• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Corporate Governance

3. Karakteristik Komite Audit

akuntansi)

1. Struktur Kepemilikan

Berle dan Means (1932) dalam Wu et.al., (2004) menetapkan bahwa penyebaran kepemilikan (kepemilikan perusahaan) secara tidak langsung membedakan manajemen dari kepemilikan perusahaan. Penyebaran kepemilikan ini dapat berkontribusi pada agency problems antara manajer dan pemegang saham atau pemegang saham dan debitor (Jensen and Meckling, 1976 dalam Wu et.al., 2004). Struktur kepemilikan ikut menentukan arah kebijakan perusahaan yang akan diambil oleh pihak manajemen. Agency problems akan muncul ketika terjadi konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham.

Sementara Lin et.al., (2008), dalam penelitian tentang penerapan corporate governance di China, menyatakan bahwa struktur kepemilikan mempunyai peran penting dalam menentukan efisiensi perusahaan. Lebih lanjut diungkapkan bahwa efisiensi perusahaan berhubungan negatif dengan kepemilikan negara (state ownership) dan berhubungan positif dengan kepemilikan publik dan karyawan.

commit to user

Adanya kepemilikan yang terpusat (controlling shareholders) berarti ada pihak yang kuat dalam stuktur kepemilikan perusahaan Selain itu kepemilikan yang terpusat juga akan menimbulkan tidak diperhatikannya kepentingan pemegang saham minoritas. Ini diperkuat oleh pendapat Morck et.al., (2000) dalam Lin et.al., (2008) bahwa controlling shareholders dapat mengejar kepentingan yang akan bertentangan dengan pemegang saham minoritas. Pendapat lain yang serupa dalam Laporta et.al., (1999, 2000) menyatakan masalah utama dalam konflik keagenan perusahaan besar yang telah terdaftar di bursa efek adalah membatasi pemanfaatan sumberdaya oleh pemegang saham mayoritas (yang merupakan pemegang saham pengendali) yang dapat merugikan kepentingan pemegang saham minoritas. Kecurangan akan rawan terjadi ketika menyangkut kepentingan pemegang saham mayoritas. Seperti praktek tunneling yang dilakukan karena kepentingan pemegang saham mayoritas pada penelitian Cheung (2005). Praktek kecurangan seperti ini akan membuat perusahaan mengalami ketidakefisienan dalam operasinya.

Penelitian Hsu et.al., (2006) menggunakan struktur kepemilikan yang terdiri dari veriabel proporsi manager ownership, proporsi institusional shares, proporsi dari collateral shares antara direktur dan supervisor. Istilah stuktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa variabel-variabel yang penting di dalam struktur modal tidak hanya ditentukan oleh jumlah utang dan equity tetapi juga oleh prosentase

commit to user

kepemilikan oleh manager dan institutional (Jensen dan Meckling, 1976). Sesuai dengan penelitian Hsu et.al., (2006) struktur kepemilikan terdiri dari 2 variabel, yaitu :

a. Kepemilikan Manajerial (manajerial ownership)

Beberapa penelitian sebelumnya tentang hubungan kepemilikan manajerial dan efisiensi menunjukan hasil yang bertentangan (Liao et.al., 2010). Jensen dan Meckling (1976) berpendapat bahwa salah satu cara untuk mengurangi agency cost adalah dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen. Dengan peningkatan kepemilikan manajerial maka konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham (agency problem) dapat berkurang (Jensen dan Meckling, 1976). Kesner (1987) dalam Huang et.al., (2008) meneliti antara hubungan manajerial dan kinerja perusahaan dan menemukan bahwa ada hubungan positif antara keduanya. Penelitian lain oleh Vance (1964) juga menemukan hubungan yang positif antara kepemilikan manajerial terhadap profit margin, sedangkan Pfeffer (1972) menemukan hubungan yang positif dan signifikan antara profit margin dan return on equity (ROE) (Huang et.al., 2008). Proporsi kepemilikan saham yang dikontrol oleh manajer dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan. Kepemilikan manajerial akan mensejajarkan kepentingan manajemen dan pemegang saham (outsider ownership), sehingga akan memperoleh manfaat langsung dari keputusan yang diambil serta menanggung

commit to user

kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah.

