemukan bahwa persepsi terhadap penyelia memiliki hubungan yang positif dengan keterlibatan kerja, dimana semakin positif persepsinya terhadap penyelia, semakin tinggi keterlibatan kerjanya. Irawan (2010) dalam penelitiannya tentang hubungan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja juga menemukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja. Artinya, apabila persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan demokratis positif, maka keterlibatan kerja karyawan tinggi.

Variabel organisasi mencakup iklim organisasi (partisipatif/mekanistik), ukuran organisasi (besar/kecil), struktur organisasi (tall/flat), dan sistem kontrol organisasi (jelas/tidak jelas).

Karia dan Asaari (2003) mengatakan bahwa praktek continuous improvement dan pencegahan terhadap masalah secara signifikan berkorelasi positif dengan keterlibatan kerja, kepuasan kerja, kepuasan karier, dan komitmen organisasi.

Hao, Jung, dan Yenhui (2009) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor penting dari keterlibatan kerja personil layanan finansial menemukan bahwa dukungan sosial dan hubungan teman sebaya memiliki hubungan langsung yang signifikan dengan keterlibatan kerja. Mishra dan Shyam (2005) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara tipe-tipe dukungan sosial dengan keterlibatan kerja pada sipir penjara juga menemukan bahwa ketiga tipe dukungan sosial yang diukur (appraisal, tangible, dan belonging support) berhubungan positif dengan keterlibatan kerja.

Variabel lingkungan sosial budaya mencakup ukuran komunitas, rural/urban, budaya etnis, dan agama.

Kaur dan Chadha (dalam Srivastava, 2005) menemukan bahwa bagi pekerja white-collar, stres yang tinggi menuntun pada keterlibatan kerja yang rendah, sedangkan bagi pekerja blue-collar, stres yang tinggi menuntun pada keterlibatan kerja yang tinggi.

keterlibatan kerja, dimana semakin tinggi konflik peran semakin tinggi pula keterlibatan kerjanya.

Ada beberapa penelitian lainnya yang dilakukan mengenai keterlibatan kerja. Penelitian mengenai kepuasan kerja dan keterlibatan kerja menunjukkan hubungan positif antara keduanya. Makvana (2008) menemukan bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan kerja yang tinggi menunjukkan tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Brown (dalam Mantler & Murphy, 2005) juga menambahkan bahwa orang-orang dengan keterlibatan kerja yang tinggi cenderung puas dengan pekerjaannya dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi mereka.

Menurut Brown (1996), keterlibatan kerja dapat lebih dipengaruhi oleh faktor personal (etika kerja, motivasi internal, dan harga diri) daripada faktor situasional (kepuasan gaji, supervisor, promosi, dan kepuasan terhadap rekan kerja). Ia juga mengatakan bahwa terdapat perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan kerja karyawan yang bekerja di organisasi swasta dan negeri, dimana karyawan yang bekerja di perusahaan swasta lebih sensitif terhadap karakteristik pekerjaan dan situasional yang memfasilitasi performansi mereka, dengan kata lain bahwa keterlibatan mereka lebih dipengaruhi oleh faktor situasional dibandingkan dengan karyawan yang bekerja di organisasi negeri.

B. QUALITY OF WORK LIFE

1. Definisi Quality of Work Life

Quality of work life merujuk pada seberapa efektif lingkungan kerja dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai personal dari karyawan (Kossen, 1987). Walton (dalam Walker, 1980) mengatakan bahwa quality of work life mencakup seberapa efektif lingkungan kerja mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai personal karyawan ketika ia bekerja, yaitu tingkat dimana anggota dari suatu organisasi kerja mampu untuk memuaskan kebutuhan personal mereka yang penting melalui pengalaman mereka dalam suatu organisasi.

Quality of work life karyawan merupakan salah satu tujuan penting dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pegawai (Cascio, 1986). Cascio (1986) mengatakan bahwa quality of work life dapat didefinisikan sebagai persepsi karyawan tentang kesejahteraan mental dan fisiknya ketika bekerja. Ada dua pandangan mengenai maksud dari quality of work life. Pertama, quality of work life adalah sejumlah keadaan dan praktek dari organisasi (contoh: pengayaan penyelia yang demokratis, keterlibatan pekerja, dan kondisi kerja yang aman). Sementara yang kedua, quality of work life adalah persepsi karyawan bahwa mereka ingin rasa aman, mereka merasa puas, dan mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia (Cascio, 1986).

