• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISA KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

5.4 Karakteristik Konflik

Pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat karakteristik konflik pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di Desa Curugbitung adalah dengan melihat konflik menurut wujud dan level konflik yang terjadi. Seperti ditulis oleh Hendricks (1996), bahwa: (1) Dengan meningkatnya konflik, perhatian pada konflik itu akan meningkat; (2) Keinginan untuk menang meningkat seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi; (3) Strategi manajemen konflik yang

berhasil pada tingkat konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi; (4) Konflik dapat melampaui tahapan yang lazim; (5) Seseorang dapat menjadi individu yang berbeda selama berada dalam konflik.

Fuad dan Maskanah (2000) serta Hae, et al. (2001) menyatakan bahwa menurut wujudnya, konflik dapat berwujud tertutup (latent), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest), juga dapat meningkat (eskalasi). Sedangkan menurut level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik vertikal dan konflik horisontal.

Menurut wujudnya, konflik yang terjadi di wilayah Desa Curugbitung cenderung tertutup (laten) dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal tersebut terjadi karena kecakapan para elit lokal (tokoh masyarakat) untuk meredam terjadi konflik hingga tidak dapat terbaca oleh pihak-pihak di luar wilayah tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pimpinan RMI, NEI menyatakan bahwa:

“Kami telah masuk wilayah Kecamatan Nanggung sejak tahun 1998, namun kami baru mengetahui adanya konflik di Desa Curugbitung sekitar tahun 2004.”

Hal senada juga diungkapkan oleh Fuad dan Maskanah (2000), bahwa konflik laten dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik, seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan paling potensi sekalipun.

Negosiasi yang kuat dan dukungan pihak keamanan menjadikan masing- masing pihak yang bersengketa dapat mengambil jalan keluar atau berdiam diri, meski salah satu atau keduanya sama-sama mengalami kerugian. Setelah beberapa sesepuh desa meninggal, maka mulai banyak muncul masalah dalam desa. Mulai masalah tanah hingga masalah minuman keras. Permasalahan dalam masyarakat tersebut mengarahkan masyarakat menuju pengotak-ngotakan diri dan membentuk golongan-golongan tertentu dengan pemahaman dan keyakinan masing-masing dalam menjalani kehidupan keseharian mereka, seperti yang diungkapkan oleh

Soekanto (1990) dan Hae, et al. (2000), bahwa dalam konflik akan timbul persepsi pengotak-ngotakan yang terjadi apabila pertentangan antar golongan dalam satu kelompok tertentu sehingga tidak menciptakan perasaan in-group dalam kelompok tersebut.

Kehadiran beberapa LSM memberikan wacana baru masyarakat, dari segi wawasan, masyarakat dapat memiliki cara pandang baru terhadap kasus yang terjadi dalam artian ada proses penyadaran akan pentingnya memiliki kekuatan yang sama (bergaining) dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya alam. YYH, pengurus KPC yang menjadi pembuka galian teras di lahan HGU menguraikan:

“RMI memberikan banyak pengalaman dan bimbingan kepada kami petani, terutama yang tidak memiliki lahan agar dapat melatih diri dengan lahan pertanian yang semakin sempit. Sedangkan HuMa membantu kami dalam konsultasi tentang tindakan yang kami akan lakukan berkaitan dengan bidang hukum”.

Dari segi konflik, kedatangan pihak LSM sebagai pihak ketiga tidak terlihat banyak memberikan jalan keluar, karena pihak RMI sendiri sedikit kesulitan untuk berkomunikasi dengan pimpinan perusahaan. Hal ini juga diakui oleh manajer kebun AGR dalam wawancara:

“Kami tahu siapa sebenarnya dibalik semua ini, ada pihak ketiga yang kami sendiri tidak tahu dengan jelas maksud dan tujuannya, andai saja kami tahu siapa pihak RMI itu, maka kami akan coba berdiskusi, namun sampai saat ini belum ada yang menemui kami, duduk bersama dan mencari solusi terbaik. Kami juga tidak mau jika masalah ini hanya diwacanakan sepihak dengan masyarakat, tanpa ada pertemuan yang resmi.”

Suatu konflik dikatakan mencuat jika masing-pihak yang berselisih mulai diketahui/teridentifikasi, telah diakui adanya perselisihan, dan kebanyakan permasalahannya jelas, namun proses penyelesaian masalahnya belum berkembang (Fuad dan Maskanah, 2000). Konflik antar masyarakat Desa Curugbitung dan PT. Hevindo mulai mencuat ketika hadirnya LSM ke desa dan ketika perusahan telah melakukan tindakan agresif, dalam bentuk teguran, ancaman, penggunaan aparat keamanan, hingga pencabutan tanaman. Tindakan Hevindo hal

ini semakin mendorong masyarakat untuk melakukan konsolidasi dengan semua penggarap yang jumlahnya sekitar 200 orang di lahan HGU untuk merencanakan tindakan perlawanan. Hal ini diungkapkan BBY saat bersama-sama dengan para penggarap lain di rumahnya:

“Sebagian besar penggarap di lahan Hevindo telah masuk menjadi anggota KPC (Komunitas Petani Curugbitung), saat ini pengurusnya berjumlah 10 orang dalam artian menjadi motor penggerak gerakan ini, dan jumlah petani yang telah terdaftar sekitar 200 orang.”

Dilanjutkan oleh MRF, ketua KPC:

“Jika perusahaan melakukan pencabutan tanaman kami lagi, kami berjanji untuk melakukan perlawanan fisik.”

Hingga penelitian ini selesai pihak perusahaan belum melakukan tindakan pencabutan tanaman, sehingga dapat dikatakan bahwa konflik belum sepenuhnya berwujud terbuka, seperti yang dicirikan oleh Fuad dan Maskanah (2000), dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, juga sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan buntu. Fakta yang terjadi masing-masing pihak baru akan memulai proses negosiasi satu sama lain, dan masing-masing pihak tidak terlibat secara aktif. Jika dikaitkan dengan sejarah konflik yang terjadi, maka wujud konflik yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 10. berikut ini:

Gambar 10. Wujud Konflik Antara Masyarakat Desa Curugbitung dan PT. Hevea Indonesia

Area Laten Area Mencuat

Area Terbuka

Area Eskalasi

Apabila dilihat dari level konflik, maka konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Curugbitung dengan PT. Hevindo tergolong konflik vertikal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Fuad dan Maskanah (2000) yang menyatakan bahwa konflik vertikalterjadi apabila pihak yang di lawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik antara golongan X dan golongan Y tergolong pada konflik horisontal, yaitu terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapakah lawan yang sebenarnya. Konflik horisontal juga terjadi antara TNGH-S dengan PT. Hevindo, PT. Hevindo dengan Perum Perhutani, pemerintah Kecamatan Nanggung, dan pemerintah Desa Curugbitung, meski wujudnya laten.

Dokumen terkait