Li et.al., (2004) dalam Liao et.al., (2010) menjelaskan hubungan antara kepemilikan manajerial dan dan efisiensi bank di Taiwan dan menemukan bahwa bank campuran punya efisiensi lebih tinggi daripada bank swasta. Mereka berpendapat bahwa kekuatan birokrasi dan skema insentif masih mempunyai pengaruh besar terhadap peningkatan efisiensi.

Pendapat lain yang berbeda adalah hasil penelitian dari Liao et.al., (2010) dalam penelitiannya di Taiwan menyatakan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap efisiensi. Hasil ini dijelaskan dengan adanya family centric di kepemilikan manajerial serta tidak adanya outside block shareholder yang bukan keluarga atau asosiasi bisnis. Liao et.al., (2010) berpendapat bahwa adanya monitoring dari pihak eksternal lebih berpengaruh terhadap efisiensi daripada struktur kepemilikan.

b. Kepemilikan Institusional

Demsetz (1983) serta Shleifer dan Vishny (1986) dalam Aljifri dan Moustafa (2007) menyatakan bahwa kepemilikan Institusional bisa meningkatkan kinerja perusahaan. Pemilik saham bisa meningkatkan monitoring terhadap jajaran manajemen perusahaan sehingga operasi perusahaan akan menjadi efisien. Sebaliknya

commit to user

However dan Pound (1988) dalam Aljifri dan Moustafa (2007) menyatakan bahwa bahwa kepemilikan Institusional berpengaruh negatif karena akan terjadi perbedaan strategi antara pemegang saham dan manajemen perusahan. Adanya perbedaan strategi ini bisa menyebabkan tabrakan kepentingan dan menimbulkan agency problem. Kepemilikan Institusional ini mendominasi kepemilikan saham pada perusahaan perusahaan besar di negara Anglo-American (Wikipedia). Hsu et.al., (2006) membagi kepemilikan institusional ke dalam saham pemerintah (state ownership), saham perusahaan lain, saham perusahaan lain dari luar negeri, saham financial company, dan saham organisasi legal (legal entities).

Saham Pemerintah (state ownership)

Dalam penelitian Zelenyuk dan Zheka (2007) dinyatakan bahwa state ownership berhubungan positif dengan ketidakefisiensian perusahaan. Hal serupa juga dikemukan Lin et.al., (2008) dalam penelitiannya di China bahwa subsidi dan kepentingan politik dari pemerintah China menyebabkan perusahaan di China yang mempunyai state ownership besar menjadi tidak efisien. Kepemilikan Institusional oleh pemerintah menyebabkan politik ikut mempengaruhi strategi perusahaan.

commit to user

Saham Perusahaan Lain

Saham perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan lain (perusahaan dalam negeri, perusahaan luar negeri, dan organisasi legal lain). Kepemilikan saham oleh perusahaan lain biasanya akan berpengaruh pada strategi perusahaan tersebut. Pada penelitian Lin et.al., (2008) kepemilikan yang terpusat pada perusahaan lain juga bisa mengakibatkan terjadinya aktivitas tunneling. Kepemilikan dari perusahaan lain juga akan meningkatkan monitoring terhadap kinerja manajemen dan keseluruhan perusahaan.

Saham Financial Company

Saham Financial Company adalah saham yang dimiliki oleh financial Institution seperti asuransi, bank (Wikipedia). Dalam empat tahun terakhir, terjadi peningkatan kepemilikan saham dari financial company dan penurunan kepemilikan individu di US-UK. Di Jepang dalam struktur keiretsu terdiri dari financial company dan industrial company. Dalam Japanesse system, keberadaan financial company dipandang bisa menjadi pihak yang ikut mengontrol keuangan perusahaan (Maher dan Andersson, 1990). Oleh karena itu, sebagian besar kepemilikan saham di Jepang dikuasai oleh financial company dan Industri company (Wikipedia).

