• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISA KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

5.3 Penyebab Konflik

Beberapa penulis di Bab II mengungkapkan bahwa sebagian besar konflik atas sumberdaya alam mempunyai sebab-sebab ganda, biasanya kombinasi dari masalah-masalah dalam hubungan antara pihak bertikai yang mengarah pada konflik terbuka. Karena sering kali menjadi rumit, sangat penting untuk mendefinisikan permasalahan pokok atau penyebab pertikaian dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai. Penyebab konflik yang terjadi antara masyarakat Curugbitung dan PT. Hevindo berawal pada keterbatasan jumlah lahan milik, sementara kebutuhan selalu meningkat, baik fungsi maupun

: Konflik Utama : Konflik Laten

: Hubungan Dekat : Hubungan Kerjasama : Hubungan ”Kepentingan”

: Pihak yang terlibat konflik : Pihak yang mengamati konflik

atau pihak yang tidak menampakkan ketelibatan secara langsung dalam konflik

Masyarakat Curugbitung PT. Hevea Indonesia Pemerintahan Desa Curugbitung Mandor KPC (Komunitas Petani Curugbitung) Mantan Lurah LSM Sawit Watch, Raca Institut, SPM LSM RMI LSM HuMa Pengusaha Dinas Tata Ruang Kab. Bogor Bapeda Polsek Nanggung KPN (Komunitas Petani Nanggung) DinTanHut Kabupaten Bogor Perum Perhutani III Pemerintahan Kecamatann Nanggung TNGH-S

manfaat lahan tersebut bagi masyarakat. Kemudian hal tersebut dipacu juga oleh adanya pertumbuhan jumlah penduduk yang terus bertambah, sehingga memunculkan alternatif untuk mengembangkan bidang pertanian melalui pembukaan lahan kosong HGU PT. Hevindo. Bidang ini dipilih karena hanya dibidang ini mereka memiliki kemampuan.

Jika dilihat dari sisi masyarakat, konflik yang terjadi merupakan bentuk perlawanan dari masyarakat, baik yang bermotif ekonomi maupun non-ekonomi. Perlawanan dengan motif ekonomi tampak pada pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat, seperti menanam singkong, talas, pisang dan sayuran meski tidak diijinkan pihak perusahaan. Perlawanan juga bersumber dari kebutuhan akan ruang kelola (kebutuhan atas lahan pertanian) oleh masyarakat, hal ini disebabkan karena tingkat kepemilikan lahan masyarakat di desa pada umumnya kecil.

Perlawanan yang bermotif non-ekonomi bersumber dari upaya masyarakat untuk mengungkap ketidakadilan sosial yang telah dilakukan perusahaan terhadap masyarakat yang puluhan tahun hidup di wilayah enclave (wilayah kantung) ini. Kepedulian perusahaan terhadap masyarakat dirasakan sangat tidak banyak. Perlawanan ini juga sebagai protes atas ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan jaminan sosial terhadap masyarakat, sehingga masyarakat menghindari ketergantungan terhadap pemerintah dalam kesejahteraan sosialnya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengarap lahan HGU milik pemerintah yang disewakan kepada PT. Hevindo hingga tahun 2014. Hal yang diinginkan masyarakat adalah pemerintah memberikan sebagian lahan HGU kepada mereka agar kehidupan mereka terjamin di masa yang akan datang.

Perbedaan kepentingan dan pemahaman antara masyarakat dan Hevindo di atas telah menjadi penyebab terjadinya konflik, serta hadirnya pihak ketiga yang mendukung kegiatan masyarakat, seperti LSM dan pemerintahan desa di tiga wilayah afdeling PT. Hevindo, mungkinkan memperkuat konflik yang terjadi, bahkan sulit menemui titik penyelesaian.

Perbedaan pemahaman lebih disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara pihak perusahaan dan masyarakat serta lembaga lain yang ikut terlibat dalam konflik ini. Informasi yang diterima oleh masing-masing pihak menjadi sedikit, bisa salah, dan menyebabkan perbedaan persepsi, sehingga terjadi perbedaan dalam menterjemahkan sesuatu. WWN, salah satu pengurus KPC menggungkapkan:

“Selama ini kami belum pernah bertemu secara langsung dengan manajer kebun, karena manajer kebun yang sekarang orangnya sangat tegas dan tidak suka tawar-menawar, sehingga kami pun tidak berani untuk bertemu. Pernah beberapa kali kami dipanggil untuk bertemu pihak perusahaan namun kami tidak berani.”