Berdasarkan defenisi yang telah diuraikan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa quality of work life adalah persepsi seorang karyawan mengenai kesejahteraan, suasana dan pengalamannya di tempat kerja, yang ditandai dengan

kemampuan lingkungan kerja dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya di tempat kerja.

2. Komponen Quality Of Work Life

Menurut Walton (dalam Kossen, 1987), quality of work life memiliki 8 kategori, antara lain:

a. Kompensasi yang mencukupi dan adil

Mencakup apakah gaji karyawan cukup untuk mempertahankan standard kehidupannya dan apakah gaji yang diterimanya sebanding dengan jumlah gaji karyawan lain yang memiliki jabatan yang sama.

b. Kondisi kerja yang aman dan sehat

Mencakup apakah lingkungan kerja bebas dari bahaya yang dapat melukai dan membuat karyawan menjadi sakit.

c. Kesempatan untuk berkembang dan menggunakan kapasitas manusia

Mencakup bagaimana pekerjaan berhubungan dengan harga diri karyawan, apakah pekerjaan mengizinkan karyawan untuk menggunakan dan mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya, dan apakah karyawan merasa terlibat dan tertantang oleh pekerjaannya.

d. Kesempatan untuk pertumbuhan berkelanjutan dan rasa aman

Mencakup apakah ada kesempatan untuk promosi atau kenaikan pangkat, atau apakah pekerjaan dipandang sebagai suatu jalan buntu, dan apakah pekerjaan menyediakan rasa aman pada karyawan dan pendapatannya.

e. Perasaan memiliki (sense of belonging)

Mencakup apakah karyawan merasa sebagai bagian dari kelompok atau terisolasi dari kelompok, apakah rekan kerja saling bersifat suportif atau sedang berada dalam situasi konflik berkepanjangan, dan apakah lingkungan kerja bebas dari prasangka yang merusak (destruktif).

f. Hak-hak karyawan

Mencakup apa hak-hak yang karyawan miliki, apa saja standard dari privasi personal, sikap terhadap ketidaksepakatan, persamaan dalam pemberian reward, dan akses terhadap prosedur keluhan.

g. Pekerjaan dan ruang hidup total

Mencakup bagaimana pekerjaan mempengaruhi peran karyawan dalam kehidupan personalnya, dan apakah tuntutan lembur, dinas keluar kota, dan pemindahan tugas dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan.

h. Tanggung jawab sosial dalam kehidupan kerja

Mencakup apakah karyawan memandang bahwa organisasi bertanggung jawab secara sosial, apakah organisasi menghasilkan produk atau layanan yang berkontribusi pada rasa harga diri atau kebanggaan karyawan, apakah karyawan terlibat dalam aktivitas yang tidak etis, dan apa-apa saja praktek kerja organisasi.

C. HUBUNGAN ANTARA QUALITY OF WORK LIFE DENGAN

KETERLIBATAN KERJA

Berhasil tidaknya suatu perusahaan menghadapi persaingan yang ketat sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang ada di dalamnya (Kreitner & Kinicki, 2003). Oleh karena itu, sumber daya manusia harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi (Hariandja, 2009). Salah satu aspek perilaku manusia dalam bekerja yang diketahui dapat menentukan efektivitas organisasi dan produktivitas dalam organisasi atau perusahaan adalah keterlibatan kerja (Brown, 1996).

Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mendefinisikan keterlibatan kerja sebagai internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau pentingnya pekerjaan bagi keberhargaan seseorang. Keterlibatan kerja sebagai tingkat sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi harga dirinya dan tingkat sejauh mana seseorang secara psikologis mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya. Robbins (2001) menambahkan bahwa keterlibatan kerja mengukur tingkat sejauh mana individu secara psikologis memihak pekerjaan mereka dan menganggap penting tingkat kinerja yang dicapai sebagai bentuk penghargaan diri. Karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan.

Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mengatakan bahwa individu yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi adalah orang yang memandang pekerjaan sebagai bagian yang sangat penting dalam kehidupannya dan orang yang sangat

dipengaruhi secara personal oleh situasi kerjanya. Patchen (dalam Srivastava, 2005) menambahkan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi terhadap perusahaan dan mempunyai motivasi kerja internal yang tinggi.

Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mengatakan bahwa individu dengan keterlibatan kerja yang rendah tidak memandang pekerjaan sebagai bagian yang penting dalam kehidupan psikologisnya. Minatnya tidak terletak pada pekerjaan yang ia miliki dan ia juga tidak terpengaruh oleh jenis pekerjaan apa yang sedang ia lakukan ataupun seberapa baik ia melakukan pekerjaan tersebut. Patchen (dalam Srivastava, 2005) menambahkan bahwa seseorang yang keterlibatan kerjanya rendah memiliki motivasi kerja yang rendah, dan merasa menyesal dengan pekerjaannya. Artinya, individu dengan keterlibatan kerja yang rendah adalah individu yang memandang pekerjaan sebagai bagian yang tidak penting dalam hidupnya, merasa kurang bangga dengan perusahaannya, kurang berpartisipasi dan kurang puas dengan pekerjaannya. Selanjutnya, Patchen (dalam Srivastava, 2005) mengatakan bahwa keterlibatan kerja yang rendah akan berhubungan negatif dengan kondisi yang negatif individu sebagai karyawan, yaitu rendahnya semangat kerja, prestasi kerja, kuantitas dan kualitas kerja, serta bertambahnya tingkat absensi dan turnover.

Keterlibatan kerja dipengaruhi oleh dua faktor, salah satunya adalah faktor situasional yang terdiri dari faktor pekerjaan, organisasi, dan lingkungan sosial budaya. Seperti yang telah dikemukan sebelumnya bahwa beberapa hasil penelitian yang dilakukan mengenai keterlibatan kerja ditemukan bahwa

gaji, dukungan organisasi, continuous improvement, persepsi terhadap penyelia, dan karakteristik pekerjaan. Faktor-faktor tersebut merupakan aspek-aspek yang membentuk quality of work life seorang karyawan (Kossen, 1987).

Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa salah satu usaha yang dilakukan oleh pihak perusahaan dalam meningkatkan keterlibatan kerja karyawannya adalah melalui quality of work life.

Schuler (1987) mengatakan bahwa quality of work life bertujuan untuk menghasilkan keterlibatan kerja yang lebih baik pada karyawan. Dubin (dalam Kondalkar, 2009) menekankan bahwa keterlibatan kerja individu ketika bekerja merupakan petunjuk yang baik dari quality of work life yang dialami di tempat kerja. Winardi (2001) menambahkan bahwa kualitas kehidupan kerja (quality of work life) seorang individu telah dikaitkan dengan banyak macam perilaku di tempat kerja. Perbaikan-perbaikan dalam kualitas kehidupan kerja dapat menyebabkan timbulnya perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri (penghargaan diri meningkat), terhadap pekerjaan yang dilaksanakan (meningkatnya kepuasan kerja dan keterlibatan), dan terhadap organisasi (komitmen lebih kuat terhadap tujuan-tujuan organisasi). Kossen (1987) juga menambahkan bahwa quality of work life mencakup seberapa efektif lingkungan kerja mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai personal karyawan ketika ia bekerja.

Quality of work life dapat dilihat melalui pengalaman-pengalaman karyawan di dalam organisasi berdasarkan faktor-faktor pembentuknya.

Faktor-faktor pembentuk tersebut mencakup kompensasi yang mencukupi dan adil, kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan untuk berkembang dan menggunakan kapasitas manusia, kesempatan untuk pertumbuhan berkelanjutan dan rasa aman, perasaan memiliki, hak-hak karyawan, pekerjaan dan ruang hidup total, dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan kerja (Walton dalam Kossen, 1987).

Dari beberapa penelitian yang dilakukan terhadap quality of work life ditemukan bahwa meningkatnya quality of work life memiliki dampak yang positif terhadap meningkatnya performansi dan efektivitas suatu organisasi, dan terhadap perilaku karyawan ketika bekerja. Jadi melalui persepsinya, individu akan melihat jika quality of work life baik dan cenderung dapat memenuhi kebutuhan dan kesejahteraannya ketika bekerja maka ia akan meningkatkan keterlibatannya dalam pekerjaannya. Individu akan melarutkan dirinya pada pekerjaannya dan umpan balik dari perilaku kerjanya akan menimbulkan suatu kepercayaan bahwa pekerjaan adalah bagian terpenting dan utama bagi dirinya.