Di Eropa, penelitian yang dilakukan oleh Chirinko et.al., (1999) menyatakan bahwa kepemilikan oleh financial company (dalam

commit to user

kasus ini oleh bank) berhubungan positif dengan tingkat hutang jangka pendek perusahaan. Penelitian lain yang dilakukan Pyrkalo (2011) mengatakan bahwa kepemilikan oleh financial company (dalam kasus ini oleh bank) bisa membantu perusahaan untuk melaksanakan praktek mekanisme corporate governance yang lebih baik.

2. Struktur Dewan Komisaris

Veliyath (1999) dalam Wu (2004) menunjukan bahwa dewan komisaris menjalankan tugas sebagai jembatan penghubung antara pemilik dan manajer, kewajibannya adalah untuk melindungi kepentingan pemegang saham. Dewan komisaris bertugas sebagai pihak yang memonitor aktivitas manajemen. Sedangkan Liu dan Lu (2007) menyatakan bahwa dewan komisaris tidak hanya bertindak sebagai mekanisme kontrol dalam proses pembuatan laporan keuangan, tetapi juga dapat mencegah controlling shareholder untuk melakukan aktivitas yang dapat merugikan kepentingan pemegang saham lainnya. Pada penelitian sebelumnya, Hsu et.al., (2006) menggunakan struktur dewan komisaris yang tediri dari ukuran board director, duality CEO, proporsi board independent, gaji direkur dan supervisor. Sesuai dengan penelitian Hsu et.al., (2006), dalam penelitian ini struktur dewan komisaris akan dibagi dalam 3 varibel :

commit to user

a. Ukuran anggota dewan Komisaris

Jensen (1993) dan Lipton dan Lorsch (1992) dalam Beiner, Drobetz, Schmid, dan Zimmermann (2003) merupakan yang pertama menyimpulkan bahwa ukuran dewan komisaris merupakan bagian dari mekanisme corporate governance (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Jensen (1993) dalam Wu (2004) menemukan bahwa jumlah dewan komisaris yang besar akan menyebabkan pendapat yang bermacam macam yang akan mengakibatkan consensus akan sulit dicapai. Hal ini kemudian hal ini akan menyebabkan tingkat efisiensi menjadi rendah, situasinya akan lebih buruk kalau direktur juga mengalami peningkatan jumlah. Meskipun dewan komisaris bertindak sebagai mekanisme kontrol (Liu dan Lu, 2007) ukuran yang terlalu besar dapat menyebabkan terjadinya komunikasi yang tidak efisien, sulitnya menentukan pendapat, selain itu biaya yang dikeluarkan juga akan lebih besar. Lipton and Lorsch (1992) dalam Belkhir (2006) menyarankan untuk memakai jumlah dewan komisaris yang kecil dan merekomendasikan jumlah anggota dewan komisaris dibatasi tujuh sampai delapan orang.

b. Proporsi Komisaris Independen

Linck, Netter, dan Yang (2008), Adams dan Ferreira (2007), dan Raheja (2005) dalam Huang et.al., (2008) membagi aktivitas

commit to user

dewan komisaris kedalam aktivitas monitoring dan advising. Klein (2002) menemukan bahwa board of director dari pihak independen dapat lebih efektif dalam melakukan pengawasan. Dengan pengawasan yang efektif maka tindakan manajemen yang bisa mengarah ke penyimpangan seperti aktifitas tunneling atau transfer payment bisa berkurang dengan begitu efisiensi perusahaan akan meningkat. Fama (1980) dan Chaganti et.al. (1985) dalam Huang et.al. (2008) berpendapat bahwa semakin banyak komisaris yang independent maka semakin efektif mereka dapat memonitor kinerja manajerial. Beasley (1996), Fama dan Jensen (1983) dalam Huang et.al., (2008) menyediakan bukti yang menyatakan bahwa komisaris independent lebih bersedia (mau melakukan lebih) untuk menyediakan “effective oversight” dan pengungkapan dengan tujuan keinginan mereka untuk mempertahankan reputasi mereka.