Perusahaan mengganggap bahwa masyarakat melakukan tindakan penyerobotan lahan milik HGU sehingga harus dihentikan, tanpa melihat kondisi dan keinginan masyarakat. Sedangkan masyarakat menganggap bahwa perusahaan hanya menjadi pembatas akses mereka terhadap sumberdaya alam dengan tidak memberikan kesempatan untuk mengelola lahan kosong (yang belum digunakan) perusahaan. Seperti yang diungkapkan oleh YYH, pengurus KPC yang pernah menjadi pembuka galian teras di lahan HGU:

“Kalau kondisinya terus-terusan begini, maka perusahaan hanya menjadi penghambat bagi masyarakat untuk mengakses sumberdaya alam yang ada”.

Perbedaan persepsi dan pemahaman inilah yang menjadi awal mula terjadinya konflik.

Perbedaan kepentingan antara masyarakat dan PT. Hevindo terlihat juga saat masyarakat telah dikenalkan pada wawasan-wawasan baru tentang pengelolaan sumberdaya alam, tentang hak mereka sebagai warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak dengan memanfaatkan sumberdaya alam sekitar. Tidak hanya itu saja, tapi masyarakat juga dikenalkan pada kesempatan untuk memperoleh tanah. Konflik ini masih terjadi meskipun masing-masing pihak memiliki interpretasi dan pemahaman yang sama, serta mempunyai kesamaan nilai. Masyarakat tahu kalau lahan yang mereka garap adalah lahan HGU PT. Hevindo, namun yang terjadi mereka tetap saja menggarap lahan tersebut. Masyarakat sadar

kalau mereka tidak banyak memiliki hak apapun terhadap lahan tersebut, namun kondisi ekonomi yang pas-pasan memaksa mereka untuk melakukan pembukaan lahan HGU. Menurut BBY, penggarap yang masih tetap bertahan dilahan HGU menyatakan:

“Pembukaan lahan juga tidak dilakukan dengan semena-mena tanpa perhitungan, namun kita melihat lahan mana yang kosong dan sudah lama tidak dikelola oleh pihak Hevindo. Selain itu, kami juga meminta izin kepada lurah setempat untuk membuka lahan tersebut.”

Menurut perusahaan, tindakan yang dilakukan masyarakat adalah liar. Sedikit banyak perusahaan tahu kalau masyarakat membutuhkan lahan untuk membantu kebutuhan hidup mereka, namun mereka tidak menginginkan jika tanah HGU atas nama mereka digarap tanpa surat perjanjian. Menurut manajer kebun AGR:

“Selama ini kami tidak pernah meminta imbalan apapun dari masyarakat yang menggarap di lahan kosong perusahaan kami dan telah menandatangi surat perjanjian, namun kami juga tidak ingin masyarakat turut menjadi penyebab kerugian perusahaan kami, dengan merencanakan tindakan pengambilalihan lahan milik kami.”

Seperti yang telah diungkapkan di bab sebelumnya, bahwa pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat diukuti oleh kebutuhan akan sumberdaya alam, terutama lahan mendorong masyarakat untuk membuka kembali lahan milik HGU yang kosong. Alasan ini didukung oleh angka kepadatan agraris (555 per km persegi) yang sangat tinggi, sehingga dapat dianggap suatu yang wajar ketika mereka merambah ke lahan milik HGU yang menurut masyarakat tidak termanfaatkan. Menurut WWN:

”Untuk saat ini tidak banyak yang bisa kami lakukan, kemampuan kami terbatas hanya pada bidang pertanian, sedangkan lahan tidak ada, apalagi kami harus tetap mencari makan buat anak-anak dan istri kami, barang serba mahal, ya..mau bagaimana lagi, selain membuka lahan HGU, kan belum dipakai juga!”