D. HIPOTESIS PENELITIAN

Adapun hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara quality of work life dengan keterlibatan kerja. Artinya, semakin tinggi tingkat quality of work life maka semakin tinggi pula keterlibatan kerja seorang karyawan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat quality of work life, maka semakin rendah pula tingkat keterlibatan kerja.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut cara yang benar dalam mengumpulkan data, analisa data, dan pengambilan kesimpulan penelitian serta dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Tujuan metode penelitian korelasional adalah untuk menyelidiki sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien korelasi (Azwar, 2007).

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang melibatkan dua variabel penelitian yaitu variabel bebas dan variabel tergantung. Yang menjadi variabel bebas maupun variabel tergantung adalah:

Variabel tergantung : keterlibatan kerja Variabel bebas : quality of work life

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

1. Keterlibatan Kerja

Keterlibatan kerja adalah komitmen seorang karyawan terhadap pekerjaannya yang ditandai dengan karyawan memiliki kepedulian yang tinggi

terhadap pekerjaan, adanya perasaan terikat secara psikologis terhadap pekerjaan yang ia lakukan, dan keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan. Alat ukur keterlibatan kerja dikembangkan berdasarkan dimensi-dimensi dari keterlibatan kerja menurut Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003), yaitu performance self-esteem contingency dan pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu.

Tingkat keterlibatan kerja dapat dilihat skor rata-rata yang diperoleh subjek dalam memberikan respon pada setiap aitem dari alat ukur keterlibatan kerja. Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi pula tingkat keterlibatan kerja subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh, maka semakin rendah pula keterlibatan kerja subjek.

2. Quality of Work Life

Quality of work life adalah persepsi seorang pegawai mengenai kesejahteraan, suasana dan pengalamannya di tempat kerja, yang ditandai dengan kemampuan lingkungan kerja dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya di tempat kerja.

Alat ukur quality of work life dikembangkan berdasarkan komponen-komponen dari quality of work life yang mencakup kompensasi yang mencukupi dan adil, kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan untuk berkembang dan menggunakan kapasitas manusia, kesempatan untuk pertumbuhan berkelanjutan dan rasa aman, perasaan memiliki, hak-hak karyawan, pekerjaan dan ruang hidup

total, dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan kerja (Walton dalam Kossen, 1987).

Tingkat quality of work life dapat dilihat dari skor rata-rata yang diperoleh subjek dalam alat ukur quality of work life. Semakin tinggi skor, maka semakin tinggi tingkat quality of work life. Sebaliknya, semakin rendah skor, semakin rendah pula tingkat quality of work life subjek tersebut.

C. POPULASI, SAMPEL DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL

1. Populasi Penelitian

Populasi adalah seluruh objek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi adalah objek, gejala atau kejadian yang diselidiki terdiri dari semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian itu akan digeneralisasikan (Hadi, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pegawai yang bekerja di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Polonia yang berjumlah 91 orang. Adapun yang menjadi karakteristik dalam populasi ini adalah pegawai tetap, semua jabatan, dan telah bekerja setidaknya selama 2 tahun dengan asumsi bahwa pegawai telah cukup memahami aturan-aturan dan nilai-nilai yang ada dalam organisasi.

2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih melalui cara tertentu yang mewakili karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang dianggap mewakili populasi. Sampel yang baik harus memenuhi dua syarat, yaitu representatif dan

memadai. Sampel dikatakan representatif jika ciri-ciri sampel yang berkaitan dengan tujuan penelitian sama atau hampir sama dengan ciri-ciri populasinya. Sampel dikatakan memadai jika ukuran sampel cukup untuk meyakinkan kestabilan ciri-cirinya (Arifin, 2008).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengambilan sampel probabilitas (probability sampling). Salah satu jenis teknik pengambilan sampel ini adalah convenience sampling (accidental sampling), dimana peneliti memilih individu terdekat untuk dijadikan sebagai sampel penelitian sampai ukuran sampel yang diinginkan tercapai dan memilih individu yang ada di tempat dan dapat diakses selama waktu penelitian (Cohen, Manion, & Morrison, 2007).

3. Jumlah Sampel Penelitian

Tidak ada jawaban yang jelas mengenai ukuran sampel yang benar. Ukuran sampel dapat bergantung pada sifat populasi penelitian, jenis analisa yang digunakan, taraf signifikansi, dan jenis penelitian. Borg dan Gall (dalam Cohen dkk., 2007) menyatakan bahwa penelitian korelasi membutuhkan ukuran sampel tidak kurang dari 30.

Dokumen terkait