Hasil yang berbeda akan terjadi apabila fungsi advising lebih tinggi daripada fungsi monitoring. Fungsi advising yang terlalu banyak porsinya akan menyebabkan ketidakefisiensian karena fungsi monitoring yang menjadi sedikit (Huang et.al., 2008). Berlebihnya fungsi advising ini akan mengakibatkan menurunnya kinerja perusahaan (Agrawal dan Knoeber, 1996 dalam Huang et.al., 2008).

commit to user

c. Proporsi Gaji Manajer terhadap Aset

Edwards et.al., (2007) dalam penelitiannya tentang struktur corporate governance di Jerman menemukan bahwa manager salary akan meningkatkan profitability perusahaan. Penelitian lain oleh Gerhart dan Milkovich (1990) dalam Cooper et.al., (2009) menyatakan insentif berpengaruh terhadap kinerja sedangkan salary base tidak berpengaruh terhadap kinerja. Kang et.al., (1998) gaji manager dapat mengurangi agency problem yang terjadi dengan para pemegang saham. Berkurangnya agency problem ini akan meningkatkan efisiensi perusahaan.

3. Karakteristik Komite Audit

Sesuai dengan Kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian perusahaan. Selain itu komite audit dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian. Komite audit dapat menjadi pihak yang mengawasi atau memonitor perusahaan sehingga kecurangan yang mengarah ke ketidakefisienan operasi perusahan dapat diminimalkan. Ini diperkuat dengan penelitian Klein (2002) yang

commit to user

menemukan bahwa keberadaan komite audit akan mengurangi terjadinya praktik earning management yang negatif. Beberapa penelitian membuktikan bahwa peranan sistem corporate governance yang baik, salah satunya komite audit, dapat membuat manajemen laba perusahaan menjadi lebih efisien (Bowen et.al., 2004; Kelley et.al., 2005 dalam Fitriasari, 2007). Huang et.al., (2008) dalam penelitiannya membagi karakteristik komite audit menjadi 3 variabel :

a. Jumlah rapat audit komite

Zhang et.al., (2007) dalam Xavier (2009) menyatakan rapat komite audit yang sering tidak efektif. Penelitian lain menyatakan bahwa hubungan aktivitas rapat audit dengan akrual diskresioner yang diuji secara individual maka aktivitas rapat ini terbukti dapat meningkatkan pengaturan laba perusahaan menjadi lebih efisien (Fitriasari, 2007).

b. Proporsi Komite Audit Dengan Keahlian Akuntansi

Carcello et.al., (2006) menyelidiki hubungan antara keahlian komite audit di bidang keuangan dan manajemen laba. Hasil penelitiannya bahwa komite audit dapat mengurangi praktik earning management. Tugas komite audit sebagai pengawasan pengelolaan perusahaan (Kep. 29/PM/2004), dengan begitu keahlian di bidang akuntansi sangat diperlukan terkait dengan laporan keuangan perusahaan.

commit to user

Pendapat lain yang berbeda adalah Anderson et.al., (2004) dalam Huang et.al., (2008) yang tidak menemukan efek signifikan adanya auditor yang bekeahlian akuntansi di komite audit. Diperkuat oleh Agrawal dan chandha (2005) dalam Huang et.al., (2008) yang menyatakan apabila anggota dengan keahlian akuntansi tidak melakukan monitoring secara efektif maka yang terjadi adalah penurunan performa perusahaan (inefficiency performance).

c. Proporsi Komite Audit Independen

Kehadiran komite audit independen lebih efektif memfasilitasi monitoring pelaporan keuangan (Beasley, 1996; Dechow et.al., 1996; Carcello dan Neal 2003) dan audit eksternal (Carcello et.al., 2002; Abbott et.al., 2003, 2004; dalam Sutaryo et.al., 2009). Komite audit independen juga memberikan pengawasan yang lebih efektif terhadap manajemen (Sutaryo et.al., 2009)

Dokumen terkait