Perubahan status kawasan milik Perum Perhutani menjadi kawasan TNGH- S, mengakibatkan terputusnya hubungan antara masyarakat yang sebelumnya pernah menjadi penggarap di lahan Perhutani melalui SK Mentri Kehutanan No175/Kpts-II/2003. Larangan menggarap di lahan konservasi dan penjagaan polisi hutan menjadikan masyarakat takut untuk menggarap di kawasan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kasus ini, peraturan pemerintah juga menjadi pendorong terjadinya konflik antar anggota masyarakat, serta masyarakat dengan pihak lainnya. Perbedaan nilai dalam kasus konflik ini tidak terjadi antara perusahaan dan masyarakat, namun perbedaan tersebut lebih tampak dalam masyarakat Desa Curugbitung sendiri. Perbedaan nilai antara golongan X dan golongan Y, menyebabkan masing-masing pihak seakan-akan berebut untuk mencari jamaah (pengikut). Hal ini juga dikaitkan dengan isu-isu partai politik dan kekuasaan lembaga keagamaan seperti MUI di desa. Dalam kasus ini juga ada terlihat konflik terjadi karena perbedaan latar belakang pendidikan masing-masing pemimpin maupun pengikut golongan tersebut. Golongan X berlatar belakang pondok pesantren, sedangkan golongan Y berlatar belakang perguruan tinggi agama negeri. Tindakan yang pernah terjadi, antara lain: pengerahan massa untuk menurunkan salah satu ketua DKM masjid tertentu, yang dianggap nilai yang dibawa tidak sesuai dengan pemahaman nilai pemimpin golongan X tersebut. Massa saat itu diajak karena alasan akan dilakukan pengajian, namun ternyata pimpinan dari golongan tersebut ingin menurunkan ketua DKM baru yang baru 6 bulan bekerja.

Selain itu, terjadi juga konflik antara perusahaan PT. Hevindo dengan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGH-S) yang disebabkan oleh tata batas dan perbedaan dasar hukum yang digunakan. Sebelumnya Hevindo telah berkonflik dengan Perum Perhutani III Jawa Barat. Seiring dengan dikeluarkannya SK Mentri Kehutanan No175/Kpts-II/2003 tentang perluasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), memberikan kesan bahwa terjadi “perubahan” pihak yang berkonflik, meski masih berwujud laten. Awalnya yang berkonflik adalah Hevindo dan Perhutani, tapi

dengan dikeluarkannya SK tersebut berubah menjadi TNGH-S dengan Hevindo. Selain itu, TNGH-S juga mengalami konflik dengan Perhutani, seperti yang diungkapkan oleh JYR, staf kantor seksi konservasi wilayah II TNGH-S Bogor:

“Ada oknum dari Perum Perhutani yang melakukan penebangan pohon di lahan bekas Perum Perhutani yang sekarang menjadi TN. Tanah tersebut sedang diserahkan kepada pemerintah pusat untuk memutuskannya. Kami hanya menunggu perintah dari pimpinan dalam penanganan kasus lahan bekas Perhutani tersebut”

Lebih lanjut dikatakan bahwa:

“Masih ada juga masyarakat yang mengelola di lahan bekas Perhutani itu. Kami tidak mengambil pungutan seperti yang dilakukan Perhutani dulu. Syarat yang harus dipenuhi oleh masyarakat adalah tidak boleh memperluas areal garapan. Untuk menangani ini, TN tidak melakukan pengusiran secara langsung, tapi memakai jalur musyawarah dengan masyarakat. Meski sebenarnya kami dapat melakukannya atas peraturan yang ada seperti UU No. 5/1990 tentang Konservasi SDA hayati dan ekosistem yang melarang masyarakat untuk mengelola kawasan konservasi seperti TNGH-S.”

Konflik juga terjadi antara Hevindo dengan LSM RMI dan LSM HuMa, pemerintah desa, dan pemerintah Kecamatan Nanggung. LSM dan pemerintah Desa Curugbitung dianggap sebagai pihak yang mendorong masyarakat untuk menguasai lahan kosong milik HGU. Sedangkan pemerintah Kecamatan Nanggung dianggap sebagai pihak yang mendukung aksi kedua pihak tersebut (LSM dan pemerintah desa). Konflik seperti ini lebih disebabkan oleh perbedaan pemahaman dan munculnya prasangka negatif dari pihak-pihak berkonflik.

Dokumen terkait